Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi

sangat destruktif, psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi,

persepsi dan aspek-aspek perilaku lainnya. Ekspresi dari manifestasi

gangguan ini bervariasi di antara pasien, tapi efeknya selalu berlangsung

lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun,

dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun

(Sadock dan Sadock, 2007; Fatemi, 2008; Pesold, Roberts dan

Kirkpatrick, 2004).

2.1.1. Epidemiologi

Di Amerika Serikat prevalensi seumur hidup untuk skizofrenia

berkisar 1 %, ini berarti 1 dalam 100 orang akan mengalami skizofrenia

dalam hidupnya. Menurut studi The Epidemiological Catchment Area yang

disponsori oleh National Institute of Mental Health prevalensi seumur

hidup skizofrenia berkisar antara 0,6-1,9%. Menurut Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revised (DSM-IV-TR)

insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan

beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang

dilahirkan di daerah urban. Skizofrenia ditemukan ditemukan di seluruh

kelas masyarakat dan area geografis, insidens dan rasio prevalens rata-

rata sama di seluruh dunia (Sadock dan Sadock, 2007; Task Force on

Universitas Sumatera Utara


DSM-IV, American Psychiatric Association, 2000; Van-Os dan Allardyce,

2009).

2.1.2. Etiologi

Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik,psikososial dan

genetik.

2.1.2.1. Faktor-faktor biologik

Faktor-faktor biologik terdiri dari :

2.1.2.1.1. Neurokimiawi otak

Terdiri dari hipotesis dopamin, hipotesis serotonin,hipotesis GABA,

hipotesis glutamat (Sadock dan Sadock, 2007; Benes dan Tamminga,

2002).

2.1.2.1.1.1. Hipotesis dopamin

Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia

menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang

berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas

dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan dopamin,

terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor dopamin

terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme ini (Stahl,

2008; Guillin, Abi-Dargham dan Laruelle, 2007; Goto dan Grace, 2007;

Bobo dan Rapoport, 2008; Abi-Dargham dan Grace, 2011).

2.1.2.1.1.2. Hipotesis serotonin

Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai

penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock,

2007; Abi-Dargham, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2.1.1.3. Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA)

Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid

(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada

penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan

neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory

pada aktivitas dopamin, dan kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic

dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik (Sadock

dan Sadock, 2007; Lewis dan Hashimoto, 2007; Krystal dan Moghaddam,

2011).

2.1.2.1.1.4. Hipotesis glutamat

Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu

antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa

dengan skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

2.1.2.1.2. Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative

hypothesis)

Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari

apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari

neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia, toksin-

toksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang dikenal

sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari neurotransmiter glutamat.

Jika neuron- neuron tereksitasi ketika memperantarai gejala-gejala positif,

kemudian mati akibat proses toksik yang disebabkan neurotransmisi

excitatory yang berlebihan, ini membawa ke stadium residual burn out dan

Universitas Sumatera Utara


gejal-gejala negatif (Stahl, 2008; Stan, Lesselyong dan Ghose, 2009;

Konrad dan Winterer, 2008; Balu dan Coyle, 2011).

2.1.2.1.3. Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental

hypothesis)

Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini

berasal dari abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian

menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin.

Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat yang

berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh skizofrenia

meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin mengalami

komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar dari infeksi virus,

kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah lain yang

menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan janin, dapat

berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-faktor ini juga

akhirnya dapat mengurangi faktor-faktor pertumbuhan saraf dan

merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-neuron yang

kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan atau stres

(Stahl, 2008; Busatto et al., 2010; Jaaro-Peled et al., 2009; Kato et al.,

2011; Waddington dan Morgan, 2001; Harrison, Lewis dan Kleinman,

2011; Weinberger dan Levitt, 2011).

2.1.2.1.4. Elektrofisiologi

Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien

skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan

sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike yang sering setelah

Universitas Sumatera Utara


kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan

delta) (Sadock dan Sadock, 2007; Salisbury, Krljes dan McCarley, 2003;

Winterer dan McCarley, 2011).

2.1.2.1.5. Psikoneuroimunologi

Sejumlah abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup

penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons

limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron,

adanya antibodi brain-directed (antibrain) (Stahl, 2008).

2.1.2.1.6. Psikoneuroendokrinologi

Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada

pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas

dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan

follicle-stimulating hormone (Stahl, 2008).

2.1.2.2. Faktor psikososial

2.1.2.2.1. Teori psikoanalitik

Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan

yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego

dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala

skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

2.1.2.2.2. Dinamika keluarga

Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang

disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional

yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk

mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind

Universitas Sumatera Utara


communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan

pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi

(Sadock dan Sadock, 2007).

2.1.2.3. Faktor genetik

Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua

bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam

kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko

menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada

keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia

maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens

skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia

sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang

tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40% (Sadock dan Sadock,

2007; Owen, O'Donovan dan Harrison, 2005; Weeks dan Lange, 1988).

2.1.3. Gambaran klinis

Tidak ada gejala dan tanda klinis yang patognomonis untuk

skizofrenia; setiap gejala atau tanda yang terlihat pada skizofrenia juga

ada di gangguan neurologik dan psikiatrik lainnya. Gejala-gejala seorang

pasien dapat berubah sejalan dengan waktu. Misalnya seorang pasien

mungkin mengalami halusinasi intermiten atau kemampuan yang

bervariasi dalam menghadapi situasi sosial secara adekuat, atau gejala-

gejala gangguan mood yang bermakna dapat datang dan pergi selama

perjalanan penyakit skizofrenia. Klinisi juga harus mempertimbangkan

tingkat pendidikan, kemampuan intelektual, kultural dan sub kultural.

Universitas Sumatera Utara


Sebagai contoh, kemampuan yang terganggu untuk memahami konsep

abstrak dapat mencerminkan pendidikan pasien atau intelegensianya.

Organisasi keagamaan dan kebudayaan mungkin memiliki pola-pola yang

kelihatan aneh bagi orang di luar tetapi normal bagi yang terlibat di

dalamnya (Sadock dan Sadock, 2007; Goldberg, David dan Gold, 2011;

Yeganeh et al., 2011).

2.1.4. Skizofrenia paranoid

Skizofrenia paranoid ditandai oleh preokupasi satu atau lebih

waham atau halusinasi pendengaran yang sering. Umumnya waham

besar dan waham kejaran. Biasanya mengalami episode pertama pada

usia yang lebih tua dibandingkan skizofrenia disorganized dan katatonik

(Sadock dan Sadock, 2007).

2.1.5. Diagnosis

Di Indonesia kriteria diagnostik skizofrenia ditegakkan berdasarkan

Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III yang

dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1993

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).

Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik, dalam

praktek ada manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam

kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering

terdapat secara bersama-sama, misalnya :

a) thought echo,thought insertion atau withdrawal dan thought

broadcasting.

Universitas Sumatera Utara


b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi

(delusion of influence) atau passivity, yang jelas merujuk pada

pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau

pikiran,perbuatan atau perasaan khusus;persepsi delusional;

c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku

pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri,

atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian

tubuh;

d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap

tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai

identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan

manusia super (misalnya mampu mengendalikan cuaca,atau

berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain);

e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah

berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide

berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi

setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-

menerus;

f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi)

yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau

neologisme;

Universitas Sumatera Utara


g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap

tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme

dan stupor;

h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),

pembicaraan yang terhenti dan respons emosional yang menumpul

atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari

pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas

bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau

medikasi neuroleptika;

i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi

sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam

diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial;

Pedoman diagnostik

Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus

ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya

dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang

jelas) dari gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua

gejala dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas

selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi

persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan

(baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai ganggun

psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasi ulang kalau

Universitas Sumatera Utara


gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).

2.2. Genetika Skizofrenia

Minat yang besar dalam genetika dari gangguan psikiatrik berasal

dari kekuatan potensial dari pendekatan genetik untuk mengidentifikasi

penyakit gen dan menegaskan dasar molekuler psikopatologi gangguan

tersebut. Beberapa bukti mendukung peranan terhadap pewarisan

gangguan tersebut. (Volk dan Lewis, 2008; Bakker et al., 2004; Craddock

dan Owen, 1996; Gejman, Sanders dan Duan, 2010; Hauser et al., 1996;

Maier, Zobel dan Kuhn, 2006; Mowry, 2010; Harrison dan Weinberger,

2005; Riley, Asherson dan McGuffin, 2003).

Model transmisi genetik pada skizofrenia belum diketahui, tetapi

sejumlah gen tampak memiliki kontribusi pada kerentanan terhadap

skizofrenia. Studi keterkaitan dan asosiasi genetik telah mendapatkan

bukti yang kuat untuk sembilan tempat terkait : 1q,5q,6p,6q,8p,10p,13q,15

q dan 22q (Sadock dan Sadock, 2007; Riley dan Kendler, 2005; Hirvonen

et al., 2004; Badner dan Gershon, 2002; Riley dan Kendler, 2011).

Studi-studi yang membuktikan keterlibatan genetik dan pengaruh

lingkungan pada skizofrenia antara lain :

Studi Epidemiologi Populasi

Studi ini mempelajari prevalensi dan insiden dari gangguan dan

penyakit berdasarkan survey komunitas. Variasi dalam nilai rerata tertentu

dapat memberikan informasi berharga mengenai penyakit dan

keseimbangan pengaruh genetik dari lingkungan. Ukuran insiden pada

Universitas Sumatera Utara


populasi merupakan dasar yang kritis untuk mengestimasi kemampuan

pewarisan pada studi genetik yang melibatkan keluarga. Studi pada

populasi yang terisolasi secara geografik, kebudayaan juga memberikan

manfaat yang khusus karena selain terisolasi secara geografik biasanya

populasi ini merupakan keluarga besar (large pedigree) dan akan

memudahkan mengambil kesimpulan oleh karena peningkatan

homogenitas baik variasi gennya maupun interaksi lingkungannya (Moldin

dan Daly, 2009; Fears dan Freimer, 2009; O'Donovan dan Owen, 2011).

Studi Keluarga

Studi-studi keluarga menunjukkan suatu gangguan atau simtom

spesifik yang diwariskan pada anggota keluarga. Meskipun demikian sulit

untuk memisahkan apakah keadaan tersebut berasal dari faktor

lingkungan atau faktor genetik, karena keluarga memang berbagi materi

genetik tetapi juga berbagi elemen lingkungan yang sama. Dalam rangka

memisahkan faktor genetik dan faktor lingkungan diadakan studi kembar

dan studi adopsi (Moldin dan Daly, 2009; Riley dan Kendler, 2005).

Studi Molekular Genetik

Studi keterpautan, studi asosiasi dan studi transgenik banyak

dilakukan untuk mengidentifikasi faktor genetik pada tingkat molekuler

(Nieratschker, Nothen dan Rietscel, 2010; Craddock dan Owen, 1996;

Craddock, O’Donovan dan Owen, 2005). Studi keterpautan memakai

sampel dari keluarga (pedigree) yang memiliki masalah/penyakit yang

akan dicari, kemudian ditelusuri kromosom atau lokus gen yang

Universitas Sumatera Utara


menggambarkan kerentanan terhadap penyakit tersebut (Fears dan

Freimer, 2009; Clerget-Darpoux, Bonaiti-Pellie dan Hochez, 1986).

Studi-studi yang berkaitan dengan kandidat gen, baik posisi; lokasi

pada regio genom yang berhubungan dengan skizofrenia dan fungsi;

keterlibatan dalam perkembangan otak, hubungan sinaptik dan

neurotransmisi menghasilkan beberapa kandidat yang menjanjikan yang

dianggap mempunyai kontribusi terhadap skizofrenia, seperti : dysbindin

(DTNBP 1), neuregulin1(NRG1), G 72, RGS4,cathecol- O- methyl

transferase (COMT), proline dehydrogenase (PRODH), metabotropic

glutamate receptor 3 (GRM3), protein kinase AKT1 dan disrupted-in-

schizophrenia (DISC1) (Munafo et al., 2006; Kim et al., 2012).

Empat gen-gen kunci yang mengatur konektivitas dan

sinaptogenesis pada skizofrenia adalah: brain- derived neurotrophic factor

(BDNF), dysbindin (disebut juga dystrobrevin-binding protein1) yang

terlibat dalam pembentukan struktur-struktur sinaptik, neuregulin, terlibat

dalam migrasi neuronal dan pembentukan sel-sel glia dan mielinisasi; dan

DISC-1(disrupted in schizophrenia-1) yang membuat protein yang terlibat

dalam neurogenesis, migrasi neuronal dan organisasi dendritik (Stahl,

2008; Hall et al., 2006; Dammann et al., 2008; Haraldsson et al., 2010;

Buonanno, 2010).

2.3 Neuregulin 1

2.3.1 Protein neuregulin 1

Protein neuregulin 1 dan reseptor-reseptornya merupakan anggota

dari sub family ErbB reseptor tirosin kinase, yang memegang peranan

Universitas Sumatera Utara


penting dalam perkembangan sistem saraf dan jantung. Kebanyakan

isoform neuregulin 1 disintesis sebagai proprotein transmembran yang

diproses secara proteolitik terhadap fragmen terminal N yang

mengandung bioaktif EGF-like domain (Ozaki et al., 2004; Feng et al.,

2010; Frenzel dan Falls, 2001; Keri, Kiss dan Kelemen, 2009; Newbern

dan Birchmeier, 2010). NRG 1 juga dikenal sebagai faktor pertumbuhan

glial, suatu protein yang dimurnikan sebagai mitogen untuk Schwann cells

(SC). NRG1 dapat menginduksi diferensiasi neural crest menjadi fenotip

SC. NRG1 juga meningkatkan pergerakan SC, migrasi dan menginduksi

proliferasi SC (Corfas et al., 2004; Boucher et al., 2011).

