Disusun oleh:
DIAN HARIYANTI NINGRUM
P1337420916008
A. SPONDYLOLISTHESIS
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas
kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang
berarti “bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk
pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang
dibawahnya. Spondylolisthesis dapat terjadi pada setiap tingkat kolom tulang
belakang, meskipun paling umum terjadi pada tulang belakang bagian bawah.
Sebagian besar kasus diakibatan oleh trauma ringan, terutama hiperekstensi
berulang pada tulang belakang lumbal. Spondylolysis, terjadi di vertebra
biasanya di daerah pars interarticularis, mungkin atau tidak terkait dengan
spondylolisthesis. Jika defek parsial bilateral, spondylolisthesis biasanya
terjadi pada vertebra, L5 pada S1. (Kalichman, L. 2008)
Baik spondylolysis dan spondylolisthesis sering terjadi tanpa gejala,
dan tingkat spondylolisthesis tidak selalu berkorelasi dengan kejadian atau
tingkat keparahan gejala, bahkan ketika pasien mengalami sakit punggung.
Namun, spondylolysis dan spondylolisthesis telah dilaporkan menjadi
penyebab utama nyeri punggung bawah yang persisten pada anak-anak dan
remaja, terlepas dari fakta bahwa kebanyakan kasus tidak bergejala. (Mac-
Thiong JM, Doung L, Parent S, et al, 2012)
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala paling sering adalah nyeri punggung bawah yang diperkuat
oleh gerakan ekstensi. Tetapi, nyeri dapat timbul mendadak bila ada cedera.
Gambaran klinis Spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran
klinisnya berupa back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam
dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi.
Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage),
meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda
neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai sistem
sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari pergeseran serabut saraf
(biasanya S1). Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya
terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa:
• Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
• Kekakuan otot hamstring
• Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi
penuh.
• Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
• Hiperkifosis lumbosacral junction
• Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).
• Kesulitan berjalan.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya pada orang tua
dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati,
klaudikasio neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran
tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4.
Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan
hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena
dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis longus. Penyebab gejala
klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat multifaktorial.
Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk.
Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan ligamentum
flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut
mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang
timbul. (Osborn AG, 2004)
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau
defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat
badan, stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi.
Hal terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi
pasien.
Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50%
atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high
grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan.
Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena
neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda
maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia
muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif,
pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila
multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual
tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun.
Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada
perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan:
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral,
dan spot view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto
oblik dapat memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin
dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat
spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated
spondilolistesis.
b. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT
positif maka lesi tersebut aktif secra metabolik.
c. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat
memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan
juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang
lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut.
MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat
stenosis dadri kanalis sentralis.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.
H. KOMPLIKASI
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada
pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk
menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root
injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan
melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan
(1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk terjadinya
kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih
muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondilolistesis
isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi serial dengan posisi
lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien
ini.
I. PROGNOSA
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan
akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal
ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan riwayat agen cidera fisik truma
vertebra. (00133)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (00085)
c. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan ekstremitas bawah
(00155)
Perencanaan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Nyeri kronis NOC: NIC :
berhubungan dengan Comfort level Pain Management:
terjadinya penekanan saraf Pain control a. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
akibat pembentukan abses Pain level nyeri
paravertebral b. Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Kolaborasikan analgetik atau codein
1x24 jam, nyeri kronis pasien berkurang dengan d. Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
kriteria hasil: e. Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi)
a. Tidak ada gangguan tidur bila perlu
b. Tidak ada gangguan konsentrasi
c. Tidak ada gangguan hubungan interpersonal
d. Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan
secara verbal
e. Tidak ada tegangan otot
2 Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan Joint Movement: Active Exercise therapy: ambulation
terjadinya kompresi pada Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
medula spinalis Self care : ADLs dan lihat respon pasien saat latihan
Transfer performance b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
3x24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi dengan berjalan dan cegah terhadap cedera
kriteria hasil: d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
a. Peningkatan aktivitas fisik klien tentang teknik ambulasi
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. Memverbalisasikan perasaan dalam f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
berpindah g. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk bantu penuhi kebutuhan ADLs
mobilisasi (walker) h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
4 Risiko Jatuh NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko: Knowledge: Personal Environmental Management Safety:
Internal: Safety a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
-Kelemahan Safety Behavior: Fall Prevention b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
-Penglihatan menurun Safety Behavior : Fall Occurance sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
-Penurunan koordinasi Safety Behavior: Physical Injury pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
otot, tangan-mata Tissue Integrity: Skin c. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
-Kurangnya edukasi and Mucous Membrane (misalnya memindahkan perabotan)
keamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x d. Memasang side rail tempat tidur
24 jam, klien tidak mengalami trauma dengan e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
Eksternal: kriteria hasil: bersih
-Lingkungan Pasien terbebas dari trauma fisik f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau pasien.
g. Membatasi pengunjung
h. Memberikan penerangan yang cukup
i. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
k. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
l. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Mac-Thiong JM, Doung L, Parent S, et al. Reliability of the Spinal Deformity Study Group
Classification of Lumbosacral Spondylolisthesis. Spine (Phila Pa 1976). 2012 Jan
15. 37(2):E95-102
Tallarico RA, Madom IA, Palumbo MA. Spondylolisis and Spondylolisthesis in the athlete.
Sports Med Arthrosc. 2008 Mar. 16(1):32-8
Osborn AG, Blasser SI, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M, et all. Osborn
Diagnostic Imaging. Canada : Amirsys/Elsevier. 1st ed. 2004
Ogilvie JW. MD. Complications in Spondylolisthesis Surgery. Spine: March 15th, 2005 –
volume 30 – Issue 6S – p S97-S101
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/396016-overview#showall [Diakses
tanggal 22 November 2011]
Shiel Jr, William C. Spondylolisthesis. MedicineNet.com . Diunduh dari :
http://www.medicinenet.com/spondylolisthesis/page2.htm [Diakses tanggal 22 November
2011]
Japardi, I.2002, Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran, Bagian
Bedah, Universitas Sumatera Utara.