Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN SPONDILITIS ANGKILOSIS


DI RUANG RAJAWALI 3A RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

Disusun oleh:
DIAN HARIYANTI NINGRUM
P1337420916008

PRODI NERS SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
Jalan Tirto Agung Padalangan Banyumanik Semarang 50268
Tahun Ajaran 2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
SPONDILITIS TBC
Oleh: Dian Hardiyanti Ningrum

A. SPONDYLOLISTHESIS
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas
kata spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang
berarti “bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk
pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang
dibawahnya. Spondylolisthesis dapat terjadi pada setiap tingkat kolom tulang
belakang, meskipun paling umum terjadi pada tulang belakang bagian bawah.
Sebagian besar kasus diakibatan oleh trauma ringan, terutama hiperekstensi
berulang pada tulang belakang lumbal. Spondylolysis, terjadi di vertebra
biasanya di daerah pars interarticularis, mungkin atau tidak terkait dengan
spondylolisthesis. Jika defek parsial bilateral, spondylolisthesis biasanya
terjadi pada vertebra, L5 pada S1. (Kalichman, L. 2008)
Baik spondylolysis dan spondylolisthesis sering terjadi tanpa gejala,
dan tingkat spondylolisthesis tidak selalu berkorelasi dengan kejadian atau
tingkat keparahan gejala, bahkan ketika pasien mengalami sakit punggung.
Namun, spondylolysis dan spondylolisthesis telah dilaporkan menjadi
penyebab utama nyeri punggung bawah yang persisten pada anak-anak dan
remaja, terlepas dari fakta bahwa kebanyakan kasus tidak bergejala. (Mac-
Thiong JM, Doung L, Parent S, et al, 2012)

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI


Terdapat lima tipe utama spondilolistesis (Kalichman, L. 2008) :
1. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder
akibat kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
2. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars
interartikularis tanpa adanya pergeseran
tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra
mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini
disebut dengan spondilolistesis.
Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori.
 Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur
rekuren yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress
fracture pars interarticularis dan paling sering terjadi pada pria.
 Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
 Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
3. Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai
akibat degenerasipermukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan
sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke
belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada
tipe III, spondilolistesis degeneratif tidak terdapatnya defek dan
pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
4. Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut
pada elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet)
dibandingkan dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
5. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur
tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang
lainnya.
C. PATHOFISIOLOGI
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami Spondilolistesis.
Pertama sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik
yang berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering
menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh
tingginya aktivitas fisik pada pria.
Meskipun beberapa anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami
Spondilolistesis, sangat jarang anak-anak tersebut didiagnosis dengan
Spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun.
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas
sehari-hari mengakibatkan Spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan
dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana
masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain
tipe displastik, isthmik, degeneratif, traumatik, dan patologik. Spondilolistesis
displatik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi
lumbosacral joints dengan permukaan persendian yang kecil dan inkompeten.
Spondilolistesis displastik sangat jarang, akan tetapi cenderung berkembang
secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit neurologis berat.
Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosesus transversus
cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil
untuk fusi pada bagian posterolateral.
Spondilolistesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada
sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan
spina bifida occulta. Terjadi kompresi serabut saraf pada foramen S1,
meskipun pergeserannya (slip) minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan
bentuk Spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga
disebut dengan spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling
sering dijumpai dengan angka prevalensi 5-7%. Fredericson et al
menunjukkan bahwa defek Sponsilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6
dan 16 tahun, dan pergeseran tersebut sering terjadi lebih cepat. Ketika
pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian
tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan
terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan.
Telah dianggap bahwa kebanyakan Spondilolistesis isthmik tidak
bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Suatu
studi/penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Fredericson et al yang
mempelajari 22 pasien dengan mempelajari perkembangan pergeseran tulang
vertebra pada usia pertengahan, mendapatkan bahwa banyak diantara pasien
tersebut mengalami nyeri punggung, akan tetapi kebanyakan diantaranya
tidak mengalami/tanpa spondilolistesis isthmik.
Satu pasien menjalani operasi spinal fusion pada tingkat vertebra yang
mengalami pergeseran, akan tetapi penelitian tersebut tidak menunjukkan
apakah pergeseran isthmus merupakan indikasi pembedahan. Secara kasar
90% pergeseran ishmus merupakan pergeseran tingkat rendah (low grade)
(kurang dari 50% yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10% bersifat high
grade ( lebih dari 50% yang mengalami pergeseran).
Sistem pembagian/grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai
adalah sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran.
Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari
korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior
yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray lateral. Jarak tersebut
kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superiortotal:
• Grade 1 adalah 0-25%
• Grade 2 adalah 25-50%
• Grade 3 adalah 50-75%
• Grade 4 adalah 75-100%
• Spondiloptosis- lebih dari 100%
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan
spondilosis menjadi Spondilolistesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan
postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis.
Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam
perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars
inerartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya
aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars
interartikularis. Faktor genetik juga berperan penting. Pada tipe degeneratif,
instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit diskus degeneratif atau
facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis. Pergeseran
tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian
tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya
terkena. Cabang saraf L5 biasanya tertekan akibat stenosis resesus lateralis
sebagai akibat hipertropi ligamen atau permukaan sendi.
Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena/mengalami
fraktur akan tetapi tidak pada bagian pars interartikularis, sehingga
menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil.
Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai
tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang
menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan
bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini
dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell
Tumor, dan metastasis tumor.
D. PATHWAYS

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala paling sering adalah nyeri punggung bawah yang diperkuat
oleh gerakan ekstensi. Tetapi, nyeri dapat timbul mendadak bila ada cedera.
Gambaran klinis Spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran
klinisnya berupa back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam
dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi.
Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage),
meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda
neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai sistem
sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari pergeseran serabut saraf
(biasanya S1). Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya
terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa:
• Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
• Kekakuan otot hamstring
• Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi
penuh.
• Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
• Hiperkifosis lumbosacral junction
• Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).
• Kesulitan berjalan.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya pada orang tua
dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati,
klaudikasio neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran
tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4.
Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan
hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena
dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis longus. Penyebab gejala
klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat multifaktorial.
Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk.
Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan ligamentum
flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut
mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang
timbul. (Osborn AG, 2004)

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Nonoperatif
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau
defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat
badan, stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi.
Hal terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi
pasien.
Operatif
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50%
atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high
grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan.
Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena
neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda
maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia
muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif,
pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila
multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual
tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun.
Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada
perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan:
1. anterior approach
2. posterior approach (yang paling sering dilakukan)
3. posterior lateral approach

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis
spondilolisthesis:
a. X-ray
Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral,
dan spot view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto
oblik dapat memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin
dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat
spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated
spondilolistesis.
b. SPECT
SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT
positif maka lesi tersebut aktif secra metabolik.
c. Computed tomography (CT) scan
CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat
memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan
juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang
lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut.
MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat
stenosis dadri kanalis sentralis.
e. EMG
EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati
(stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.

H. KOMPLIKASI
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada
pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk
menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root
injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan
melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan
(1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk terjadinya
kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih
muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondilolistesis
isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi serial dengan posisi
lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien
ini.

I. PROGNOSA
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan
akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal
ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi.

