Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

Kita telah memfokuskan perhatian pada implikasi-implikasi yang dimiliki oleh


proses internasionalisasi terhadap aktivitas-aktivitas dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
MSDM. Suatu aktivitas besar dalam penempatan: siapa yang ditempatkan dalam
operasi-operasi asing dan unit-unit untuk melayani kebutuhan-kebutuhan manajerial dan
teknikal dari pertumbuhan bisnis internasional. Bab-bab dalam bagian II membahas
berbagai aspek berkaitan dengan penempatan karyawan: mengelola dan mendukung
penugasan-penugasan internasional. Kita juga mempertimbangkan isu-isu negara tuan
rumah dalam bab-bab awal buku ini, seperti standardisasi praktik-praktik kerja, proses-
proses, dan prosedur-prosedur serta implikasi-implikasi untuk MSDM. Dalam cara ini, kita
mencoba untuk menghadapi ketidakseimbangan isu-isu ekspatriat, sekaligus mengenal
kebutuhan yang berlanjut untuk mengelola penugasan penugasan internasional secara
efektif karena peran-peran stratejik para ekspatriat dan non ekspatriat yang penting
dalam mendukung operasi-operasi internasional. Pada bab-bab sebelumnya, kita juga
mengidentifikasi implikasi-implikasi SDM dari beberapa respon manajerial terhadap
perubahan lingkungan kerja global, terutama sekali mengembangkan cara berpikir global
untuk menjalankan operasi-operasi global, penggunaan mekanisme-mekanisme
pengendalian informal, komunikasi horizontal, tim lintas batas, dan penugasan-
penugasan internasional. Sekarang kita mengalihkan perhatian kepada perkembangan-
perkembangan yang sebelumnya tidak ditekankan dalam literatur MSDM Internasional
umum dan tantangan-tantangan yang mereka hadirkan pada MSDM Internasional: etika
bisnis internasional, cara operasi, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah,
perusahaan-perusahaan milik keluarga, dan organisasi-organisasi non pemerintah. Bab
ini disimpulkan dengan suatu diskusi singkat mengenai isu-isu penelitian dan
perkembangan-perkembangan teoritikal dalam bidang MSDM Internasional.
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam bab ini, kita mengidentifikasi dan menguraikan trend-trend yang


diobservasi dan arah masa depan MSDM Internasional berkenaan dengan:
1. Etika bisnis internasional
2. Cara operasi dan MSDM Internasional.
3. Isu-isu kepemilikan berkaitan dengan persyaratan-persyaratan MSDM
Internasional organisasi selain perusahaan multinasional besar, seperti:
o Perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah
o Perusahaan-perusahaan milik keluarga
o Organisasi-organisasi non pemerintah (NGO)

1. ETIKA BISNIS INTERNASIONAL DAN MSDM


Ketika bisnis dilaksanakan melintasi batas-batas nasional dan kebudayaan,
operasionalisasi suatu program etika perusahaan memberikan suatu tambahan tingkat
kompleksitas. Terutama sekali muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi
standar-standar etika universal dan nilai-nilai global. Hal ini terutama sekali menjadi
problematik ketika perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi di negara-negara
tuan rumah yang memiliki standar-standar praktik bisnis yang berbeda, yang secara
ekonomi miskin, yang tidak memiliki infrastruktur hukum yang memadai, yang memiliki
pemerintah yang korup dan terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Pertanyaan
relativitas etik tidak hanya timbul dalam konteks praktik-praktik kepegawaian negara asal
dan negara tuan rumah yang berbeda, tetapi juga dalam operasi pusat dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan perusahaan multinasional. Dalam bagian ini kita mengulas
perkembangan-perkembangan dalam empat bidang penting etika bisnis internasional
dan tantangan-tantangan yang ditimbulkan bagi para profesional SDM: nilai-nilai global,
kode tingkah laku korporat internasional, kriminalisasi penyuapan, dan munculnya peran
SDM dalam operasionalisasi program-program etik korporat.
1.1 Relativisme Etik atau Nilai-nilai Global?
Organisasi-organisasi global menghadapi suatu tantangan: haruskah mereka
menerapkan nilai-nilai mereka sendiri di manapun mereka melakukan bisnis, dengan
mengabaikan konteks kebudayaan dan standar-standar praktik-praktik lokal? Untuk
memahami dilema itu, ambil contoh situasi suatu perusahaan multinasional yang telah
menugaskan seorang PCN untuk mengelola operasinya di suatu negara tuan rumah di
mana penyuapan umum dipraktikkan, tenaga kerja anak-anak digunakan, dan
keselamatan tempat kerja kurang. Standar mana yang seharusnya diberlakukan, apakah
standar negara asal perusahaan multinasional atau Negara tuan rumah? Ada tiga respon
utama terhadap pertanyaan ini. Yang pertama melibatkan relativisme etik, yang kedua
absolutisme etik dan yang ketiga universalisme etik.
Untuk penganut relativisme etik, tidak ada benar dan salah yang berlaku universal
atau internasional, itu semua tergantung pada suatu nilai-nilai budaya dan keyakinan-
keyakinan khusus. Jadi jika rakyat Indonesia mentolerir penyuapan terhadap para
pejabat publik mereka, hal ini secara moral tidak lebih baik atau lebih buruk daripada
orang Singapura atau Denmark yang menolak untuk menerima penyuapan. Bagi
penganut relativisme etik, ketika ada di Roma, seseorang seharusnya melakukan seperti
apa yang dilakukan oleh orang Roma. Pada saat relativisme etik dapat menarik mereka
yang takut imperialisme kebudayaan, hal ini secara logis dan etik merupakan teori yang
membingungkan.
Tidak seperti relativisme, penganut absolutisme etik (atau imperalis) yakin bahwa
ketika di Roma, seseorang seharusnya melakukan apa yang dilakukannya di negara asal,
dengan mengabaikan apa yang dilakukan orang Roma. Pandangan etika ini memberi
keunggulan pada nilai-nilai kebudayaannya sendiri. Penentang pandangan ini
berpendapat bahwa para penganur absolutisme etik adalah para individu yang tidak
bertoleransi, yang membingungkan rasa hormat untuk tradisi-tradisi lokal dengan
penganut relativisme etik. Haruslah dicatat bahwa pada saat beberapa perilaku salah di
manapun mereka dipraktikkan (misalnya penyuapan para pejabat pemerintahan),
perilaku-perilaku lainnya dapat ditolerir dalam konteks kebudayaan mereka (misalnya
praktik pemberian hadiah secara rutin antara orang-orang bisnis Jepang). Ketika PCN
terlalu lambat menemukan bahwa lingkungan politik—hukum di mana kebijaksanaan-
kebijaksanaan negara asal mereka dirumuskan secara signifikan berbeda dari apa yang
terdapat di negara-negara tuan rumah di mana mereka beroperasi, akibat-akibatnya
dapat sangat jauh berbeda. Kelly (1993) menyebutkan suatu contoh seorang manajer
bank ekspatriat Amerika Serikat di Itali dikejutkan oleh rekomendasi cabang lokal untuk
melaporkan laba bank yang diperkecil untuk tujuan pajak penghasilan dan mendesak
pendapatan bank dilaporkan dalam cara yang sama dengan yang mereka lakukan di
Amerika Serikat dengan akurat. Kemudian pada pemeriksaan pajak bank, ia diberitahu
oleh Departemen Perpajakan Itali bahwa bank berutang tiga kali dari pajak yang telah
dibayarkan. Hal ini mencerminkan asumsi standar Departemen Perpajakan Itali bahwa
semua perusahaan yang melaporkan lebih rendah penghasilannya sebesar dua pertiga.
Penilaian baru ini berlaku meskipun ekspatriat merriprotesnya.
Bertentangan dengan relativisme etik, penganut universalisme etik yakin bahwa
terdapat prinsip-prinsip fundamental tentang benar dan salah yang lebih penting dari
batasan-batasan kebudayaan dan perusahaan multinasional harus patuh pada prinsip-
prinsip fundamental atau nilai-nilai global ini. Tidak seperti penganut absolutisme,
penganut universalisme berhati-hati untuk membedakan praktik-praktik yang hanya
berbeda secara budaya dengan yang secara moral salah. Tetapi apakah nilai-nilai dan
prinsip-prinsip etik global bersama ini?
Donaldson (1996: 48-62) mengidentifikasi kejujuran, perasaan terharu, tanggung
jawab, kebebasan, rasa hormat pada kehidupan dan alam, keadilan, toleransi, dan
kesatuan (keluarga atau komunitas) sebagai nilai-nilai global inti yang dianut orang-orang
dengan mengabaikan ras, budaya, jenis kelamin, atau agama. Tantangan untuk bisnis
terletak pada bagaimana menjadikan mereka sebagai nilai-nilai bisnis inti,
melaksanakannya, bagaimana meluruskan karyawan kepada nilai-nilai ini. Misalnya, nilai
rasa hormat dapat meliputi menilai perbedaan-perbedaan (jenis kelamin, orientasi
seksual, ras, agama, dan sebagainya), perlindungan terhadap godaan seksual, dan
memahami stereotype seperti keselamatan tempat kerja, keamanan produk, dan
perlindungan lingkungan. Tantangan bagi para manajer yang beroperasi dalam
lingkungan-lingkungan kebudayaan yang beragam adalah kebudayaan-kebudayaan
yang berbeda akan memberi prioritas nilai-nilai etik inti secara berbeda dan akan
menerjemahkan nilai-nilai ke dalam perilaku-perilaku spesifik secara berbeda pula. Hal
ini merupakan alasan utama mengapa kebudayaan-kebudayaan bertentangan dan
pokok dilema etik yang sesungguhnya. Misalnya, di Amerika Serikat, kebebasan
dianggap sebagai nilai global yang paling penting, sedangkan di Asia, keluarga atau
kesatuan komunitas dipilih sebagai nilai terpenting. Eropa menggambarkan serangkaian
kebudayaan, termasuk keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab bersama dengan
kebebasan dan kesatuan sebagai nilai-nilai etik utama.
Eksistensi prinsip-prinsip etik universal dapat juga dilihat dalam persetujuan-
persetujuan yang ada di antara negara-negara yang menandatangani Deklarasi Hak-hak
Asasi Manusia PBB dan sejumlah persetujuan internasional seperti Pedoman untuk
Perusahaan-perusahaan Multinasional yang disetujui oleh Organization of Economic
Cooperation and Development (OECD) dan Caux Roundtable Principles of Business.
Frederick (1997: 576-588) membahas wewenang moral dari kode transnasional dan
menyatakan bahwa mereka menunjukkan timbulnya suatu etika korporat transbudaya
dan menyediakan pedoman-pedoman yang memiliki kemampuan untuk diterapkan
secara langsung pada sejumlah operasi sentral dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
perusahaan multinasional meliputi aktivitas-aktivitas MSDM seperti penempatan staf,
kompensasi, pelatihan karyawan, kesehatan dan keselamatan kerja. Tetapi pernyataan
bahwa terdapat nilai-nilai global dan prinsip-prinsip universal yang seharusnya diikuti
dalam bisnis internasional tidaklah konsisten dengan pandangan bahwa terdapat suatu
rentang situasi yang lebar di mana variasi-variasi dalam praktik bisnis diperbolehkan.
Donaldson dan Dunfee (1996: 48-62) menyebutnya ruang bebas moral dalam suatu
dunia norma-norma moral universal.

1.2 Inisiatif Regulasi Sendiri: Kode Tingkah Laku Korporat Internasional


Kebutuhan untuk persetujuan-persetujuan internasional dan kode tingkah laku
korporat telah tumbuh sejaian dengan penyebaran bisnis internasional. Kita membahas
beberapa hal ini dalam bab 1 pada bagian mengelola para subkontraktor, usaha-usaha
perusahaan multinasional untuk melakukan praktik-praktik perekrutan, isu-isu kesehatan
dan keselamatan serta perilaku yang tepat melalui ketaatan terhadap kode tingkah laku.
Menerjemahkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai etik dalam praktik wilayah bisnis
internasional bahkan memperkenankan beberapa konsensus dalam komunitas
internasional, adalah suatu tugas yang sangat besar tanpa adanya wewenang legislatif
yang melampaui batas-batas negara. Seperti disebutkan di atas, sejumlah mekanisme
untuk memfasilitasi penyatuan nilai-nilai etik ke dalam perilaku bisnis internasional telah
disarankan. Dapat diperkirakan, hal-hal ini telah memusatkan perhatian pada regulasi,
baik yang ditentukan sendiri dan ditetapkan pemerintah, pengembangan persetujuan-
persetujuan internasional, dan penggunaan program-program pendidikan dan pelatihan.
Satu inisiatif yang paling menarik dalam regulasi sendiri bisnis internasional adalah
Caux Roundtable Principles for Business Conduct yang dikembangkan pada tahun 1994
oleh para pemimpin bisnis Jepang, Eropa, dan Amerika Utara yang mengadakan
pertemuan di Caux, Switzerland. Ini merupakan kode etik bisnis internasional yang
pertama dan bertujuan untuk menetapkan suatu acuan global, di mana perusahaan-
perusahaan individu dapat menulis kode etik mereka sendiri dan mengukur perilaku para
eksekutif mereka. Caux Principles didasarkan pada dua teladan etik dasar: kyosei dan
martabat manusia. Mukadimah Caux Principles menyatakan bahwa:
"The Japanese concept of kyosei means living and working together for the common
good - enabling cooperation and mutual prosperity to co-exist with healthy and fair
competition. Human dignity relates to the sacredness or value of each person as an
end, not simply as the means to the fulfillment of other's purposes or even majority
prescription."
(Konsep orang Jepang kyosei berarti hidup dan bekerja bersama untuk kebaikan
bersama—memung-kinkan kerja sama dan kemakmuran bersama untuk
berdampingan dengan kesehatan dan persaingan yang jujur. Martabat manusia
berkaitan dengan kesucian atau nilai setiap orang sebagai suatu tujuan, tidak hanya
sebagai cara untuk memenuhi maksud-maksud lain atau bahkan mayoritas resep).

Caux Principles bertujuan untuk mengoperasionalisasi dua nilai ganda untuk hidup
dan bekerja sama serta martabat manusia dengan memperkenalkan perdagangan
bebas, integritas lingkungan dan kebudayaan, serta pencegahan penyuapan dan
korupsi. Prinsip-prinsip umum menjelaskan semangat kyosei dan martabat manusia.
Menurut Payne (1997: 1727-1735), kebutuhan untuk kode tingkah laku yang kohesif dan
komprehensif untuk perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan-perusahaan
yang lebih kecil yang terlibat dalam bisnis internasional diakui secara luas sebagai suatu
isu penting. Studi-studi di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia secara
konsisten melaporkan bahwa 80-95 persen perusahaan memiliki kode tingkah laku.
Suatu contoh yang baik dari kode tingkah laku korporat perusahaan multinasional yang
secara kohesif dan komprehensif mengakui hubungan antara perusahaan dan para
pihak berkepentingannya adalah Johnson & Johnson's Credo, yang menyatakan sebagai
berikut seperti dikiutip oleh Boatright (2000: 11):

"We are responsible to our employee, the men and women who work with us
throughout the world. Everyone must be considered as an individual. We must
respect their dignity and recognize their merit. They must have a sense of security
in their jobs. Compensation must be fair and adequate, and working conditions
clean, orderly and safe. We must be mindful of ways to help our employees fulfill
their family responsibilities. Employees must feel free to make suggestions and
complaints. There must be equal op portunity for employment, development and
advancement for those qualified. We must provide competent management, and
their actions must be just and ethical. We are responsible to the communities in
which we will live and work and to the world community as well. We must be good
citizens - support good works and charities and bear our fair share of taxes. We
must encourage civic improvements and better health and education. We must
maintain in good order the property we are privileged to use. protecting the
environment and natural resources."
(Kami bertanggung jawab kepada karyawan kami, para pria dan wanita yang
bekerja dengan kami di seluruh dunia. Setiap orang harus diakui sebagai seorang
individu. Kita harus menghormati martabat mereka dan mengakui jasa mereka.
Mereka harus memiliki suatu rasa aman dalam pekerjaan mereka. Kompensasi
harus adil dan memadai serta kondisi kerja bersih, teratur, dan aman. Kami harus
memikirkan cara-cara untuk membantu para karyawan kami memenuhi tanggung
jawab kelu-arga mereka. Para karyawan harus merasa bebas untuk membuat
saran-saran dan keluhan-keluhan. Harus ada peluang yang sama untuk pekerjaan,
pengembangan dan kemajuan bagi mereka yang bermutu. Kami harus
menyediakan manajemen yang kompeten, dan tindakan-tindakan mereka harus
pantas dan etis. Kami bertanggung jawab kepada komunitas-komunitas di mana
kami hidup dan bekerja dan juga kepada komunitas dunia. Kami harus menjadi
warga negara yang baik—mendukung pekerjaan-pekerjaan dan amal-amal baik
serta menanggung bagian pajak kami dengan jujur. Kami harus mendorong
perbaikan-perbaikan penduduk dan kesehatan serta pendidikan yang lebih baik.
Kami harus memelihara milik kami dengan baik, melindungi lingkungan dan
sumber-sumber daya alam).

Dalam menyebut nilai-nilai inti kemanusiaan dari warga negara yang baik, rasa
hormat untuk martabat manusia, rasa hormat untuk hak-hak dasar, keadilan, dan
menggunakannya untuk membatasi perilaku etis, Johnson & Johnson's Credo memenuhi
standar-standar Caux Principles, deklarasi PBB mengenai hak-hak asasi manusia
fundamental, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Suatu kesulitan umum
dengan kode-kode etik adalah pelaksanaan. Sikap-sikap manajemen senior memainkan
suatu peran yang sangat penting dalam mengembangkan, melaksanakan, dan
mendukung standar-standar etik yang tinggi. Para profesional SDM dapat membantu
perusahaan multinasional untuk melembagakan ketaatan pada kode-kode etik melalui
suatu rangkaian aktivitas-aktivitas SDM meliputi pelatihan dan sistem kinerja - imbalan.
Penelitian tentang program-program etik korporat menunjukkan bahwa pada saat
sebagian besar perusahaan-perusahaan besar memiliki kode tingkah laku korporat,
pelatihan di dalam dan pelaksanaan kode-kode menjadi problematis. Misalnya Brewster
(2003) menyatakan dari suatu studi tentang operasionalisasi etik terhadap 2.000
perusahaan Australia dilaporkan bahwa 92 persen perusahaan memiliki kode tingkah
laku korporat, 66 persen menyediakan pelatihan dalam kode-kode ini, 53 persen meliputi
pelaksanaan etik dalam program-program manajemen kinerja formal dan 16 persen
meliputi pelaksanaan etik dalam sistem imbalan formal mereka. Studi-studi di Amerika
Serikat, Inggris, dan Kanada melaporkan temuan-temuan yang sama. Jika mekanisme-
mekanisme peraturan sendiri gagal membentuk tingkat perilaku yang bertanggung jawab
secara sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat dari perusahaan -perusahaan
multinasional, perusahaan-perusahaan dapat mengharapkan langkah legislatif akan
diminta untuk menyelesaikan konflik-konflik antara mereka sendiri serta negara-negara
asal dan negara-negara tuan rumah. Demikian pula dengan kasus penyuapan.

1.3 Peraturan Pemerintah: Pengembangan-pengembangan Global Baru dalam


Kriminalisasi Penyuapan
Green (1994: 290) menyatakan bahwa penyuapan dan korupsi menduduki
peringkat atas dalam daftar masalah-masalah etik yang paling sering dihadapi oleh para
manajer internasional. Pada tahun 2002 Bank Dunia memperkirakan sekitar 80 miliar
dolar Amerika Serikat setiap tahunnya dikorupsi para pejabat pemerintah. Penyuapan
melibatkan pembayaran pada agen-agen atau wakil-wakil untuk mengerjakan hal-hal
yang tidak konsisten dengan kegunaan posisi atau kantor mereka untuk memperoleh
suatu keuntungan yang tidak layak. Penyuapan dapat dibedakan dari apa yang disebut
pemberian hadiah dan pembayaran pelicin atau pemberian fasilitas. Yang terakhir adalah
pembayaran-pembayaran untuk memotivasi para agen atau wakil untuk menyelesaikan
suatu tugas yang akan mereka kerjakan secara rutin dalam rangkaian kewajiban-
kewajiban normal mereka. Sementara sebagian besar orang tidak secara terbuka
memaafkan penyuapan, banyak yang beralasan untuk suatu pendekatan yang toleran
berdasarkan pada pandangan bahwa penyuapan diperlukan untuk melakukan bisnis
(argumen penganut relativisme etik). Bagaimanapun juga sekarang ini umumnya
disetujui bahwa penyuapan meruntuhkan keadilan, efisiensi, dan integritas dalam
pelayanan publik, mengurangi kepercayaan publik di pasar dan membantu program-
program, menambah biaya produk dan dapat mempengaruhi keselamatan dan
kemakmuran ekonomi publik.
Untuk alasan-alasan ini telah ada suatu gerakan yang luas secara internasional
untuk mengkriminalisasikan praktik penyuapan. Pada tahun 1977, Amerika Serikat
memberlakukan Foreign Corrupt PracticesAct (FCPA) untuk melarang perusahaan-
perusahaan dan warga negara Amerika Serikat untuk memberi suap kepada para pejabat
pemerintahan asing. Selain itu, pembayaran-pembayaran kepada para agen melanggar
FCPA jika diketahui bahwa agen akan menggunakan pembayaran-pembayaran itu untuk
menyuap seorang pejabat pemerintahan. FCPA diamandemen pada tahun 1988 untuk
mengizinkan pembayaran-pembayaran fasilitas atau kemudahan, tetapi mengamanatkan
ketentuan pemeliharaan catatan untuk memastikan bahwa pembayaran-pembayaran
illegal tidak disamarkan sebagai biaya-biaya bisnis atau hiburan. Carson (1984: 66-90)
menyatakan bahwa FCPA dikritik telah menempatkan perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat pada keadaan persaingan yang tidak menguntungkan karena perusahaan-
perusahaan Eropa dan Asia tidak menghadapi tuntutan kriminal untuk memberikan
suapan kepada para pejabat asing. Bukti kerugian kompetitif FCPA bercampur. FCPA
juga dikritik oleh beberapa pihak untuk ethnosentriknya, sementara pihak lain melihatnya
sebagai kepemimpinan moral pada wilayah-wilayah di Amerika Serikat.
Dalam kekurangan peraturan internasional sendiri yang memadai untuk
mengendalikan penyuapan dan korupsi, Amerika Serikat mencoba mempengaruhi
negara-negara berbangsa tunggal lainnya selama hampir dua dekade untuk
memberlakukan peraturan pemerintah domestik yang seragam dengan tujuan
menyediakan suatu tingkat aturan medan permainan. Akhirnya pada bulan Desember
1996 PBB menerapkan Deklarasi Melawan Korupsi dan Penyuapan dalam Transaksi-
transaksi Komersial Internasional, yang melibatkan para anggota PBB untuk
mengkriminalisasikan penyuapan dan meniadakan pengurangan pajak untuk
penyuapan. Satu tahun kemudian Deklarasi yang disahkan oleh 30 negara anggota dan
4 negara bukan anggota OECD menyetujui Konvensi Memberantas Penyuapan Para
Pejabat Publik Asing dalam Transaksi-transaksi Bisnis Internasional (Konvensi OECD).
Di bawah Konvensi OECD, para anggota menyetujui untuk menetapkan perUndang-
Undangan domestik sebelum akhir tahun 1998 yang mengkriminalisasikan penyuapan
para pejabat publik asing atas suatu dasar ekstra tentorial. Konvensi OECD mulai berlaku
Februari 1999 dan menjelang pertengahan tahun 2002 Konvensi itu telah disahkan oleh
34 dari 35 negara-negara yang menandatangani. Setiap negara anggota diharuskan
untuk melakukan suatu tinjauan rekan kerja dan menyediakan suatu laporan mengulas
pelaksanaan konvensinya. Laporan-laporan negara tersedia dalam website OECD.
Beberapa negara di luar OECD juga telah bergerak membatasi penyuapan dan korupsi.
Misalnya, di Malaysia dan Singapura, beberapa perusahaan asing yang tertangkap
menyuap para pejabat publik telah dinyatakan tidak berhak ikut menawarkan kontrak-
kontrak pemerintah masa yang akan datang. Konvensi OECD mengharuskan sanksi-
sanksi yang sepadan dengan hukuman-hukuman domestik yang diterapkan kepada
penyuapan para pejabat publik. Di bawah FCPA denda korporat dapat mencapai US $ 2
juta dan hukuman individu sampai dengan US $ 100,000 dan 5 tahun penjara.
Dengan keseriusan pelanggaran terhadap Konvensi OECD, adalah sangat penting
bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam bisnis global mengambil langkah-
langkah aktif untuk mengelola pembongkaran potensial mereka. Juga meskipun
Konvensi OECD sekarang ini menyebutkan sisi penawaran korupsi dalam sektor publik,
tampaknya bahwa ambisi Konvensi akan diperluas untuk meliputi penyuapan pada sektor
swasta selain sisi kebutuhan penyuapan. Para profesional SDM memiliki suatu peran
penting untuk bermain dalam melaksanakan suatu rencana stratejik untuk pemenuhan
aspek hukum dan mengembangkan kode-kode korporat untuk pemenuhan sukarela.
Mereka dapat menyediakan pelatihan dalam memahami perbedaan antara korupsi,
pembayaran-pembayaran suap, hadiah-hadiah, dan pembayaran-pembayaran
kemudahan atau fasilitas yang diizinkan dan mengembangkan keterampilan-
keterampilan negosiasi untuk menangani situasi-situasi yang dapat timbul dalam wilayah-
wilayah atau daerah-daerah dan industri-industri yang sensitif secara geografis. Seperti
dicatat di atas, mereka dapat juga melaksanakan program-program manajemen kinerja
untuk mendukung usaha-usaha mengurangi korupsi.
Perdebatan tentang pembayaran kepada para pejabat asing tampaknya berlanjut
untuk beberapa tahun. Kelompok non pemerintah Berlin Transparency International
menerbitkan suatu Indeks Persepsi Korupsi tahunan. Indeks itu mengukur tingkat
persepsi, bukan tingkat aktual korupsi pada lebih 50 negara dan didasarkan pada survei
internasional terhadap orang bisnis dan jurnalis-jurnalis finansial. Peringkat diberi skor
dari 0 (paling korup) sampai 10 (paling tidak korup). Tabel 6-1 menunjukkan 10 negara
paling korup dan 10 negara paling tidak korup dalam urutan menurun dari indeks tahun
2002. Finlandia dan Denmark adalah dua negara paling tidak korup, sedangkan Nigeria
dan Bangladesh berada di ranking 101 dan 102 pada daftar itu. Meskipun tidak termasuk
dalam tabel itu, data untuk Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara itu berada
dalam posisi urutan ke-16 pada tahun 2002 untuk negara-negara yang paling tidak
korup.
Tabel 1.3
Indeks Korupsi Dunia
10 negara Skor Indeks 10 negara paling Skor Indeks Per-
paling korup Persepsi Korupsi" tidak korup sepsi Korupsia)
Bangladesh 1,2 Finlandia 9,7
Nigeria 1,6 Denmark 9,5
Paraguay 1,7 New Zealand 9,5
Madagaskar 1,7 Islandia 9,4
Angola 1,7 Singapura 9,3
Kenya 1,9 Swedia 9,3
Indonesia 1,9 Kanada 9,0
Azerbaijan 2,0 Belanda 9,0
Uganda 2,1 Luxemburg 9,0
Moldova 2,1 Inggris 8,7
" Skor Indeks Persepsi Korupsi tahun 2002 menghubungkan persepsi tingkat
korupsi yang dilihat oleh orang bisnis dan analis risiko, dan rentang antara 10
(sangat bersih atau tidak korup) dan 0 (sangat korup)

Sumber: Diambil dari Indeks Persepsi Korupsi Transparency International tahun 2002
(www.transparency.org)

1.4 Munculnya Peran SDM dalam Operasionalisasi Program-Program Etik Korporat


Baru-baru ini terdapat diskusi dalam literatur etik tentang fungsi SDM dalam
menjalankan peran berkaitan dengan masalab etik, dengan beberapa penulis
berpendapat bahwa SDM memiliki suatu peran khusus dalam melaksanakan formulasi,
komunikasi, pemantauan, dan pelaksanaan suatu program etik perusahaan. Wiley (1998:
147-161) berpendapat bahwa literatur etika bisnis Amerika Serikat umumnya
menggambarkan pandangan bahwa fungsi SDM bersamaan dengan keuangan dan
hukum merupakan bidang tanggung jawab yang tepat untuk suatu program etik
perusahaan.
Studi-studi empiris telah mulai menyelidiki petunjuk-petunjuk dan strategi-strategi
etik mana untuk manajemen etika yang seharusnya digerakkan oleh SDM. Survei yang
dilakukan oleh Society for Human Resource Management/Ethics Resource Centre
(SHRM/ERC) pada tahun 2003 menemukan bahwa 71 persen profesional SDM terlibat
dalam merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan etik untuk perusahaan-perusahaan
mereka dan 69 persen adalah suatu sumber daya yang utama untuk inisiatif etika
perusahaan mereka. Tetapi para responden SHRM tidak menganggap etik sebagai satu-
satunya tanggung jawab SDM. Ketika diminta untuk menunjukkan derajat di mana
mereka memikirkan unit-unit atau posisi-posisi lain yang seharusnya bertanggung jawab
untuk kepemimpinan etik, 96 persen professional SDM mengatakan Chief Executive
Officer (CEO), 93 persen Wakil Presiden fungsional, 90 persen atasan langsung, 77
persen Dewan Direksi, dan 65 persen penasihat hukum. Brewster, Carey, Dowling,
Grobler dan rekan-rekan (2003) menyatakan bahwa suatu studi Australia mengenai
operasionalisasi etik dalam perusahaan-perusahaan melaporkan temuan serupa dengan
sekitar 70 persen responden melaporkan bahwa derajat di mana SDM saat ini yang
bertanggung jawab untuk perumusan program-program etik korporat adalah suatu jumlah
besar (38,4 persen) atau betul-betul banyak (31,3 persen).
Brooks (1995) mengemukakan bahwa suatu survei Kanada terhadap para CEO
memberikan dukungan terhadap temuan-temuan Amerika Serikat dan Australia. Ketika
ditanya bidang fungsional mana yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk
administrasi kode tingkah laku korporat, 37 persen CEO menjawab SDM, 19 persen
menjawab hukum, dan 9 persen menjawab manajemen senior. Dalam tugas tanggung
jawab untuk merevisi kode tingkah laku korporat, 40 persen menyebutkan SDM, 31
persen menyebutkan hokum, dan 10 persen menyebutkan Presiden Direktur
perusahaan. Tetapi, Robertson dan Schlegelmilch (1993: 301-312) melaporkan bahwa
perusahaan-perusahaan di Inggris lebih besar kemungkinannya mengkomunikasikan
kebijaksanaan-kebijaksanaan etik melalui para eksekutif senior daripada departemen
SDM. Hasil-hasil mereka menunjukkan bahwa CEO dan Direktur Pelaksana memiliki
tanggung jawab utama untuk mengkomunikasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
kode-kode etik dalam 69 persen perusahaan Inggris dan 42 persen perusahaan Amerika
Serikat. Ini dibandingkan dengan fungsi SDM yang memiliki tanggung jawab utama untuk
mengkomunikasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan etik dalam 15,7 persen perusahaan
Inggris dan 33,2 persen perusahaan Amerika Serikat.
Secara keseluruhan, temuan-temuan empiris ini mengakui bahwa SDM
diposisikan dengan baik dalam membuat kontribusi penting untuk menciptakan,
melaksanakan, dan mendukung perilaku organisasi etik dalam suatu paradigma SDM
stratejik. Para profesional SDM telah mengkhususkan keahlian dalam bidang budaya
organisasi, komunikasi, pelatihan, manajemen kinerja, kepemimpinan, motivasi,
dinamika kelompok, struktur organisasi, dan manajemen perubahan—semua itu adalah
faktor-faktor kunci untuk mengintegrasikan tanggung jawab etik ke dalam seluruh aspek
kehidupan organisasi. Pada waktu yang bersamaan, temuan itu menyatakan bahwa
tanggung jawab untuk kepemimpinan etik seharusnya melintasi semua fungsi dan
tingkatan manajerial, termasuk para manajer lini dan senior.

1.5 Tantangan-tantangan untuk Fungsi SDM Perusahaan Multinasional


Meskipun orang-orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas bisnis internasional
menghadapi banyak isu etik yang sama seperti yang mereka hadapi dalam bisnis
domestik, isu-isu dalam bisnis internasional lebih kompleks karena lingkungan-
lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum yang berbeda di mana
perusahaan multinasional beroperasi. Sebagai akibatnya, perusahaan multinasional
akan perlu mengembangkan praktik-praktik pembuatan peraturan sendiri melalui kode-
kode etik dan pedoman-pedoman perilaku untuk ekspatriat, TCN, dan karyawan HCN
lokal. Perusahaan-perusahaan yang boleh memilih dengan sengaja atau tidak sengaja
untuk meninggalkan pertimbangan-pertimbangan etik sampai kepada individu tidak
hanya berkontribusi pada tekanan-tekanan beroperasi dalam suatu lingkungan asing
(dan mungkin berkontribusi pada kinerja yang buruk atau penarikan kembali ekspatriat
sebelum waktunya), tetapi juga memungkinkan terjadinya inkonsistensi internal yang
mempengaruhi kinerja global secara keseluruhan.
Ketika merekrut dan menyeleksi para ekspatriat, kemampuan mereka untuk
mengelola dengan integritas dapat merupakan suatu kriteria yang relevan dengan
jabatan. Pelatihan sebelum keberangkatan para ekspatriat dan program orientasi mereka
seharusnya meliputi suatu komponen etik. Hal ini dapat meliputi studi-studi formal dalam
teori etika dan pengambilan keputusan, juga diskusi interaktif dan permainan peran
seputar dilema-dilema yang mungkin dihadapi para ekspatriat. Dalam suatu usaha untuk
membuat para manajer peka terhadap perbedaan kebudayaan dan menerima pendapat
bahwa praktik-praktik negara asal tidak selalu merupakan praktik terbaik atau satu-
satunya praktik. Masih terdapat suatu penekanan dalam pelatihan bisnis internasional
untuk menerapkan cara-cara yang dilakukan oleh budaya-budaya lain dalam
menjalankan bisnis. Dalam merancang program-program pelatihan untuk memenuhi
tantangan-tantangan bisnis multinasional, para profesional SDM harus mengangkat tidak
hanya isu relativitas budaya, tetapi juga derajat di mana tuntutan-tuntutan moral melebihi
batas-batas nasional dan budaya.
Juga penting bagi departemen SDM untuk memantau kinerja sosial (etik) para
manajer ekspatriat untuk memastikan bahwa pada saat para manajer menjadi terbiasa
dengan kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik persaingan di negara tuan rumah,
mereka tidak kembali mengerjakan kebiasaan lama yang tidak baik dan masuk dalam
rasionalisasi bahwa "setiap orang lainnya berbuat seperti itu". Untuk menghindari godaan
memutus sudut etik, para ekspatriat tidak seharusnya ditempatkan di bawah tekanan-
tekanan yang tidak masuk akal untuk menyampaikan hasil-hasil keuangan yang baik dan
mereka harus diberi umpan balik dan penguatan. Penilaian kinerja, program-program
kompensasi, dan perjalanan-perjalanan ke negara asal secara teratur merupakan
instrumen-instrumen paling penting dalam mengembangkan dan memelihara budaya-
budaya etik. Departemen SDM juga harus menawarkan dukungan terus menerus kepada
para ekspatriat melalui penugasan-penugasan mereka. Hal ini dibuat relatif lebih mudah
melalui teknologi seperti surat elektronik (e-mail) dan konferensi video {video
conference). Seseorang dapat membayangkan bahwa seorang ekspatriat yang
dihadapkan dengan suatu dilema moral dapat memiliki akses yang siap pakai untuk
memantau situasi di negara asal atau para ekspatriat di negara-negara lain melalui
teknologi ini.
Perkembangan suatu komunitas murni internasional masih berada dalam masa
pertumbuhan dan masih belum ada kesepakatan tentang apa yang seharusnya
merupakan suatu etika global untuk menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam
suatu komunitas seperti ini. Tetapi, terdapat suatu konsensus yang muncul mengenai
nilai-nilai inti kemanusiaan yang mendasari perbedaan-perbedaan budaya dan nasional
serta isi pedoman dan kode-kode yang membantu untuk mengoperasionalisasikan
tanggung jawab etik perusahaan-perusahaan multinasional. Hal-hal ini terdapat dalam
Manajemen SDM yang akan mempertimbangkan secara baik isu-isu seperti itu ketika
mengembangkan strategi-strategi organisasi serta menyeleksi, melatih, dan
mengembangkan para ekspatriat.

2. CARA OPERASI DAN MSDM INTERNASIONAL


Kita telah menekankan perlunya skope MSDM Internasional yang bertambah luas
di luar operasi-operasi cabang. Meskipun tidak mengurangi kepentingan mereka, bagi
banyak perusahaan multinasional, mengelola dan menempatkan staf pada unit-unit
cabng hanyalah satu aspek operasi bisnis internasional, meskipun bobot yang diberikan
kepada manajemen cabang akan berbeda sesuai dengan sifat aktivitas-aktivitas
internasional dan ukuran perusahaan yang melakukan internasionalisasi. Beberapa
perusahaan multinasional akan menggabungkan metode-metode operasi yang berbeda,
meliputi operasi-operasi cabang, untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar di luar
negeri yang spesifik, sedangkan yang lainnya dapat beroperasi melalui suatu mode
kontraktual tunggal seperti lisensi dan kontrak manajemen. Isu-isu MSDM yang berbeda
dapat tampak dengan cara-cara operasi yang berbeda—dibandingkan dengan operasi-
operasi cabang. Fakta bahwa pihak-pihak eksternal terlibat dalam mode-mode
kontraktual, usaha-usaha patungan, dan aliansi stratejik menentukan manajemen dan
batasan-batasan SDM yang tidak biasanya terdapat dalam operasi-operasi yang
sepenuhnya dimiliki sendiri.
Bicara secara relatif, implikasi-implikasi MSDM Internasional pada usaha-usaha
patungan internasional telah menerima perhatian yang sungguh-sungguh, tetapi tetap
ada suatu kebutuhan untuk studi-studi yang mempertimbangkan implikasi-implikasi SDM
pada mode-mode kontraktual, di mana perusahaan beroperasi agak jauh. Pelatihan,
misalnya sering merupakan suatu bagian mode kontraktual, memainkan suatu peran
kunci dalam transfer teknologi dan sistem, penanaman budaya perusahaan dan bertindak
sebagai suatu proses penyaringan (misalnya, dalam menyeleksi para franchisee yang
cocok). Sebagai suatu hasil, staf dapat terutama terlibat dalam penugasan-penugasan
jangka pendek untuk menyampaikan pelatihan di lokasi-lokasi asing daripada sebagai
para ekspatriat tradisional.
Perusahaan-perusahaan yang diikutsertakan dalam proyek-proyek internasional
tidak hanya akan menggunakan suatu varietas bentuk penugasan-penugasan
internasional, tetapi juga akan memerlukan para karyawan yang dapat menghadapi para
mitra perusahaan multinasional. Misalnya, proyek-proyek yang didanai oleh Bank Dunia
bersama dengan suatu agen pemerintah tuan rumah menimbulkan isu-isu SDM yang
tidak perlu dihadapi dalam operasi-operasi cabang, seperti bekerja dengan suatu tim
perusahaan multinasional yang para anggotanya berasal dari berbagai organisasi
dengan tingkat keterampilan dan metode kerja yang berbeda. Tipe-tipe proyek ini sering
berada dalam lokasi yang secara fisik jauh dan menantang, sehingga menimbulkan
kebutuhan akan manajemen risiko. Misalnya, antara tahun 1998 dan 2002, terdapat 74
persen kasus penculikan yang dilaporkan terjadi di Amerika Latin, dibandingkan dengan
14 persen di Asia Pasifik, 7 persen di Eropa dan Uni Soviet terdahulu, dan 3,5 persen di
Afrika dan Timur Tengah. Menurut Ham (2003: 12), kelompok berisiko paling besar
adalah orang bisnis (para pekerja proyek, insinyur, operator, dan para eksekutif bisnis
bergaji tinggi) dan para tanggungan mereka.
Kita telah membahas dalam Bab 8 beberapa isu yang dihadapi perusahaan
multinasional dengan menggunakan para subkontraktor dalam mengembangkan pasar
untuk memproduksi barang-barang mereka. Kita juga menyoroti beberapa implikasi SDM
dalam menggunakan kontrak-kontrak manajemen. Dalam kenyataannya, disarankan
bahwa perusahaan-perusahaan multinasional akan dituntut untuk meningkatkan
serangkaian cara yang digunakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pasar-
pasar di luar negeri pada masa mendatang. Tuntutan-tuntutan ini tampaknya
memerlukan suatu perbedaan respon SDM yang lebih besar. Untuk memainkan suatu
peran yang lebih stratejik, karyawan SDM korporat akan perlu memiliki pengetahuan cara
dan implikasi SDM untuk menyediakan input yang berhubungan dengan keputusan-
keputusan manajemen puncak menyangkut pilihan-pilihan cara yang berbeda. Karyawan
SDM akan perlu menjadi lebih cakap berurusan dengan para mitra asing yang bukan
merupakan karyawan perusahaan multinasional. Misalnya, hal ini dapat memerlukan
pelatihan karyawan pada tingkatan yang berbeda dan dalam berbagai fungsi serta lokasi
untuk berurusan dengan para licensee dan franchisee asing.

3. ISU-ISU KEPEMILIKAN
Seperti disebutkan sebelumnya, perusahaan-perusahaan internasional berbeda
dalam ukuran, struktur kepemilikan, tingkat pengalaman internasional, dan penyebaran
grografis. Aktivitas-aktivitas perusahaan multinasional yang besar dan dimiliki oleh publik
mendominasi literatur manajemen bisnis internasional dan MSDM Internasional,
tercermin dalam konsentrasi isu-isu cabang. Meskipun terdapat kekurangan studi-studi
empiris untuk menggambarkannya, tetapi adalah mungkin untuk menguraikan secara
singkat beberapa ciri perusahaan-perusahaan kecil dan menengah serta perusahaan-
perusahaan keluarga yang membedakannya dari perusahaan multinasional yang lebih
besar, dan membuat beberapa referensi untuk kepentingan yang muncul dalam artian
bisnis internasional organisasi-organisasi non pemerintah.

3.1 Perusahaan-perusahaan Kecil dan Menengah


Untuk perusahaan-perusahaan manufaktur, ekspor sering merupakan langkah
pertama yang penting dalam internasionalisasi, dan hal ini diakui oleh pemerintah melalui
suatu rentang ukuran, seperti pola ekspor kelompok untuk mendorong dan membantu
perusahaan-perusahaan kecil dan menengah untuk menjadi berorientasi internasional.
Sesuai dengan artikel Far Eastern Economic Review tahun 2003, perusahaan-
perusahaan kecil dan menengah diharapkan menjadi aliran utama ekonomi Korea
Selatan, menggantikan kelompok usaha yang dijalankan keluarga dalam jangka panjang
yang dikenal sebagai chaebols yang serampangan meminjam dan mengelola usaha
dengan buruk yang dianggap sebagai penyebat terjadinya krisis keuangan negara
tersebut pada tahun 1997. Pada pertengahan tahun 1980an perusahaan-perusahaan
kecil dan menengah Korea Selatan menyumbang kurang dari 3C persen total ekspor
negara itu. Pada tahun 2002, mereka menyumbang 42 persen.
Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Australia, terdapat suatu
pertumbuhan proporsi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang dimiliki dan
dikelola oleh para wanita. Kecenderungan ini telah dihubungkan dengan frustrasi
kurangnya kemajuan karir dalam perusahaan-perusahaan lebih besar (langit-langit kaca)
dan kebebasan yang menyertai saat mengelola bisnis milik sendiri. Banyak perusahaan
kecil dan menengah yang terlibat dalam bisnis internasional.
Apa yang muncul dari literatur kewirausahaan dan manajemen bisnis kecil adalah
penekanan bahwa aktivitas internasional memasukkan manajemen perusahaan kecil dan
menengah. Untuk mendukung ekspor yang efektif, perjalanan internasional ke pasar-
pasar luar negeri untuk memantau agen-agen dan distributor-distributor, misalnya, dapat
memasukkan tuntutan khusus bagi Direktur Pelaksana untuk juga bertanggung jawab
langsung dalam pemasaran internasional. Dalam perusahaan yang sangat kecil, Direktur
Pelaksana sering juga merangkap sebagai Manajer Ekspor. Para individu kunci ini
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang perlu, sehingga menggambarkan
persediaan kompetensi internasional perusahaan kecil dan menengah.

3.2 Perusahaan-perusahaan Milik Keluarga


Sering kali perusahaan-perusahaan milik keluarga diperlakukan sebagai suatu
bagian dari perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Tetapi perusahaan
multinasional besar dapat juga dimiliki keluarga, meskipun definisi mengenai apa yang
terdapat dalam kepemilikan keluarga berbeda antar negara-negara. Perusahaan-
perusahaan yang kemudian menjadi milik publik telah menahan para anggota keluarga
pendiri sebagai pemegang saham mayoritas. Misalnya, keluarga-keluarga disebut
memiliki pengaruh antara 35 persen sampai 45 persen pada 500 perusahaan Amerika
Serikat yang tertera dalam daftar Fortune (tergantung pada bagaimana kata "pengaruh"
itu didefinisikan). Keluarga Ford dalam manajemen perusahaan otomotif Amerika Serikat
Ford Motor Company dan anggota-anggota keluarga Packard selama merger
perusahaan-perusahaan Amerika Serikat Hewlett-Packard dan Compaq merupakan
ilustrasi baru-baru ini di mana perhatian-perhatian keluarga telah menerima liputan media
yang luas dalam konteks pembuatan keputusan bisnis internasional.
Bagian terbesar perusahaan-perusahaan dunia adalah milik keluarga. Misalnya
perusahaan-perusahaan kecil yang dikelola pemilik merupakan kelompok massa bisnis-
bisnis Jerman. Sesuai dengan survei internasional tentang perusahaan-perusahaan
keluarga, 40 persen berhenti atau memutuskan untuk keluar dalam 5 tahun terakhir.
Sekitar 66 persen dari perusahaan yang bertahan dalam periode kritis, mungkin akan
mati atau melepaskan kepemilikan tangan keluarga pendiri dalam generasi pertama.
Hanya 17 persen perusahaan yang masih akan bertahan terus sampai generasi ketiga
keluarga pendiri.
Suatu faktor yang berkontribusi pada keruntuhan atau pengambilalihan suatu
perusahaan keluarga adalah cara di mana suksesi manajemen ditangani. Mengganti
manajemen puncak sering dipandang sebagai suatu tantangan, tetapi menyerahkan
kendali bisnis dapat penuh dengan konflik dan kekacauan ketika bisnis keluarga terlibat.
Perencanaan SDM mengambil suatu dimensi yang berbeda dalam konteks perusahaan
milik keluarga dan memberi peningkatan kepada banyak spekulasi dalam perusahaan-
perusahaan multinasional skala besar seperti Michelin (perusahaan ban Perancis), Ikea
(produsen mebel Swedia), Hyundai (perusahaan otomotif Korea), Aldi (rantai
supermarket Jerman), dan New Limited (kelompok media Murdock, termasuk London
Times, New York Times, Sky Channel, dan Fox).
Aspek lainnya adalah cara di mana proses internasionalisasi ditangani dalam
perusahaan-perusahaan milik keluarga. Ada suatu pendapat bahwa perusahaan-
perusahaan keluarga Asia berusaha mempertahankan pengendalian sebanyak mungkin
dalam keluarga langsung atau setidaknya keluarga tambahan. Seperti kita ketahui bahwa
pada beberapa tahap, pertumbuhan internasionalisasi berarti bahwa perusahaan tidak
akan dapat mengisi posisi-posisi kunci dengan para anggota keluarga dan tantangannya
kemudian adalah mencari dan mengembangkan para karyawan yang tepat, sehingga
perusahaan harus berhadapan dengan urusan-urusan penempatan karyawan. Suatu
studi yang dilakukan oleh Yeung (2000: 55-70) tentang internasionalisasi tiga perusahaan
Hong Kong yang dimiliki oleh keluarga orang Cina menemukan bahwa perusahaan-
perusahaan ini dapat memenuhi tantangan-tantangan pertumbuhan sekaligus masih
mempertahankan manajemen dan struktur keluarga, meskipun pengendalian melalui
sosialisasi digunakan ketika para manajer di luar keluarga ditempatkan dalam posisi-
posisi kunci. Seperti ditunjukkan Yeung, globalisasi perusahaan-perusahaan keluarga
telah menjadi suatu topik yang jarang dibahas dalam studi-studi bisnis internasional.
3.3 Organisasi-organisasi Non Pemerintah
Keinginan globalisasi perdagangan dan bisnis telah menimbulkan suatu
perdebatan hebat dalam negara-negara kebangsaan dan sering diekspresikan dalam
rapat-rapat umum dan protes-protes anti globalisasi. Aktivitas-aktivitas kelompok
lingkungan seperti Greenpeace menyoroti bagaimana hal-hal ini juga telah menjadi
diinternasionalisasikan. Mereka cenderung mempunyai para manajer nasional di
berbagai negara dan perbedaan-perbedaan bentuk struktural untuk koordinasi dan
akuntabilitas. Badan-badan bantuan seperti Red Cross, Red Crescent, World Vision, dan
Medecins San Frontieres (dokter tanpa batas) adalah organisasi-organisasi internasional
yang dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan multinasional nirlaba. Mereka dapat
menggunakan struktur-struktur organisasional berbeda dan memiliki anggota-anggota
yang dapat menginternalisasikan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bersama dalam
suatu derajat yang lebih besar, karena sifat missi dan aktivitas-aktivitas organisasi
dibandingkan dengan yang dapat ditemukan dalam suatu perusahaan multinasional yang
berorientasi pada laba. Meskipun demikian dalam hal operasi dan pengendalian global,
terdapat urusan-urusan managerial yang serupa, misalnya dengan perusahaan-
perusahaan minyak. Risiko fisik seperti bahaya karyawan yang disandera dan hak milik
yang dirusak merupakan hal yang umum untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi
dalam lingkungan yang tidak ramah.
Bagaimanapun juga seperti yang diungkapkan oleh Fenwick (2004) bahwa
organisasi-organisasi nirlaba telah diabaikan dalam penelitian MSDM Internasional
stratejik dengan alasan:
"It seems that strategic international human resource management (SIHRM) has
not addressed the non-profit context because, despite its ideals of valuing human
resources and commitment, it (SIHRM) reflects the traditional management ethos
of effectiveness and efficiency rather than the non-profit ethos of values-driven,
charitable and philanthropic ideals."
(Tampaknya MSDM internasional stratejik tidak menyebut konteks non laba sebab
meskipun cita-citanya menghargai SDM dan komitmen, MSDM Internasional
stratejik mencerminkan etos manajemen tradisional mengenai efektivitas dan
efisiensi daripada etos organisasi nirlaba mengenai do-rongan nilai, murah hati, dan
cita-cita atau keinginan suka berderma).

Tampaknya memperluas fokus implikasi-implikasi SDM dari fokus sekarang dalam


investasi langsung dan perusahaan multinasional besar untuk laba adalah penting sekali
karena trend-trend yang diidentifikasi di atas kemungkinan akan terus berlanjut dalam
abad ke-21. Cara-cara kontraktual dalam operasi bisnis internasional, perusahaan-
perusahaan kecil dan menengah, perusahaan-perusahaan milik keluarga serta
organisasi-organisasi non pemerintah hanyalah tiga hal di mana isu-isu MSDM
Internasional tetap dibahas secara utuh.
BAB III

KESIMPULAN

Bab ini disimpulkan dengan suatu diskusi singkat mengenai isu-isu penelitian
dan perkembangan-perkembangan teoritikal dalam bidang MSDM Internasional.

A. ISU-ISU PENELITIAN
Bidang MSDM Internasional telah lambat mengembangkan sekumpulan teori yang
tepat. Terdapat tiga alasan utama untuk ini:
 Banyak peneliti manajemen dan MSDM telah menganggap bahwa bidang MSDM
Internasional sebagai suatu bidang akademis yang kecil. Sikap ini dicerminkan
dengan relatif sedikitnya jumlah kursus MSDM Internasional yang berdiri sendiri
dalam bidang pengajaran. Demikian juga, MSDM Internasional memiliki suatu posisi
yang kecil dalam komunitas bisnis internasional yang lebih luas. Dominasi ilmu
ekonomi dalam bidang bisnis internasional hingga kini, dengan fokusnya pada
investasi asing langsung merupakan suatu faktor kontribusi. Perkembangan-
perkembangan terakhir seperti pembukaan jurnal-jurnal (misalnya International
Journal of Human Resource Management) telah mengangkat riwayat bidang itu.
Secara keseluruhan, terdapat suatu penekanan terhadap perbandingan SDM dan
hubungan-hubungan industrial daripada MSDM Internasional dalam konteks
perusahaan multinasional.
Studi-studi internasional selalu lebih mahal dibandingkan studi-studi domestik.
Penelitian internasional memakan lebih banyak waktu, melibatkan lebih banyak
perjalanan dan sering kali memerlukan kerja sama dengan organisasi-organisasi
negara tuan rumah, para pejabat pemerintah, dan peneliti. Mengembangkan suatu
urutan penelitian jauh lebih sulit. Suatu contoh, yang dikemukakan oleh Glinow (2002)
meskipun bagaimana para akademisi dapat mengatasi beberapa kesulitan ini yang
merupakan "praktik terbaik" studi negara/wilayah, tetapi analisis 10 pendekatan
negara terhadap MSDM melibatkan suatu tim akademisi yang beragam dari berbagai
negara.
 Terdapat masalah-masalah metodologi besar yang terlibat dalam bidang manajemen
internasional dan MSDM Internasional. Masalah-masalah ini sangat menambah
kompleksitas pelaksanaan penelitian internasional dan seperti diungkapkan oleh
Adler (1983: 226-232) bahwa sering kali tidak mungkin untuk menyelesaikan dengan
kaku dan biasanya diperlukan studi-studi kebudayaan oleh para redaktur dan peninjau
jurnal. Masalah-masalah metodologi besar dalam hal ini adalah:
 Memberikan pengertian budaya dan perbedaan etic-etic. Perbandingan-
perbandingan kelompok statis. Suatu isu yang berlangsung terus dalam penelitian
internasional adalah semua perbandingan lintas budaya pasti didasarkan pada
rancangan kelompok statis. Kesulitan dengan perbandingan kelompok statis dalam
penelitian internasional adalah subjek tidak secara acak ditentukan dari suatu
populasi atasan kepada tingkatan-tingkatan berbeda untuk suatu variabel perlakuan.
Dalam praktik, adalah tidak mungkin bagi para peneliti lintas budaya untuk
menghindari masalah metodologi ini. Kesulitan ini lebih lanjut diperumit oleh gagasan
definisi budaya yang keliru sebagai suatu variabel bebas.

 Ekuivalensi terjemahan dan dorongan. Para peneliti perlu menyadari bahwa masalah-
masalah dapat timbul ketika menerjemahkan konsep pusat satu kebudayaan ke
dalam bahasa budaya lainnya. Triandis dan Brislin (1984: 1006 - 1016)
mempertimbangkan bahwa masalah-masalah penerjemahan seharusnya menjadi
suatu titik awal untuk penelitian, daripada suatu kegagalan pengumpulan data. Teknik
untuk tidak memusatkan (decentering technique) - menerjemahkan dari bahasa asli
ke bahasa sasaran dan kembali lagi melalui beberapa pengulangan yang dianjurkan.
Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menguji apakah ada emic yang mewarnai
konsep-konsep yang diselidiki. Suatu hal yang berkaitan adalah para pembicara
bukan penduduk asli (non-native speakers) perlu menerjemahkan temuan-temuan
penelitian ke dalam Bahasa Inggris untuk publikasi dalam jurnal-jurnal berbahasa
Inggris. Teknik-teknik seperti decentering adalah penting, terutama ketika membahas
data kualitatif.
B. Perkembangan-perkembangan Teoritikal
Lebih dari dua dekade terakhir, berbagai peneliti dalam bidang MSDM
Internasional telah mengembangkan suatu kumpulan pengetahuan teoritikal untuk
memberikan kerangka-kerangka dan model-model yang kuat berkaitan dengan suatu
bidang penyelidikan ilmiah yang lebih matang. Banyak dari perkembangan ini telah
dimasukkan dalam bab-bab yang relevan dari buku ini. Saat mengulas kontribusi-
kontribusi teoritikal ini, adalah mungkin untuk mengidentifikasi dua aliran penyelidikan:
 Tingkat mikro-memusatkan perhatian pada isu-isu manajemen ekspatriasi. Pekerjaan
awal dalam bidang MSDM Internasional didominasi oleh studi-studi kuantitatif skala
besar yang dilakukan oleh para peneliti Amerika terhadap isu-isu manajemen
ekspatriat dalam perusahaan-perusahaan multinasional Amerika Serikat. Studi-studi
ini memiliki suatu pendekatan umum dalam menggunakan para manajer SDM
sebagai responden. Beberapa studi yang dilakukan oleh Tung, Black, Oddou,
Mendenhall, dan Gregersen merupakan contoh-contoh yang baik mengenai
kontribusi-kontribusi demikian. Studi-studi ini telah menjadi penting dalam temuan-
temuan empiris yang mengidentifikasi isu-isu kunci dan tantangan-tantangan
penggunaan para ekspatriat dalam penempatan staf operasi-operasi cabang. Lebih
signifikan, para peneliti ini mengangkat profil MSDM Internasional sebagai suatu
bidang penyelidikan ilmiah.
 Tingkat makro. Mensurvei para manajer SDM merupakan suatu kontribusi logis dan
berguna untuk penelitian dan pembentukan teori, tetapi tidaklah dapat dihindarkan
bahwa MSDM Internasional sebagai suatu bidang ilmiah perlu mempertimbangkan
fenomena MSDM Internasional yang lain, selain aktivitas-aktivitas manajemen
ekspatriasi. Bonache dan rekan-rekannya (2001: 3-20) menunjukkan bahwa sebagian
besar studi dalam literatur ekspatriat telah gagal menganalisis hubungan antara
kebijaksanaan-kebijaksanaan ekspatriasi dan strategi-strategi perusahaan
multinasional. Beberapa peneliti berusaha keras untuk mengatasi kelemahan ini
melalui serangkaian penelitian dengan tema MSDM Internasional stratejik. MSDM
Internasional stratejik mempertimbangkan isu-isu dan aktivitas-aktivitas MSDM yang
diakibatkan oleh dan berpengaruh terhadap aktivitas-aktivitas stratejik dan perhatian-
perhatian internasional dari perusahaan multinasional. Rangkaian penyelidikan ini
sejalan dengan MSDM stratejik, yang memfokuskan kaitan antara strategi organisasi
dan kinerja serta MSDM.

Penelitian-penelitian tersebut tepat dan penting bagi pengembangan teori.


Selanjutnya diperlukan sekali bagi penelitian untuk bergerak di luar deskripsi dan
memperluas pendekatan-pendekatan metodologi untuk meliputi penelitian induktif dan
deduktif. Para peneliti berusaha keras untuk mengatasi beberapa isu metodologi melalui
pekerjaan kolaborasi. Misalnya, budaya berbeda memiliki sikap-sikap yang berbeda
terhadap kuesioner yang dikirim melalui pos, yang dapat mempengaruhi suatu tingkat
respon yang rendah. Harzing (1997: 641-665) menemukan bahwa semakin tinggi
perbedaan budaya antara negara peneliti (pengirim) dan negara sasaran (penerima),
semakin rendah tingkat respon yang diberikan. Ia mengakui bahwa penggunaan bahasa
Inggris sebagai bahasa kuesioner mungkin merupakan suatu faktor yang berkontribusi
dan orientasi internasional dari responden dapat memiliki suatu pengaruh positif terhadap
tingkat respon.
Sumbangan-sumbangan dari penelitian kualitatif sangatlah berarti dalam
menganalisis proses internasionalisasi, khususnya studi-studi yang menyelidiki
hubungan antara proses internasionalisasi dan faktor-faktor yang menentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan praktik-praktik MSDM Internasional. Penggunaan
metode-metode penelitian yang memungkinkan pandangan-pandangan manajer SDM
didukung oleh pihak lainnya seperti para ekspatriat dan mitra, selain masalah utama
materi dan dokumentasi, telah memberikan wawasan tambahan dalam aktivitas-aktivitas
dan isu-isu MSDM Internasional dan suatu pertimbangan untuk lebih memperluas faktor-
faktor organisasional.
Satu contoh dari suatu kerangka teoritikal yang berasal dari suatu pendekatan
stratejik dengan menggunakan banyak pendekatan metodologi adalah yang
dikemukakan oleh De Cieri dan Dowling. Para penulis ini berpendapat bahwa sewaktu
MSDM Internasional stratejik yang merupakan suatu bidang penelitian yang berbeda
telah menjadi suatu langkah yang berguna, mungkin lebih tepat untuk membahas MSDM
stratejik dalam perusahaan multinasional. Kerangka tersebut dilukiskan dalam Gambar
A.1

Gambar A.1
Suatu Model MSDM Stratejik dalam Perusahaan Multinasional

Faktor-faktor eksternal
- Karakteristik industri
- Karakteristik negara
regional
- Jaringan antarorgan isasi
Perhatian dan sasaran
perusahaan
multinasional
- Daya saing
- Efisiensi
Faktor-faktor eksternal MSDM Strategik - Keseimbangan
- Struktur perusahaan multinasional - Strategi antar
- Struktur operasi internasional fungsi intergrasi
- Jaringan dalam organisasi SDM global dan
- Mekanisme koordinasi - Praktik- kepekaan
- Cara operasi praktik lokal
- Strategi perusahaan multinasional SDM - Fleksibilitas
- Strategi tingkat korporasi
- Strategi tingkat bisnis
- Pengalaman dalam mengelola
operasi-operasi internasional
- Orientasi internasional kantor
pusat

Sumber : Diambil dari H. De Cieri dan RJ. Dowling, Strategic Human Resource
Management in Multinational Enterprises: Theoretical and Empirical Developments,
dalam Research in Personnel and Human Resource Management: Strategic
Human Resources in the 21st Century, Stamford, CT: JAI Press, 1999
(diterjemahkan penulis).

Perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi dalam konteks kondisi-kondisi


mendunia, meliputi konteks-konteks eksternal dari industri, negara, wilayah, dan
jaringan-jaringan antar organisasi dan aliansi, seperti ditunjukkan dalam gambar 13-1.
Misalnya, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan internal dan integrasi pasar-
pasar nasional di Uni Eropa membawa suatu rentang hubungan antar organisasi yang
baru. Seperti telah kita bahas dalam konteks manajemen kinerja, faktor-faktor eksternal
memberikan pengaruh langsung terhadap faktor-faktor internal organisasi, strategi dan
praktik-praktik MSDM Internasional stratejik dan perhatian-perhatian serta sasaran-
sasaran perusahaan multinasional.
Faktor-faktor internal organisasi ditunjukkan dalam urutan dari yang paling berwujud
sampai kepada yang paling tidak berwujud. Struktur perusahaan multinasional merujuk
kepada struktur operasi-operasi internasional, jaringan-jaringan dalam organisasi, dan
mekanisme koordinasi. Tahapan daur hidup perusahaan dan industri di mana
perusahaan beroperasi merupakan pengaruh-pengaruh penting bagi MSDM stratejik
dalam perusahaan multinasional, seperti berbagai cara operasi internasional yang
dibahas sebelumnya dan tingkatan strategi perusahaan. Faktor organisasi yang paling
tidak berwujud adalah pengalaman dalam bisnis internasional dan orientasi internasional
kantor pusat. Mengikuti perkembangan-perkembangan dalam literatur, seperti studi yang
dilakukan oleh Taylor dan rekan-rekannya pada tahun 1996, yang mengambil suatu
integrasi ketergantungan sumber daya dan pandangan berbasis sumber daya, model
tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan-hubungan timbal balik antara faktor-
faktor organisasional, MSDM stratejik, dan perhatian-perhatian serta sasaran-sasaran
perusahaan multinasional.
Dengan mempertimbangkan strategi dan praktik-praktik SDM, hubungan-
hubungan timbal balik antara isu-isu stratejik dan strategi serta praktik-praktik MSDM
stratejik telah disoroti oleh penelitian yang mengambil suatu pandangan berbasis sumber
daya. Selain itu beberapa studi telah menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas SDM seperti
manajemen ekspatriat dipengaruhi baik oleh faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor
internal. MSDM stratejik yang efektif diharapkan membantu perusahaan dalam mencapai
sasaran-sasaran dan tujuan-tujuannya. Pandangan ini dipengaruhi oleh munculnya
sekumpulan literatur MSDM stratejik yang menguji hubungan-hubungan antara
karakteristik-karakteristik dalam sistem, strategi dan praktik-praktik MSDM stratejik serta
kinerja perusahaan atau keunggulan kompetitif. Pada saat beberapa penelitian telah
menyarankan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional akan memperoleh untung
dengan menggunakan dan mengintegrasikan strategi dan praktik-praktik MSDM stratejik.
DAFTAR PUSTAKA

Sirait, Justine.T Manajemen sumber daya manusia global: Trend dan tantangan masa
depan Ed.1 Jakarta $b Mitra Wacana Media $c 2007 xii, 188 Hlm.; 23 cm.
--------- “Business ethics”. http://knowledgerush.com/kr/ encyclopedia/ Business ethics
--------- “Business ethic”. http://www.answers.com/topic/business-ethics
Handayani, Desri. “Manajemen Sumber Daya Manusia Internasional”.09 April 2014.
http://desrihandayani.blogspot.com/2014/04/makalah-sumber-daya-manusia-global.html
--------- “Wikipedia”. https://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil_dan_Menengah
--------- “Wikipedia”. https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_keluarga
--------- https://masniam.wordpress.com/2010/04/22/organisasi-non- pemerintah/

Anda mungkin juga menyukai