Anda di halaman 1dari 2

Pembicaraan tentang seks sangatlah menarik, apalagi dalam kehidupan masyarakat yang penuh

dengan nilai-nilai kehidupan Timur yang didominasi oleh ajaran-ajaran agama dan budaya. Di
dalam masyarakat tersebut telah diatur tingkah laku seksual atau nilai-nilai yang berhubungan
dengan seks secara normatif. Konsep seks normatif adalah nilai-nilai yang telah
terinstitusionalisasi dalam kehidupan masyarakat dan konsep ini yang dipandang sebagai etnik
masyarakat dalam memperlakukan seks mereka (Bungin, 2003:92).

Seksualitas merupakan kebutuhan biologis yang kodrati sifatnya seperti halnya kebutuhan makan,
akan tetapi pemahaman seksualitas tidak lepas dari konteks sosial budaya yang telah ikut
mengaturnya sebab itu pemahaman perilaku dan orientasi seksualitas dapat berbeda dari satu
budaya ke budaya lain atau dari jangka waktu satu ke jangka waktu yang lain.

Perubahan sosial mulai terlihat dalam persepsi masyarakat yang pada mulanya meyakini seks
sebagai sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang tidak sakral lagi, maka saat ini seks sudah secara
umum meluas di permukaan masyarakat. Ditambah dengan adanya budaya permisifitas seksual
pada generasi muda tergambar dari pelaku pacaran yang semakin membuka kesempatan untuk
melakukan tindakan-tindakan seksual juga adanya kebebasan seks yang sedang marak saat ini
telah melanda kehidupan masyarakat yang belum melakukan perkawinan. Bahkan aktivitas seks
pra-nikah tersebut banyak terjadi di kalangan remaja dan pelajar yang sedang mengalami proses
pembudayaan dengan menghayati nilai-nilai ilmiah.

Free sex (kebebasan sexs, pergaulan seks di luar pernikahan) mulai bangkit di Amerika Serikat
dan di United Kingdom (Kerajaan Inggris) sejak tahun 1960-an meliputi dari anak-anak SMP
(Junior High School), SMA (Senior High School), universitas dan di antara muda-mudi yang
sebaya di luar sekolah (Sadily, 1984:154). Data statistik menunjukkan bahwa 6,5 % dari remaja di
Bogor tahun 2004 menyetujui hubungan seks di luar nikah, sedangkan masa remaja dapat di
kategorikan sebagi berikut : masa remaja awal 13-17 tahun dan masa remaja akhir 17-25 tahun.
Berdasarkan kategori umur tersebut maka mahasiswa tergolong remaja dan sekitar 34%
mengetahui masalah seks melalui film-film yang mereka tonton. Perilaku seks seolah tidak dapat
terkendali, relasi seks mereka adalah wanita tuna susila (WTS), sesama pengunjung (bar, diskotik,
pub), relasi dengan pacar mereka. Relasi dengan para WTS biasanya mereka pergi ke lokalisasi
atau mencari tempat mangkalnya para WTS seperti terminal bus, stasiun, pinggiran jalan,
shooping, daerah kota baru dan lain-lain. Mereka beranggapan bahwa diskotik merupakan tempat
untuk menghilangkan kejenuhan. Sedangkan relasi seks dengan pacar biasanya terjadi karena
lingkungan pondokan yang notabene memberikan kebebasan.

Masalah yang sering dialami remaja adalah masalah yang berkaitan dengan seksualitas atau
kesehatan reproduksi. Perubahan fisik dan mulai berfungsinya organ reproduksi remaja terkadang
menimbulkan permasalahan, terutama apabila remaja kurang memiliki pengetahuan yang cukup
tentang kesehatan reproduksi. Permasalahan yang kompleks seiiring dengan masa transisi yang
dialami remaja dapat berupa kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, terinfeksi Penyakit Menular
Seksual, HIV dan AIDS, serta penyalahgunaan NAPZA (Imron, 2012).

Permasalahan lain yang dihadapi remaja Indonesia saat ini sebanyak 60% remaja mengaku
telah mempraktikkan seks pra nikah, dan 50% dari pengidap HIV dan AIDS adalah kelompok usia
remaja. Dampak buruk dari aktivitas dan perilaku seks bebas inilah yang mengakibatkan remaja
Indonesia terganggu kesempatannya untuk melanjutkan sekolah, memasuki dunia kerja, memulai
berkeluarga, dan menjadi anggota masyarakat secara baik (Imron, 2012).

Banyaknya kasus HIV-AIDS ditemukan pada remaja memaksa kita untuk meninjau kembali
pola perilaku seksual pada remaja karena memang kasus HIV-AIDS lebih banyak penularannya
melalui hubungan seksual. Seperti yang diketahui masa remaja merupakan masa panca roba
dimana remaja mempunyai perilaku ingin mencoba coba hal yang baru termasuk mencoba-coba
melakukan hubungan seks pranikah yang pada akhirnya mengarahkan mereka ke perilaku seksual
berisiko. Remaja melakukan hubungan seksual berisiko mungkin disebabkan oleh adanya
dorongan dari diri sendiri untuk melakukan hubungan seksual, pengalaman yang dilalui mengenai
seksual yang mengakibatkan mereka untuk mengulanginya kembali, faktor emosional yang masih
labil, dan kurangnya informasi yang benar tentang kesehatan repsoduksi terutama yang
berhubungan dengan seksual.

Sumber : https://core.ac.uk/download/pdf/16508756.pdf

Anda mungkin juga menyukai