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
alamat, No. RM, pekerjaan, status perkawinan, Tanggal MRS, Tanggal
pengkajian, dan sumber informasi.
b. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik
Spondylolisthesis.
2. Keluhan Utama
Terdapat nyeri pada bagian punggung.
3. Riwayat penyakit sekarang
Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di
dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri
dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri akan menghilang
dengan beristirahat dan semakin parah saat terjadi pergerakan pada
tulang belakang. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan
punggungnya menjadi kaku, pola berjalan menyesuaikan rigiditas
proyektil dari tulang belakang, langkah kaki biasanya pendek untuk
mencoba menghindari rasa nyeri.
4. Riwayat kesehatan terdahulu: pasien terjatuh dan mengalami trauma
vertebra
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pola Persepsi Kesehatan
1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Pasien yang kurang mengerti tentang perjalanan penyakit yang dialami
sebagian besar menimbulkan persepsi yang salah, sehingga pasien merasa
cemas akan keadaan yang dialami.
2. Pola nutrisi/ metabolik
Kondisi tubuh yang mengalami sakit menyebakan metabolisme meningkat,
sehingga akan mengalami gangguan pada status nutrisi klien. Sehingga
pada pasien spondilitis tuberkulosis dapat mengalami penurunan berat
badan.
3. Pola eliminasi
Pasien yang mengalami nyeri punggung dapat menyebabkan terjadinya
perubahan dalam cara eliminasi, tindakan perawatan yang mengharuskan
pasien untuk diimobilisasi menyebabkan pasien harus eliminasi dengan
menggunakan alat, bila pasien belum biasa melakukan hal tersebut maka
akan dapat mengganggu proses eliminasi.
4. Pola aktivitas & latihan
Pasien yang mengalami nyeri dibagian punggung menyebabkan pasien
sangat berhati-hati dalam melakukan aktivitas. Saat berjalan langkah kaki
pasien pendek, dan pola jalan mereflesikan regiditas proyektil dari tulang
belakang untuk menghindari terjadinya nyeri.
5. Pola tidur & istirahat
Kebiasaan tidur pasien
6. Pola kognitif & perceptual
Fungsi panca indra klien tidak mengalami gangguan, terkecuali jika
komplikasi paraplegi sudah terjadi.
7. Pola persepsi diri
8. Pola seksualitas & reproduksi
Kebutuhan seksualitas dan reproduksi tidak mengalami gangguan,
terkecuali bila pasien yang hospitalisasi kemungkinan kebutuhan tersebut
akan terganggu.
9. Pola peran & hubungan
Hubungan peran pasien dapat mengalami perubahan jika pasien yang
mengalami nyeri mulai mengurangi aktiviats yang seperti biasa dilakukan,
selain itu pasien yang merasa malu akan mulai membatasi dirinya dengan
orang lain.
10. Pola manajemen koping-stress
Pasien yang belum mengerti tentang perjalanan penyakit yang dialami
sebagian besar akan merasa rasah dan sering bertanya-tanya tentang
kondisi yang dialami.
11. System nilai & keyakinan
Tidak terjadi gangguan pada nilai dan keyakinan pasien. Sebagain besar
pasien mengalami penyakit akan lebih mendekat diri kepada Yang Maha
Esa karena berharap pertolongan dan agar cepat diberikan kesembuhan.
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Pasien sebagaian besar mempunyai kesadaran composmentis.
Pengkajian Fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
1. Kepala
Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam posisi dagu disangga oleh satu tangan.
2. Mata
Tidak terjadi gangguan mata pada pasien.
3. Telinga
Tidak terjadi gangguan pada telinga pasien.
4. Hidung
Tidak terjadi gangguan pada hidung pasien.
5. Mulut
Tidak terjadi gangguan pada mulut pasien.
6. Leher
Tidak terjadi gangguan pada leher
7. Dada dan Abdomen
Tidak terjadi gangguan pada abdomen pasien.
8. Urogenital
Bagian urogenital akan mengalami gangguan jika pasien mengalami
komplikasi yang paling berbahaya yaitu hemiplegi, sehingga pasien akan
mengalami gangguan pada sistem urogenital.
9. Ekstremitas
Infeksi yang terjadi di regio lumbar bila terdapat abses akan tampak
sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat
paha. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangan diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan riwayat agen cidera fisik truma
vertebra. (00133)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (00085)
c. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan ekstremitas bawah
(00155)
Perencanaan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Nyeri kronis NOC: NIC :
berhubungan dengan Comfort level Pain Management:
terjadinya penekanan saraf Pain control a. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
akibat pembentukan abses Pain level nyeri
paravertebral b. Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Kolaborasikan analgetik atau codein
1x24 jam, nyeri kronis pasien berkurang dengan d. Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
kriteria hasil: e. Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi)
a. Tidak ada gangguan tidur bila perlu
b. Tidak ada gangguan konsentrasi
c. Tidak ada gangguan hubungan interpersonal
d. Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan
secara verbal
e. Tidak ada tegangan otot
2 Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan Joint Movement: Active Exercise therapy: ambulation
terjadinya kompresi pada Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
medula spinalis Self care : ADLs dan lihat respon pasien saat latihan
Transfer performance b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
3x24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi dengan berjalan dan cegah terhadap cedera
kriteria hasil: d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
a. Peningkatan aktivitas fisik klien tentang teknik ambulasi
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. Memverbalisasikan perasaan dalam f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
berpindah g. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk bantu penuhi kebutuhan ADLs
mobilisasi (walker) h. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
4 Risiko Jatuh NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko: Knowledge: Personal Environmental Management Safety:
Internal: Safety a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
-Kelemahan Safety Behavior: Fall Prevention b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
-Penglihatan menurun Safety Behavior : Fall Occurance sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
-Penurunan koordinasi Safety Behavior: Physical Injury pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
otot, tangan-mata Tissue Integrity: Skin c. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
-Kurangnya edukasi and Mucous Membrane (misalnya memindahkan perabotan)
keamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x d. Memasang side rail tempat tidur
24 jam, klien tidak mengalami trauma dengan e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
Eksternal: kriteria hasil: bersih
-Lingkungan Pasien terbebas dari trauma fisik f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau pasien.
g. Membatasi pengunjung
h. Memberikan penerangan yang cukup
i. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
k. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
l. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Kalichman, L. Hunter, DJ. Diagnosis dan Conservatif Management of Degenerative Lumbar


Spondylolisthesis. Eur Spine J. 2008. Mar. 17(3):327-35.

Mac-Thiong JM, Doung L, Parent S, et al. Reliability of the Spinal Deformity Study Group
Classification of Lumbosacral Spondylolisthesis. Spine (Phila Pa 1976). 2012 Jan
15. 37(2):E95-102

Tallarico RA, Madom IA, Palumbo MA. Spondylolisis and Spondylolisthesis in the athlete.
Sports Med Arthrosc. 2008 Mar. 16(1):32-8

Osborn AG, Blasser SI, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M, et all. Osborn
Diagnostic Imaging. Canada : Amirsys/Elsevier. 1st ed. 2004

Ogilvie JW. MD. Complications in Spondylolisthesis Surgery. Spine: March 15th, 2005 –
volume 30 – Issue 6S – p S97-S101

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/396016-overview#showall [Diakses
tanggal 22 November 2011]
Shiel Jr, William C. Spondylolisthesis. MedicineNet.com . Diunduh dari :
http://www.medicinenet.com/spondylolisthesis/page2.htm [Diakses tanggal 22 November
2011]
Japardi, I.2002, Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran, Bagian
Bedah, Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai