Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

HAEMOPTOE PADA PASIEN TUBERCULOSIS DROPOUT

Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
182011101004

Pembimbing

dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
HAEMOPTOE PADA PASIEN TUBERCULOSIS DROPOUT

LAPORAN KASUS

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Widya Ayu Putri Maharani
182011101004

Pembimbing

dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Haemoptoe atau hemoptysis merupakan salah satu gejala umum yang


memerlukan tindakan lebih lanjut yang biasa ditemukan pada pasien. Haemoptoe
atau hemoptysis adalah ekspektorasi atau keluarnya darah yang didahului dengan
adanya batuk. Darah pada kondisi ini dapat disebabkan karena berbagai macam
hal, misalnya penyakit pada sistem pulmonari, kardiovaskular, penyakit koagulasi,
trauma maupun idiopati. Namun, kasus terbanyak berasal dari penyakit pada
sistem pulmonari, salah satunya adalah Tuberculosis.

Tuberculosis merupakan suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan


karena bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai
organ, terutama paru-paru. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di berbagai belahan dunia dan paling banyak terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan laporan WHO tahun 2017
diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia, namun kasus yang tercatat oleh
Kementerian Kesehatan hanya sebanyak 420.000 kasus. Selain berbahaya,
menyebabkan munculnya komplikasi, dan dapat memyebabkan kematian,
penyakit ini juga dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan dari penderitanya.
Sebanyak 75% kasus Tuberculosis ditemukan pada usia produktif antara 25 tahun
hingga 50 tahun. Hal tersebut akan merugikan ekonomi penderita karena
menyebabkan berkurangnya pendapatan tahunan rumah tangga penderita sekitar
20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, Tuberculosis juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma negatif bahkan dikucilkan oleh
masyarakat (Kemenkes, 2014).

Suatu faktor penting yang mempengaruhi proses penyembuhan dan


penanganan Haemoptoe atau Hemoptysis pada Tuberculosis adalah ketepatan
diagnosis dan tata laksananya, oleh karena itu hal ini perlu mendapatkan perhatian
yang lebih lanjut dari tenaga medis terkait.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. RH
Umur : 35 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gumukbago RT 1 RW 19 Tegal Besar, Kaliwates,
Jember
Status : BPJS NPBI
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta (Supir)
Suku : Madura
Agama : Islam
Tanggal MRS : 10 Oktober 2018
Tanggal pemeriksaan : 10 Oktober 2018
Tanggal KRS : 13 Oktober 2018
No. RM : 231212

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan istri
pasien pada tanggal 10 Oktober 2018 di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Batuk darah

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh batuk darah ± setengah ember sejak pagi sebelum
berangkat ke RSD. Dr. Soebandi. Darah berwarna merah agak gelap dan sedikit
berbuih. Selain itu, pasien mengeluh batuk sejak 2 bulan yang lalu. Sebelum batuk
darah sebanyak ± setengah ember, pasien mengeluh sulit untuk mengeluarkan

4
dahaknya, dan terasa sesak serta nyeri yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan
cuaca. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun dan bertambah kurus (BB
turun). Tidak mual dan muntah. Pasien juga sering mengalami demam (sumer-
sumer) tetapi tidak disertai dengan menggigil, keringat dingin pada malam hari
disangkal. Menurut istri pasien, di rumah tidak terdapat anggota keluarga dengan
keluhan yang sama.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang sama sebelumnya : Ada
Riwayat penyakit asma : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak didapatkan anggota keluarga yang menderita gejala dan penyakit
yang sama dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien mengkonsumsi obat OAT selama 1 bulan lalu pasien merasa
kondisi membaik dan menghentikan pengobatan selama 3 bulan terakhir.

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien adalah seorang lulusan SMP yang saat ini bekerja serabutan
sebagai supir. Istri pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Dari riwayat
lingkungan, pasien tinggal bersama istri, dua orang anak, dan ibu kandung di
sebuah rumah yang luasnya ±50 meter persegi, berdinding tembok dan plester
semen, memiliki 2 kamar tidur tanpa kasur, dapur, dan tidak memiliki kamar
mandi atau jamban. Sumber air berasal dari sumur. Pendapatan perbulan <1 juta
rupiah.

Kesan: Riwayat sosial lingkungan ekonomi bawah

5
2.2.7 Riwayat Sanitasi LingkunganPasi
Pasien menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi, mencuci
dan sebagai sumber air untuk dikonsumsi. Air minum sehari-hari yang
berasal dari sumur selalu dimasak hingga mendidih sebelum dikonsumsi.
Untuk kebutuhan kakus, pasien dan keluarga menggunakan sungai.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan kurang.

2.2.8 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 2-3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah
nasi, tempe, tahu, ikan laut, dan ayam. Pasien jarang makan sayur karena
kondisi pekerjaan sebagai supir yang terkadang tidak memungkinkan
pasien untuk mengkonsumsi sayur. Pasien sehari minum air putih < 8
gelas per hari.
Kesan: Status gizi kurang seimbang.

2.2.9 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), pusing (+),
demam (+), kejang (-)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (+)
- Sistem pernapasan : sesak napas (+), batuk(+), pilek (-),
pernafasan cuping hidung (-),
retraksi dinding dada (+),
tidak ada ketertinggalan gerak.
- Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nafsu makan
menurun (+), perut membesar (-)
- Sistem urogenital : BAK lancar, tidak ada keluhan, edema
skrotum (-)
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-),
ruam (-)

6
- Sistem muskuloskeletal : tremor (-) pada keempat ekstremitas
edema (-) pada keempat ekstremitas,
atrofi (-), edema (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : kompos mentis
Vital Sign : TD : 100/60mmHg
HR : 98x/menit
RR : 22x/menit
Tax : 38.2oC
SpO2: 90%
Pernapasan : sesak (+), batuk (+)
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : tremor (-) pada keempat ekstremitas, edema (-) pada
keempat ekstremitas, atrofi (-)
Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
Status gizi : BB : 59 kg
TB : 164 cm
BMI = Berat Badan (kg) = 57 2,6896
Tinggi Badan(m)2 (1,64)2
= 21,94 (normal)

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Kepala
- Bentuk : oval, simetris, edema (-)
- Rambut : hitam, lurus, tebal

7
- Mata : edema periorbita : -/-
konjungtiva anemis: +/+
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
mata berkunang : -/-
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-), plak berwarna putih di lidah (-)

b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : normal

c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 (+) tunggal reguler, suara tambahan (-) murmur (-)

2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Bentuk thoraks normal  Bentuk thoraks normal
 Simetris  Simetris
 Retraksi +/+  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-
 Deviasi trakea -

8
Palpasi: P: Palpasi:
 Letak trakea dan iktus kordis  Nyeri tekan –
normal  Ruang antar iga teraba
 Ruang antar iga teraba normal
normal  Ekspansi dada
 Nyeri tekan – N N
 Ekspansi dada
N N
N N
N N
N N
 Fremitus raba
N N
N N
 Fremitus raba
N N
N N
N N
N N

N N

Perkusi : Perkusi :
S S S S

S S S S

S S S S S S S S

R R R R

9
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
v↑ v v↑ v

v↑ v v↑ v

v↑ v v↑ v

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki

- - - -

- - - -

- - - -

Wheezing Wheezing

+ - + -

+ - + -

+ - - -

Kesan: Pemeriksaan fisik pulmo terdapat kelainan pada perkusi dan auskultasi

d. Abdomen
- Inspeksi : flat, striae (-), spider nervi, pelebaran vena (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal 12x/ menit
- Perkusi : timpani di semua kuadran abdomen, shifting dullness (-)
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (-), hepatomegali (-)
Kesan: Pemeriksaan fisik abdomen dalam batas normal

10
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)

Kesan: Pemeriksaan fisik ekstremitas dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Laboratorium
1. Tanggal 10/10/2018

Pemeriksaan Nilai Normal

Hb (mg/dl) 12.8 13.5 - 17.5 gr/Dl

Leukosit (/mm3) 13.1 4.5 - 11.0 x 109/L

Hct (%) 37.9 41 - 53 %

Trombosit (/mm3) 116 150 - 450 x 109 /L

Faal Hati

SGOT (U/L) 15 10 - 35 U/L

SGPT (U/L) 15 9 - 43 U/L

Albumin 3.9 3.4 – 4.8 gr/dL

Gula Darah

GDS 109 <200 mg/dL

Faal Ginjal

Kreatinin Serum 0.6 0.6 – 1.3 mg/dL

BUN 13 6 - 20 mg/dL

Elektrolit
Natrium 140.6 135 – 155 mmol/L

11
Kalium 3.86 3.5 – 5.0 mmol/L

Chlorida 106.4 90 – 110 mmol/L

Calcium 2.29 2.15- 2.57 mmol/L

Pemeriksaan foto Thorax PA

Gambar 2.3 Foro thorax PA tanggal 1 Oktober 2018

Bacaan Rontgen Thoraks PA


Pulmo: tampak infiltrate di lapangan atas paru dextra dan sinistra
Cor: normal
Kesan: Tuberculosis aktif

12
Pemeriksaan TCM
Tidak ada pemeriksaan ulang.

2.5 Resume
 Seorang laki-laki datang ke IGD RS Soebandi Jember dengan keluhan:
TPL(Temporary problem list)
 Batuk darah sebanyak ± setengah ember kecil sejak pagi
 Sesak
 Batuk sejak dua bulan lalu
 Nyeri dada
 Demam sumer-sumer
 RPD: Keluhan yang sama sebelumnya pernah dialami pasien, batuk lama,
sesak, dan dahak bercampur darah.
RPO: Pasien pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya.
RPK: Tidak ada keluarga yang mengeluhkan gejala dan sakit yang sama.
 Riwayat sosio ekonomi: rendah
 Pemeriksaan fisik:
Didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran kompos mentis. Pada
pemeriksaan fisik paru didapatkan fremitus raba normal, terdapat suara
vesikuler meningkat dan perkusi normal, ditemukan juga suara wheezing
di paru kanan.
 Pemeriksaan penunjang
 Lab : Lab DL, faal hati dan Faal ginjal dalam batas normal
 Pemeriksaan sputum: tidak dilakikan
 Foto Thorax: Tuberculosis paru aktif.

2.6 Diagnosis Kerja


Tuberculosis paru aktif + Haemoptoe
Diagnosis banding
• Pneumoni
• Atelektasis

13
2.7 Penatalaksanaan
Planing monitoring
 Observasi vital sign
 Saturasi O2
 Pemeriksaan Darah lengkap
 Observasi berat badan
Planing diagnostik
 Pemeriksaan sputum
 Foto thorax
Planning Terapi
 O2 Nasal 3 lpm
 Inf PZ 20 tpm
Inj
 Santagesic 1 amp
 Ceftazidine 2 x 1 gram
 Asam tranexamat 3 x 1 ampul
 Bricasma 1 x 0.2 cc / sc
P/O
 codein 3 x 20 mg
Planing edukasi
 Istirahat yang cukup
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga 
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi
 Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli paru

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

14
Follow Up
Rabu, 10 Oktober 2018 Kamis, 11 Oktober 2018

S KU: Pasien mengeluh batuk darah, KU: Pasien mengeluh masih batuk
sesak, nyeri dada dan lemas dan lemas

O KU: lemah KU: lemah

Kes: compos mentis Kes: compos mentis

TD: 100/60mmHg TD: 110/80mmHg

N: 92x/mnt N: 94x/mnt

RR: 22x/mnt RR: 24x/mnt

Tax: 36oC Tax: 36oC

K/L: a/i/c/d: -/-/-/+ K/L:a/i/c/d:-/-/-/-

Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn

pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+ pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+

P : fr raba n/n P: fr raba n/n

P : sonor/sonor P : sonor/sonor

A : ves naik/ves rho -/- A : ves naik/ves rho -/-

whe +/- whe +/-

Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani

Ext: AH di keempat akral, edema --/-- Ext: AH (-) di keempat akral,

edema --/--

15
A Tuberculosis paru dropout on therapy Tuberculosis paru dropout on therapy
kategori 2 + haemoptoe kategori 2 + haemoptoe

P  Inf PZ 20 tpm + adona 5 cc  Inf PZ 20 tpm + adona 5 cc


 Inj. Asam traneksamat 3 x 1a  Inj. Asam traneksamat 3 x 1a
 Inj. Santagesic 3 x 1a  Inj. Santagesic 3 x 1a
 Inj. Ceftazidine 3 x 1 gram  Inj. Ceftazidine 3 x 1 gram
 Inj. Bricasma 1 x 0.2 cc /sc  Inj. Vit. K 3 x 1a
 Inj. Vit. K 3 x 1a  Inj. Streptomycin 1 x 750mg
 Inj. Streptomycin 1 x 750mg  p/o Codein 3 x 20 mg
 p/o Codein 3 x 20 mg  OAT kategori 2 dari puskesmas
 OAT kategori 2 dari puskesmas lanjut
lanjut

Jumat, 12 Oktober 2018 Sabtu, 13 Oktober 2018


KU: Pasien masih mengeluh batuk KU: Pasien masih mengeluh batuk

KU: cukup KU: cukup


Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 120/70mmHg TD: 120/80mmHg
N: 65x/mnt N: 76x/mnt
RR: 20x/mnt RR: 22x/mnt
o o
Tax: 36,8 C Tax: 36,8 C
K/L:a/i/c/d:-/-/-/- K/L:a/i/c/d:-/-/-/-
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn
pulmo/ I : simetri +/+, retraksi -/- pulmo/ I : simetri +/+, retraksi -/-
P: fr raba n/n P: fr raba n/n
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves/ves rho +/+ A : ves/ves rho +/+
whe +/- whe +/+

16
Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Ext: AH di keempat akral, edema --/-- Ext: AH di keempat akral, edema --/--

Tuberculosis paru dropout on therapy Tuberculosis paru dropout on therapy


kategori 2 + haemoptoe kategori 2 + haemoptoe
 Inf PZ 20 tpm + adona 5 cc  Inf PZ 20 tpm + adona 5 cc
 Inj. Asam traneksamat 3 x 1a  Inj. Asam traneksamat 3 x 1a
 Inj. Santagesic 3 x 1a  Inj. Santagesic 3 x 1a
 Inj. Ceftazidine 3 x 1 gram  Inj. Vit. K 3 x 1a
 Inj. Vit. K 3 x 1a  Inj. Streptomycin 1 x 750mg
 Inj. Streptomycin 1 x 750mg  p/o Cefixime 2 x 100 mg
 p/o Codein 3 x 20 mg  p/o Codein 3 x 20 mg
 OAT kategori 2 dari puskesmas  OAT kategori 2 dari puskesmas
lanjut lanjut
 Acc KRS

17
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Haemoptoe atau hemoptysis

3.1.1 Definisi Haemoptoe atau hemoptysis

Haemoptoe atau hemoptysis adalah ekspektorasi atau keluarnya darah yang


didahului dengan adanya batuk. Darah pada kondisi ini dapat disebabkan karena
berbagai macam hal, misalnya penyakit pada sistem pulmonari, kardiovaskular,
penyakit koagulasi, trauma maupun idiopati. Kasus terbanyak terjadi adalah
karenaadanya perdarahan pada saluran napas di bawah laring. Haemoptoe atau
hemoptysis berasal dari bahasa Yunani haima yang artinya darah dan pthysis
yang artinya meludah atau pengeluaran saliva di mulut.

3.1.2 Etiologi

Penyebab dari haemoptoe dapat dibagi atas :

1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh


karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada sistem koagulasi tubuh (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

18
Penyebab haemoptoe menurut penyelidikan Osler A. Abbott:

Presentase Presentase
Penyakit Pasien Penyakit Pasien
Hemoptisis Hemoptisis

Karsinoma
56,0 Empiema 24,5
bronkogenik

Metastasis
Abses paru 49,2 24,0
Karsinoma

Infark pulmonal 44,0

Tumor
Bronkiektasis 43,5 20,0
Mediastinum

Tuberkulosis 36,5 17,5

Obstruksi
Krista kongenital 25,8 9,0
Esofagus

Etiologi lain haemoptoe adalah sebagai berikut

1. Haemoptoe idiopatik
Haemoptoe idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0.5% sampai 58% dimana perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50
tahun dan kasus terbanyak pada umur 40-60 tahun serta berhenti
spontan dengan suportif terapi.
2. Haemoptoe sekunder
Haemoptoe sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
a. Oleh karena peradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale
> 4% (normal 1%)
1) TB: batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan
bergumpal.

19
2) Bronkiektasis: bercampur purulen.
3) Abses paru: bercampur purulen.
4) Pneumonia: warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis: sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru – infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
 ASD
 VSD
4) Trauma dada.

3.1.3 Patofisiologi

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan


hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru dan juga bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas (Pitoyo, 2011).

Mekanisma terjadinya haemoptoe adalah sebagai berikut :

1. Haemoptoe pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:


a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah lama
dipakai, tetapi beberapa laporan lebih membuktikan terdapat
hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan. (Soeroso et al.,
1992; Alsagaff dan Mukty, 2009; Ward et al., 2008)

20
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru. (Soeroso et al., 1992)
2. Haemoptoe pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau
berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh
darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.
(PAPDI, 2011)
3. Haemoptoe pada bronkiektasis:
Arteri bronkial pada bronkiektasis menjadi berliku-liku dan hipertrofi,
sehingga pada saat terjadinya peningkatan dari tekanan darah sistemik dapat
menyebabkan perdarahan masif. (PAPDI, 2011)
4. Haemoptoe pada bronchitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang radang terobek oleh mekanisme batuk.
(Pitoyo, 2011)
5. Haemoptoe pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka
pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada saat
batuk. (Pitoyo, 2011)
6. Haemoptoe pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
Hemoptysis pada penyakit ini diduga berasal dari pecahnya varises dari vena
bronkialis di submukosa bronkus akibat adanya hipertensi pulmonal. Pada
kasus ini tampak pelebaran pembuluh darah yang beranastomosis antara arteri
bronkialis dan pulmonalis. (PAPDI, 2011)
7. Haemoptoe pada emboli paru:
Hemoptysis timbul akibat infark jaringan paru. Perdarahan terjadi akibat
aliran darah berlebihan pada anastomosis bronkopulmonal sebelah distal dari
tempat sumbatan. (Pitoyo, 2011)
8. Haemoptoe pada Good Pasture syndrome:
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu terbentuknya
antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab) lebih spesifiknya
kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya keutuhan membranan

21
basalis epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya sel darah merah dan
netrofil masuk ke dalam alveoli. (Pitoyo, 2011)
9. Haemoptoe pada batuk keras:
Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus. Tanda
khasnya yaitu darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak bercampur di
dalamnya. (Pitoyo, 2011)
10. Trauma
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi
ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
(Hariadi et al., 2008)

3.1.4 Manifestasi Klinis

Untuk mengetahui penyebab haemoptoe kita harus memastikan bahwa


perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah dan bukan berasal dari
hidung, gusi, nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa
penderita tersebut benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah.

Tabel 1. Perbedaan haemoptoe dan haematemesis (Bidwell dan Pachner, 2005)


Kasper et al., 2016; PAPDI, 2011; Pitoyo, 2011)
No Keadaan Haemoptoe Hematemesis

1 Prodromal Darah dibatukkan dengan Darah dimuntahkan


rasa panas di tenggorokan, dengan rasa mual
tidak ada rasa mual muntah (Stomach Distress)

2 Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan, dapat


disertai dengan muntah disertai dengan batuk

3 Tampilan Darah berbuih bercampur Darah tidak berbuih ,


udara bercampur sisa makanan

22
4 Warna Merah segar Terkena asam lambung
berwarna hitam

5 Isi Bercampur dengan Bercampur dengan sisa


makrofag dan neutrofil makanan

6 PH Alkalis Asam

7 Riwayat Penyakit paru Penyakit hepar atau


penyakit dahulu gastrointestinal
(RPD)

8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis

9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /

Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)

Kriteria haemoptoe (Pitoyo, 2011):


1. Haemoptoe ringan (<25cc/24 jam).
2. Haemoptoe berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Haemoptoe masif (Haemoptoe masif adalah batuk yang mengeluarkan darah
sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria untuk hemoptisis masif menurut Busroh:

1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dengan
kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus
berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam tetapi lebih
dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb lebih dari 10 g%, dan selama
pengamatan 48 jam disertai dengan perawatan konservatif batuk darahtersebut
tidak berhenti. (Soeroso et al., 1992)

23
Sedangkan kriteria hemoptisis masif menurut Ibrahim (2008):
 Batuk darah > 100 ml dalam 24 jam.
 Batuk darah menyebabkan abnormalitas pertukaran gas dan/atau terjadi
obstruksi saluran napas.
 Batuk darah menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.

3.1.5 Tatalaksana

Pada umumnya haemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan


biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu haemoptoe yang
masif. (Kosasih et al., 2008)

Tujuan pokok terapi ialah :


1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
(Kosasih et al., 2008)
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmoner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
(Kosasih et al., 2008)
Masalah utama dalam hemoptysis adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan
hemoptysis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel.
Hemoptysis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik. (Kosasih et al., 2008)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah:
- Terapi konservatif
- Terapi definitif atau pembedahan.

24
1. Terapi konservatif
 Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
 Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
 Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran
napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
 Dada dikompres dengan es, hal ini biasanya menenangkan penderita.
 Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya Vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
 Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang
terjadi.
 Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin:
 Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
 Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi. (PAPDI, 2011)

2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan
operasi ini dilakukan atas pertimbangan:
 Terjadinya hemoptysis masif yang mengancam kehidupan pasien.
 Pengalaman berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
 Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptysis yang berulang dapat dicegah.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan
dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari

25
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
(Kosasih et al., 2008)

26
3.2 Tuberculosis paru

3.2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Infeksi bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai semua organ dengan paru sebagai lokal infeksi primer.

3.2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab
kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2016, terdapat 10,4 juta penderita TB, dan
1,7 juta diantaranya meninggal dunia (termasuk 0,4 juta orang dengan HIV
positif). Diperkirakan 1 juta anak-anak menderita TB dan 250.000 anak
meninggal karena TB (termasuk anak-anak dengan HIV terkait TB). Lebih dari
95% kematian TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Enam
negara dengan insiden TB paru tertinggi adalah India, Indonesia, China, Nigeria,
Pakistan dan Afrika selatan (menyumbang 60% dari total dunia), dan dari jumlah
tersebut Negara India, Indonesia dan China menyumbang sebanyak 45%
(WHO,2018).

3.2.3 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, bakteri
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0.3-0.6/ µm. Sebagian
besar dinding bakteri terdiri dari asam lemak (lipid), yang membuat bakteri lebih
tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut dengan bakteri tahan asam
(BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. Bakteri ini dapat hidup di udara kering
maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal
ini terjadi karena bakteri berada dalam sifat dormant yang memungkinkan bakteri
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi
Di dalam jaringan, bakteri ini hidup sebagai parasit intraselular yakni
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis malah

27
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini
adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang tinggi kandungan oksigennya (Sudoyo et al, 2009).

3.2.4 Patogenesis
a) Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi karena bakteri dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar UV ventilasi yang baik
dan kelembaban udara. Dalam suasana gelap dan lembab kuman dapat bertahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang
sehat, lalu akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Bakteri dapat juga
masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini jarang terjadi.
Bila bakteri ini menetap di jaringan paru maka akan membentuk sarang
Tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini dapat terjadi dibagian mana saja jaringan paru. Dari sarang primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga
diikuti pembesaran getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer +
limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer. Komplek primer ini
selajutnya dapat menjadi:

28
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang) Ghon.
 Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya.
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Dapat juga bakteri tertelan bersama sputum dan
ludah sehingga menyebar ke usus.
c. Secara limfogen, keorgan tubuh lainnya
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

b) Tuberkulosis Post Primer


Bakteri yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa
(tuberculosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, maupun gagal ginjal.
Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio
atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Tergantung dari jumlah bakteri, virulensi dan imunitas penderita, sarang
dini ini dapat menjadi:
Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa cacat
1. Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan sebukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih keras,
menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
2. Sarang dini meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan
jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis dan menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar
akan terjadillah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama

29
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik.

3.2.5 Klasifikasi
Pasien Tuberculosis dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2014).
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
- Tuberculosis paru
Adalah tuberculosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier
tuberculosis dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan
paru. Limfadenitis tuberculosis dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung tuberculosis pada paru, dinyatakan sebagai tuberculosis
ekstra paru. Pasien yang menderita tuberculosis paru dan sekaligus juga
menderita tuberculosis ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien
tuberculosis paru (Kemenkes RI, 2014).
- Tuberculosis ekstraparu
Adalah tuberculosis yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:
pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Diagnosis tuberculosis ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis
tuberculosis ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis. Pasien tuberculosis ekstra paru yang
menderita tuberculosis pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai
pasien tuberculosis ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran
tuberculosis yang terberat (Kemenkes RI, 2014).

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Kemenkes RI,


2014).

30
- Pasien baru: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
tuberculosis sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang
dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
- Pasien yang pernah diobati tuberculosis: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
 Pasien kambuh: adalah pasien tuberculosis yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
tuberculosis berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien
tuberculosis yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).
 Lain-lain: adalah pasien tuberculosis yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa (Kemenkes RI,
2014):
- Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
- Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
- Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal

31
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin).
- Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien Tuberculosis berdasarkan status HIV


- Pasien Tuberculosis dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV):
adalah pasien Tuberculosis dengan “hasil tes HIV positif sebelumnya
atau sedang mendapatkan ART” atau “hasil tes HIV positif pada saat
diagnosis Tuberculosis” (Kemenkes RI, 2014).
- Pasien Tuberculosis dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan “hasil
tes HIV negatif sebelumnya” atau “hasil tes HIV negatif pada saat
diagnosis Tuberculosis”.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien
Tuberculosis dengan HIV positif (Kemenkes RI, 2014).
- Pasien Tuberculosis dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien
Tuberculosis tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis
Tuberculosis ditetapkan (Kemenkes RI, 2014).

3.2.6 Diagnosis
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis bertujuan untuk menemukan kuman tuberculosis,
hal ini sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urine, feses, dan jaringan biopsy (Aditama TY et al, 2004).

Cara pengumpulan dan pengambilan bahan:


Cara pengambilan dahak dilakukan sebanyak 3kali (SPS)

32
 Sewaktu (dahak sewaktu kunjungan)
 Pagi (Dahak keesokan harinya)
 Sewaktu (dahak yang dikeluarkan saat mengantar dahak pagi)

2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA. Pemeriksaan lainnya dilakukan
atas indikasi: foto lateral, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto thorax,
tuberculosis dapat member gambaran bermacam-macam.
Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
 Bayangan berawan/ nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh baying opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura bilateral (umumnya), unilateral (jarang)
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

3. Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberculosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untu pembiakan kuman tuberculosis secara konvensional.
Dalam perkembangan teknologi saat ini kita dapat mengidentifikasi kuman
tuberculosis secara lebih cepat seperti:
1) BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan dengan BACTEC adalah radiometric. M.
Tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2
yang akan dideteksi growth indexnya oleh alat ini (Martin, et al 2011).

33
2) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA M.
Tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan metode ini adalah adanya
kontaminasi. Hasil pemeriksaan PCR dapat embantu menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar inernasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif, tetapi data lain
tidak ada yang mendukungke arah TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan dalam mendiagnosis TB (Martin, et al 2011).
3) Pemeriksaan serologi
 Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi (Martin, et al
2011).
 Immunochromatographic Tuberculosis (ICT)
Immunochromatographic Tuberculosis (ICT) adalah uji serologi untuk
mendeteksi antibody M. Tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan
uji diagnostic TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari
membrane sitoplasma M. Tuberculosis. Kelima antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membrane
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung menjadi 1 garis)
disamping garis control. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi
melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG
terhadap M. Tuberculosis, maka antibody akan berikatan dengan antigen
dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila
setelah 15 menit terbentuk garis control dan minimal satu dari 4 empat
garis antigen pada membrane (Martin, et al 2011).
 Mycodot
Uji ini mendeteksi antibody antimikrobal di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastic. Sisir plastic ini kemudian

34
dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut
terdapat antibody spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadaisesuai
dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
plastic tersebut (Martin, et al 2011).
 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi (Martin, et al 2011).
 Uji IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaa serologi dalam mendeteksi antibody
IgG dengan antigen spesifik untuk M. Tuberculosis. Uji IgG berdasarkan
antigen mikrobakterial rekombinan yang memberikan tingkat sensitifitas
dan spesifitas yang dapat diterima untuk menegakkan diagnosis. Di luar
negeri, metode ini sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu
(Martin, et al 2011).
4) Uji Tuberkulin
Uji tuberculin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberculosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberculosis yang tinggi, uji tuberculin sebagai
alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna apabila didapatkan knversi, bula atau apabila kepositifan
dari uji yang didapat besar sekali. Pada orang dengan malnutrisi dan infeksi
HIV uji tuberculin ini dapa memberikan hasil negative palsu (Martin, et al
2011).

