TERHADAP PRINSIP “NON EKSEKUTABEL”
JIKA OBYEK EKSEKUSI TELAH BERPINDAH TANGAN
Oleh: H. Syamsul Anwar.*
I. PENDAHULUAN
Sebagai telah dimaklumi bahwa eksekusi atau pelaksanaan atas sebuah
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewisyde) merupakan
sebuah tindakan paling akhir yang harus dilakukan sebuah Pengadilan, yaitu jika
ternyata pihak‐pihak yang di kalahkan enggan untuk melakasanakan putusan secara
sukarela. Dalam pelaksanaannya untuk mengetahui tentang sejauhmana keengganan
pihak yang di kalahkan dalam hal melaksanakan putusan secara sukarela tersebut
terlebih dahulu dilakukan persidangan yang dikenal dengan sidang “ aanmaning “
dengan memanggil dan menghadirkan pihak yang di kalahkan, yaitu sebuah
persidangan yang dipimpin oleh ketua Pengadilan atau oleh seorang hakim yang telah
ditunjuk yang dibantu seorang panitera atau panitera pengganti yang tujuannya agar
pihak yang di kalahkan tersebut ditegur dan diperingatkan supaya melaksanakan
putusan dalam masa tenggang waktu 8 (delapan) hari, dan apabila setelah dilakukan
penegoran dan peringatan ternyata masih juga enggan untuk melaksanakan putusan
tersebut maka barulah tindakan eksekusi dilaksanakan.
Sesuai judul, Penulis tidak bermaksud membahas secara menyeluruh tentang
permasalahan eksekusi, melainkan hanya menggores selayang pandang terkait
dengan salah satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi di lapangan ketika
eksekusi dilaksanakan, antara lain ketika obyek sengketa atau barang yang akan di
eksekusi telah berpindah ke tangan pihak lain atau pihak ketiga. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut sikap panitera atau jurusita sebagai kepanjangan tangan ketua
Pengadilan yang melaksanakan eksekusi pada umumnya menggunakan cara berpikir
sederhana dengan mengambil jalan pintas serta tidak mau repot, yaitu dengan
menyatakan “ Non Eksekutabel “ hal mana berdasar dan berpegangan kepada
ketentuan umum yang menyebutkan bahwa ; “ salah satu alasan eksekusi tidak bisa
dilaksanakan adalah manakala obyek eksekusi telah berpindah tangan”. 1 ke pihak
ketiga.
Melalui tulisan ini, Penulis sekedar ingin mencoba memberikan sebuah asumsi,
pandangan dan pemikiran menurut hukum terkait permasalahan diatas dengan
harapan semoga dapat menambah referensi pengetahuan bagi Penulis sendiri dan
siapapun yang sekiranya membutuhkan ;
II. OBYEK TELAH BERPINDAH TANGAN.
Setelah sekian lama pihak‐pihak mengikuti proses berperkara dengan
mengikuti tahapan persidangan, yang dalam pelaksanaannya cukup melelahkan,
ditambah lagi ujung‐ujungnya ternyata obyek sengketa atau obyek yang
dipersengketakan ternyata telah berpindah tangan, maka disinilah Majelis Hakim yang
* Ketua Pengadilan Agama Majalengka Kelas I.A.
1
M.Yahya Harahap,SH. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 312.
menangani perkara khususnya dalam perkara “kebendaan” sangat dituntut untuk lebih
arif dan bijaksana agar dapat mengambil langkah sebagai tindakan hukum demi “tetap
dan utuhnya” obyek sengketa tersebut, yang artinya agar obyek sengketa tidak
dipindah tangankan kepada orang lain yaitu ; melalui tindakan Coservatoir Beslaag
(sita jaminan ) dan atau sita marital, karena apabila telah dilakukan tindakan hukum
berupa pensitaan dan ternyata masih juga dipindah tangankan maka tindakan tersebut
akibatnya tidak hanya menyangkut kepeperdataan saja tapi juga menyangkut pidana
bagi si pelaku.
Andai ternyata obyek sengketa telah berpindah ke tangan pihak lain, maka
menurut ketentuan umum adalah benar eksekusi tidak bisa dijalankan. Akan tetapi
ketentuan tersebut tetap harus memperhatikan dan berpatokan kepada dua hal pokok
yaitu ; (1). Keabsahan alas hak yang diperoleh pihak ketiga atas barang tersebut; dan
(2). Adanya amar yang mencantumkan penghukuman siapa saja yang berhak
mendapat hak dari Tergugat tersebut ; Maka dengan demikian setidak‐tidaknya
terdapat dua pilihan yaitu: Pertama, eksekusi tetap terus dilakasanakan dan Kedua,
eksekusi dinyatakan tidak bisa dilaksanakan atau Non Eksekutabel. Kedua pandangan
tersebut akan coba Penulis kemukakakan dibawah ini ;
1. Eksekusi tetap dilaksanakan
Sebagai dimaklumi salah satu perpindahan hak milik benda tidak bergerak yang
kekuatan hukumnya relatif kuat dan signifikan antara lain adalah dengan
melalui jual beli,( dimana Undang‐undang menentukan bahwa proses peralihan
benda tidak bergerak harus dilaksanakan dihadapan pejabat yang berwenang
yaitu dihadapan PPAT/ Pejabat Pembuat Akta Tanah). Untuk lebih
memudahkan dalam mencerna Penulis kemukakan dengan contoh kasus
sebagai berikut ;
A dan B suami istri yang telah mempunyai 2 (dua) orang anak, sebutlah C
dan D, lalu A meninggal dunia dunia ; Pada saat menjelang A meninggal
dunia ternyata semua kekayaan A telah diwasiatkan dan dihibahkan kepada
saudara‐saudaranya sebutlah E dan F, Obyek barang atau kekayaan yang
dihibahkan dan diwasiatkan tersebut memang bukan merupakan harta
bersama yang diperoleh selama dalam perkawinan antara A dengan B
melainkan sebagai hasil perolehan bersama dengan istri sebelumnya yang
telah lebih dahulu meninggal dunia dan atau hasil warisan dari orang
tuanya, pendek kata melalui akta wasiat atau akta hibah tersebut baik
semua surat juga pisik dari semua obyek atau barang telah dikuasai dan
dinikmati oleh si penerima wasiat dan si penerima hibah, dan sebagai
akibatnya hidup dan prikehidupan C dan D tak ubahnya sebagai
gelandangan yang tidak punya tempat untuk berteduh apalagi rumah
tinggal yang bisa ditempati, persisnya sebagai pedagang bala‐bala asongan
memakai bakul, yang kesehariannya menginap dan menumpang di berbagai
rumah tetangga yang kebetulan rela dan bersedia menerima.
‐ Lalu diajukan gugatan (waris) ke Pengadilan Agama, B bertindak sebagai
penggugat ( yang kapasitasnya selaku wali dari kedua anaknya C dan D
yang dalam kenyataannya memang belum cakap berbuat hukum ), E dan F
sebagai pihak Tergugat.
‐ Baha putusan dalam semua tingkatan, yaitu tingkat pertama, tingkat
Banding, tingkat Kasasi dan tingkat Peninjauan Kembali pihak B
(penggugat) selaku pihak yang dimenangkan; dimana dalam diktum
putusannya menyebutkan antara lain bahwa ; diktum (1). Akta
Wasiat/Hibbah yang telah dibuat oleh A kepada E dan F dinyatakan tidak
berkekuatan hukum kecuali hanya sebatas 1/3 bagiannya ( catatan ; 1/3
bagian yang dinyatakan sah dan 2/3 bagian yang dinyatakan tidak sah
masing‐masing telah disebutkan dalam diktum putusan red.), diktum ( 2).
Bahwa 2/3 bagian dinyatakan menjadi hak milik C dan D, Diktum (3).
Dinyatakan pula bahwa siapapun yang menguasai barang tersebut agar
menyerahkan kepada C dan D, serta diktum (4). Penentuan tentang biaya
perkara.
‐ Bahwa pada saat proses perkara berjalan tepatnya setelah putusan tingkat
pertama dijatuhkan Tergugat mengajukan upaya hukum banding, dan pada
saat itulah ternyata obyek sengketa oleh Tergugat E dan F telah dijual
kepada pihak lain katakan G yang proses pelaksanannya memang dilakukan
dihadapan seorang Notaris ( tentunya Notaris mau melaksanakan transaksi
tersebut karena atas dasar adanya akta wasiat/hibah red. akan tetapi tentu
tidak disebutkan jika sebenarnya sedang dalam proses perkara), dan
selanjutnya pula Kantor Badan Pertanahan Nasional yang tentunya atas
permintaan G telah melakukan perubahan dan balik nama sertipikat obyek
sengketa yang semula atas nama A telah berubah menjadi atas nama G, hal
ini telah berjalan sempurna tanpa ada “rintangan” karena selain dalam
proses persidangan perkara tersebut Majelis Hakim telah tidak
mengeluarkan penetapan Sita Jaminan (CB) atas obyek eksekusi tersebut,
juga tentunya dengan kecerdikan, kelihaian dan kerakusan pihak Tergugat
selaku pihak penjual telah “merahasiakan “ kalau yang sebenarnya
menyangkut obyek yang akan dijual tersebut sedang proses perkara di
Pengadilan;
‐ Alhasil terkait dengan obyek tersebut telah ada 7 (tujuh) putusan yang
memenangkan Penggugat dengan memakan waktu proses kurang lebih 10
(sepuluh ) tahun ; yaitu putusan tingkat pertama, putusan tingkat banding,
putusan tingkat kasasi, putusan perlawanan eksekusi tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi dan Peninjauan kembali, pendek cerita
seperti telah disebutkan diatas ketika akan dilakukan eksekusi obyek
tersebut telah berpindah tangan kepada pihak ketiga yaitu G;
Fakta hukum ;
Fakta hukum yang dapat ditarik dari kejadian tersebut antara lain sebagai
berikut ;
‐ Bahwa proses perkara telah berjalan kurang lebih 10 (sepuluh ) tahun;
‐ Bahwa jual beli dilaksanakan oleh Tergugat pada saat sedang proses
perkara berjalan, tepatnya setelah dijatuhkan putusan pada Pengadilan
Tingkat Pertama, dan secara formal ia mengajukan upaya hukum banding,
kasasi dan juga perlawanan eksekusi.
‐ Bahwa telah nyata dan jelas adanya itikad “tidak baik “ dari pihak Tergugat
atau pihak penjual, dimana menurut hukum obyek sengketa yang nyata‐
nyata sedang dalam proses perkara pada azasnya sebagai “ tidak boleh di
jual belikan dan atau di pindah tangankan “.
‐ Bahwa pihak Tergugat dilihat dari sisi kaca mata agama dan hukum dapat
dikatakan “ telah mendzolimi “ para Penggugat sebagai darah dagingnya
sendiri yaitu sebagai keponakannya .
‐ Bahwa transaksi jual beli yang dilakukan Tergugat E dan F selaku pihak
penjual dengan G selaku pihak Pembeli adalah atas dasar Akta
wasiat/Hibbah, dimana sebagai kelanjutan dari proses jual beli tersebut
sertipikat hak milik atas obyek tersebut telah berubah menjadi atas nama G
(pembeli ). Apabila dilihat secara sederhana memang transaksi jual beli
tersebut adalah sah secara formil juga mungkin materil, akan tetapi
menurut “ logika berpikir yang di sandarkan kepada fakta dan hukum “
bahwa sahnya tersebut adalah bersipat “ terbatas” atau bisa disebut juga
dengan “ dibatasi “, yang artinya proses jual beli tersebut sah sepanjang
putusan Pengadilan yang telah menyatakan bahwa “Akta Wasiat/Hibbah
tidak berkekuatan hukum “ tersebut belum berkekuatan hukum tetap (
Inkracht Van Gewisyde ), karena sepanjang putusan belum inkrach atau
belum berkekuatan hukum tetap pihak penjual yaitu Tergugat menurut
hukum sebagai dikategorikan mempunyai “alas hak yang sah “ (dalam hal
ini sebagai pemiliknya sendiri yaitu berdasar wasiat/hibah tersebut, dimana
alas hak yang sah adalah sebagai persayaratan dalam perjajian jual‐beli
yang bersipat obligatoir 2), akan tetapi ketika putusan tersebut telah inkrach
dan telah berkekuatan hukum tetap maka proses jual beli tersebut adalah “
batal “ atau setidak‐tidaknya dapat “dibatalkan”, karena pihak penjual yaitu
Tergugat menurut hukum sebagai dikatagorikan sebagai orang yang tidak
berhak dan tidak mempunyai alas hak yang sah, dimana sebagai pemegang
hak yang benar atau yang mempunyai alas hak adalah C dan D yakni
Penggugat.
‐ Bahwa pada saat diajukan permohonan eksekusi oleh pihak Pemohon
sudah barang tentu putusan tersebut telah berkekuatan hukum yang tetap
(dalam arti dan atau harus diartikan bahwa karenanya menurut hukum
sebagai telah disebut diatas bahwa jual beli yang dilakukan E,F dan G
adalah batal dan atau setidak‐tidaknya dapat dibatalkan).
‐ Bahwa selain itu persyaratan formal untuk mengajukan eksekusi telah
dipenuhi ( seperti ; putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak yang
dikalahkan enggan melaksanakan putusan secara sukarela, telah dilakukan
aanmaning, diktum putusan bersipat komdemnatoir dll ).
Maka dalam kasus seperti tersebut di atas menurut Penulis eksekusi
tetap harus dijalankan berdasar kepada dasar dan pertimbangan ; (1). Bahwa G.
Telah membeli obyek dari E dan F yang nyata‐nyata menurut hukum bukan
2
Prof. Subekti, SH. Aneka Perjanjian.Penerbit PT.Citra Aditya Bakti Bandung 1995, hal 11.
sebagai pemegang hak atau bukan pemiliknya (sekalipun adanya pandangan
yang menyatakan bahwa terlebih dahulu harus adanya putusan tentang
pembatalan jual beli tersebut), 2). Bahwa nyata‐nyata adanya itikad tidak baik
dari Tergugat dengan melakukan penjualan obyek yang sedang proses
berperkara di Pengadilan , artinya transaksi jual beli dilakukan bukan sebelum
perkara berjalan. (3). Adanya diktum putusan yang menyatakan “
memerintahkan kepada siapapun yang menguasai obyek agar menyerahkan
kepada Penggugat” ; sekalipun memang dimungkinkan pihak G selaku pihak
pembeli berkeberatan akan pelaksanaan eksekusi tersebut, namun demikian
dipersilahkan mengajukan keberatan atau pembatalan eksekusi ke Pengadilan
yang telah melakukan eksekusi tersebut sebagai rasio dari istilah Pembeli yang
beritikad baik adalah dilindungi hukum.
2. Eksekusi tidak bisa dilaksanakan (Non Eksekutabel).
Alternatif kedua yang dapat diambil Juru Sita jika obyek eksekusi
telah berpindah tan gan kepada pihak ketiga adalah ; Eksekusi dinyatakan tidak
bisa dilaksanakan atau dinyatakan “Non Eksekutabel”. Adalah sama halnya baik
ketika eksekusi tetap dijalankan dan atau tidak bisa dilaksanakan harus
berpatokan kepada suatu prinsip“ keabsahan alas hak yang sah yang dipunyai
pihak ketiga “, namun demikian tentu tidak gampang untuk mengukur serta
menganalisa tentang sejauhmana alas hak yang dipunyai pihak ketiga tersebut
adalah sah baik formil maupun materil, dimana dalam hal ini para pakar hukum
tidak sama pandangannya ; Ada yang berpandangan harus melalui gugatan di
Pengadilan dan ada pula yang berpandangan cukup melihat bukti yang ada
yang dipunyai pihak ketiga tersebut.
Berangkat dari azas dan pandangan yang mengatakan bahwa sebuah
putusan tidak bisa menjangkau kepada orang yang tidak masuk sebagai pihak
dalam perkara, maka untuk menyatakan eksekusi tidak bisa dilaksanakan atau
menyatakan Non Eksekutabel jika obyek telah berpindah tangan ke pihak ketiga
adalah harus berdasar dan berpatokan kepada suatu keadaan dimana “
berpindahnya “ obyek eksekusi tersebut nyata‐nyata jauh sebelum perkara
berjalan “, ( menurut Penulis persyaratan ini adalah merupakan syarat mutlak ),
disamping tentu adanya persyaratan lain sebagai telah disebutkan diatas.
III. KESIMPULAN.
Dari uraian tersebut pada ahirnya dapatlah disimpulkan bahwa untuk
menyatakan eksekusi tidak bisa dilaksanakan atau Non Eksekutabel dan atau tetap
eksekusi di jalankan padahal dalam kenyatannya obyek eksekusi telah berpindah ke
tangan pihak ketiga adalah sangat tergantung kepada suatu fakta dan keadaan atau
dengan istilah lain harus dilihat kasus perkasus.
Medio, Februari 2011.