Anda di halaman 1dari 66

MODUL 1

LIFE SUPPORT PADA GAWAT DARURAT


YANG MENGANCAM JIWA

MODUL 1 1
Bab I
DASAR-DASAR PENGELOLAAN
PENDERITA GAWAT DARURAT

Pendahuluan

Penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu penyebab
(penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong
akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal.

Dalam menghadapi penderita gawat darurat maka factor waktu memegang


peranan yang sangat penting (time saving is life saving). Tindakan pada menit
pertama dalam menangani kegawatan medik tersebut, dapat berarti besar dan
sangat menentukan hidup atau mati penderita, karena itu harus dilakukan dengan
cara yang tepat, cepat dan cermat.

Untuk ini diperlukan adanya :


1. Tenaga medis / para medis yang terlatih, baik pengetahuan maupun ketrampilan
2. Sistim dan cara pengelolaan penderita gawat darurat yang sederhana tapi
berdaya guna dan berhasil guna.
3. Fasilitas, alat, obat yang lengkap

Pertolongan pada penderita gawat darurat dapat dilakukan :


1. Di tempat kejadian
2. Selama dalam pengangkutan / transportasi
3. Di unit gawat darurat / rumah sakit

Dalam memberikan pertolongan pada penderita harus diingat hal-hal sebagai


berikut :
1. Bagaimana mempertahankan jiwa penderita. Atasi dulu yang paling
mengancam jiwa.
2. Bagaimana mengurangi penyulit yang mungkin timbul
3. Bagaimana meringankan penderitaan korban
4. Melindungi diri terhadap kemungkinan penularan penyakit menular dari
penderita (Hepatitis, HIV / AIDS, dll)

MODUL 1 2
T. I. U

Mampu merencanakan pertolongan pertama pada pasien gawat darurat.

T. I. K

 Mampu mendiagnosa pasien gawat darurat .


 Mampu merencanakan kerja tim dalam menangani pasien gawat
darurat
 Mampu merencanakan fasilitas dan alat untuk menangani pasien
gawat darurat
 Mampu merencanakan pertolongan pertama dengan cara cepat dan
tepat

I.1 Dasar –Dasar Penanganan

Sebagai patokan yang mudah diingat dalam urutan prioritas penanganan


penderita gawat darurat adalah urutan 6 B. Urutan prioritas ini dibuat atas
pertimbangan hal-hal mana yang lebih cepat menyebabkan kematian.
B1 = Breath = Masalah pernapasan dapat menyebabkan kematian dalam 3
menit
B2 = Bleed = Masalah hemodinamik juga dapat menyebabkan kematian
dalam beberapa menit
B3 = Brain = Masalah kesadaran dan susunan syaraf
B4 = Bladder = Masalah urogenital
B5 = Bowel = Masalah traktus digestivus
B6 = Bone = Masalah kerangka dan tulang

I.1.1 B1 = Breath = Masalah Pernafasan

Coba periksa apakah :

MODUL 1 3
a. Jalan nafas bebas ? disebut bebas bila penderita dapat bernafas atau diberi nafas
dengan mudah. Suara nafas bersih dan tidak ada suara nafas tambahan. Bila
tidak demikian,
1. Bantuan manual dengan triple airway manouvre yaitu :
 Hiperekstensi kepala, angkat tengkuk, ganjal bahu
 Jaw thrust, dorong rahang bawah ke depan
 Buka mulut
2. Bantuan jalan nafas buatan yaitu :
 Jalan nafas oro / nasopharynx
 Jalan nafas oro / naso tracheal
 Cricothyrotomy / tracheostomy

b. Penderita bernafas ?
1. Bila penderita tidak bernafas, tapi mungkin tidak memadai
 Nafas buatan tanpa alat – mulut ke mulut / hidung
 Nafas buatan dengan alat :
 Ambu bag, Jackson Reese
 Respirator
2. Bila penderita bernafas, tapi mungkin tidak memadai

Terapi oxygen melalui :

Jenis alat Konsentrasi oxygen yang dicapai


Nasal pronge 3 liter 30 %
Nasal catheter 3 liter 30 – 40 %
Mask 6 – 8 liter 60 %
Mask + reservoir 2 x MV 100 %

Bronchial toilette
Dicoba dahulu batuk sendiri. Tetapi bila tidak mampu mengeluarkan secret,
lakukan penghisapan intra tracheal / bronchial.

Chest physiotherapy, latih cara menarik nafas dalam dan batuk


 Clapping dan vibration
 Postural drainage
 Mist therapy (munidifier / nebulizer)

MODUL 1 4
Nafas buatan jangka panjang melalui endotracheal tube atau tracheostomy,
diberikan bila point I s/d III tersebut gagal memberikan O 2 dan CO2 artetial yang
memadai

Kriteria gangguan nafas Jenis Tindakan


Parameter I, II, III IV
1. Tanpa alat – frekwensi nafas/m 25 – 35 >35
2. Spirometer – vital capacity 15-30 ml/kg <15 ml/kg
3. Bloodgas :
 PO2 m Hg 70-200 <70
 PCO2 mm Hg 45-60 <60
 Aa-DO2 mm Hg 20 >350

Untuk terapi nafas jangka panjang diperlukan hal-hal sebagai berikut :


1. Berikan minute volume minimal yang dengan kadar oxygen 40-50 % masih
memberikan pO2 100-150.
2. Bila belum berhasil, tambahkan PEEP bertahap @ 2 ½ cm H 2O sampai 15 cm
H2O selama hemodinamik tidak terganggu.
3. Atur dead space agar pCo2 30 – 35.
4. Berikan nafas panjang berkala
5. Berikan cukup kelembaban dalam udara nafas (100% lembab nisbi pada 37° C)
6. Suction intra tracheal secara steril
Untuk memudahkan hal ini tracheostomy lebih baik daripada nasotracheal tube.
7. Bila penderita sudah berhasil distabilisir, secara bertahap PEEP dikurnagi dan
2x sehari dicoba nafas spontan dengan CPAP.

I.1.2 B2 = Bleed = Masalah Hemodinamik

Coba periksa apakah penderita syok?

Untuk itu periksalah perifer (perfusi), tekanan darah, nadi (rate dan
pengisiannya). Perfusi disebut baik bila jari-jari dan telapak tangan hangat, kering
dan merah. Tekanan darah memang membantu diagnosis, tetapi bukan satu-
satunya cara diagnosis. Per definisis, syok adalah ; gangguan perfusi organ vital
atau gangguan oksigenasi jaringan vital.

MODUL 1 5
Jenis syok Tanda khas Therapy
Hipovolemik (kehilangan CVP rendah  Cairan 2-4 x kehilangan
volume) volume bila Hb 7 ½
tranfusi
Kardiogenik (pump failure) CVP tinggi mungkin ada  Diuretic
aritmia
 Digitalis
 Beta mimetic
 Obat-obat aritmia
Peripheral pooling  CVP rendah  Vasokonstriktor
 Vasodilatasi hebat
Septik  Hyperdinamic &  Suportif
hypodinamic stage  Antibiotika
 Febris  Hilangkan fokus infeksi

Penting dicatat bahwa penggunaan cairan sebagai terapi pengganti pada


perdarahan adalah untuk sementara saja. Setelah darah tersedia, berikan tranfusi,
naikkan Hb sampai 7 ½ gr %.
Setelah hemodinamika stabil, kadang-kadang perlu diberikan diuretika untuk
membuang kembali excess cairan tadi, lebih-lebih pada kasus-kasus trauma thorax
dan hypo albuminemia dimana kecenderungan untuk edema paru-paru sangat
besar.

I.1.3 B3 = Brain = Masalah (Kesadaran / neurologik)

Perlu diketahui tingkat kesadaran penderita dan gejala neurologis yang ada.

a. Bagaimana kesadaran penderita ?


Tingkat kesadaran penderita dapat dievaluasi dengan cara yang biasa
dipakai (sadar/composmentis, somnolent, sopor, coma) atau lebih baik bila
menggunakan Glasgow Coma Scale.

Table Glasgow Coma Scale (G. C. S.)

MODUL 1 6
Eye opening (E) :
4 spontaneous
3 to speech
2 to pain
1 nil

Motor Response (M) :


6 obeys
5 localises
4 with draws flexion
3 abnormal flexion
2 extension
1 nil

Verbal Response (V) :


5 orientated
4 consufed coversation
3 in appropriate words
2 in comprehensible sound
1 nil

Nilai tertinggi : E + M + V = 15 (responsiveness)

Nilai terendah : E + M + V = 3 (coma)

Penderita dikatakan coma bila mata tak pernah terbuka, tidak bisa diperintah
dan tak pernah terucap kata suara dari mulutnya :
Glasgow Coma Scale :
b. Lebih praktis
c. Lebih dapat dilakukan oleh dokter maupun paramedis
d. Dapat dilakukan oleh dokter dari waktu ke waktu
f. Dapat untuk meramalkan prognose / out come

Ada 5 kemungkinan hasil akhir (out come) yang diperoleh setelah


melakukan pertolongan yang maksimal pada coma atau trauma kapitis yang berat
(6).
1. Good recovery
Bila penderita dapat hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan tanpa ada
(atau bila ada minimal) kelainan neurologis.
2. Moderate disability

MODUL 1 7
Bila penderita dapat hidup mandiri tapi ada kelainan neurologis dan intelektual.
3. Severe disability
Kesadaran penderita baik, tapi untuk melakukan kegiatan sehari-hari masih
memerlukan bantuan orang lain.
4. Vegetative state
5. Dead
Hubungan antara Glasgow Scale pada 24 jam I dan prognosa / outcome
dapat disebut pada tabel berikut (5).

GCS Jumlah Kasus Dead / Moderate disability /


(E+M+V) Vegetative Good recovery
11 57 7% 87 %
8 – 10 190 27 % 68 %
5–7 525 53 % 34 %
3–4 176 87 % %

b. Apakah ada tanda-tanda neurologis yang lain ?


Mata
- Pupil : Penting menentukan lebar pupil, simetris atau tidak, dan reaksi
terhadap cahaya. Pupil yang semula simetris kemudian menjadi asmetris
curiga akan adanya lesi yang unilateral.
- Gerak : Apakah ada gerak spontan, gerak oculo cephatic, gerak oculo
vestibular, doll’s phenomen.
- Papil : Papil oedema ?

Anggota gerak :
Adanya hemiplegia atau para plegia dapat untuk memperkirakan dimana letak
lesi.

Sistim autonom :
Nadi, tensi, pernafasan dan suhu.

Bila diperlukan dan ada fasilitas dapat dilakukan pemeriksaan C.T. scan,
arteriografi, EEG dan lain-lain.

c. Penyebab gangguan kesadaran

Gangguan nafas

MODUL 1 8
Harus diingat bahwa salah satu penyebab gangguan kesadaran yang cukup
sering adalah kegagalan nafas mendadak.
Hipoksemia : Sel otak sangat peka akan kekurangan oksigen. Bila dalam
waktu 3 – 5 menit tidak mendapat oksigen maka akan terjadi
kerusakan yang irreversible.

Hiperkarbia : Kenaikan tekanan CO2 arteri, akan menyebabkan vasodilatasi


pembuluh darah otak. Menyebabkan kenaikan tekanan
intracranial, yang merupakan ancaman akan terjadinya
herminasi otak.

Gangguan sirkulasi
- Syok / cardiac arrest :
Aliran darah ke otak berkurang, maka akan terjadi hipoksemia dan
kerusakan sel otak.
- C. V. A :
Perdarahan
Thrombosis
Trauma
Menyebabkan perdarahan, edema sampai lacerasi otak. Bila ada tanda-tanda
kenaikan tekanan intra kranial (muntah-muntah, tensi – nadi, nadi turun,
kesadaran menurun, ada edema papil), segera lakukan :
- Cortico steroid dosis tinggi
- Diuretika furosemid

Manitol hanya diberikan bila yakin bahwa tidak perdarahan intra cranial
- Posisi tidur slight head up
- Nafas buatan dengan hiperventilasi sampai tekanan CO2 arteri sekitar 30
mm Hg.

Metabolik
- Gangguan faal ginjal (koma urenikum)
- Gangguan faal hepar (koma hepatikum)
- Gangguan endokrin (koma diabetikum)
Dalam hal ini perlu bantuan pemeriksaan laboratorium yang lebih teliti.
Infeksi : encephalitis, meningitis dan lain-lain.
Obat-obatan : obat anestesi, traquilizer, sedativum
Tumor : menyebabkan kenaikan intra kranial dan herniasi otak

I.1.4 B4 = Bladder = Masalah urologi

MODUL 1 9
Disini yang dinilai adalah fungsi ginjal terhadap ancaman terjadinya
kegagalan ginjal mendadak (acute renal failure)
Samuel Pawers (7) menyatakan bahwa :
“Persistent oliguria below 25 ml per hour for more than two hours, contitutes
a true medical emergency reguiring the most urgent and aggressive
corrective therapy”.
Karena itu untuk bisa menilai fungsi ginjal perlu diperiksa :
Urine

Volume
- Normal : 1-2 ml/kg BB
- Anuria : 20 ml/24jam
- Oliguria : 25 ml/jam atau 400 ml/24jam
- Poliuria : 2500 ml/24jam

Kwalitas
- Berat jenis
- Sedimen dan lain-lain
Pemeriksaan serum creatinin, BUN dan bila mungkin clearance creatinin,
perbandingan urine creatinin/serum creatinin dan UUN / BUN

Urine
Secara kasar dapat untuk menggambarkan keadaan :
- Fungsi ginjal dan salurannya
- Hemodinamik penderita (hipotensi produksi urine berkurang)
- Hidrasi penderita (hipovolemia produksi urine berkurang dan pekat)
- Hormonal : Diabetes melitus, prodoksi urine meningkat. Diabetes
insipidus, poliguria, berat jenis rendah

Bila terjadi oliguria/anuria :


- Ingat bahaya akan terjadi acute real failure yang mempunyai angka
mortalitas yang tinggi.
- Perlu tindakan yang cepat, tepat dan adekuat.
- Penyebab :
* Prerenal
 Hopivolmia
 Hipotensi / syok
* Renal
 Prerenal yang tak segera diatasi
 Reaksi tranfusi

MODUL 1 10
 Myoglobinuria karena crush syndrome
 Radang
* Post renal
 Batu, debris

Urutan Tindakan
Bila memang jelas ada tanda hipovolemia, berilah cairan ringer lactate atau
normal saline sampai tanda hipovolemia hilang.

Jika urine belum bertambah, berilah furosemid test.


- Bila kesadaran meragukan, pasang CVP catheter, maka akan didapat 3
kemungkinan
1. CVP rendah : beri cairan sampai CVP normal (8 – 14 cm). Bila urine belum
bertambah lakukan furosemid test.
2. CVP normal : langsung furosemid test.
3. CVP tinggi : langsung furosemid test

- Furosemid test : diberikan 1 ampul furosemid intra vena, ditunggu 20–30 menit
bila urine belum bertambah, dosis ditingkatkan dua kali sampai botol dosis 1
gram.
Bila tetap tidak ada response, penderita diterapi sebagai acute renal failure
dengan cara :
- Pengaturan pemberian cairan yang ketat dengan monitoring CVP. Jumlah
cairan yang masuk harus sama dengan yang keluar (kira-kira 400 cc
ditambah cairan yang keluar).
- Diberikan kalori yang cukup tinggi lewat infus (Dextrose 20-50%) dan
diberikan regular insulin 1 unit / 5 gr glucose, selain untuk metabolisme
glucose juga untuk mendorong kalium masuk ke dalam sel.
- Stop / kurangi pemberian kalium pasang maagslang untuk drainge K+ dan
H+dari lambung sehingga mengurangi terjadinya hiperkaliemia dan acidosis.
- Bila ada asidosis berikan nabic.
- Cegah terjadinya infeksi dan pemberian obat yang nefrotoksik.
- Kalau perlu dialisis

Harus dibedakan oliguria/anuria dengan retensio urine, dimana produksi


urine normal, hanya oleh karena sesuatu sebab tidak bisa dikeluarkan lewat urethra

I.1.5 B5 = Bowel = Masalah tractus digestivus

MODUL 1 11
Yang perlu diperhatikan adalah
Perut yang kembung atau distensi (menyangkut masalah B1)

Keadaan ini akan menyebabkan diaphragma terdorong keatas, sehingga


pergerakan terganggu, dengan demikian pengembangan paru-paru terbatas
maka memudahkan terjadinya hipoventilasi dengan segala akibatnya.
Penyebab dapat berupa :
a. Ascitas : perlu dilakukan punksi
b. Peredaran intra abdimonal : segera laparatomy
c. Ileus paralitik :
- Pasang pipa lambung
- Pasang pipa rektum
- Pasang infus
- Dipertimbangkan obat-obat seperti prostigmin, alanamin dan lain-lain.
d. Ileus obstruktip
- Dipersiapkan untuk laparatomy
- Pasang pipa lambung
- Pasang infus lakukan rehidrasi dengan monitoring tensi, nadi, CVP
(bila dipasang) dan produksi urine
Muntah dan diare (menyangkut masalah B2) akan menyebabkan tubuh
kehilangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi keadaan dihidrasi akut dengan
gejala klinis.

Gejala klinis akibat berkurangnya cairan intresti strel


- Turgor kulit menurun
- Mata cowong
- Mukosa kering
- Ubun-ubun cekung

Gejala akibat berkurang plasma


- Takhikardia
- Hipotensi sampai syok
- Oliguria
Untuk rehidrasi ada bermacam-macam cara :
- Memberikan cairan dengan pedoman pada CVP
- Berdasarkan berat jenis plasma
- Cara konvensional / sederhana

Contoh :
Berat badan 50 kg – dehydrasi berat (10 %)

MODUL 1 12
Diberikan cairan (RL/PZ) 20 ml/kg BB (1000 ml)
Segera. Bila belum mengatasi syoknya, diberikan ulang sejumlah yang sama.
Untuk mengoreksi defisitnya : 10/100 x 501 = 5000 ml. Diberikan bertahap,
8 jam I 2500 cc dan 16 jam berikutnya
2500 ml. Selain itu jika penderita belum bisa intake oral. Kuga diberikan
cairan maintenance sebanyak 40 – 50 cc/kg/24 jam.
Nutrisi
Bila oleh karena satu dan lain sebab penderita tidak bisa intake per oral maka
dipertimbangkan untuk memberikan nutrisi parenteral untuk mencegah
katabolisme yang berlebihan dari protein tubuh yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh.

Hepar
Diperiksa apakah ada hepatomegeli, cirrhosis hepatis dan gangguan faal hepar.

Limpa
Apakah ada splenomegeali, perlu dicari penyebabnya. Limpa mudah rupture
oleh karena trauma.

I.1.6 B6 = Bone = Masalah tulang dan kerangka

Pada umumnya penyakit tulang atau patah tulang tidak menyebabkan kematian
secara langsung kecuali :

Patah tulang leher


Terutama diatas cervical kedua yang dapat menyebabkan tetra plegi dan
kelumpuhan otot diaphragma sehingga penderita meninggal karena gangguan
nafas (b1). Saat ini dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan dan
kemacetan lalulintas maka kemungkinan terjadinya patah tulang leher makin
besar.

Patah tulang terbuka dengan perdarahan penderita meninggal karena syok


hipovolemia (B2)
Dalam keadaan demikian perlu dipasang tourniquet, atau sumber perdarahan
dijepit/klem dan dilakukan penggantian darah yang hilang dengan cairan
(Ringer lactate), plasma ekspander ataupun darah. Perlu diberikan antibiotika
untuk mencegah infeksi yang mungkin terjadi.

Patah tulang panjang

MODUL 1 13
Dapat menyebabkan terjadinya emboli lemak yang pasif sehingga dapat
menyebabkan kematian penderita karena gangguan nafas (B1)

Penting diperhatikan pada waktu pertolongan di tempat kejadian dan selama


pengangkutan agar dilakukan dengan cara yang benar sehingga tidak menambah
komplikasi dan memperburuk keadaan.

1.2 Kesimpulan

Dalam menangani penderita gawat darurat dituntut untuk bertindak cepat dan
tepat baik dalam mendiagnosa maupun terapinya. Dengan demikian diperlukan :
1. Kerjasama antar medik yang terlatih terampil dan cekatan
2. Cara penanganan / pengelolaan yang praktis, sistematis sehingga mudah diingat
dan dilaksanakan.
3. Fasilitas alat dan obat yang cukup

1.3 Penutup
Telah dibicarakan dasar-dasar penanganan penderita gawat darurat ternyata
masalah gawat darurat medik adalah sangat luas sehingga tidak cukup untuk
dibicarakan semua.

Bahan Bacaan
1. Beal J. M
Critical care for surgical patients
Macmillan Publishing Co Inc – New York – 1982

2. Bendixen M. H.
Respiratory Care
C. V. Mosby Co – Saint Louis – 1965.

3. Chung E. K.
Cardiac Emergency Care
Lea dan Febiger – Philadelphia – 1980

4. Cohen A. S. Freidin R. B. Samuels M. A.


Medical Emergencies – Diagnostic and Management Procedure
From Boston City Hospital

5. Jennett B.
Diagnosis and monitoring of Coma

MODUL 1 14
Management of Medical Emergencies
Edited by Howard Baderman
Pitmen: Medical Publishing Co. Ltd. London 1978

6. Jennett B and Bond M. R.


Assessment of outcome after severe Brain damage
Lancet 1.480 1975
7. Kinney J. M
Manual of Preoperative and Postoperative Care
W. B. Saunders Co. Philadelpia 1971.

8. Safar Peter
Cardio Pulmonary Cerebral Resusitation
Asmund S. Laerdal Stavanger. Norway 1981.

9. Weil M. H., Daluz P. L.


Critical Care Medicine Manual
Springer Verlag – New York, 1978

10.Weil M. H.; Henning R. J.


New Concepts in the diagnosis and fluid treatment of circulatory chock
anesthesia and analgesia 58 ; 2 – 124 – 132, Mai – April 1979.

11.Weil M. H. Shubin H.
Critical Care Medicine, Current Principles and Practices, Harper and Row
Publisher – Maryland – 1981.

12.Zorab J. S. M.
Immediate Care
W. B. Saunders Co. Ltd – London – 1977

MODUL 1 15
Bab II
SUMBATAN JALAN NAFAS

Pendahuluan
Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat. Hipoksemia
yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas terjadi paling cepat dibandingkan
hipoksemia akibat gangguan fungsi organ yang lain. Oleh karena itu pencegahan
hipoksemia merupakan prioritas utama dengan cara jalan nafas dipertahankan
terbuka, ventilasi adekwat dan diberi oksigen.

Gangguan jalan nafas dapat mendadak, perlahan-lahan progresif, total atau


parsial dan berulang karena itu perlu reevaluasi dari waktu ke waktu.

Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan nafas adalah
bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan nafas, keterlambatan
memberikan pertolongan, kesulitan teknik dan kurangnya ketrampilan.

Sumbatan jalan nafas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita tak
sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya,
stroke, radang otak), trauma/kecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala,
keracunan). Tapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya adalah sama.

T. I. U

Mampu menjelaskan patofisiologi dan cara mengatasi sumbatan jalan


nafas.

T. I. K

 Memahami patofisiologi sumbatan jalan nafas.


 Mengetahui tanda dan gejala sumbatan jalan nafas akut
 Mengenali keadaan-keadaan klinis yang potensial akan timbul
sumbatan jalan nafas
 Menjelaskan teknik-teknik membebaskan dan menjaga jalan nafas
 Menjelaskan tentang jalan nafas definitif.
MODUL 1 16
II.1. Patofisiologi

Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan


anestesi, penderita trauma kepala atau oleh karena suatu penyakit, maka akan
terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot lidah dan sphincter cardila akibatnya bila
posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuhke posterior menutup
orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan nafas. Sphincter cardila yang
relaks, menyebabkan isi lambung mengalir kembali ke orofaring (regurgitasi). Hal
ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan nafas oleh aspirat yang padat
dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada keadaan ini pada umumnya
reflek batuk sudah menurun atau hilang.

Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang, perdarahan,


lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat menimbulkan masalah/sumbatan jalan
nafas. Patah tulang mandibula bilateral menyebabkan lidah kehilangan penyangga
sehingga penderita sulit untuk menelan dan bila berbaring lidah akan jatuh
menutup jalan nafas walaupun penderita dalam keadaan sadar. Pada keadaan
seperti ini posisi penderita yang paling enak adalah duduk agak membungkuk.
Trauma tajam pada leher dapat menimbulkan perdarahan dan hematoma yang
dapat menggeser posisi jalan nafas. Pendesakan oleh hematoma ini dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas dan menyulitkan pada waktu intubasi
endotrakheal. Apabila tidak memungkinkan dilakukan intubasi endotrakheal, harus
segera dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi.

Trauma tumpul pada leher dapat menimbulkan edema dan kerusakan pada
laring dan trakhea yang dapat menyumbat jalan nafas.

II.2. Macam Sumbatan Jalan Nafas

 Parsial
 Ringan
 Berat
 Total

II.3. Tanda-Tanda Sumbatan Jalan Nafas

MODUL 1 17
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada tidaknya sumbatan
jalan nafas dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan feel
(raba).
 Lihat (look)

Dilihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi


memberi kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena
sumbatan jalan nafas, sedangkan penurunan kesadaran memberi kesan adanya
hiperkarbia yang mungkin disebabkan oleh hipoventilasi akibat sumbatan jalan
nafas.

Dilihat pula pergerakan dada dan perut waktu bernafas, normalnya pada posisi
berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas dinding-dinding perut
bergerak keatas dan waktu ekspirasi dinding dada turun dinding perut juga turun.
Pada sumbatan jalan nafas total atau parsial berat, waktu inspirasi dinding dada
bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi
sebaliknya. Gerak nafas ini disebut see saw atau rocking respiration.

Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda
tambahan adanya sumbatan jalan nafas. Sianosis yang terlihat di kuku atau bibir
menunjukkan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekwat. Pada
penderita trauma perlu dilihat adanya deformitas daerah maksilofasial atau leher
serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi dan muntahan yang dapat
menyumbat jalan nafas.
 Dengar (listen)

Didengar suara nafas dan ada tidaknya suara tambahan. Adanya suara nafas
tambahan berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas tambahan dapat
berupa dengkuran (snoring), kumuran (gurgling), atau siulan (crowing/stridor).
Snoring disebabkan oleh lidah yang menutup orofaring, gurgling karena sekret,
darah atau muntahan dan crowing/stridor menunjukkan adanya penyempitan jalan
nafas karena spasme, edema atau pendesakan. Suara bicara penderita yang normal
menunjukkan tidak ada sumbatan jalan nafas sedangkan suara yang parau
menunjukkan adanya masalah di daerah laring.

 Raba (feel)

Dirabakan hawa ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada
tidaknya getaran di leher waktu bernafas. Adanya getaran di leher menunjukkan

MODUL 1 18
sumbatan parsial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah ada fraktur di
daerah maksilofasial, bagaimana posisi trakhea.

Lihat Gerak Dengar Suara Raba Hawa


Sumbatan
Nafas Tambahan ekspirasi
Bebas Normal - +
Parsial Ringan Normal + +
Parsial Berat See saw + ±
Total See saw - -

Tabel

II.4. Pengelolaan Jalan Nafas

Penilaian dan pengelolaan jalan nafas harus dilakukan dengan cepat tepat dan
cermat untuk mencegah terjadinya hipoksemia.

Tindakan ditujukan untuk membuka dan menjaga jalan nafas tetap bebas dan
waspada terhadap keadaan klinis yang menyumbat atau potensial akan menyumbat
jalan nafas.

Penyebab sumbatan jalan nafas yang paling sering :


Lidah dan Epiglotis
Muntahan, darah, sekret, benda asing
Trauma daerah maksilofasial.

 Lidah dan epiglotis

Pada penderita yang mengalami penurunan tingkat kesadaran maka lidah akan
jatuh ke belakang menyumbat hipofarings atau epiglotis jatuh kebelakang menutup
rima glotidis.

Dalam keadaan seperti ini, pembebasan jalan nafas dapat dilakukan tanpa alat
maupun dengan menggunakan jalan nafas buatan. Membuka jalan nafas tanpa alat
dilakukan dengan cara head tilt, chin lift, jaw thrust.

Sedangkan alat-alat yang dipakai untuk mengatasi sumbatan jalan napas karena
lidah adalah jalan nafas orofaringeal atau nasofaringeal.

MODUL 1 19
Pada penderita trauma, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membuka jalan
nafas, dapat menyebabkan atau memperburuk cedera tulang leher. Oleh karena itu
pada penderita trauma dengan dugaan cedera tulang leher cara yang dianjurkan
hanya jaw thrust dan chin lift dengan immobilisasi kepala dan leher (in-line im
mobilization) secara manual atau memakai neck collar.

* Chin Lift
Empat jari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang ibu jari diatas dagu,
kemudian secara hati-hati dagu diangkat ke depan. Bila perlu ibu jari
dipergunakan untuk membuka mulut/bibir atau dikaitkan pada gigi seri bagian
bawah untuk mengangkat rahang bawah. Manuver chin lift ini tidak boleh
menyebabkan posisi kepala hiperekstensi.

* Jaw Thrust
Mendorong agulus mandibula kanan dan kiri ke depan dengan jari-jari kedua
tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas, kedua ibu
jari membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua pipi
penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.
Tindakan jaw thrust, buka mulut dan head tilt disebut triple airway maneuver.

* Jalan Nafas Orofaringeal


Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah tidak
jatuh menutup hipofarings. Ukuran harus tepat yaitu dari tengah mulut sampai
ke angulus mandibula atau dari tepi mulut sampai ke tragus. Bila kekecilan
malah akan mendorong lidah ke belakang hingga makin menyumbat.
Ada 2 cara pemasangan yaitu secara langsung dengan bantuan spatula lidah
atau secara tidak langsung dengan cara terbalik menyusuri palatum durum

MODUL 1 20
sampai palatum molle kemudian diputar 180o sehingga bagian yang cekung
mengarah ke caudal. Alat ini merangsang muntah dan tidak disukai bila
kesadaran penderita membalik.
* Jalan Nafas Nasofaringeal
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan
menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita, secara
gampang kira-kira sebesar diameter jari kelingking penderita. Pada waktu
memasang, pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah yang ada
di rongga hidung. Alat ini lebih dapat diterima oleh penderita dan lebih kecil
kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan nafas orofaringeal.

 Muntahan, darah, sekret, benda asing

Penghisap yang berfungsi baik dan berkemampuan tinggi harus ada di ruang
gawat darurat untuk menghisap darah, muntahan atau sekret yang berada di jalan
nafas. Ada 2 macam kateter penghisap yang sering digunakan yaitu rigid tonsil
dental suction tip atau soft catheter suction tip. Untuk menghisap rongga mulut
dianjurkan memakai yang rigid tonsil/dental tip sedangkan untuk menghisap lewat
pipa endotrakheal atau trakheostomi menggunakan yang soft catheter tip. Jangan
menggunakan soft catheter tip lewat lubang hidung pada penderita yang dengan

MODUL 1 21
fraktur lamina cribosa karena dapat menembus masuk rongga otak. Harus
diperhatikan tata cara penghisapan agar tidak mendapatkan komplokasi yang dapat
fatal. Benda asing misalnya daging atau patahan gigi dapat dibersihkan secara
manual dengan jari-jari. Bila terjadi chocking (tersedak) umumnya “nyantol” di
daerah subglotis, dicoba dulu dengan cara back blows, abcominal thrust(Heimlich
maneuver).

