Desi Arisanti
Jalan Arjuna Utara, No. 6, Jakarta Barat, 11510, Telp. (021) 5694-2061, Fax. (021) 563-1731
santidesiari@gmail.com
Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, disamping
sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar.
Skenario 5
Seorang perempuan usia 25 tahun, datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3 minggu
ini, dan wajahnya terlihat agak pucat.
Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah, BAK frekuensi serta warna dalam batas normal,
dan BAB frekuensi, warna, konsistensi masih dalam batas normal.
Lab: Hb: 9,5g/dL, Ht 30%, L: 8900/Ul, t: 230.000 u/L, MCV: 82 fL, MCH: 30 pg, MCHC:
34%, hitung retikulosit: 6%.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
TTV: dalam batas normal
Karena pasien datang dengan kondisi pucat, perlu dilakukan sedikit pemeriksaan fisik tambahan
yang lebih spesifik yaitu memeriksa kondisi konjungtiva dan sklera mata pasien. Konjungtiva
yang pucat merujuk pada kondisi kekurangan darah sedangkan sklera yang ikterik menunjukkan
tingginya kadar bilirubin dalam darah. Adapun beberapa pemeriksaan fisik yang perlu
diperhatikan adalah:3
o Apakah pasien sakit ringan atau berat? Apakah pasien sesak napas atau syok akibat
kehilangan darah akut?
o Adakah tanda-tanda anemia? Lihat konjungtiva anemis dan telapak tangan pucat
o Adakah koilonika (kuku ‘seperti sendok’) atau keilitis angularis seperti yang ditemukan
pada defisiensi Fe yang sudah berlangsung lama?
o Adakah tanda-tanda ikterus (akibat anemia hemolitik)?
o Adakah bintik-bintik di sirkumoral (sindrom Osler-Weber-Rendu)? Adakah
telangiektasia hemoragik herediter)?
o Adakah tanda-tanda kerusakan trombosit (misalnya petekie, memar)?
o Adakah tanda-tanda kerusakan leukosit abnormal atau tanda-tanda infeksi?
o Aadakah tanda-tanda keganasan? Adakah penurunan berat badan baru-baru ini, massa,
jari tabuh, atau limfadenopati?
o Adakah hepatomegali, splenomegali, atau masaa abdomen?
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk diagnostik anemia adalah pemeriksaan
laboratorium yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan penyaring: terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan
hapusan darah tepi.1
Kadar Hb, jumlah erirosit, dan hematokrit setiap individu tergantung beberapa faktor, antara lain
usia, jenis kelamin, metoda pemeriksaan, dan domisili (letak geografis).
Kadar Hb pada bayi lebih tinggi daripada orang dewasa, dan kadar Hb pria lebih tinggi daripada
wanita. Kadar Hb pria terendah 13 g/dL, sedangkan Hb wanita terendah 12 g/dL. Kadar Hb
penduduk yang berdomisili pada dataran tinggi lebih tinggi daripada dataran rendah. Pada
ketinggian 2000m terjadi peningkatan Hb sebanyak 1 g/dL dan pada ketinggian 3000 m, kadar
Hb meningkat 2 g/dL.4
Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari hapus darah tepi
adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan eritrosit, yang perlu
diperhatikan adalah ukuran, warna, dan bentuknya. Sedangkan pada keadaan limfosit dan
trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan darah tepi inilah dapat
ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti sferosit, sel sabit, sel
target, dan semacamnya. 1, 5-7
2. Pemeriksaan darah seri anemia: meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang
dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.1
Nilai rujukan:4
Leukosit: 4.5-11.0 x 103/uL atau 4.5-11.0 x 109/Liter
Trombosit: 150-350 x 103/uL atau 150-350 x 109/Liter
Retikulosit: nilai relatif 0.5-1.5% atau 5-150/00, nilai absolut 25.000-75.000/uL
darah.
Patokan nilai normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium.
Akan tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah :
1. Hitung sel darah merah : pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta
sel/mikroliter).
2. Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter.
3. Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL).
4. Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%).
5. Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit/mikroliter.
6. Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)
7. Hitung jenis leukosit : neutrofil (55-70%); eosinofil (1-3%); basofil (0-1%); limfosit (20-
40%); monosit (2-8%)
Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui mean corpuscular volume (MCV), mean
corpuscular hemoglobin (MCH), dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC).
MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah eritrosit. MCH adalah kadar
hemoglobin dibandingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan MCHC adalah kadar hemoglobin
dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan tersebut menunjukkan nilai eritrosit rata-
rata. Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut adalah :
1. MCV = 82-92 fL
2. MCH = 27-37 pg
3. MCHC = 32-37%
MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom yang biasa
dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis.1, 5-7
Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red cell distribution
width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5 coefficient of variation.
Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik. Selain itu,
peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit, namun bukan ciri
khas dari anemia hemolitik.1, 5-7
Yang terakhir adalah pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin
direk larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air
dan hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total
adalah 0.2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0 - 0.2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0.2-0.8 mg%.
Pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih tinggi
merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis.1, 5-7
Anemia
Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik
dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit, dan
hematokrit (packed red cell).8
Kriteria Anemia
Cut off point (titik pemilah) yang umum dipakai adalah criteria WHO tahun 1968. Dinyatakan
anemia bila:8
Laki-laki dewasa hemoglobin <13 g/dL
Perempuan dewasa tak hamil hemoglobin <12 g/dL
Perempuan hamil hemoglobin <11 g/dL
Anak umur 6-14 tahun hemoglobin <12 g/dL
Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin <11 g/dL
Kriteria Klinik
Kriteria anemia untuk Indonesia pada umumnya adalah:8
Hematokrit <30 %
Derajat Anemia
Prevalensi Anemia
Angka prevalensi di Indonesia menurut Husaini dkk dapat dilihat pada tabel berikut:
Klasifikasi Anemia
Different Diagnosis
A. Etiologi
1. Anemia hemolitik autoimun
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
Berdasarkan faktor-faktor pencetus yang sering menimbulkan anemia hemolitik autoimun, maka
anemia hamolitik autoimun dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1, 5-7
Tabel Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun
Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena limfoma, SLE)
B.AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma,
mononucleosis, virus, keganasan
C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
AIHA diinduksi obat
AIHA diinduksi aloantibodi
A. Reaksi hemolitik transfusi
B. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
B. Patofisiologi
1. Anemia hemolitik autoimun
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
Anemia hemolitik autoimun ini terjadi akibat desrtuksi eritrosit yangmelalui proses hemolisis
ekstravaskuler dan intravakuler. Pada AHIA Tipe hangat melibatkan proses hemolisis
ekstravaskuler, dan pada AIHA tipe dingin melibatkan proses hemolisis intravaskuler.1,5-7
Pada AIHA tipe hangat eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen difagositif oleh makrofag
dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler. Adapun hemolisis ekstravaskuler
terjadi pada sel makrofag darisystem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan
sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis ini terjadi karena
kerusakan membran (akibat reaksi antigen antibody). Eritrosit yang pecah akan menghasilkan
globulin yang akan di kembalikan ke protein pool, serta besi yang di kembalikan ke makrofag
(cadangan besi) selanjutnya akan di pakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan
gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek,
mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melaluai empedu
sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin. Sebagian
hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga
menurun, tetapi tidak serendah pada hemoloisis intravaskuler.1,5-7
Pada AHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen membran eritrosit dan membawa C1q
ketika melewati bagian yang dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membran, yaitu
suatu kompleks komplemen yang terdiri atas C5,6,7,8, dan C9. Kompleks penyerang ini
menimbulkan kerusakan membran eritrosit, apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan
terjadi hemolisis intravaskuler. Jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam
RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskuler.1,5-7
Ternary, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta
oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein nonimunologis terkait obat akan
menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit.1,5-7
Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi
terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat di permukaan eritrosit. Eritrosit yang
teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal :
penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan
obat permukaan sel target, antibodi, atau aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen
yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi
akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi
tersebut memiliki spesifitas pada antigen golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i.
Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis
intravaskuler, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Mekanisme ini biasanya terjadi pada
hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen,
maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit makin tua
makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah
dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, Heinz body, blister cells, bite cells, dan
eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif adalah nitrofurantoin,
phenazopyridin, dan aminosalicylic acid.1,5-7
Hemolisis pada orang dengan defisiensi G6PD dapat dipicu oleh tiga faktor yaitu infeksi, stress,
dan obat. Obat-obatan yang sering menyebabkan hemolisis pada defisiensi G6PD adalah
primakuin, dapson, sulfametoksazol, kotrimoksazol, asam nalidiksat, nitrofurantoin, niridazol,
fenazopiridin, dan asam asetilsalisilat.1,5-7
Pada saat eritrosit dengan HbS mengalami proses pelepasan oksigen, sickling proses terjadi. HbS
menyebabkan tiga kondisi yaitu penurunan kelarutan (solubility), peningkatan viskositas, dan
pembentukan polimer sampai konsentrasi diatas 30g/dL. Ketiga kondisi tersebut membentuk
substansi menyerupai gel (disebut tactoids) yang mengisi eritrosit. Peningkatan substansi
berbentuk gel dalam eritrosit akibat HbS dipengaruhi oleh kadar oksigen, konsentrasi HbS
sendiri, dan keberadaan hemoglobin tipe lain. Semakin tinggi kadar HbS dalam eritrosit dan
semakin rendah kadar oksigen, semakin tinggi pula bentuk gel dalam eritrosit. Isi eritrosit yang
menyerupai gel itulah yang menyebabkan bentuk eritrosit seperti sel sabit.
Apabila proses sickling terjadi berulang kali, maka kerusakan membran terjadi dan eritrosit tidak
dapat mencapai bentuk bikonkaf meskipun sudah diberi oksigen lagi. 5-50% dari total jumlah sel
darah merah dapat mengalami kondisi tersebut, berada dalam bentuk sel sabit.1,5-7
Manifestasi klinis dari pasien dengan eritrosit sel sabit dapat muncul pada tulang, ginjal, limpa,
dan berupa anemia hemolitik. Manifestasi klinis tersebut terjadi karena bentuk eritrosit yang
menyerupai sel sabit memiliki daya larut yang rendah (bisa mengendap) sehingga dapat
menyebabkan sumbatan-sumbatan pada pembuluh darah. Sumbatan yang terbentuk
menyebabkan terjadinya hipoksia berulang pada banyak organ dan menghasilkan kerusakan.
Penumpukan sel sabit yang tiba-tiba pada limpa juga menyebabkan splenomegali mendadak
yang memberikan rasa nyeri.
Hipoksia menyebabkan penurunan nitrit oksida (NO) yang mengakibatkan eritrosit berbentuk
sabit mudah menempel pada endotel dan makrofag. Penempelan tersebut menyebabkan
teraktivasinya proses perusakan eritrosit, mengarah pada peningkatan hemolisis sel darah merah.
Hemolisis sel darah menghasilkan hemoglobin bebas yang merupakan penghambat NO,
sementara NO sendiri merupakan vasodilator. Oleh sebab itu, jika terjadi hipoksia, maka terjadi
vasokonstriksi yang dapat memperburuk hipoksia dan menyebabkan nekrosis jaringan.1,5-7
5. Sferositosis herediter
Defisiensi sejumlah protein pada membran sel menyebabkan defek vertikal, hilangnya lemak
membran, dan luas permukaan secara progresif diikuti pembentukan mikrosferosit. Akibat
kelainan tersebut terjadi peningkatan fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk sferosit
dan eritrosit yang rapuh. Limpa yang berfungsi untuk menyisihkan eritrosit yang rapuh bekerja
berat karena banyak eritrosit yang terjebak di limpa, menyebabkan splenomegali.1,5-7
6. Anemia Pasca Perdarahan Akut
Perdarahan masif dapat menimbulkan syok hipovolemik yang merupakan keadaan gawat darurat
yang memerlukan tindakan segera. Massa eritrosit menurun sehingga mengurangi daya angkut
oksigen dari darah. Disamping itu akan terjadi penurunan volume darah yang dapat
menimbulkan penurunan perfusi jaringan sampai syok sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pengaruh penurunan volume darah lebih penting dibandingkan dengan penurunan daya angkut
oksigen pada perdarahan akut.9
Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit pada darah tepi lebih lambat dibandingkan dengan
penurunan total red cell mass pada 48 jam pertama, oleh karena masuknya cairan ke dalam
pembuluh darah sebagai akibat keseimbangan darah dengan cairan ekstravaskuler memerlukan
waktu. Oleh karena itu kadar hemoglobin dan hematokrit bukan merupakan parameter yang baik
untuk menilai jumlah perdarahan pada 48 jam pertama. Evaluasi keadaan klinis (tanda-tanda
penurunan volume darah klinis) pengukuran serial kadar hemoglobin dan hematokrit sangatlah
penting.9
C. Gejala Klinis
1. Anemia hemolitik autoimun
o Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Biasanya gejala anemia ini terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, dan adayang disertai nyeri
abdomen, limpa biasanya membesar, sehingga bagian perutatas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau
tidak nyaman dan juga bisa dijumpaisplenomegali pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat.
Urin berwarna gelapkarena terjadi hemoglobinuri.Pada AHA paling tebanyak terjadi yakni
idiopatik splenomegali tarjadi pada 50-60%, iketrik terjadi pada 40%, hepatomegali 30% pasien
dan limfadenopati pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaranorgan dan
limfonodi.
Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava beans,
infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise, kelemahan, dan
nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari, pasien mengalami
jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria. Onsetnya bisa
tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa ringan sampai berat. Anemia
biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi intravaskular. Oleh sebab itu,
muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat dehidrogenase) yang tinggi dan plasma
haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari pemeriksaan darah, ditemukan
hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata) dan bite cells atau blister cells
(sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri khas dari anemia hemolitik
akut.1,5-7
Manifestasi klinis yang paling umum dari SCD adalah krisis vaso-oklusif. Sebuah krisis vaso-
oklusif terjadi ketika mikrosirkulasi terhambat oleh eritrosit sel sabit, menyebabkan cedera
iskemik pada organ dan menghasilkan rasa sakit yang. Krisis nyeri merupakan gejala yang paling
khas dari penyakit sel sabit dan merupakan penyebab utama kunjungan gawat darurat dan rawat
inap untuk pasien yang terkena.
Sekitar setengah dari individu yang mengalami krisi vaso-oklusif adalah pasien dengan HbS
homozigot. Frekuensi krisis sangat bervariasi. Beberapa memiliki sebanyak 6 atau lebih episode
per tahun, sedangkan yang lain mungkin memiliki episode hanya pada interval besar atau tidak
sama sekali. Setiap individu biasanya memiliki pola frekuensi krisis yang konsisten. Krisis nyeri
mulai dengan tiba-tiba. Krisis ini dapat berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dan
berakhir tiba-tiba pula.1,5-7
Rasa sakit dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh. Nyeri ini sering melibatkan perut, tulang,
sendi, dan jaringan lunak, dan mungkin hadir sebagai dactylitis (tangan sakit dan bengkak
bilateral dan / atau kaki pada anak), nekrosis sendi akut atau nekrosis avaskular, atau akut
abdomen. Episode vaso-oklusif yang berulang dapat menyebabkan slpenomegali dan fibrosis
limpa sehingga mengancam sistim imunitas. Hepar juga dapat mengalami infark dan
berkembang menjadi serosis seiring berjalannya waktu. Nekrosis papiler ginjal adalah
manifestasi umum dari vaso-oklusi, menyebabkan isosthenuria (konsentrasi urin yang sama
sepanjang waktu. Normalnya kepekatan urin berubah seiring berubahnya asupan cairan).
Rasa sakit yang parah muncul di ekstremitas, yang melibatkan tulang panjang. Nyeri perut bisa
sangat berat, menyerupai akut abdomen, mungkin akibat dari nyeri alih dari tempat lain atau
intra-abdomen organ padat atau infark jaringan lunak.1,5-7
Wajah juga mungkin terlibat. Nyeri dapat disertai dengan demam, malaise, dan leukositosis.
Nyeri tulang ini sering disebabkan oleh infark tulang sumsum. Pola-pola tertentu dapat
diprediksi, karena rasa sakit cenderung untuk melibatkan tulang dengan sumsum tulang yang
produktif dan aktivitas sumsum tulang lokasinya berubah sesuai usia. Selama 18 bulan pertama
kehidupan, metatarsal dan metacarpals dapat terlibat, menyajikan sebagai dactylitis atau hand-
foot syndrome.1,5-7
Seiring dengan pertumbuhan anak, sakit sering melibatkan tulang panjang ekstremitas, situs yang
mempertahankan aktivitas sumsum selama masa kanak-kanak. Kedekatan dengan efusi sendi dan
simpatik sesekali mengarah pada keyakinan bahwa rasa sakit melibatkan sendi. Aktivitas
sumsum surut lebih lanjut berubah selama masa remaja, sehingga nyeri lebih melibatkan badan
vertebra, terutama di daerah pinggang.1,5-7
5. Sferositosis herediter
Gejala klinis mayor sferosis herediter adalah anemia, splenomegali, dan ikterus. Ikterus dapat
terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat anak masih kecil. Akibat
peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering terbentuk batu empedu
berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.1,5-7
Hiperplasia sel eritroid sumsum tulang sebagai kompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui
perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis
ekstra meduler di para vertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto toraks.
Kompensasi sumsum tulang tersebut terkadang mengalami gangguan akibat keadaan hipoplasia
eritroid yang dipicu adanya infeksi terutama oleh Parvovirus.
Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan
selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa.1,5-7
Pada pemeriksaan mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan
bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat
sampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferodisitas dilakukan pengukuran
fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik.1,5-7
>40% BB (2000 cc) Hipotensi sampai syok dengan nadi cepat dan
kecil serta akral dingin, curah jantung dan
tekanan vena sentralis menurun
D. Penatalaksanaan
1. Anemia hemolitik autoimun
Penatalaksanaan medikamentosa dan non-medikamentosa yang hanya memberi hasil yang
memuaskan pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat. Untuk anemia hemolitik autoimun tipe
dingin, belum ditemukan penatalaksanaan yang memberi hasil maksimal. 4-7
Penatalaksanaan medikamentosa yang dapat diberikan pada anemia hemolitik autoimun tipe
hangat adalah kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam dua minggu sebagian besar akan
menunjukkan respon klinis baik (Ht meningkat, retikulosit meningkat, tes Coombs direk positif
lemah, tes Coombs indirek negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke 30 sampai
hari ke 90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai
mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis <30mg/hari dapat diberikan secara selang
sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun
bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar hematokrit, maka perlu
segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Penatalaksanaan medikamentosa yang lain juga dapat berupa pemberian preparat imunosupresan
seperti azathioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150 mg/hari. Selain itu penambahan
danazol 600-800 mg/hari bersamaan dengan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial. Begitu juga mycophenolate mofetil 500-1000 mg perhari dilaporkan memberikan
hasil yang bagus.1,5-7
Namun, splenectomy tidak boleh dilaksanakan pada kasus sferosit herediter yang ringan, pasien
yang belum menjalani vaksinasi antipneumococcal, dan pada pasien dibawah 4 tahun (karena
belum melewati masa puncak tertinggi resiko sepsis pasca operasi).1,5-7
Pada penderita segera dipasang infuse line dengan kateter intravena ukuran besar (G16 atau 18).
Pertama kali yang dipasang adalah cairan kristaloid gram fisiologik (NaCl 0.9%). Contoh darah
segera diambil untuk penentuan golongan darah serta reaksi silang, pemeriksaan darah rutin,
retikulosit, trombosit, waktu protombin, waktu tromboplastin parsial. Pemberian tetesan
120/menit akan memasukkan 1 unit (500 cc) darah dalam 1 jam. Setiap pemberian 1 liter darah
simpan juga diberikan 10 ml kalsium glukonas untuk mencegah keracunan sitrat. Dilakukan
pengawasan tekanan darah, nadi, perdarahan yang berlanjut, dieresis, cairan masuk dan keluar.9
E. Komplikasi
1. Anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik et causa medikamentosa, anemia
defisiensi G6PD
Komplikasi yang mungkin adalah gagal ginjal kronis, splenomegali, sepsis, disfungsi hepar, dan
keracunan preparat besi.1,5-7
2. Anemia sel sabit
Komplikasi berupa infeksi oleh bakteri Streptococcus pneumoniae biasa terjadi setelah
splenektomi atau jika pasien memiliki limpa yang fibrotik. Jika kondisi vaso-oklusi tidak
tertangani, maka dapat terjadi nekrosis pada jaringan yang vaskularisasinya terhambat. Stroke
pada usia muda juga sering terjadi pada anemia sel sabit yang tidak terdeteksi dini. Gagal ginjal
kronis juga sering dialami oleh pasien dengan anemia sel sabit. Proliverative sickle retinopathy
juga dapat terjadi, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan mata berkala (3-6 bulan).1,5-7
3. Sferosit herediter
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan sferosit herediter biasanya terjadi akibat
kesalahan diagnosis yang menyebabkan pemberian preparat besi berlebihan sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pada hepar. Diagnosis yang tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi.1,5-7
F. Pencegahan
1. Anemia hemolitik autoimun
Tidak ada pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kondisi autoimun. Namun jika
pasien telah terdeteksi memiliki tipi dingin, maka menghindari tempat-tempat berudara dingin
agar hemolisis tidak berjalan.1,5-7
G. Prognosis
1. Anemia hemolitik autoimun
Setelah kondisi autoimun teraktivasi, perjalanan penyakit akan menjadi kronis. Tetapi prognosis
masih baik dengan persentasi survival yang tinggi (70%)1,5-7
2. Anemia hemolitik et causa medikamentosa
Prognosis baik.1,5-7
5. Sferosit herediter
Prognosis membaik setelah dilakukannya splenektomi.1,5-7
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Internal Publishing; 2009.h.1152-64.
2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83.
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.85.
4. Sudiono H, Iskandar, Harny E, Sanarko L, dkk. Penuntun patologi klinik hematologi.
Jakarta: Bagian Patologi Klinik FK UKRIDA; 2014.h.105.
5. Harmening DM. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. Edisi 5.
Philadelphia: FA Davis Company; 2009.h.265-6
6. Goldman L, Schafer AI. Goldman’s cecil medicine. Edisi 24. USA: Elsevier; 2012.h.274.
7. Fauci AS, et al. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi 18. USA: McGraw-Hill
Companies; 2011.h.872-86.
8. Buku hematologi
9. Bakta IM, Ketut S. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta: EGC; 1999.h.139.