2.3.2. Gen NRG1

Neuregulin 1 (NRG1) awalnya merupakan suatu kandidat gen yang

bertanggung jawab untuk skizofrenia pada studi yang dilakukan di Iceland

(Petryshen et al., 2005; Munafo et al., 2006; Marball et al., 2012; Gardner

et al., 2006). Gen NRG1 terletak pada 8p21-p12,satu dari loki yang

berkaitan dengan skizofrenia (Li, Collier dan He, 2006; Pedrosa et al.,

2009; Tosato, Dazzan dan Collier, 2005; Kirov, O'Donovan dan Owen,

2005; Levinson, 2005) NRG1 merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik,

penting dalam perkembangan dan fungsi sistem saraf. Gen ini terlibat

dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi

neuron-glia, myelinisasi dan neurotransmisi dalam otak dan jaringan-

jaringan lain (Li, Collier dan He, 2006; Hashimoto et al., 2004; Tosato et

al., 2012; Talmage, 2008; Mei dan Xiong, 2008; Kruglyak et al., 1996).

Universitas Sumatera Utara


NRG1 memengaruhi regulasi myelinisasi susunan saraf pusat

dengan menginduksi migrasi dan diferensiasi oligodendrosit susunan

saraf pusat (Wang et al., 2009; Stahl, 2008). Lebih jauh lagi bukti preklinis

menunjukkan bahwa perubahan dalam NRG1-ErbB signalling

menyebabkan abnormalitas pada struktur dan fungsi oligodendrosit,

seperti pengurangan ketebalan myelin dan perlambatan kecepatan

konduksi di akson susunan saraf pusat (Wang et al., 2009; Huang dan

Chen, 2009).

Stefansson dan kawan-kawan pertama kali melaporkan suatu

hubungan antara NRG1 dan skizofrenia, mengikuti positional mapping

pada kromosom 8p pada keluarga Icelandic (Stefansson et al., 2002; Riley

dan Kendler, 2005; Stefansson et al., 2003). Inti dari haplotype yang

berisiko (HAP ice ) pada 5’ ujung gen yang terdiri dari 5 SNP

(SNP8NRG221132, SNP8NRG221533, SNP8NRG 241930,

SNP8NRG243177, SNP8NRG433E1006) dan dua mikrosatelit (478B14-

848, 420M91395) ditemukan berhubungan dengan skizofrenia pada

populasi Icelandic, dan populasi Scottish (Thomson et al., 2007; Li, Collier

dan He, 2006; Hanninen et al., 2008; Stefansson et al., 2003; Naz, Riaz

dan Saleem, 2011). Bukti yang kuat untuk hubungan dengan haplotype

yang sama, dikenal dengan HAP ICE ditemukan pada sampel yang besar

dari Scotland, dan didukung lebih jauh lagi dengan sampel dari United

Kingdom (Owen, Craddock dan Jablensky, 2010). SNP8NRG433E1006

merupakan salah satu dari kelima SNP dari HAP ICE . Hal ini mengubah

residu asam amino dari Arginin menjadi Glisin pada exon 1 dari gen NRG1

Universitas Sumatera Utara


(Javitt, 2007). Secara keseluruhan terdapat bukti yang kuat dari beberapa

studi bahwa variasi genetik pada NRG1 memberikan risiko terhadap

skizofrenia, tetapi tidak semua studi menemukan haplotype terkait yang

sama, pengaruh spesifik dan varian protektif belum ditemukan (Owen,

Craddock dan Jablensky, 2010; Corvin et al., 2004)..

2.4. Suku Batak

Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai

orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan

dengan orang kulit putih (Kaukasoid) dan orang kulit hitam (Negroid).

Suku Batak diduga berasal dari utara dan India Sampai abad XIX, suku

Batak terisolasi di pegunungan Bukit Barisan selama 3000 tahun,

sebanyak 100 generasi. Suku Batak termasuk Proto Malayan (subras

Mongoloid) seperti juga suku Toraja, sedangkan suku Jawa, Aceh,

Minangkabau, Bugis, Makasar, Sunda dan Madura termasuk subras Neo

Malayan. Subras Proto Malayan seperti Suku Batak dan Suku Toraja

merupakan suku yang suka hidup terisolasi di pegunungan dan menolak

pengaruh luar. (Simanjuntak, 2006; Munir, 2007; Gultom Raja Marpadang,

1992).

Universitas Sumatera Utara


Usia
Durasi Penyakit
Awitan
Dosis Antipsikotika
Jenis Kelamin
Faktor Endogen
Stresor Psikososial

LH
FSH

Imunoreaktivitas NRG 1 Serum

Gambar 2. 1. Kerangka Teoritis

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN


SNP8NRG433E1006 menderita skizofrenia
paranoid

Suku
Batak

Imunoreaktivitas NRG1 tidak menderita


Serum gangguan jiwa

Karakteristik Subjek:
A. Usia
B. Durasi Penyakit
C. Awitan
D. Dosis Antipsikotika
E. Jenis Kelamin
F. Faktor Endogen
G. Stresor Psikososial

Gambar 2. 2. Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai