Anda di halaman 1dari 101

ABSTRAK

PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI DAERAH


TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN KABUPATEN
KOTA Se-SUMATERA

Oleh

Rostina

Kemandirian keuangan merupakan faktor penting didalam suatu daerah.


Keuangan daerah yang baik dapat dilihat pada kinerja keuangannya. Keadaan
keuangan ini merupakan penunjang dalam peningkatan kepercayaan masyarakat
terutama dalam hal penyediaan berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang
pembangunan daerah khususnya belanja modal. Pembangunan daerah juga bisa
dilihat dari adanya investasi daerah, yang gunanya untuk menambah income
daerah berupa pendapatan daerah, hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang berasal dari penyertaan modal pemerintah dalam bentuk saham
yang pada akhirnya bertujuan mendapatkan manfaat ekonomik. Perkembangan
ekonomi dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah, yang secara teori
semakin tinggi kontribusi pendapatan daerah yang tinggi berarti daerah memiliki
kemampuan untuk membiayai rumah tangganya sendiri. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh perkembangan ekonomi di daerah dilihat dari belanja
modal, investasi daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, Alat
analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linear
berganda dengan pengolahan data menggunakan bantuan program SPSS.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan/ bersama-sama belanja


modal, investasi daerah signifikan berpengaruh terhadap tingkat kemandirian
keuangan daerah, namun secara individual belanja modal signifikan berpengaruh
terhadap tingkat kemandirian keuangan, begitu pula investasi daerah berpengaruh
terhadap tingkat kemandirian keuangan.

Kata kunci : Belanja Modal, Investasi daerah, Tingkat Kemandirian keuangan


kabupaten kota Se-Sumatera
ABSTRACT

EFFECT OF INVESTMENT CAPITAL EXPENDITURES AND FINANCIAL


DISTRICT ON THE LEVEL OF INDEPENDENCE CITY Se-SUMATRA

by

Rostina

Financial independence is an important factor in a region. Good financial area


can be seen on its financial performance. The financial situation is supporting the
improvement of public confidence, especially in terms of providing a variety of
facilities and infrastructure to support regional development, especially capital
expenditure. Regional development can also be seen from the investment area,
which is pointless to increase income in the form of regional income areas, this
can increase the economic growth that comes from government participation in
the form of shares that ultimately aims to obtain economic benefits. Economic
development to boost local revenues, which in theory the higher contribution of
high income area means the area has the ability to finance their own household.
This study aims to determine the effect of economic development in the area seen
from capital expenditures, the investment on the level of local financial
independence, analytical tool used in this research are multiple linear regression
model with data processing using SPSS.

The results of this study indicate that simultaneous / together capital expenditure,
the investment significantly affect the level of financial independence, but
individually significant capital expenditures affect the level of financial
independence, as well as local investment affect the level of financial
independence.

Keywords: Capital Expenditure, Investment area, level of independence of the


city's financial district Se-Sumatra
PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI DAERAH
TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN
KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

Tesis

Oleh:
Rostina

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2014
PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI
DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN
KEUANGAN KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

Oleh
Rostina

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


MAGISTER SAINS AKUNTANSI

pada

Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang tanggal 28 Oktober 1974, dengan ibu yang

bernama Hj. Ratu Puji dan bapak yang bernama Hi. Raden Jauhari Almarhum.

Penulis menyesaikan studi di Taman Kanak-kanak Aisiah Bandarlampung

diselesaikan tahun 1983, SDN 3 Rawalaut Bandar lampung diselesaikan tahun

1989, Sekolah Menengah Pendidikan Pertama Negeri 1 Rawalaut Bandarlampung

diselesaikan tahun 1991, Sekolah Menengah Pendidikan Atas Negeri 10 pahoman

Bandarlampung diselesaikan tahun 1994, kemudian penulis mengambil gelar S1

di Universitas Lampung program extension diselesaikan pada tahun 2001.

Penulis bekerja sebagai pengajar di STIE-Lampung sebagai dosen tetap bulan mei

2001 dan pernah mengajar di Universitas Malahayati selama 1 tahun, tahun 2007

penulis pindah bekerja di UMP-Lampung. Pada tahun 2011 bulan November

penulis melanjutkan S2 pada program studi Magister Ilmu Akuntansi.Tahun 2013

mengadakan fieldtrip di Yogyakarta mengunjungi UGM, saat ini penulis bekerja

di UMP-Lampung sebagai tenaga pengajar.

Bandarlampung, 12 September 2014

Penulis

Rostina
PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala anugerah Nya yang
melimpah di dalam kehidupanku dan keluarga, aku persembahkan karya kecil ini
kepada orang-orang terkasih yang selalu menyertai setiap langkah dalam suka
dan duka.

kepada :

kedua orang tua dan mertua, suamiku Sukirwan, anakku Nur Azizah Kirana,
kakak dan adikku yang selalu mendoakan keberhasilanku, mak yang selalu
memberi motivasi untuk selalu sabar dalam menjalankan segala hal dan mak
selalu memberi solusi dalam menghadapi permasalahan. Saya tidak akan
seperti ini tanpa dukungan mereka.

Angko, adon, ica, hanri, ayu, indah, zaki, salma, nabila, hanif, isma, cinta, wira,
fadil, kiesa, dan aulia yang selalu mendokan bibinya, terimakasih atas doanya
semoga kalian sukses smuanya.

Dan saya ucapkan terimakasih kepada temen-teman di PIA yang selslu


memberi motivasi kepadaku pada saat kuliah dan penyusunan tesis. Terutama
kepada pak Iswanto yang sudah banyak membantu dalam hal data, terimakasih
pak is dan juga mba nolita siregar thanks untuk semua bantuannya.
MOTO

“Tersenyumlah dan gembiralah selalu walaupun hatimu menangis,

karena banyak cobaan yang menderu dalam hidup ini, semoga Allah

swt selalu melindungi setiap langkah jalan yang benar”

“Barang siapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya itu adalah

untuk dirinya sendiri” (QS Al-Ankabut . 29:6)

Orang yang menimpuki dengan batu, kita membalas dengan buah.

Kesabaran adalah buah dari orang yang subur, subur ilmunya,

subur rezeki untuk menyongsong hari yang lebih cerah laksana

pelangi yang berwarna – warni.


SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini..

Tesis dengan judul ”Pengaruh Belanja Modal Dan Investasi Daerah Terhadap
Tingkat Kemandirian Keuangan Kabupaten Kota Se-Sumatera” adalah salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Akuntansi pada Program Magister
Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :


1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;
2. Ibu Susi Sarumpaet, Ph.D.,Akt selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu
Akuntansi Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Einde Evana, Akt. selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah
memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis.
4. Bapak Sudrajat, S.E.,M.cc., Akt, selaku Dosen Pembimbing Pendamping
yang telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan
tesis.
5. Ibu Susi Sarumpaet, S.E., M.B.A., Ph.D.,Akt selaku pembahas 1 yang telah
memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis.
6. Ibu Reni Octavia, S.E., M.Si selaku pembahas 2 yang juga telah memberikan
dukungan, saran, arahan dan waktunya selama penyusunan tesis.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang
sangat bermanfaat selama penulis berada di Magister Ilmu Akuntansi
8. Orang tua, Mertuaku yang telah memberikan dukungan moril maupun materil
serta senantiasa mendoakanku dalam setiap zikir dan sujudnya.
9. Suami, anaku Nur Azizah Kirana, Adik dan kakakku yang selalu memberikan
semangat, menghibur, dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan studinya.
10. Ponakan-ponakanku yang ku sayangi yang telah memberikan semangat dan
doa untuk penulis.
11. Nolita Siregar, S.E., yang telah menjadi sahabat maupun saudara bagi penulis.
terima kasih atas dukungan, semangat, dan nasehat yang diberikan.
12. Iswanto, S.E, M.S.Ak., yang telah banyak membantu penulis dalam hal data
penelitian. terima kasih atas dukungan, dan data yang diberikan.
13. Sahabat-sahabat terbaikku di PIA angkatan 2011 selama penulis menjalankan
studi. Melda, Nolita, Sadat dan Riza yang selalu memberikan masukan ke
penulis selama menyelesaikan penelitian ini.
14. Rekan-rekan PIA angkatan 2 : Dedy, Mba Ari, Mba Ratna, , Gustin, Dwi,
Rita, Aminah, Meidian, Liya, , Rico, Mujiman, Taufik, Nurcholis, Suhendar,
Rudy, Matson, Udin, Reza, Pak Adhi, Rosy, Dini, iik, Yulistia devi, Agus K.
15. Keluarga besar UMP-Lampung yang telah memberikan dukungan,
pengertian, dan doa selama penulis menjalankan studi.
16. Pengelola dan karyawan serta karyawati Magister Ilmu Akuntansi yang ikut
membantu kelancaran perkuliahan. .
17. Terimakasih untuk orang yang sudah terlibat dalam penelitian ini yang
terlewat disebutkan tetapi memiliki arti yang sama pentingnya bagi kehidupan
saya.

Semoga karya ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan semoga Allah memberikan
rahmat, hidayah dan ridho-Nya kepada kita semua.

Bandar Lampung, September 2014

Penulis,

Rostina
DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi……………………………………….………………………………...i

Daftar Tabel………………………………...……………………………………iii

Daftar Gambar………………………………………………………………...…iv

Daftar Lampiran………………………………………………………………….v

Bab I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang………………………………………………….……………1

1.2.Perumusan Masalah………………………….………………………………9

1.3.Tujuan Penelitian………………………..……………………………………9

1.4.Manfaat Penelitian…………………………..………………………………..9

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kerangka Teori Dan Hipotesis………….…………………………………..11

2.2.Kerangka Pikir………………………….……………….…………………..24

2.3.Kemandirian Keuangan Daerah………………………….………………....26

2.4.Belanja Modal………………………………………….………….………...30

2.5.Investasi Daerah…………………………………………….……….………36
2.5.1.Belanja Modal Terhadap Kemandirian Keuangan……………..…..45

2.5.2.Pengaruh Investasi Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah........48

Bab III METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Dan Sumber Data……………………….………………...…………....53

3.1.1.Jenis Penelitian……………………………………………………...53

3.1.2.Sumber Data…………………………………………………....…..53

3.2.Metode Pengumpulan Data………………………………...…..…...……....54

3.3.Objek Penelitian………………………...………………………..……….…54

3.4.Populasi Dan Sampel Penelitian………………………………….…………54

3.5.Variabel Penelitian……………………………………………….………….55

3.5.1.Kemandirian Keuangan……………………………….…………...55

3.5.2.Belanja Modal…………………………………………….………..64

3.5.3.Investasi Daerah…………………………………………………...64

3.5.1.1.Definisi Operasional……………………………………….64

3.5.1.2.Statistik Deskriptif……………………….………………...66

3.5.1.3.Uji Regresi Berganda…………………….………………...66

3.5.1.4.Uji Normalitas……………………………………………..68

3.5.1.5.Uji Multikolinieritas……………………………………….69
3.5.1.6.Uji Heteroskedastisitas…………………………………….69

3.5.1.7.Uji Autokorelasi……………………………………….…..70

3.5.1.8.Pengujian Hipotesis…………………………………..……71

Bab IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

4.1.Populasi Dan Sampel……………………………………………………….72

4.2.Statistik Deskriptif Penelitian………………………………………………72

4.3.Pengujian Asumsi Klasik…………………………….……………………..74

4.3.1.Uji Normalitas………………………………………………………..75

4.3.2.Uji Autokolerasi……………………………………………………...77

4.3.3.Uji Multikolinearitas…………………………………………………78

4.3.4.Uji Heteroskedastisitas………………………………………………79

4.4.Pembahasan………………………………………………………………..79

4.5.Model Uji Hipotesis……………………………………………….…….…80

4.5.1.Uji F………………………………………………..…………………80

4.5.2.Uji Statistik t………………………………………………………...81

4.6.Pengujian Hipotesis……………………………………………………….82

4.6.1.Hipotesis 1…………………………………………………………..83

4.6.2.Hipotesis 2…………………………………………….…………….84
4.7.Pembahasan Hasil………………………………………………….……...86

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan…………………………………….…………………….……89

5.2.Implikasi……………………………………………….…………….……90

5.3.Keterbatasan Dan Saran…………………………………………….…….91

5.3.1.Keterbatasan…………………………….……………………….….91

5.3.2.Saran……………………………………………….………….…….91

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

2.1.Asumsi Dasar Teori Stewardship…………………………………………...18

4.1.Statistik Deskriptif Untuk Variabel Dependen Tingkat Kemandirian Keuangan

Daerah……………………………………………………………………….73

4.2.Tabel Uji Normalitas………………………………………………………..76

4.3.Tabel Autokolerasi………………………………………………………….78

4.4.Tabel Multikolinearitas……………………………………………………..78

4.5.Tabel R Square………………………………………………...……………79

4.6.Tabel Uji F…………………………………………………………...……...80

4.7.Tabel Uji Statistik t……………………………………………………...…..81

4.8.Hasil Pengujian………………………………………...……………………82
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

1.a. Data Belanja Modal Kabupaten Kota Se-Sumatera

1.b. Data Investasi Kabupaten Kota Se-Sumatera

1.c. Data Kabupaten Kota Se-Sumatera Yang tidak Terdapat Investasi

1.d. Data Penelitian Yang sudah Diolah

Lampiran 2

Tabel Sebelum Transformasi Data

1. Tabel Variabel Yang Digunakan

2. Tabel Output Statistik Deskriptif

3. Tabel Output Uji Autukolerasi

4. Tabel Output Uji F

5. Tabel Output Uji Multikolenearitas

6. Tabel Output Uji Normalitas

Lampiran 3

Tabel Setelah Transformasi Data

1. Tabel Variabel Yang Digunakan

2. Tabel Output Statistik Deskriptif


3. Tabel Output Uji Autukolerasi

4. Tabel Output Uji F

5. Tabel Output Uji Multikolenearitas

6. Tabel Output Uji Normalitas

Lampiran 4

Gambar 4.1.Sebelum Transformasi Data

Gambar 4.2.Setelah Transformasi Data

Lampiran Kajian Terdahulu


DAFTAR GAMBAR

2.1.Kerangka Penelitian…………………………………………………….52

4.2.Grafik Normalitas………………………………………………………76
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap daerah kabupaten kota memiliki otonomi untuk mengatur daerahnya

termasuk juga didalam mengatur keuangan daerah, hal ini diatur dalam Undang-

Undang Otonomi Daerah No 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No 33 tahun

2004 tentang perimbangan keuangan baik pusat maupun daerah. Kemandirian

keuangan daerah sangat berperan aktif didalam laju perekonomian sehingga

menuntut pemerintah daerah melakukan tindakan yang bijaksana agar

perencanaan terhadap pembangunan didaerah tidak menjadi buruk. Adanya

kemandirian keuangan daerah berhubungan dengan kinerja organisasi pemerintah.

Meyers et all (2006) menyatakan untuk mencapai kinerja organisasi pemerintah

yang baik, diperlukan berbagai instrumen manajemen. Instrumen manajemen

tersebut meliputi aspek manajemen keuangan, manajemen kinerja, manajemen

sumber daya manusia dan manajemen kualitas. Menurut Meyers et all bahwa

instrumen manajemen keuangan di organisasi pemerintah meliputi berbagai

instrumen terkait dengan (1) adanya alokasi internal atas sumber daya kepada

unit-unit organisasi berbasiskan hasil yang telah dan hendak dicapai (2) adanya

otonomi manajemen internal yang diberikan pada unit organisasi yang lebih

rendah (3) adanya pengembangan terhadap system perhitungan biaya. Instrumen

manajemen kinerja meliputi (1) adanya pengendalian internal terhadap proses

pencapaian hasil dan sasaran unit organisasi (2) adanya pengembangan sistem

evaluasi dan pelaporan internal yang


2

memungkinkan manajemen yang bertanggung jawab dan atasannya dapat menilai

hasil yang dicapai (3) adanya perencanaan jangka panjang yang bersifat multi

tahun. Adapun instrumen manajemen sumber daya manusia meliputi adanya

upaya pengembangan sumber daya manusia yang berdasarkan pencapaian hasil.

Instrumen manajemen kualitas meliputi (1) penggunaan standar kualitas atas

pelayanan yang diberikan oleh organisasi (2) penggunaan survei kepuasan

pelanggan atau pengguna jasa organisasi (3) penggunaan sistem manajemen

kualitas (seperti balanced scorecard atau ISO) (4) penggunaan unit internal yang

memonitor kualitas dalam organisasi.

Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan

administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk

pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,

yang kemudian terakhir diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan daerah. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi

adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang

lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan

masyarakat lokal.

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, otonomi daerah diartikan sebagai

hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah berlaku efektif mulai 1 Januari


3

2001 mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan

umum dan daya saing daerah. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah

diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah

pusat, baik dalam hal pembiayaan pembangunan maupun dalam hal pengelolaan

keuangan daerah.

Pengelolaan keuangan daerah yang baik akan berpengaruh terhadap kemajuan

suatu daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara ekonomis,

efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta partisipasi,

transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi. Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya membutuhkan

sumberdaya manusia yang handal tetapi juga harus didukung oleh kemampuan

keuangan daerah yang memadai. Tingkat kemampuan keuangan daerah salah

satunya dapat diukur dari besarnya penerimaan daerah khususnya pendapatan asli

daerah. Upaya pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah

dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur menggunakan analisis

rasio keuangan pemerintah daerah. Pengukuran kemandirian keuangan pada

pemerintah daerah juga digunakan untuk menilai akuntabilitas dan kemampuan

keuangan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian maka

suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut

memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.

Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi

maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka

kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari
4

apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila

pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang

direncanakan, maka kinerjanya jelek. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran

kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada

dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan

berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas

entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut.

Menurut Halim dalam Sularso dan Restianto 2011 analisis keuangan adalah usaha

mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.

Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa

ukuran kinerja, yaitu derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, rasio

kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio keserasian,

dan pertumbuhan.

Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan adanya peningkatan pelayanan di

berbagai sektor terutama sektor publik, dengan adanya peningkatan dalam

layanan di sektor publik dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk

menanamkan investasinya di daerah. Pergeseran komposisi belanja merupakan

upaya logis yang dilakukan Pemda dalam rangka meningkatkan tingkat

kepercayaan publik yang dapat dilakukan dengan peningkatan investasi modal

dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap

lainnya (Maharani, 2011). Meningkatnya pengeluaran modal diharapkan dapat

meningkatkan pelayanan publik karena hasil dari pengeluaran belanja modal

adalah meningkatnya aset tetap daerah yang merupakan prasyarat dalam


5

memberikan pelayanan publik oleh Pemerintah daerah. Alokasi belanja modal

dibentuk melalui proses penyusunan anggaran. Tentunya dalam pengalokasian

belanja modal sebagai pendukung proses pembangunan, peran proses

penganggaran sangatlah signifikan. Penggunaan pendekatan penganggaran

berbasis kinerja tentunya akan semakin berpengaruh dalam penetapan tujuan dan

outcome sehingga diejawantahkan kedalam angka-angka pada pos belanja modal

APBD (Annisa, 2010).

Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan

prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk

fasilitas publik. Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, salah

satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana

adalah luas wilayah. Daerah dengan wilayah yang lebih luas tentulah

membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk

pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang

tidak begitu luas. Belanja modal sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan

masyarakat akan fasilitas- fasilitas umum seperti adanya jalan yang merupakan

penghubung transportasi antar daerah. Belanja modal akan dapat terpenuhi apabila

kemandirian keuangan daerah mengalami peningkatan, terutama yang berasal dari

pendapatan asli daerah, dan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Adanya pengaruh belanja modal terhadap kemandirian keuangan sesuai dengan

penelitian Sularso et all 2011 bahwa adanya pengaruh belanja modal dan

pertumbuhan ekonomi
6

Kemandirian keuangan juga berpengaruh terhadap investasi, peningkatan nilai

investasi daerah berpengaruh besar terhadap peningkatan perumbuhan ekonomi.

Adanya peningkatan perumbuhan ekonomi akan berpengaruh terhadap

kemandirian suatu daerah. Pencapaian kemandirian suatu daerah akan dapat

meningkatkan kesejahteran masyarakat. Adanya investasi dapat membuka

peluang pekerjaan bagi masyarakat terutama bagi kabupaten kota yang ada di

daerah. Investasi yang meningkat akan dapat meningkatkan pendapatan asli

daerah dan pertumbuhan ekonomi. Ayu Mita Utami 2011 menemukan bahwa

investasi berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah sedangkan investasi tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendapatan asli daerah berpengaruh

terhadap investasi, peningkatan PAD sangat berperan dalam kemandirian

keuangan suatu daerah. Peningkatan pendapatan yang diperoleh dari investasi

berguna dalam pembangunan suatu daerah. Investasi merupakan pengeluaran

pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomis, baik dari segi sosial maupun

masyarakat daerah pada umumnya, yang memang pada dasarnya membutuhkan

pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah.

Investasi dan belanja modal tentunya berasal dari APBD, nilai anggaran yang

didapat berasal dari penerimaan daerah yang berupa PAD dan bantuan anggaran

dari pemerintah pusat. Adanya perbedaan pendapatan asli daerah yang diterima

sehingga berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Untuk

mengurangi kesenjangan dan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan, lahirlah Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1999 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah.


7

Dana Perimbangan menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dan Peraturan

Pemerintah nomor 55 tahun 2005 terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi

Umum, Dana Alokasi Khusus.

Laporan keuangan setelah otonomi daerah yang memiliki kewenangan adalah

pemerintah daerah. Konsekuensi dari otonomi daerah yang berkenaan dengan

pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah maka Pemerintah Daerah dituntut

untuk menyajikan informasi keuangan yang sesuai dengan karakteristik kualitatif

laporan keuangan agar bermanfaat untuk pengambilan keputusan yaitu andal,

relevan, dapat dibandingkan dan dapat dipahami (PP Nomor 24 Tahun 2005: 32).

Menurut Halim (2005), salah satu tujuan laporan keuangan pemerintah yaitu,

pertanggungjawaban (accountability and stewardship) yang memiliki arti

memberikan informasi keuangan yang lengkap dan cermat dalam bentuk dan

waktu yang tepat, yang berguna bagi pihak yang bertanggungjawab yang

berkaitan dengan operasi unit-unit pemerintah. Hal ini sesuai dengan Ketentuan

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 31 yang

mengatur bahwa Kepala Daerah harus memberikan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan. Laporan Keuangan

tersebut setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan

Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan

keuangan perusahaan daerah (Nordiawan, 2006: 34).

Pemaparan diatas menunjukkan pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan

keuangan yang sesuai PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan, juga perlu dilakukan penilaian apakah Pemerintah Daerah yang


8

bersangkutan berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak.

Keberhasilan Pemerintah Daerah didalam menyusun Laporan Keuangan yang

baik adalah opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini merupakan

pernyataan atau pendapat profesional yang merupakan kesimpulan pemeriksa

mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.

Opini ini didasarkan pada kriteria (1) kesesuaian dengan Standar Akuntansi

Pemerintahan, (2) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (3)

kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan dan (4) efektivitas Sistem

Pengendalian Interen (www.bpk.go.id).

Jalan keluar dari permasalahan tersebut adalah Pemerintah Daerah mampu untuk

mengidentifikasi perkembangan kemandirian keuangan dari tahun ke tahun. Salah

satu alat untuk menganalisis kemandirian keuangan pemerintah daerah dalam

mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisa rasio keuangan

terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan

dan dilaksanakannya (Halim, 2005: 148). Penggunaan analisis rasio keuangan

secara luas telah digunakan oleh private sector, sedangkan pada lembaga publik

penggunaannya masih terbatas. Padahal dari hasil analisis dapat diketahui tingkat

kemandirian keuangan Pemerintah Daerah diharapkan dapat dijadikan suatu

acuan untuk meningkatkan kinerjanya dari tahun ke tahun. Untuk itu penulis

berkeinginan untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh belanja

modal, Investasi daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

kabupaten kota se-Sumatera”


9

1.2 . Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, penelitian yang penulis kemukakan diatas,

maka dapat dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian :

1. Apakah belanja modal berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat

kemandirian keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera

2. Apakah Investasi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian

keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera

1.3. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis :

1. Pengaruh belanja modal terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

kabupaten kota se-Sumatera

2. Pengaruh investasi terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten

kota se-Sumatera

1.4. Manfaat penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan bagi daerah agar dapat membuat suatu keputusan

yang tepat untuk menentukan pengelolan keuangan daerah agar dapat berdaya

guna untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik dimana hal ini akan

berpengaruh besar terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut

dan ini dapat menjadi suatu tantanan untuk manajemen didalam organisasi ke

pemeritahan khususnya disetiap daerah kabupaten kota.

2. Manfaat Teoritis
10

Sebagai bahan referensi dan sumbangan yang nyata dalam mengisi pemikiran

untuk pengembangan penelitian selanjutnya dalam literature yang berguna

untuk pengetahuan khususnya dalam ilmu di bidang sektor publik.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori dan Hipotesis

Grand theory yang mendasari penelitian ini adalah bagian dari agency theory

yaitu stewardship theory (Donaldson et all, 1991) dengan judul “Toward A

Stewardship Theory Of Management”. Dalam penelitian ini, mereka

menemukan bahwa ada 2 faktor yang membedakan antara Agency Theory dan

Stewardship Theory. Berikut ini mengenai Teori Stewardship :

Teori Stewardship
Model manusia Aktualisasi diri

Perilaku Melayani orang lain.


Mekanisme psikologi : Kebutuhan yang lebih tinggi
(pertumbuhan, prestasi, aktualisasi
diri)

Motivasi Intrinsik

Perbandingan Sosial Prinsipal

Identifikasi Menilai Komitmen Tinggi(pakar,


referen)
Kekuasaan
Perseorangan
Mekanisme situasional: Berorientasi partisipasi

Filosofi manajemen Kepercayaan


12

Teori Stewardship
Orientasi resiko Jangka panjang

Kerangka waktu Perbaikan kinerja

Tujuan Kebersamaan

Perbedaan Budaya Rentang kekuasaan rendah

Teori stewardship menggambarkan situasi dimana manajemen tidaklah

termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil

utama mereka untuk kepentingan organisasi. Teori tersebut mengasumsikan

adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi.

Kesuksesan organisasi menggambarkan maksimalisasi utilitas kelompok

principals dan manajemen. Maksimalisasi utilitas kelompok ini pada akhirnya

akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi

tersebut.

Teori stewardship dapat diterapkan pada penelitian akuntansi organisasi sektor

publik seperti organisasi pemerintahan (Morgan, 1996; David, 2006 dan Thorton,

2009) dan non profit lainnya (Vargas, 2004; Caers Ralf, 2006 dan Wilson 2010)

yang sejak awal perkembangannya, akuntansi organisasi sektor publik telah

dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi hubungan antara

stewards dengan principals. Akuntansi sebagai penggerak informasi keuangan

(driver) berjalannya transaksi kearah yang semakin kompleks dan diikuti dengan

tumbuhnya spesialisasi dalam akuntansi dan perkembangan organisasi sektor

publik. Kondisi semakin kompleks dengan bertambahnya tuntutan akan

akuntabilitas pada organisasi sektor publik, principal semakin sulit untuk


13

melaksanakan sendiri fungsi-fungsi pengelolaan. Pemisahan antara fungsi

kepemilikan pada masyarakat dengan fungsi pengelolaan pada pemerintah

menjadi semakin nyata. Berbagai keterbatasan, pemilik sumber daya (capital

suppliers/principals) mempercayakan (trust = amanah) pengelolaan sumber daya

tersebut kepada pihak lain (steward = manajemen) yang lebih capable dan siap.

Kontrak hubungan antara stewards dan principals atas dasar kepercayaan (amanah

= trust), bertindak kolektif sesuai dengan tujuan organisasi, sehingga model yang

sesuai pada kasus organisasi sektor publik adalah stewardship theory. Teori ini

merupakan penatalayanan dimana kaitannya terhadap organisasi didalam

kepemerintahan. Menurut Mahsun 2010 pemerintahan yang baik harus memiliki

akuntabilitas kinerja yang baik. Akuntabilitas didalam sektor publik terdiri dari :

1. Akuntabilitas Kinerja

Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai bentuk

pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau pekerja

individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu)

bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai

kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan

pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala

aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi

amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut. Makna akuntabilitas ini merupakan konsep filosofis

inti dalam manajemen sektor publik. Dalam konteks organisasi pemerintah,

sering ada istilah akuntabilitas publik yang berarti pemberian informasi dan

disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang
14

berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah,

harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak

publik.

Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan, dan

pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai

komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik

diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi

seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang

sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas

menjadi lebih luas dari sekedar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada

otoritas yang lebih tinggi. Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah spektrum

yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik sehingga

dapat digunakan untuk menilai kinerja, responsivitas, dan juga moralitas dari para

pengemban amanah publik. Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini

menyadarkan kita bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggungjawab

kepada otoritas yang lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga

bertanggungjawab kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat,

media massa, dan banyak stakeholders lain. Jadi, penerapan akuntabilitas ini, di

samping berhubungan dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan

legal, juga harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk

akuntabilitas formal yang ditetapkan.

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu (1) akuntabilitas vertikal dan

(2) akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban

atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggung-
15

jawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban

daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR.

Pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat

luas.

2. Akuntabilitas dengan Responsibilitas

Istilah akuntabilitas dan responsibilitas (responsibility) sering didefinisikan sama

yaitu pertanggungjawaban. Dalam rangka memahami konsep akuntabilitas sangat

dibutuhkan suatu analisis yang jelas dan mendalam sehingga tidak tumpang tindih

dengan pengertian responsibilitas. Konsep akuntabilitas ini dijabarkan dengan

sangat sederhana oleh berbagai referensi. Dalam literatur Australia menurut

Donaldson et all 1991, bahwa konsep akuntabilitas ini sering dipahami dalam dua

pengertian, (1) berkaitan dengan virtually interchangeable (dapat dipertukarkan

dengan sebenar-benarnya), dan (2) berkaitan dengan closely related (terdapat

saling keterkaitan yang bersifat tertutup). Sementara itu, responsibilitas mem-

punyai sejumlah konotasi termasuk di dalamnya kebebasan untuk bertindak,

kewajiban untuk memuji dan menyalahkan, dan perilaku baik yang merupakan

bagian dari tanggung jawab seseorang.

Jadi akuntabilitas dan resposibilitas saling berhubungan sebagai bagian dari sistem

yang menyeluruh. Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa akuntabilitas lebih

baik dan berbeda dengan resposibilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan

/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.

Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya

yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan prinsipal, yang mewakili dengan

yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu, kedua konsep tersebut sebetulnya juga
16

mempunyai perbedaan fokus dan cakupannya. Responsibility lebih bersifat

internal sebagai pertanggungjawaban bawahan kepada atasan yang telah

memberikan tugas dan wewenang, yang biasanya terbatas pada bidang keuangan

saja, sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal sebagai tuntutan

pertanggungjawaban dari masyarakat terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh

para pejabat atau aparat. Menurut Mahsun 2010 bahwa ruang lingkup

akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja, tetapi meliputi:

1. Fiscal Accountability
Akuntabilitas yang dituntut masyarakat berkaitan pemanfaatan hasil perolehan
pajak dan retribusi.
2. Legal accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang maupun
peraturan dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pemegang amanah.
3. Program accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mencapai
program-program yang telah ditetapkan
4. Process accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengolah dan
memberdayakan sumber-sumber potensi daerah secara ekonomi dan efisien.
5. Outcome accountability
Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana efektivitas hasil dapat
bermanfaat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat

3. Akuntabilitas dan Stewardship

Istilah akuntabilitas juga sering dipersamakan dengan stewardship yaitu keduanya

merupakan pertanggungjawaban. Sebenarnya, akuntabilitas merupakan konsep

yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas

suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk

melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada pertanggungjawaban oleh

seorang yang diberi amanah kepada pemberi tanggung jawab dengan kewajiban

membuat pelaporan dan pengungkapan secara jelas.


17

4. Dimensi Akuntabilitas

Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik.

Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik

untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan hanya

pertanggungjawaban vertical. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya

dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja lembaga

sektor publik.

Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri

atas beberapa dimensi. Ellwood dalam Mahsun (2010) menjelaskan empat

dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu:

1. Akutabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for Probity


and Legality)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan
(abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan
adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam
penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam
melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi
akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi.
Akuntabilitas proses termanifestasi melalui pemberian pelayanan publik yang
cepat, responsive, dan murah biaya.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses
dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan
pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber
inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan
publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan
akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan terhadap proses tender
untuk melaksanakan proyek-proyek publik. Yang harus dicermati dalam
kontrak tender adalah apakah proses tender telah dilakukan secara fair
melalui Compulsory Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan
melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan
18

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik


pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah
terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.

Teori stewardship sering disebut sebagai teori pengelolaan (penatalayanan)

dengan beberapa asumsi-asumsi dasar (fundamental assumptions of stewardship

theory) ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 2.1

Asumsi Dasar Teori Stewardship

Manager as Stewards

Approach To Governance Sociological and Psychological

Model of human behaviour Collectivistic, pro-organizational,


trustworthy

Managers Motivated by Principal objectives

Manager-Principal Interst Covergence

Structures That Facilitate and Empower

Owners Attitude Risk-Propensity

The Principal-Manager Trust


Relantionship Relly on

Sumber : Podrug, N (2011:406)

Menurut Podrug beberapa pertimbangan penggunaan stewardship theory

sehubungan dengan masalah penelitian ini :

1. Manajemen sebagai stewards (pelayan/penerima amanah/pengelolah)


Stewardship theory memandang bahwa pemerintah sebagai
“stewards/penatalayanan”, akan bertindak dengan penuh kesadaran, arif dan
bijaksana bagi kepentingan masyarakat. Pemerintah Daerah bertindak sebagai
stewards, penerima amanah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi
organisasi dan para pengguna informasi keuangan pemerintah, baik secara
langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakilnya.
19

2. Pendekatan governance menggunakan sosiologi dan psikologi


Teori stewardship menggunakan pendekatan governace atas dasar psikologi
dan sosiologi yang telah didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi
manajemen sebagai stewards (pelayan) dapat termotivasi untuk bertindak
sesuai dengan keinginan principal dan organisasi. Implikasinya pada
penelitian ini adalah Pemda memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan
hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga pertimbangan sosiologis
maupun psikologis masyarakat guna mencapai good governance. Pendekatan
governace yaitu menghasilkan tingkat kemandirian keuangan dengan
mempertimbangkan faktor sosiologi dan psikologi. Pertimbangan faktor
sosiologi dilakukan pada saat efektivitas pengendalian intern dalam konteks
lingkungan pengendalian berupa nilai etika dan integritas. Pertimbangkan
faktor psikologi dilakukan pada saat analisis variabel kemampuan manajemen
berupa motivasi pimpinan pemda dalam melaksanakan fungsi-fungsi
manajemen.
3. Model Manusia, berprilaku kolektif untuk kepentingan organisasi
Model of man pada stewardship theory didasarkan pada steward (pelayan)
yang memiliki tindakan kolektif atau berkelompok, bekerja sama dengan
utilitas tinggi dan selalu bersedia untuk melayani. Terdapat suatu pilihan
antara perilaku self serving dan pro-organisational. Steward akan mengantikan
atau mengalihkan self serving untuk bertindak kooperatif. Kepentingan antara
steward dan principal tidak sama, tetapi steward tetap akan menjunjung tinggi
nilai kebersamaan. Steward berpedoman bahwa terdapat utilitas yang lebih
besar pada tindakan kooperatif dan tindakan tersebut dianggap tindakan
rasional yang dapat diterima, misalnya dengan melakukan efisiensi biaya dan
peningkatan kualitas/kinerja.
Implikasi pada penelitian ini bahwa pemerintah kabupaten atau kota se-
Sumatera dan kinerja keuangan secara kolektif (bersama-sama) dan kooperatif
mengarahkan seluruh kemampuan dan kualitasnya pada belanja modal dan
pembiayaan investasi dalam pelayanan terhadap masyarakat.
4. Motivasi pimpinan sejalan dengan tujuan principals
Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi para pimpinan
tidak termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada
sasaran utama untuk kepentingan organisasi sehingga steward (manajemen)
bertindak sesuai keinginan prinsipal.
Konteks penelitian ini adalah tingkat kemandirian keuangan yang baik,
terdapat belanja modal dan investasi yang cenderung bersikap sesuai dengan
perspektif teori pengelolaan (stewardship theory). Seorang aktor yang rasional
yang tidak dimotivasi oleh keinginan individualnya, tetapi lebih sebagai
penerima amanah (penatalayanan) yang memiliki motif yang sejalan dengan
tujuan prinsipal.
5. Kepentingan manajer-principal adalah konvergensi
Teori stewardship mengasumsikan bahwa kepentingan legislatif dan principal
adalah kovergensi artinya keduanya mempunyai tujuan yang sama menuju
20

satu titik yaitu untuk kepentingan organisasi. Kepentingan organisasi tercapai


maka kepentingan individu juga terpenuhi.
6. Struktur berupa fasilitasi dan pemberdayaan
Teori stewardship menggunakan struktur yang memfasilitasi dan
memberdayakan. Penelitian ini menggunakan variabel belanja modal dan
investasi. Penggunaan variabel tersebut, diharapkan dapat memfasilitasi dan
memberdayakan pengendalian intern menjadi efektif guna menghasilkan
tingkat kemandirian keuangan yang baik.
7. Sikap pemilik mempertimbangkan risiko
Teori stewardship cenderung mempertimbangkan risiko. Penelitian ini
menguji kinerja keuangan dilihat dari tingkat kemandirian keuangan dengan
mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin akan dihadapi untuk dapat
menghasilkan kinerja keuangan yang baik.
8. Hubungan principals-manajemen saling percaya
Stewardship theory dibangun atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia
yakni manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan
penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain.
Filosofis tersebut tersirat dalam hubungan fidusia antara principals dan
manajemen. Stewardship theory memandang manajemen sebagai institusi
yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi
kepentingan principals maupun organisasi.
Implikasi teori stewardship terhadap penelitian ini, dapat menjelaskan eksistensi

Pemerintah Daerah sebagai suatu lembaga yang dapat dipercaya untuk bertindak

sesuai dengan kepentingan publik dengan melaksanakan tugas dan fungsinya

dengan tepat, membuat pertanggungjawaban keuangan yang diamanahkan

kepadanya, sehingga tujuan ekonomi, pelayanan publik maupun kesejahteraan

masyarakat dapat tercapai secara maksimal. Untuk melaksanakan tanggungjawab

tersebut maka stewards mengarahkan semua kemampuan dan keahliannya dalam

mengefektifkan pengendalian intern untuk dapat menghasilkan laporan informasi

keuangan yang berkualitas.

Informasi keuangan dilihat dari kinerja keuangan pemerintah melalui anggaran

pemerintah daerah. Anggaran yang dilakukan pemerintah daerah sendiri di lihat

dari keadaan tingkat kemandirian keuangan daerah. Tingkat kemandirian


21

keuangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan daerah,

untuk itu Kabupaten atau kota se- Sumatera dalam melaksanakan pembangunan

perlu adanya dana yang dialokasikan secara khusus. Kinerja keuangan yang baik

dapat meningkatkan kemandirian daerah terutama dalam melaksanakan

pembangunan disetiap daerah kabupaten se-Sumatera. Kinerja keuangan daerah

adalah sebagaimana kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan

keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai

pendapatan asli daerah yang harus terus menerus dipacu pertumbuhannya oleh

pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi PAD akan sangat berperan

dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan sebagai kinerja

pemerintah daerah (Florida, 2007).

Penelitian sebelumnya yang menganalisis hubungan belanja modal pemerintah

terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya Alexiou (2009), bahwa pertumbuhan

ekonomi dipengaruhi oleh belanja modal pemerintah, belanja konsumsi

pemerintah, investasi swasta, tenaga kerja, perdagangan bebas serta bantuan luar

negeri. Sementara pada penelitian Sularso (2011) hubungan antara belanja modal

dan pertumbuhan ekonomi disusun dalam bentuk simultan dimana kinerja

keuangan daerah berupa derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan,

efektivitas PAD dan derajat kontribusi BUMD berpengaruh terhadap alokasi

belanja modal dan belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berbagai belanja yang dialokasikan pemerintah, hendaknya memberikan manfaat

langsung bagi masyarakat. Untuk itu, didalam melaksanakan kepentingan jangka

pendek, pungutan yang bersifat retribusi lebih relevan dibanding pajak. Alasan
22

yang mendasari, pungutan ini berhubungan secara langsung dengan masyarakat.

Masyarakat tidak akan membayar apabila kualitas layanan publik tidak

mengalami peningkatan (Mardiasmo 2002).

Otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004, diartikan sebagai hak wewenang

dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Otonomi daerah membawa dua implikasi khusus bagi

pemerintah daerah yaitu semakin meningkatnya biaya ekonomi (high cost

economy), dan yang kedua adalah efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu

desentralisasi membutuhkan dana yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan

di daerah (Handayani 2009).

Menurut Khusaini (2006), desentralisasi merupakan bentuk pemindahan tanggung

jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari

pemerintah pusat ke tingkat pemerintah daerah. Desentralisasi dapat pula diartikan

sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan,

baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh

pemerintah pusat. Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiscal dalam

bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan)

kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan dan

sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal

memerlukan adanya pergeseran beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan

(revenue) dan atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang

lebih rendah (Handayani 2009). Faktor yang sangat penting dalam menentukan
23

desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang

(otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain juga

penting adalah kemampuan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli

daerahnya (PAD).

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah, pada pasal 1 memberikan pengertian bahwa “Otonomi

daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pemahaman lain

dapat dilihat dari para ahli, bahwa dalam membahas dan mengungkap masalah

otonomi daerah, terdapat 4 hal untuk mengetahui dan menilai bahwa daerah dapat

mengatur dan mengurus rumah tangganya.

1. Adanya urusan-urusan yang diserahkan oleh pemerintah atasannya.

2. Pengaturan dan pengurusan dilaksanakan atas inisiatif dan kebijakan sendiri.

3. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan perlengkapan sendiri.

4. Untuk membiayai urusan yang diserahkan itu diperlukan sumber keuangan

sendiri.”

Menyimak hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa otonomi daerah terjadi

apabila terdapat pemerintahan tingkat atas yang memberikan atau menyerahkan

beberapa atau sebahagian urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada

pemerintah tingkat dibawahnya untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya

sendiri, atau dengan kata lain bahwa pengaturan yang telah dilaksanakan oleh

aparat pemerintah daerah berdasarkan atas inisiatif dan kebijaksanaannya.


24

Demikian pula dalam hal pembiayaannya yang bersumber pada pendapatan yang

dimiliki oleh daerah atau pendapatan luar sebagai suatu upaya yang dilakukan

sendiri sesuai dengan wewenang yang dimiliki. Sesuai dengan uraian tentang cara

peningkatan sumber pendapatan asli daerah ini, maka suatu daerah dalam

melaksanakan otonomi memerlukan sumber-sumber pembiayaan, dan oleh karena

itu daerah harus memiliki kemampuan untuk menggali sumber-sumber daya yang

tersedia dan potensial guna memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah.

2.2. Kerangka Pikir

Dengan meningkatnya alokasi belanja modal, pemerintah berharap kinerja yang

dilakukan oleh para pegawai juga akan mengalami peningkatan. Menggenjot

belanja modal adalah perkara sangat penting karena meningkatkan produktivitas

perekonomian. Semakin banyak belanja modal semakin tinggi pula produktivitas

perekonomian dalam hal ini adalah kinerja pemerintah daerah. Belanja modal

berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan

lapangan kerja. Upaya menggenjot belanja modal jelas harus disertai dengan

meningkatnya kemampuan pemerintah pusat dan daerah menyerap anggaran.

Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses tender untuk proyek-

proyek yang dibiayai dari anggaran belanja modal. Dengan begitu, proyek-proyek

itu pun cepat bergulir dan roda ekonomi bergerak (wordpress.com).

Berbagai belanja yang dialokasikan pemerintah, hendaknya memberikan manfaat

langsung bagi masyarakat. Belanja modal yang dilakukan pemerintah dalam hal

ini melayani kebutuhan masyarakat seperti pembangunan sarana prasarana

contohnya jalan, bangunan, jembatan. Hal ini tentunya menuntut pemerintah

untuk menyediakan dana yang berasal dari keuangan daerah untuk membangun
25

fasilitas tersebut. Pemerintah dapat melakukan belanja modal dengan melihat

kondisi dari keuangan daerah. Keuangan daerah ini dilihat dari kemandirian suatu

daerah yang tidak tergantung dengan dana bantuan pusat tapi lebih mengandalkan

dari hasil sumber – sumber yang ada didaerah tersebut. Kekayaan yang berasal

dari sumber – sumber daerah dapat meningkatkan derajat kemandirian suatu

daerah. Kemandirian keuangan daerah ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi

suatu daerah alasan yang mendasar ini ditinjau dari penelitian Adi 2007 bahwa

adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan

pendapatan asli daerah.

Dalam penelitian ini juga penulis menghubungkan antara investasi daerah dengan

kemandirian keuangan daerah yang memiliki pengaruh, hal ini dapat terlihat

dalam jangka waktu panjang. Investasi tidak dapat dilihat dengan waktu yang

pendek. Penulis dalam hal ini mengambil investasi daerah berupa penyertaan

modal saham. Investasi meningkat akan meningkatkan pula pendapatan daerah

dan ini berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan suatu daerah

Kemandirian keuangan daerah bila dikaitkan dengan investasi sangat berkaitan

karena investasi dapat meningkatkan keuangan daerah tetapi jangka waktu yang

dapat terlihat bahwa untuk investasi dalam jangka panjang. Hal ini bisa dilihat

dengan adanya peningkatan pendapatan yang berasal dari investasi dearah melalui

Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB). Investasi ditujukan untuk

mendapatkan manfaat ekonomik bagi daerah seperti bunga, deviden dan royalty

atau manfaat social dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.


26

Kemandirian keuangan daerah adalah sebagaimana kemampuan pemerintah

daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli

daerah yang dikatakan sebagai pendapatan asli daerah yang harus terus menerus

dipacu pertumbuhannya oleh- pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi

PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat

dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah (Florida, 2007).

Belanja modal pada umumnya dialokasikan untuk perolehan asset tetap yang

dapat digunakan sebagai sarana pembangunan daerah. Dengan berkembang

pesatnya pembangunan diharapkan terjadi peningkatan kemandirian daerah dalam

membiayai kegiatannya terutama dalam hal keuangan. Untuk dapat mengetahui

terjadinya peningkatan kemandirian daerah, pendapatan asli daerah bisa dijadikan

sebagai tolak ukurnya, karena PAD ini sendiri merupakan komponen yang penting

yang mencerminkan bagaimana sebuah kota atau kabupaten se-Sumatera dapat

mendanai sendiri kegiatannya melalui komponen pendapatan yang murni

dihasilkan melalui daerah tersebut.

2.3. Kemandirian Keuangan Daerah

Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengatur tingkat

kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Dalam Peraturan

Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah

adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala

bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah

tersebut dalam kerangka APBD.


27

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan

daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah

dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dikeluarkannya

undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah

yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang

lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain

(Nataluddin, 2001:167):

- Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.

- Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.

- Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan

- Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah

Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan

otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167)

Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan

kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan

menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahannya.

Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar

Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan

terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan

daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.


28

Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu pelimpahan wewenang

pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan

kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka

peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi

sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus

dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan

efisien.

Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan

anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa

terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat

kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan /

kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)

Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus

dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran

kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Hersey

dan Kenneth Blanchard dalam Nataludin, 2001:168-169) memperkenalkan

“Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah

- Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada

kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan

otonomi daerah)
29

- Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai

berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan

otonomi.

- Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang,

mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati

mampu melaksanakan urusan otonomi.

- Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada

karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan

urusan otonomi daerah.

Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola

hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam

melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat

dikemukakan tabel sebagai berikut :

Tabel
Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Kemandirian Pola

Keuangan (%) hubungan

Rendah sekali 0%-25% Instruktif

Rendah 25%-50% Konsultatif

Sedang 50%-75% Partisipatif

Tinggi 75%-100% Delegatif

Sumber : Abdul Halim (2002:169)

- Pengukuran Kemandirian keuangan daerah

- Rasio Kemandirian Keuangan Daerah


30

RK = PENDAPATAN ASLI DAERAH


S=
BANTUAN PEM PUSAT/ PROVINSI DAN PINJAMAN

Sumber : Abdul Halim (2008)

- Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap

sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti

bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal

(terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian

pula sebaiknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat

partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio

kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar

pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan

masyarakat yang tinggi.

2.4. Belanja Modal.

- Sumber dan pengertian belanja modal

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang

memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya

adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan

atau menambah masa manfaat,meningkatkan kapasitas dan kualitas

aset. Belanja Modal sendiri terdiri dari: (1) BelanjaModal Tanah, (2) Belanja

Modal Peralatan dan Mesin, (3) Belanja Modal Gedung danBangunan, (4)

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan (5) Belanja Modal

Fisik Lainya.Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan


31

nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Mekanisme

Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara, pengeluaran untuk beban BelanjaModal dilakukan melalui

mekanisme pembayaran langsung.

- Penggunaan belanja modal

1. 523 Belanja pemeliharaan

2. 5231 Belanja Pemeliharaan

3. 52311 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan

4. 523111 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan

Pengeluaran pemilharaan/perbaikan yang dilaksanakan sesuai dengan

Stándar Biaya Umum. Dalam rangka mempertahankan gedung dan

bangunan kantor dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sampai

dengan 2%; dan pemeliharaan/perawatan halaman/taman gedung/kantor

agar berada dalam kondisi normal (tidak memenuhi syarat kapitalisasi aset

tetap gedung dan bangunan).

5. 523119 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan Lainnya

Pengeluaran untuk membiayai pemeliharaan rumah dinas dan rumah

jabatan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan tugas para pejabat seperti

istana negara, rumah Jabatan

Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota/Mahkamah Agung/Ketua Pengadilan

Negeri/Pengadilan Tinggi/Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan

Negeri/Pimpinan/Ketua Lembaga Non Kementerian/TNI/Polri/asrama

yang terdapat di semua Kementerian/Lembaga Non Kementerian,

termasuk TNI, Polri/Aula yang pisah dengan Gedung Kantor/Gedung


32

Kesenian, Art Center/Gedung Museum beserta isinya termasuk taman,

pagar agar berada dalam kondisi normal.

6. 52312 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin

7. 523121 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan

peralatan dan mesin agar berada dalam kondisi normal yang tidak

memenuhi syarat kriteria kapitalisasi aset tetap peralatan dan mesin.

8. 523129 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin Lainnya

Pengeluaran lainnya untuk pemeliharaan/perbaikan untuk

mempertahankan peralatan dan mesin agar berada dalam kondisi normal

yang tidak memenuhi syarat kriteria kapitalisasi aset tetap peralatan dan

mesin.

9. 52313 Belanja Biaya Pemeliharaan Jalan, Irigasi dan Jaringan

10. 523131 Belanja Biaya Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan jalan

dan jembatan agar berada dalam kondisi normal yang nilainya tidak

memenuhi kriteria kapitalisasi jalan dan jembatan.

11. 523132 Belanja Biaya Pemeliharaan Irigasi

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan irigasi

agar berada dalam kondisi normal yang nilainya tidak memenuhi kriteria

kapitalisasi.

12. 523133 Belanja Biaya Pemeliharaan Jaringan


33

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan

jaringan agar berada dalam kondisi normal yang tidak memenuhi kriteria

kapitalisasi jaringan.

13. 52319 Belanja Biaya Pemeliharaan Lainnya

14. 523199 Belanja Biaya Pemeliharaan Lainnya

Pengeluaran untuk pemeliharaan aset tetap selain gedung dan bangunan,

peralatan dan mesin serta jalan, irigasi dan jaringan agar berada dalam

kondisi normal termasuk pemeliharaan tempat ibadah, bangunan

bersejarah seperti candi, bangunan peninggalan Belanda, Jepang yang

belum diubah posisinya, kondisi bangunan/Bangunan Keraton/Puri bekas

kerajaan, bangunan cagar alam, cagar budaya, makam yang memilki nilai

sejarah.

- Jenis Belanja Modal

Pengeluaran untuk pembayaran perolehan asset dan/atau menambah nilai asset

tetap/asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan

melebihi batas minimal kapitalisasi asset tetap/asset lainnya yang ditetapkan

pemerintah.

Dalam pembukuan nilai perolehan aset dihitung semua pendanaan yang

dibutuhkan hingga asset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan. Termasuk

biaya operasional panitia pengadaan barang/jasa yang terkait dengan pengadaan

asset berkenaan.
34

Kriteria kapitalisasi dalam pengadaan/pemeliharaan barang/asset merupakan

suatu tahap validasi untuk penetapan belanja modal atau bukan dan merupakan

syarat wajib dalam penetapan kapitalisasi atas pengadaan barang/asset:

1. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya asset

dan/ atau bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis asset berkenaan

2. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya

kapasitas, peningkatan standar kinerja, atau volume asset.

3. Memenuhi nilai minimum kapitalisasi dengan rincian sebagai berikut:

a. Untuk pengadaan peralatan dan mesin batas minimal harga pasar per

unit barang adalah sebesar Rp 300.000,-

b. Untuk pembangunan dan/ atau pemeliharaan gedung dan bangunan

perpaket pekerjaan adalah sebesar Rp 10.000.000,-

4. Pengadaan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk diserahkan/dipasarkan

kepada masyarakat atau entitas lain di luar pemerintah.

Belanja modal dipergunakan untuk antara lain:

1. Belanja modal tanah

Seluruh pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian,

balik nama, pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan tanah,

pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat

administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada

saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap

digunakan/dipakai.
35

2. Belanja modal peralatan dan mesin

Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam

pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya

instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan

sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan.

3. Belanja modal gedung dan bangunan

Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual

sampai dengan gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian

atau biaya konstruksi, termasuk biaya pengurusan IMB, notaris, dan pajak

(kontraktual).

Dalam belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang

terkait dengan perolehan gedung dan bangunan.

4. Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan

Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan

sampai siap pakai meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-

biaya lain yang dikeluarkan sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan

tersebut siap pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan

penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai aset, dan di

atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan.

5. Belanja modal lainnya


36

Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk

pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat

diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan

Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain).

Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold),

pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang

purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku

dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan

kepada masyarakat.

Termasuk dalam belanja modal ini adalah belanja modal non fisik yang

besaran jumlah kuantitasnya dapat teridentifikasi dan terukur.

6. Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU)

Pengeluaran untuk pengadaan/perolehan/pembelian aset yang dipergunakan

dalam rangka penyelenggaraan operasional BLU.

2.5. Investasi Daerah

- Pengertian

Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan barang dalam

jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi

Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat

lainnya.

Investasi Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Menurut Simbolon(2010)

bentuk Investasi Pemerintah dilakukan dalam bentuk Investasi surat berharga


37

dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi.

Investasi Surat Berharga meliputi:

a. investasi dengan cara pembelian saham; dan/atau

b. investasi dengan cara pembelian surat utang.

Investasi ini dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah.

1. Investasi Langsung.

Dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat

lainnya.

Investasi Langsung meliputi:

1. Penyertaan Modal; dan/atau

2. Pemberian Pinjaman.

Investasi Langsung dapat dilakukan dengan cara:

1. Kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan

Usaha dan/atau BLU dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta

(Public Private Partnership); dan/atau

2. Kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan

Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan

hukum asing, dengan selain pola kerjasama pemerintah dan swasta (Non

Public Private Partnership).

Bidang Investasi Langsung meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya.


38

Khusus pada Investasi Langsung pada bidang lainnya, ditetapkan oleh Menteri

Keuangan.

- Sumber dana Investasi

Menurut Simbolon (2010) bahwa sumber dana investasi pemerintah dapat

berasal dari:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

2. Keuntungan investasi terdahulu;

3. Dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi

Pemerintah; dan/atau

4. Sumber-sumber lainnya yang sah.

Sumber dana Investasi Pemerintah ditempatkan pada Rekening Induk Dana

Investasi yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Sumber dana Investasi

Pemerintah ditempatkan pada Badan Investasi Pemerintah dan dikelola secara

tersendiri oleh Badan Investasi Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan, pencairan, dan

pengelolaan dana dalam Rekening Induk Dana Investasi diatur dalam

Peraturan Menteri Keuangan.

- Kewenangan, Lingkup dan Pelaksanaan Investasi Pemerintah

- Lingkup

Lingkup pengelolaan Investasi Pemerintah meliputi:

a. perencanaan;

b. pelaksanaan investasi;
39

c. penatausahaan dan pertanggungjawaban investasi;

d. pengawasan; dan

e. divestasi.

- Kewenangan

Kewenangan pengelolaan Investasi Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri

Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Kewenangan pengelolaan

Investasi Pemerintah meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan regulasi sebagaimana, Menteri

Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung

jawab:

1. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan

Investasi Pemerintah;

2. menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi

Pemerintah; dan

3. menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek

penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat penggantian atas hak

kekayaan intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan

Perjanjian Investasi.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan supervisi, Menteri Keuangan selaku

pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:

1. melakukan kajian kelayakan dan memberikan rekomendasi atas

pelaksanaan Investasi Pemerintah;

2. memonitor pelaksanaan Investasi Pemerintah yang terkait dengan


40

dukungan pemerintah;

3. mengevaluasi secara berkesinambungan mengenai pembiayaan dan

keuntungan atas pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam jangka waktu

tertentu; dan

4. melakukan koordinasi dengan instansi terkait khususnya sehubungan

dengan Investasi Langsung dalam penyediaan infrastruktur dan bidang

lainnya, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan kerjasama.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional, Menteri Keuangan selaku

pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:

1. mengelola Rekening Induk Dana Investasi;

2. meneliti dan menyetujui atau menolak usulan permintaan dana Investasi

Pemerintah dari Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota,

BLUD, dan/atau badan hukum asing;

3. mengusulkan rencana kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

4. dana atau barang dalam rangka Investasi Pemerintah;

5. melakukan Perjanjian Investasi dengan Badan Usaha terkait dengan

penempatan dana Investasi Pemerintah;

6. melakukan pengendalian atas pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan

Investasi Pemerintah;

7. mengusulkan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;

8. mewakili dan melaksanakan kewajiban serta menerima hak pemerintah

yang diatur dalam Perjanjian Investasi;


41

9. menyusun dan menandatangani Perjanjian Investasi;

10. mengusulkan perubahan Perjanjian Investasi;

11. melakukan tindakan untuk dan atas nama pemerintah apabila terjadi

sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian Investasi;

12. melaksanakan Investasi Pemerintah dan Divestasinya; dan

13. apabila diperlukan, dapat mengangkat dan memberhentikan Penasihat

Investasi.

Untuk menyelenggarakan kewenangan supervisi, Menteri Keuangan

membentuk Komite Investasi Pemerintah yang bersifat ad hoc.

Untuk menyelenggarakan kewenangan operasional, Menteri Keuangan

membentuk Badan Investasi Pemerintah yang dapat berupa satu atau lebih

satuan kerja atau badan hukum.

Penyelenggaraan kewenangan operasional pengelolaan Investasi Pemerintah

oleh Badan Investasi Pemerintah berbentuk satuan kerja dilaksanakan

berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Penyelenggaraan kewenangan

operasional pengelolaan Investasi Pemerintah oleh Badan Investasi Pemerintah

berbentuk badan hukum dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Badan Investasi Pemerintah yang berupa satuan kerja dipimpin oleh kepala

atau direktur yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka pengawasan

atas pelaksanaan kewenangan operasional oleh Badan Investasi Pemerintah

yang berupa satuan kerja, Menteri Keuangan dapat membentuk Dewan


42

Pengawas.

- Pelaksanaan

Investasi dengan cara pembelian saham dapat dilakukan atas saham yang

diterbitkan perusahaan. Investasi dengan cara pembelian surat utang dapat

dilakukan atas surat utang yang diterbitkan perusahaan, pemerintah, dan/atau

negara lain (hanya dapat dilakukan apabila penerbit surat utang memberikan

opsi pembelian surat utang kembali).

Pelaksanaan investasi sebagaimana dimaksud tersebut, didasarkan pada

penilaian kewajaran harga surat berharga yang dapat dilakukan oleh Penasihat

Investasi.

Pelaksanaan Investasi Langsung melalui Penyertaan Modal dan/atau

Pemberian Pinjaman dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah dengan Badan

Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan

hukum asing. (untuk jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan).

- .Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya.

Mangindang Silitonga. (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat

kemandirian keuangan daerah terhadap belanja modal pemerintah daerah pada

pemerintah kabupaten/kota di Sumatra Utara. Hasil analisis menunjukkan

bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan

positif terhadap belanja modal.

Kurnia Rina Ariani (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh belanja


43

modal dan dana alokasi umum terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

dan tax effort (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten/Kota Wilayah Eks

Surakarta. Hasil penelitian ini berhasil membuktikan adanya pengaruh yang

signifikan positif dari variabel independen belanja modal dan pengaruh

signifikan negatif dana alokasi umum terhadap tingkat kemandirian keuangan

daerah. Untuk variabel dependen tax effort belanja modal mempunyai

pengaruh signifikan positif sedangkan dana alokasi umum tidak mempunyai

pengaruh signifikan terhadap tax effort.

Kusnandar et all (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh dana alokasi

Umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran, dan luas

wilayah terhadap belanja modal. Penelitian ini membuktikan bahwa besarnya

alokasi belanja modal dipengaruhi oleh DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah.

Secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal

sedangkan PAD, SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh.

Hadi sasana ( 2011 ) melakukan penelitian tentang analisis determinan belanja

daerah di kabupaten kota Provinsi Jawa Barat dalam era otonomi dan

desentralisasi fiscal. Penelitian ini menghasilkan antara dana perimbangan,

PAD, PDRB, Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja daerah.

Amir Jaya (2005) melakukan penelitian analisis pengaruh anggaran pendapatan

belanja daerah (APBD) dan investasi swasta terhadap peningkatan pendapatan

asli daerah (PAD) di Kabupaten Tana Toraja. Hasilnya bahwa APBD dan

investasi swasta melalui PDRB dapat meningkatkan PAD.

Ayu Mita Utami (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh investasi dan

pertumbuhan ekonomi terhadap pendapatan asli daerah ( Studi Kasus di


44

Pemerintahan Kota Tasikmalaya ) Hasilnya bahwa; (1) Hubungan antara

investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak kuat (2) Investasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap pendapatan asli daerah (3) Pertumbuhan ekonomi

berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan asli daerah (4) Investasi dan

pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan asli

daerah.

Kuncoro Thesaurianto ( 2007) melakukan penelitian tentang analisis

pengelolaan keuangan daerah terhadap kemandirian daerah. Hasilnya bahwa

transfer pemerintah, jumlah kendaraan roda 4 atau lebih serta kendaraan roda 2

juga investasi berpengaruh positif terhadap PAD.

Penelitian asing yang terkait dengan penelitian ini :

Lucian A. Bebchuk (2008) melakukan penelitian tentang a plan for addressing

the financial krisis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa rencana departemen

keuangan akan menanamkan modal melalui membayar lebih untuk aset-aset

bermasalah, itu akan membebankan biaya besar pada pembayar pajak dan

mungkin tidak menyalurkan modal yang dibutuhkan untuk penggunaan yang

paling berharga.

Klaus J. Hopt Patrick C. Leyens (2004) melakukan penelitian dengan judul

Board Models in Europe Recent Developments of Internal Corporate

Governance Structures in Germany, the United Kingdom, France, and Italy

Hasilnya bahwa The European Institute Tata Kelola Perusahaan telah dibentuk

untuk meningkatkan perusahaan pemerintahan melalui pengembangan

penelitian ilmiah independen dan kegiatan yang terkait.

Shann Trunbull (2002) melakukan penelitian dengan judul a new way to


45

govern organisations and society after enron. Hasilnya bahwa runtuhnya enron,

dan kegagalan banyak perusahaan lain di seluruh dunia,menandakan krisis

dalam kapitalisme.

Mnenwa et all (2009) melakukan penelitian tentang assessing institutional

promoting framework growth of MSEs in Tanzania: Case Dar es Salaam Hasil

penelitian ini, bahwa layanan kesadaran pengusaha MSE disediakan oleh

berbagai MSE mendukung lembaga-lembaga bervariasi dengan jenis layanan.

Francis M. et all (2001) melakukan penelitian dengan judul growth

performance explain Africa: Kenya case study. Hasilnya bahwa untuk

menempatkan lingkungan kebijakan yang ditujukan untuk membantu pasar dan

perkembangan pasar di Kenya dalam perspektif, kami meninjau spektrum yang

luas dari kebijakan penyesuaian struktural dan efeknya

2.3.1 Belanja Modal terhadap Kemandirian Keuangan

Kegiatan pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap

publil. Hal ini tentu saja dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana

masyarakat. Peran pemerintah sangat efektif didalam melakukan penyediaan

sarana dan prasarana, dengan melakukan belanja modal yang bergantung pada

dana yang ada di pemerintahan kabupaten kota. Berarti belanja modal tidak

bergantung pada kemandirian suatu daerah, tetapi ditinjau dari kebutuhan daerah

tersebut. Tujuan melakukan belanja modal dimana pemerintah daerah ingin

meningkatkan pelayanan yang optimal terhadap masyarakat. Belanja modal tidak

mempunyai pengaruh terhadap kemandirian, dari penelitian yang dilakukan

Silitonga 2010 yang menemukan adanya pengaruh kemandirian daerah terhadap


46

belanja modal, hasil penelitian ini menunjukan tidak adanya pengaruh antara

kemandirian daerah dan belanja modal. Sedangkan Alegre (2006) menunjukkan

hasil empiris bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif signifikan terhadap

belanja modal di Spanyol. Dengan otonomi daerah, daerah diberi wewenang

untuk menggali sumber-sumber keuangan yang ada di daerahnya masing-masing

sehingga mampu untuk membiayai sendiri belanja daerahnya yang terdiri dari

belanja operasi (rutin) dan belanja modal. Pembiayaan tersebut diperoleh dari

PAD, sehingga perlu dilihat sejauh mana efektivitas dari pendapatan asli daerah

tersebut, yang didukung pula oleh dana perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan daerah setara Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diantaranya berupa

dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Semakin efektif pemerintah daerah

dalam mengelola pendapatan asli daerah (PAD), maka akan memperbesar atau

meningkatkan jumlah pendapatan asli daerah yang diperoleh. Jika jumlah PAD

cukup besar maka diharapakan akan menurunkan atau bahkan menutupi jumlah

DAU yang diberikan pemerintah pusat. Jika hal tersebut dapat tercapai maka

daerah dikatakan mandiri. Tingkat kemandirian ini ditunjukkan dengan

kontribusi PAD untuk mendanai belanja-belanja daerahnya. Holtz-Eakin et al

dalam Rizky dan Suryo (2009) menyatakan terhadap keterkaitan sangat erat

antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Temuan Prakoso

dalam Rizky dan Suryo (2009) menunjukkan bahwa jumlah belanja modal

dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat,

kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah

sebaliknya yaitu ketergantungan dari pemerintah daerah terhadap transfer

pemerintah pusat menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi
47

yang kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan

sangat dipengaruhi sumber penerimaan ini.

Pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur serta sarana dan prasarana

yang diperlukan oleh negara, yang tercermin di dalam belanja modal yang

dilakukan oleh pemerintah. Belanja modal yang besar merupakan cerminan dari

banyaknya infrastruktur dan sarana yang dibangun. Semakin banyak

pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan kemandirian keuangan daerah,

sesuai dengan logika, semakin banyak sumber yang menghasilkan, maka hasilnya

pun akan semakin banyak. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Alexiou (2009)

bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh belanja modal pemerintah

Kemudian di perkuat dengan penelitian yang dilakukan Sularso (2011) adanya

pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan

ekonomi kabupaten/kota di jawa tengah, penelitian yang dilakukan oleh Hadi

sasana (2011) bahwa dana perimbangan PAD, PDRB, Jumlah penduduk

berpengaruh positif terhadap belanja daerah, kemudian penelitian yang dilakukan

Ariani (2010) Pengaruh Belanja Modal dan Dana Alokasi Umum Terhadap

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dan Tax Effort, ada perbedaan yang

dilakukan penulis yakni penulis menggunakan variabel independennya belanja

modal dan investasi daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, maka

timbulah hipotesis sebagai berikut :

H1 : Belanja Modal berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian keuangan


48

2.3.2. Pengaruh Investasi terhadap kemandirian keuangan daerah

Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-

undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan

daerah merupakan titik tolak pemberdayaan pemerintah daerah secara lebih

mandiri. Pembangunan daerah dengan sistem otonomi daerah ditujukan demi

terwujudnya pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dengan peningkatan

nilai PDRB, dibutuhkan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk

mencapai hal itu, kabupaten kota menggali dana dari investasi yang ada dan

menggali potensi daerahnya. Untuk melihat pengaruh tingkat investasi terhadap

kemandirian keuangan daerah maka digunakan analisis regresi berganda.

Investasi pada hakekatnya merupakan awal kegiatan pembangunan ekonomi,

investasi dapat dilakukan oleh swasta, pemerintah atau kerjasama antara

pemerintah dan swasta. Investasi yang mengalami peningkatan akan berpengaruh

besar terhadap kemandirian keuangan daerah karena hal ini dapat meningkatkan

pendapatan daerah sehingga dapat membiayai pembangunan didaerah tersebut dan

sarana prasarana dapat terpenuhi terutama dalam melakukan belanja daerah.

Dengan demikian tingkat investasi, belanja modal dapat dijadikan indikator dalam

peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang menuju pada kemandirian

keuangan daerah. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah

dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

pemerintah pusat dan daerah merupakan titik tolak pemberdayaan pemerintah

daerah secara lebih mandiri. Pembangunan daerah dengan sistem otonomi daerah

ditujukan demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah dan kesejahteraan


49

masyarakat. Dalam mewujudkan kemandirian keuangan daerah yang dicerminkan

dengan peningkatan pendapatan daerah. Untuk melihat pengaruh tingkat investasi,

terhadap kemandirian keuangan daerah maka digunakan analisis regresi berganda.

Mengingat begitu pentingnya keberadaan infrastruktur, sudah sewajarnya jika

pembangunan infrastruktur mendapatkan prioritas dalam pembangunan nasional.

Namun krisis ekonomi berdampak negatif terhadap laju pembangunan

infrastruktur. Menurunnya kemampuan keuangan pemerintah, menyebabkan

memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan

infrastruktur baru. Kerusakan jaringan infrastruktur ini dapat meningkatkan biaya

pengguna (user costs) yang sangat besar, menghambat mobilitas ekonomi,

meningkatkan harga barang serta mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Secara mendasar, pembiayaan rehabilitasi dan perluasan jaringan

infrastruktur memerlukan biaya besar yang di luar kapasitas pembiayaan

pemerintah. Saat ini pemerintah hanya mampu membiayai upaya perbaikan dan

perawatan (maintenance) infrastruktur yang sudah ada.

Investasi sangat berperan aktif dalam peningkatan pendapatan daerah misalkan

investasi yang dilakukan untuk mengembangkan dana dari kabupaten se-

Sumatera. Investasi yang dilakukan misalkan penyertaan modal saham untuk

meningkatkan pendapatan daerah. PAD yang meningkat akan sangat berpengaruh

terhadap tingkat kemandirian keuangan. Beberapa penelitian asing yang berkaitan

dengan sector public mengenai kemandirian keuangan Francis et all (2001)

Growth performance explain Africa, adanya keterkaitan kinerja keuangan dan

pertumbuhan ekonomi, penelitian Shann Trunbull (2002) bahwa runtuhnya enron


50

dan kegagalan perusahaan lain di seluruh dunia menunjukkan adanya krisis dalam

kapitalisme berarti disini perlu adanya auditor, swasta, pemerintah serta

pengendali internal untuk dapat menilai keadaan keuangan. Penelitian ini hampir

sama dengan yang dilakukan Klaus J et all (2004) bahwa tata kelola perusahaan

akan dapat meningkatkan perusahaan pemerintahan melalui pengembangan

penelitian ilmiah independen dan kegiatan yang terkait. Adanya hubangan

penelitian ini adalah apabila perusahaan pemerintah meningkat disebabkan adanya

perhatian yang sangat khusus berupa pengembangan yang berguna bagi

peningkatan pendapatan terutama untuk pemerintah. Hal ini berkaitan dengan

adanya kemandirian suatu daerah disebabkan peningkatan pada pendapatan

daerah melalui investasi daerah. Lucian A. Bebchuk (2008) meneliti tentang A

plan for addressing the financial crisis bahwa rencana departemen keuangan akan

menanamkan modal untuk membayar aset – aset bermasalah, itu akan

membebankan biaya besar pada pembayar pajak dan mungkin tidak menyalurkan

modal yang dibutuhkan untuk pengguna yang paling berharga. Keterkaitan

penyaluran modal yang merupakan bagian dari kinerja keuangan dalam

organisasi. Penyaluran modal yang teratur sehingga tidak menyebabkan terjadinya

defisit anggaran. Kemandirian suatu daerah tergantung dari peningkatan sektor

sumber daya yang ada didaerah tersebut, hal ini dilihat dari pencapaian anggaran

pendapatan pemerintah. Mnenwa et all (2009) bahwa adanya keterkaitan antara

kelembagaan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sehingga

mendorong investasi. Dalam penelitian asing diatas penulis menyimpulkan adanya

keterkaitan dengan penelitian ini. Penelitian di Indonesia sendiri yang dilakukan

Utami 2012 bertolak belakang bahwa hasilnya menunjukkan Investasi atau


51

penyertaan modal di Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak setiap tahun ada

penyertaan modal kepada Bank Jabar Banten. Hal ini dikarenakan harus

disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan tergantung kebijakan

kepala daerah. Di tarik kesimpulan bahwa adanya pengaruh investasi terhadap

pendapatan asli daerah. Peningkatan pendapatan daerah menunjukkan adanya

peningkatan kemandirian keuangan daerah. Berarti daerah tidak tergantung pada

dana transfer, adanya peningkatan investasi tergantung dana investasi yang

dikeluarkan pemerintah dan juga ini dilihat dari kebijakan pemerintah. Bertolak

belakang penelitian yang dilakukan Jaya (2005) menganalisis pengaruh APBD

dan investasi swasta terhadap peningkatan PAD di kabupaten tana toraja

berpengaruh positif. Peningkatan investasi akan dapat meningkatkan pendapatan

asli daerah. Sumber pendapatan asli daerah berguna bagi pemerintah untuk

melakukan belanja daerah yang tercantum dalam anggaran pendapatan belanja

daerah. Dalam pemaparan diatas sehingga timbulah hipotesis sebagai berikut :

H2 : Investasi berpengaruh positif terhadap tingkat kemandirian keuangan


52

Dari penjelasan tersebut maka gambar penelitian antara belanja modal, investasi

terhadap tingkat kemandirian keuangan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Belanja Modal

Kemandirian

Investasi
53

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini penulis menggunakan penelitian kuantitatif, karena data yang

diperoleh nantinya berupa angka. Dari angka yang diperoleh akan dianalisis lebih

lanjut dalam analisis data. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu Belanja

modal dan Investasi sebagai variabel bebas (independent) dan kemandirian

keuangan sebagai variabel terikat (dependent).

3.1.2. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai

data. Sumber data yang dilakukan peneliti adalah data sekunder. Data sekunder

yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah

yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian

ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta situs

di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.Data penelitian yang

dilakukan bersifat kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka

atau bilangan. Sesuai dengan bentuknya, data kuantitatif dapat diolah atau

dianalisis menggunakan teknik perhitungan matematika atau statistika.


54

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder bersumber dari

dokumen laporan realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan

Keuangan Pemerintah Daerah melalui www.depkeu.djpk.go.id. Dari laporan

realisasi APBD ini diperoleh data mengenai jumlah anggaran belanja modal,

investasi. Variabel Tingkat Kemandirian Keuangan yang diproksikan oleh PAD

dan Bantuan pemerintah pusat dan pinjaman bersumber dari LRA Kabupaten kota

se- Sumatera.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah data yang berasal dari LRA kabupaten kota Se-

Sumatera selama 2 tahun yaitu 2010 dan 2011. Pengambilan data berasal dari

belanja modal, investasi,dan kemandirian keuangan daerah yang di proxcykan dari

PAD dibagi bantuan pemerintah pusat dan pinjaman.

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pemerintahan Kota/Kabupaten Se-

Sumatera berjumlah 277 kabupaten untuk tahun 2010 sebanyak 116 dan tahun

2011 sebanyak 161. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pemerintah daerah kabupaten dan kota Se- Sumatera pada tahun 2010-2011

sampel yang terdata 185 setelah dioutlier hanya 139 sampel saja yang terpakai.

Data sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria

yaitu:
55

1. Daerah Kabupaten dan Kota Se-Sumatera yang mempublikasikan laporan

keuangannya secara konsisten dari tahun 2010-2011.

2. Pemerintah daerah kabupaten dan kota yang ada data penyertaan modal saham

pada kurun waktu 2010 -2011.

Sampel yang terdata 277 daerah kota dan kabupaten yang dijadikan populasi,

hanya sebanyak 185 sampel setelah di outlier hanya 139 yang memenuhi kriteria

untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian. Sumber data dari dokumen laporan

realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan

Pemerintah Daerah melalui website www.djpk.depkeu.go.id. Dari laporan

realisasi APBD tahun 2010-2011 dapat diperoleh data mengenai jumlah anggaran

Belanja Modal, Investasi, Bantuan pemerintah pusat dan pinjaman. Berikut data

tabel sampel penelitian ini sebagai berikut :

Keterangan Jumlah

Sampel Kabupaten kota Se-Sumatera 277

Kabupaten kota yang tidak ada investasi 92

Kabupaten kota yang masuk sampel penelitian 185

Data kabupaten kota yang tidak mewakili (outlier) 46

Data kabupaten kota mewakili sampel 139

3.5. Variabel Penelitian

3.5.1. Kemandirian Keuangan

Kemandirian keuangan daerah menggambarkan kemampuan

pemerintah keuangan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan


56

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan

daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya

pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal

dari sumber lain misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.

Rasio kemandirian menunjukkan ketergantungan daerah terhadap sumber

dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa

tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern, terutama

pemerintah pusat dan propinsi, semakin rendah. Selain itu rasio kemandirian

juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak

dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli

daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi (Halim,

2007:232).

Rasio kemandirian = PAD x 100%

Bantuan pemerintah pusat dan pinjaman

Kriteria penilaian kemandirian (Nataluddin, 2001:169 dalam Widowati 2006)

adalah 0-25% rendah sekali, 25-50% rendah, 50-75% sedang, dan 75-100%

tinggi. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat

dalam dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin

tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang

merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat

membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan

masyarakat yang semakin tinggi. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat


57

dan daerah dapat dikatakan ideal apabila sumber PAD menyumbang bagian

terbesar dari seluruh pendapatan daerah dibandingkan dengan sumber lainnya.

Namun dalam kenyataannya di di banyak daerah, PAD tidak seluruhnya dapat

membiayai total pengeluaran, proporsinya terhadap pendapatan selain dari PAD

merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan pemerintah daerah

(Hariyadi, 2002:27).

Kemandirian keuangan dapat menunjang dalam pembangunan sarana dan

prasarana pemerintah daerah yang berpengaruh positif pada pertumbuhan

ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan pelayanan sektor publik secara

berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana publik, investasi

pemerintah juga meliputi perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana

penunjang lainnya. Syaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah

tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan

penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga

mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikan produktivitas

(Ismerdekaningsih & Rahayu, 2002). Dengan ditambahnya infrastruktur dan

perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah daerah, diharapkan akan

memacu pertumbuhan perekonomian di daerah (Adi & Harianto, 2007).

Selain menggunakan parameter rasio keuangan pemerintahan daerah dari hasil

penelitian terdahulu, analisis Penelitian ini juga memakai analisa kinerja keuangan

yang telah dikembangkan oleh Musgrave, Richard A dan B. Musgrave, Peggy

dalam bukunya “Public Finance in Theory and Practice”. (Hadiprojo, Ekonomi

Publik hal. 155) Namun dalam penerapannnya, parameter disesuaikan dengan

komponen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu :


58

Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah sistem pembagian

keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab

dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan

mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran

penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. (UU.No 32 Tahun 2004).

Pengertian pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009

yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan

yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Menurut Nurcholis (2007:182), pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang

diperoleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan

daerah, dan lain-lain yang sah.

Dari beberapa pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

pendapatan asli daerah adalah semua penerimaan keuangan suatu daerah, dimana

penerimaan keuangan itu bersumber dari potensi-potensi yang ada di daerah

tersebut misalnya pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain, serta penerimaan

keuangan tersebut diatur oleh peraturan daerah.

Adapun sumber-sumber pendapatan asli menurut Undang-Undang RI No.32

Tahun 2004 yaitu :

1. Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari :

1) Hasil pajak daerah yaitu Pungutan daerah menurut peraturan yang

ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai


59

badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan

pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untu pengeluaran umum

yang balas jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanannya

bisa dapat dipaksakan.

2) Hasil retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi

pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena

memperoleh jasa atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau

milik pemerintah daerah bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai

sifat-sifat yaitu pelaksanaannya bersifat ekonomis, ada imbalan

langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan

materiil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar, merupakan

pungutan yang sifatnya budgetetairnya tidak menonjol, dalam hal-hal

tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah

dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan

anggota masyarakat.

3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik daerah merupakan

pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang

berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja

daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang

dipisahkan,sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat

perusahaan daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat

menambah pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan

kemamfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah.


60

4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah ialah pendapatan-pendapatan

yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusli daerah,

pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai

sifat yang pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan

yang menghasilkan baik berupa materi dalam kegitan tersebut

bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau memantapkan suatu

kebijakan daerah disuatu bidang tertentu.

2. Dana perimbangan diperoleh melalui bagian pendapatan daerah dari

penerimaan pajak bumi dan bangunan baik dari pedesaan, perkotaan,

pertambangan sumber daya alam dan serta bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi

umum, dan dana alokasi khusus.

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan daerah dari sumber

lain misalnya sumbangan pihak ketiga kepada daerah yang dilaksanakan

sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah menurut Pasal 57

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah, semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah.

Bendahara penerimaan wajib menyetor seluruh penerimaannya ke rekening kas

umum daerah selambat-lambatnya dalam waktu 1 hari kerja. Setiap penerimaan

harus didukung oleh bukti yang lengkap atas setoran dimaksud.

Selanjutnya, dalam Pasal 58 dinyatakan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah.
61

SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau

kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan

pemungutan dan penerimaan tersebut.

Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa penerimaan daerah

terdiri atas pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah. Pendapatan

daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai

untuk setiap sumber pendapatan. Penerimaan pembiayaan daerah adalah semua

penerimaan yang perlu dibayar kembali balk pada tahun anggaran yang

bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Untuk pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran

tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang

direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Sedangkan Total belanja daerah

merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran

yang membebani anggaran daerah.

Karena dalam pelaksanaannya penelitian ini mengalami masalah dengan

pengumpulan data dan keterbatasan waktu maka dengan keterbatasan tersebut

peneliti tidak menggunakan semua rasio tersebut. Rasio yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rasio kemandirian/kemampuan

Indikator tingkat kemandirian keuangan :

1 Dana Transfer.

Dana transfer dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah selain

DAU adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari
62

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan

untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan

sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini

penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk

kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan

jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi,prasarana

pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan,

perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu

termasuk dalam komponen belanja modal dan Pemerintah Daerah diwajibkan

untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang

diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik.

2. Lain – lain pendapatan yang sah.

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan pendapatan daerah yang

tidak termasuk dalam kelompok pendapatan asli daerah dan dana perimbangan.

Yani (2008:211-212) menyatakan bahwa cakupan Lain-lain Pendapatan Daerah

yang Sah terdiri dari:

1.Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya,

badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok

masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.

2.Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan

bencana alam.

3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota

4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.


63

Menurut UU No.32 Tahun 2004 Pasal 164, menyebutkan bahwa Lain-lain

Pendapatan Daerah yang Sah merupakan seluruh Pendapatan Daerah selain

PAD dan Dana Perimbangan, yang meliputi Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain

pendapatan yang ditetapkan pemerintah.

3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Permendagri No.32 Tahun 2008, dalam upaya peningkatan PAD,

agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan dunia usaha dan

masyarakat. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penyederhanaan sistem

dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah,

meningkatkan ketaatan wajib pajak dan pembayar retribusi daerah serta

meningkatkan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan PAD yang

diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan kecepatan

pelayanan.

Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari PAD. Sesuai

dengan UU No.33 Tahun 2004 disebutkan bahwa PAD terdiri dari: pajak

daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,

dan lain-lain PAD yang sah. Namun di dalam perkembangan selanjutnya,

diantara semua komponen PAD, pajak dan retribusi daerah merupakan

penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya PAD identik

dengan pajak dan retribusi daerah. Halim (2007:96) menyatakan bahwa

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang

berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Yani (2008:44) menjelaskan bahwa

sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah,

Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Dan Lain-lain PAD yang sah.
64

3.5.2. Belanja Modal

Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran

anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih

dari satu periode akuntansi.

Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan

bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Indikator variabel pengelolaan belanja

diukur dengan melihat laporan realisasi anggaran se-Sumatera

3.5.3. Investasi daerah

Investasi adalah pengeluaran untuk mendapatkan asset, tujuannya untuk

memperoleh manfaat ekonomik seperti bunga, deviden, dan royalti atau manfaat

sosial, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka

pelayanan kepada masyarakat. Investasi di lakukan dengan penyertaan modal

berupa saham, pemerintah mendapatkan deviden dari saham tersebut. Tujuan dari

penyertaan modal berupa saham ini adalah untuk mengembangkan modal

pemerintah daerah. Deviden yang didapat digunakan untuk pembangunan

pelayanan masyarakat dan pengelolaan kembali. Hal ini sesuai dengan permen no

52 tahun 2012 tentang pedoman pengelolaan investasi daerah dan di perkuat

dengan PP no 8 tahun 2007 tentang investasi pemerintah. Perhitungan investasi

didasarkan laporan realisasi anggaran setiap daerah se-Sumatera.

3.5.1.1. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu

variabel atau dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan


65

ataupun membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur

variabel tersebut (Sekaran, 2006).

Variabel dependennya merupakan variabel Kemandirian Keuangan yang

merupakan kemampuan keuangan daerah didalam melaksanakan proses kegiatan

daerah kabupaten kota. Kemandirian keuangan dirumuskan sebagai berikut:

Kemandirian = PAD x 100%


Dimana dalam pengukurannya menggunakan
Bantuan skala rasio. dan pinjaman
pemerintah pusat/propinsi

Sumber : Halim (2010)

Variabel independen variable investasi merupakan penyertaan modal berupa

saham yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu

dengan tujuan untuk mendapatkan hasil untuk pembangunan. Investasi untuk

masing-masing Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos pembiayaan investasi

berupa penyertaan modal didalam Laporan Realisasi APBD.

Sedangkan Variabel independen yang lain adalah belanja modal. Menurut PP

Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk

perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu

periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah,

gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Indikator variabel ini

diukur dengan :

Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin +

Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan,


3.4. Metode Analisis
66

- Variabel Bebas (Independen)

Ghozali (2006) menjelaskan bahwa disebut variabel independen karena veriabel

ini tidak dipengaruhi oleh variabel antiseden (sebelumnya). Variabel independen

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Belanja modal dan Investasi.

- Variabel Terikat (Dependen)

Ghozali (2006) menjelaskan bahwa disebut variabel dependen karena variabel ini

dipengaruhi variabel sebelumnya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

tingkat kemandirian keuangan.

3.5.1.2. Statistik Deskriptif

Metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus

data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistika deskriptif adalah

bagian dari ilmu statistika yang hanya mengolah, menyajikan data tanpa

mengambil keputusan untuk populasi. Dengan kata lain hanya melihat gambaran

secara umum dari data yang didapatkan.Statistika adalah ilmu yang mempelajari

bagaimana merencanakan, mengumpulkan,menganalisis, menginterpretasi, dan

mempresentasikan data. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah

Belanja modal, Investasi, dan tingkat kemandirian keuangan.

3.5.1.3. Uji Regresi Berganda

Regresi linier berganda adalah untuk menguji pengaruh dua variabel atau lebih

variabel independen terhadap satu variabel dependen (Ghozali, 2009). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah belanja modal dan pembiayaan investasi

daerah.
67

YKM = α + β1BM + β2PI + ε

Sedangkan variabel dependennya adalah Tingkat Kemandirian Keuangan. Adapun

persamaan untuk menguji hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dimana :

YKM : Kinerja Keuangan dilihat dari kemandirian


BM : Belanja Modal
PI : Pembiayaan Investasi
α : Konstanta
β1,,,,, β6 : Koefisien Regresi
ε : error item
i : 1,2,..., N dimana N adalah banyaknya observasi
Regresi linier berganda pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas

yang dimaksudkan dalam model mempunyai pengaruh secara simultan terhadap

variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan significance level

0,05 (α=5%). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel

independen yang diuji secara bersama – sama (simultan) berpengaruh positif dan

signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian hipotesis terhadap koefisien

regresi linier berganda secara simultan dilakukan uji t pada tingkat keyakinan 95%

dan tingkat kesalahan dalam analisis (α) = 5%.

Kriteria pengambilan keputusan atas uji t antara variabel independen terhadap

variabel dependen yaitu:


68

 Jika nilai hitung t > nilai t tabel tα(n-k), maka Ha diterima yang berarti X

berpengaruh terhadap Y. α adalah tingkat signifikansi dan (n-k) derajat

bebas yaitu jumlah n observasi dikurangi jumlah variabel independen

dalam model.

 Jika nilai hitung t < nilai t tabel tα(n-k), maka Ha Ditolak yang berarti X

tidak berpengaruh terhadap Y.

3.5.1.4. Uji Normalitas

Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan pengujian hipotesis adalah

uji normalitas data. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang

digunakan sudah representatif sehingga kesimpulan penelitian yang diambil dari

sejumlah sampel dapat dipertanggungjawabkan (Teddy Rusman, 2008). Pengujian

normalitas data dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov test yang dibantu

dengan program olah data statistik yaitu SPSS17.

Kriteria pengambilan keputusan atas uji normalitas data sampel tersebut yaitu data

sampel dikatakan berdistribusi normal jika nilai signifikansi (sig) > 0.05, dan

sebaliknya data sampel berdistribusi tidak normal jika nilai signifikansi (sig) <

0.05. Selain itu, pengujian normalitas data juga dilakukan dengan menggunakan

grafik, dimana terlihat titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, serta

penyebarannya mengikuti garis diagonal tersebut.


69

3.5.1.5 Uji Multikolinieritas

Multikolinieritas berarti antara variabel independen yang satu dengan variabel

independen yang lain dalam model regresi memiliki hubungan yang kuat.

Hubungan tersebut dikatakan hubungan linear yang sempurna atau hampir

sempurna. Uji multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi /

keterkaitan antar variabel independen (bebas) dan hubunganya secara linier.

Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel

independen (Ghozali, 2009). Karena hal ini dapat mengakibatkan kesulitan dalam

melihat pengaruh variabel independen terhadap veriabel dependennya. Karena hal

ini dapat mengakibatkan kesulitan dalam melihat pengaruh variabel independen

terhadap veriabel dependennya. Untuk menguji adanya multikolinearitas dapat

dilakukan dengan menganalisis korelasi antar variabel dan perhitungan nilai

tolerance serta variance inflation factor (VIF). Nilai VIF yang diperkenankan

adalah 10. Multikolinearitas terjadi jika nilai tolerance lebih kecil dari 0,10 yang

berarti terjadi hubungan yang cukup besar antara variabel bebas dan tidak ada

korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95% (kofisien lemah

tidak lebih besar dari 5) . Jika VIF lebih besar dari 10, apabila VIF kurang dari 10

dapat dikatakan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model adalah

dapat dipercaya dan objektif.

3.5.1.6. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi

ketidaksamaan varian dari residual atau pengamatan ke pengamatan yang lain

untuk variabel independen yang berbeda. Jika variance (ragam) dari residual satu
70

ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas atau tidak terjadi

heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dilakukan

dengan menggunakan uji Park (Ghozali, 2009).

3.5.1.7. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel

pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode

sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang

waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena residual tidak bebas

dari suatu observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik adalah regresi

yang bebas dari autokorelasi. Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan

menggunakan uji Durbin-Watson, dimana hasil pengujian ditentukan berdasarkan

nilai Durbin-Watson (Gujarati, 2010).

Cara menentukan atau kriteria pengujian autokorelasi adalah sebagai berikut:

Deteksi Autokorelasi Positif:

Jika d < dL maka terdapat autokorelasi positif,

Jika d > dU maka tidak terdapat autokorelasi positif,

Jika dL < d < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat disimpulkan.

Deteksi Autokorelasi Negatif:

Jika (4 - d) < dL maka terdapat autokorelasi negatif,

Jika (4 - d) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif,

Jika dL < (4 - d) < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat

disimpulkan.
71

3.5.1.8. Pengujian Hipotesis

- Uji Statistik F

Uji F digunakan untuk menguji apakah model regresi yang digunakan sudah

layak. Ketentuan yang digunakan dalam uji F adalah sebagai berikut:

1. Jika F hitung lebih besar dari F tabel atau probabilitas lebih kecil dari

tingkat signifikansi (Sig. < 0,05), maka model penelitian dapat digunakan

atau model tersebut sudah layak.

2. Jika F hitung lebih kecil dari F tabel atau probabilitas lebih besar dari

tingkat signifikansi (Sig. > 0,05), maka model penelitian tidak dapat

digunakan atau model tersebut tidak layak.

3. Membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F menurut tabel.

Jika nilai F hitung lebih besar daripada nilai F tabel, maka model

penelitian sudah layak.

- Uji Statistik t

Uji Statistik t untuk menguji secara parsial antara variabel bebas terhadap variabel

terikat dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap konstan dengan tingkat

keyakinan 95% (α =0,05). Uji ini dilakukan sekaligus untuk melihat koefisien

regresi secara individual variabel penelitian (Ghozali, 2009). Pengambilan

keputusan dilakukan berdasarkan perbandingan nilai t-hitung dengan t-tabel

penarikan simpulan pada uji ini didasarkan pada :

- Jika t hitung > t table, Ha ditolak

- Jika t hitung < t table, Ha diterima


89

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan:

Penelitian ini menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap

rasio kemandirian keuangan daerah. Belanja modal pada tahun sebelumnya dapat

berpengaruh terhadap rasio kemandirian keuangan daerah sesudah satu tahun

berikutnya. Peningkatan belanja modal bertujuan untuk menambah sarana dan

prasarana pelayanan terhadap masyarakat dalam satu daerah. Kebutuhan akan

sarana dan prasarana dapat terpenuhi dalam jangka panjang yang gunannya untuk

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah kabupaten

kota. Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah bukan merupakan

peningkatan dalam sisi pendapatan sehingga dikatakan bahwa adanya sumber

dana yang berasal dari PAD dan bantuan pemerintah dapat meningkatkan

kepercayaan masyarakat dalam bentuk pembangunan. Pembangunan

membutuhkan dana yang berasal dari keuangan daerah maka dikatakan adanya

pengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan.

Variabel independen lain untuk investasi daerah berpengaruh terhadap tingkat

kemandirian keuangan daerah. Meningkatnya investasi disuatu daerah dapat

menambah sisi pendapatan daerah yang merupakan masukan bagi daerah sehingga

daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Suatu daerah yang memiliki

tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka daerah tersebut dalam sisi

keuangan dikatakan baik. Pertumbuhan ekonomi ini akan menuju pada


90

kemandirian daerah yang meningkat,dikatakan mandiri dengan tingkat persentase

75-100 sudah dikatakan baik, hasil penilitian bahwa tingkat kemandirian

keuangan masih rendah.

Pengaruh belanja modal dan investasi terhadap kemandirian keuangan daerah

dapat pula dipengaruhi variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini

misal dari pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, sumber daya manusia

yang ada serta faktor keadaan sumber daya alam yang ada di daerah dan luas

wilayah suatu daerah.

5.2 Implikasi

Implikasi yang dapat dikaji dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

Belanja modal tidak berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah,

hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan kabupaten/kota se-Sumatra

dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah, sehingga pemerintah daerah

diharapkan mampu untuk menggali pendapatan asli daerahnya dan tidak terlalu

tergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Belanja

modal dalam hal ini perlu ditekan untuk menggurangi dana pemerintah yang

membengkak sehingga penggeluaran pemerintah bisa lebih diatur untuk yang

penting-penting saja.

Dalam upaya peningkatan tingkat kemandirian keuangan daerah pemerintah

daerah dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah

satunya dengan memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar untuk sektor-

sektor produktif. Pergeseran komposisi belanja ini ditujukan untuk peningkatan

investasi modal. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu


91

meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan

tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari

adanya peningkatan PAD.

5.3 Keterbatasan dan Saran

5.3.1 Keterbatasan

Sampel penelitian yang dilakukan hanya se-Sumatera karena keterbatasan peneliti,

sebaiknya menggunakan sampel untuk seluruh kabupaten kota se-Indonesia agar

hasilnya dapat lebih digeneralisir.

Penelitian ini hanya dilakukan dua periode yaitu tahun 2010 dan 2011 sehingga

jangka waktu pengamatannya sangat pendek dan sampel yang mewakili untuk

kabupaten kota Se-Sumatera saja yang bisa mewakili sampel.

5.3.2 Saran

Sampel penelitian ini dibatasi pada Kabupaten/Kota se-Sumatra. Hal ini

menyebabkan hasil penelitian hanya berlaku untuk kabupaten/kota yang

menjadi sampel penelitian, sehingga belum dapat digeneralisasi untuk

kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Penelitian selanjutnya perlu

mempertimbangkan sampel yang lebih luas dan menggunakan laporan

Realisasi APBD yang paling mutakhir untuk dapat menggambarkan

kondisi yang paling terbaru.

Penelitian ini mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah selama pelaksanaan

otonomi daerah, diharapkan penelitian selanjutnya dapat membandingkan dua

indikator kinerja keuangan daerah tersebut sebelum dan sesudah otonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sukriy dan Abdul Halim. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah
Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Yogyakarta,Hal 1140-
1159.
Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja
Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah. Proceeding SNA IX. Padang

Ariani, Kurnia Rina. 2010. Pengaruh BelanjaModal dan Dana Alokasi Umum
terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dan Tax Effort (Studi
Kasus pada Pemerintah Kabupaten/Kota Wilayah Eks Surakarta Jurnal
akuntansi Vol 1 No 2 Universitas Sebelas Maret Surakarta

Annisa, Raisa. 2010. Analisis Pengaruh Alokasi Belanja Modal Terhadap


Kemandirian Keuangan Pemerintah Daerah. Penelitian Akuntansi
Universitas Indonesia Jakarta

Alexiou , Constantinos, 2009. Government Spending and Economic Growth:


Econometric Evidence from the South Eastern Europe (SEE), Journal of
Economic and Social Research, 11(1), 1-16

Alegre, Juan G. 2006. Decentralization and Composition of Public Expenditure in


Spain. European University Institute. Spain.

Bebchuk, Lucian A. 2008. A Plan For Addressing The Financial Crisis. Jurnal
The Voice ekonom, Vol. 5, Issue 5 (September 2008). Harvard Law
School Cambridge, MA 02138

Bland, Robert Land Nunn, Samuel. 1992. The Impact of Capital Spending on
Municipal Operating Budgets. Public Budgeting and Finance, Summer
1992

Donaldson et all. 1991. Stewardship Theory or Agency Theory CLO Governance


and Shareholder Return Australian Journal Of Management 16, p:49-63

Durbin Watson. 2008. Didalam Wardani,2008 www.google.co.id, 4 April 2014


Ellwood. 1993. Di dalam Mahsun, M. 2006. www.google.co.id, 14 Juni 2014
Florida, Asha. 2007. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Tesis,
Medan

Francis M. 2001. Growth Performance Explain Africa : Kenya Case Study. Jurnal
Departemen Ekonomi Universitas Nairobi

Ghozali., Imam. (2009), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS,


Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gujarati, 2010. Dasar – Dasar Ekonometrika buku 1 Edisi 5 Salemba Empat

Halim, Abdul. 2005. Kajian Tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota


Malang. Tesis. Malang.

Halim, Abdul. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta. Salemba Empat

Halim, Abdul. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta. Salemba Empat.

Handayani, Atiah. 2009. .Analisis Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat


Terhadap Pengeluaran Daerah dan Upaya Pajak (Tax Effort) Daerah
(Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Jawa Tengah).. Skripsi Tidak
Dipublikasikan, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas
Diponegoro Semarang.
Holtz-Eakin Whitney Neway and Rosen. 1985 Implementing Causality Test With
panel data with an example from local public finance. NBER Technical.
Hariyadi, Jasaagung. 2001. Estimasi penerimaan dan Belanja Daerah serta
Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung Studi Kasus Tahun
Anggaran 2001 jurnal Universitas Diponegoro. Malang

Hopt et all. 2004. Board Models In Europe Recent Developments of Internal


Corporate Governance Structures in Germany, the United Kingdom,
France and Italy. Jurnal Institut Max Planck untuk Swasta Asing dan
Swasta Hukum Internasional, Hamburg & ECGI

Jaya, Amir. 2005. Analisis Pengaruh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah


(APBD) Dan Investasi Swasta Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Di Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Adiwidia Vol 1 UKI
Paulus Medan.

Ismi Rizky dan Suryo. 2009. Pengaruh PAD dan Belanja Pembangunan terhadap
rasio kemandirian dan pertumbuhan ekonomi. Konferensi Penelitian
Keuangan Sektor Publik II.

Keneeth Davey, 1986. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek


Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga (Terjemahan, Amanullah
Dkk) Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Khusaini., Mohammad. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah. BPFE Unibraw, Malang.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi Daerah & Pembangunan Daerah (Reformasi,


Perencanaan, Strategi dan peluang). Penerbit Erlangga. Jakarta

Kusnandar et all, 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah,
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Dan Luas Wilayah Terhadap Belanja
Modal. Jurnal Akuntansi Universitas Indonesia, Jakarta

Lind et all, 2008. Teknik – Teknik Statistika Dalam Bisnis Dan Ekonomi buku 2
Edisi 13 Salemba Empat

Magindang, Silitonga. 2010. Pengaruh Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah


Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah pada Pemerintah
Kabupaten/Kota di Sumatra Utara. Jurnal Akuntansi Universitas Sumatera
Utara, Medan.

Mayzetika, Maharani. 2011 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli


Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal.
Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas negeri Semarang

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. ANDI.


Yogyakarta.

Mnenwa, Raymond. 2009. Assessing Institusional Promoting Framework Growth


Of MSE in Tanzania : Case Dar Es Salaam Jurnal Research on Poverty
Alleviation (REPOA)

Mahsun, Mohammad. 2010. Akuntabilitas Kinerja. Artikel.

Meyers, F., Verhoest, K and Beuselinck E., 2006. Performance of Public Sector
Organizations: Do Management Instruments Matter? Paper for ìA
Performing Public Sector: The Second Transatlantic Dialogueî.
Leuven, BelgiÎ 1-3 June.
Nataluddin. 2001. Potensi dana perimbangan pada pemerintahan daerali di
Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP
YKPN.

Nataluddin. 2001. Didalam Widowati. 2006. www.google.co.id, 18 April 2014


Nurcholis. 2007. Pengertian dan Sumber – Sumber Pendapatan Asli
Daerah.artikel Sabtu 23 Juni 2012
Nirzawan. 2001, Tinjauan umum terhadap sistem pengelolaan Keuangan
Daerah di Bengkulu Utara, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta :
UPP YKPN.

Nordiawan, Deddi, 2006 Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman


Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman


Pemberian Hibah dan Bantuan sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman


Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
2011

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar


Akuntansi Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar


Akuntansi Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang


Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

Penjelasan Penggunaan Kode Akun Direktorat Jenderal Perbendaharaan


Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Akun Penjelasan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28
Desember 2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Podrug. 2011. Didalam Haliah. 2011. www.google.co.id, 9 Mei 2014
Sasana, Hadi. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/ Kota
Propinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi Dan Desentralisasi Fiskal.
Jurnal Bisnis Dan Ekonomi Vol. 18, No 1 Undip, Semarang.

Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. (a skill building approach),
Second Edition Jhon Wiley, New York.

Simbolon, Michael. 2010. Investasi dan Penyertaan Modal Pemerintah. Artikel.

Sugiono. 2001. Analisis Manfaat dan Biaya Sosial. Makalah ekonomi Publik
Jakarta
Sularso, Havid., Restianto, Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan
Terhadap Alokasi belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Ekonomi. Purwokerto
Suryaningrum, 2000. Pertumbuhan ekonmi Regioanal di Indonesia. Media
Ekonomi dan Bisnis, FE-Undip , Vol. XII No.1 Juni 2000.

Sumitro Djojohadikusumo, (1994), Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan


dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta, LP3ES.

Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development
on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting.,
Accounting and Financial Management. Fall.
Thesaurianto, Kuncoro. 2007. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap
Kemandirian Daerah. Tesis Undip, Semarang

Trunbull, Shann. 2002. A. New Way To Govern Organitations and Society After
Enron. New Economics Foundation. London United Kingdom

Utami, Ayu Mita. 2012. Pengaruh Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Pendapatan Asli Daerah, Fakultas Ekonomi, Jurnal Universitas Siliwangi.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan


Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan


Negara

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan


Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah


Daerah
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

UU RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang


Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Yani, Ahmad. 2008. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia. Rajagrafindo Persada. Jakarta

Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapi


Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP
YKPN.

Anda mungkin juga menyukai