3.2.7 Tatalaksana
a. Tujuan pengobatan TB (Kemenkes RI. 2014)
- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
- Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
- Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
- Menurunkan penularan TB.
- Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

35
b. Prinsip Pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat
harus memenuhi prinsip:
- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
- Diberikan dalam dosis yang tepat.
- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsusng oleh PMO (Pengawas
Minum Obat) sampai selesai pengobatan.
- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

c. Tahap pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud (Kemenkes RI, 2014) :
- Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapat
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu.
- Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membnuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persisten sehingga dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

36
d. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 3.1 OAT Lini pertama
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksisk,
gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisisn (R) bakterisidal Flu syndrome, gangguan GIT, urin warna
merah, gangguan fungsi hati,
trombositopenia, demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) bakterisidal Gangguan GIT, gangguan fungsi hati, gour
artritis
Streptomisisn (S) bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E) bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer

Tabel 3.2 Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa

Catatan: pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau
pasien dengan berat badan < 50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >

37
500 mg/ hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi
10mg/kgBB/hari.

Tabel 3.3 OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR

e. Panduan OAT di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan ISTC)


- Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu: kanamisin, kapreomisin,
levofloksasin, etionamide, sikloserin, moksifloksasin, dan PAS, serta
OAT lini-1 yaitu pirazinamid dan etambutol.

38
- Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien (Kemenkes RI, 2014).
- Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya (Kemenkes RI, 2014).
- Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien
(Kemenkes RI, 2014).
- Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan (Kemenkes RI,
2014).
- Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu (Kemenkes
RI, 2014):
 Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
 Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
 Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

39
f. Panduan OAT KDT lini pertama dan peruntukannya (Kemenkes RI, 2014).
Kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3  Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru
Tabel 3.4 Dosis paduan OAT KDT kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 3.5 Dosis paduan OAT kombipak kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
- Pasien kambuh
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 3.6 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

40
Tabel 3.7 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

g. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji
dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh
uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan
mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat.
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting
untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa
memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua
pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada
bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan (Kemenkes RI, 2014).

41
h. Hasil pengobatan TB

42
DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indon. 2004; 24:157-9Sinha K (2012)
Now, 2-hr Test to Detect Drug-Resistant TB. The Times of India: 18–20.
http://articles.timesofindia.indiatimes.com/20120201/india/31012478_1_mdr-
tb-tb-cases-single-drug-resistant-case. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018.

Bidwell, J. L., dan R. W. Pachner. 2005. Hemoptysis: diagnosis and


management. American Family Physician Journal. 72 (7): 1253-1260.

Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit paru. Penerbit Hipokrates. Jakarta:
2000.

Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson dan Loscalzo. 2016. Harrison’s


Principles of Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill Education Press.

Konsensus Tuberkulosis Paru. Diunduh dari:


http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf. Diakses tanggal 9 Oktober
2018.

Kosasih, A., A. D. Susanto, T. R. Pakki, dan T. Martini T. 2008. Diagnosis dan


Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta:
Sagung Seto, 2008.

Martin A, Paasch F, Docx S, Fissette K, Imperiale B, Ribón W, González LA,


Werngren J, Engström A, Skenders G, Juréen P, Hoffner S, del Portillo P,
Morcillo N, Palomino JC. Multicentre laboratory validation of the
colorimetric redox indicator (CRI) assay for the rapid detection of extensively
drug-resistant (XDR) Mycobacterium tuberculosis . J Antimicrob
Chemother. 2011;66:827–833. Diakses tanggal 8 Oktober 2018.

PAPDI. 2011. Hemoptisis dalam Panduan Pelayanan Medik. Edisi II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/3616799/PEDOMAN-NASIONAL-
PENANGGULANGAN-TUBERKULOSIS-2014. Diakses tanggal 4 Oktober
2018.

43
Peraturan Menteri Kesehatan- Penanggulangan Tuberkulosis 2016. Diakses
tanggal 10 Oktober 2018.

Pitoyo, C. W. 2011. Hemoptisis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Soeroso, H. L., H. Sugito, R. S. Parhusip, Sumari dan Usman. 1992. Hemoptisis


masif. Cermin Dunia Kedokteran. 80: 1-5.

TB paru. Diunduh dari: www.tbindonesia.or.id/tbnew/arsip/article/140. Diakses


tanggal 10 Oktober 2018.

World Health Organization. 2018. Tuberculosis paru. http://www.who.int/tb/en/.


Diakses tanggal 11 Oktober 2018.

Ward, J. P. T., J. Ward, R. M. Leach, dan C. M. Wiener. 2008. Tuberkulosis paru


dalam At A Glance Sistem Respirasi. Jakarta: Erlangga.

Yoga,Chandra. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta: 2006.

44

Anda mungkin juga menyukai