 Trauma daerah Maksilofasial

Dicoba membebaskan jalan nafas dengan cara-cara diatas, tapi bila tidak
berhasil segera dilaksanakan pemasangan jalan nafas yang definitif yaitu intubasi
endotrakeal atau krikotiroidotomi, atau trakheostomi.

II.5. Jalan Napas Definitif

Yang dimaksud jalan napas definitif adalah pipa jalan napas yang dilengkapi
dengan balon (cuff), yang dapat dikembangkan yang dapat dipasang di trakhea.

Tujuan pemasangan jalan nafas definitif untuk mempertahankan jalan napas,


pemberian ventilasi, oksigenasi dan pencegahan aspirasi.
Ada 2 macam :
1. Intubasi endotrakheal :
- orotrakheal
- nasotrakheal

2. Dengan pembedahan (surgical airway)


- kritotiroidotomi
- trakheostomi

Beberapa keadaan klinik yang memerlukan jalan nafas definitif antara lain
apnea, tidak mampu mempertahankan jalan nafas dengan cara-cara yang lain,
pencegahan aspirasi darah atau muntahan, ancaman terjadinya sumbatan jalan
nafas (contoh trauma inhalasi, status konvulsi, trauma maksilofasial, trauma/
cedera kepala tertutup dengan GCS kurang dari 8, tak berhasil memperoleh
oksigenasi yang adekwat dengan menggunakan masker.

 Intubasi endotrakheal
Harus dilakukan oleh mereka yang terlatih terampil disertai peralatan yang
lengkap. Dapat dilakukan lewat mulut (orotrakheal) atau lewat hidung
(nasotrakheal) secara avue (dengan bantuan laringoskop) atau blind (tanpa

MODUL 1 22
laringoskop dengan tuntunan nafas penderita). Pada penderita yang awake atau
asleep (tak sadar atau ditidurkan). Untuk yang asleep dapat secara non apnea
(memang tak bernafas atau diberi pelumpuh otot.)
Cara intubasi yang dipilih tergantung keadaan penderita, pengalaman,
keputusan dan ketrampilan dokter. Sebelum dilakukan intubasi perlu oksigenasi
dan bila perlu bantuan ventilasi. Akan lebih baik bila dilakukan monitoring
saturasi oksigen dengan pulse oxymetri dan EKG

Hati-hati pada penderita cedera tulang leher tindakan laringoskopi dapat


menyebabkan posisi kepala hiperekstensi karena itu perlu immobilisasi kepala dan
leher.

Gambar 3

 Surgicak Airway

Dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi endotrakheal,


dapat berupa :

* Krikotiroidotomi dengan jarum (needle cricothyroidotomy). Ditusukkan


jarum/kanula ke trakhea ke arah distal lewat membrana krikotiroidea. Ukuran
jarum 12-14G pada dewasa atau 16-18G pada anak. Ujung jarum/kanula

MODUL 1 23
dengan Y konektor dihubungkan ke sumber oksigen dengan aliran 12-15 I/m.
Cara ini disebut jet insufflation untuk memberikan oksigen dengan cepat

Gambar 4

* Krikotiroidotomi dengan pembedahan (surgical cricothyroidotomy). Dilakukan


insisi pada membrana krikotiroidea dan kemudian dimasukkan kanula
trakeostomi atau pipa endotrakheal nomer 5,0-6,0 ID
* Trakeostomi
lebih sulit dan lebih lama, karena itu pada umumnya dilakukan secara selektif.

Bahan Bacaan

1. Committee on Trauma, Advanced trauma life support student manual, Chicago,


American College of Surgeon, 1997 : 61-65
2. Safar P, Bircher N. G, Cardio pulmonary Cerebral Resusciation 3rder W. B.
Saunders Co, London 1998.

MODUL 1 24
Bab III
GAWAT NAFAS AKUT

Pendahuluan

Gangguan nafas dapat berupa hipoventilasi sampai ke henti nafas yang dapat
disebabkan oleh bermacam-macam faktor antara lain :

 Tindakan anestesi
 Anestesi yang terlalu dalam
 Sisa obat pelemas otot
 Obat narkotik

 Suatu penyakit
 Radang otak
 Radang syaraf
 Stroke
 Tumor otak
 Edema paru
 Gagal jantung
 Miastenia grafis

 Trauma – kecelakaan
 Cedera kepala
 Cedera tulang leher
 Cedera torak
 Keracunan obat

Apapun penyebabnya bila tidak dilakukan penanganan dengan baik akan


menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia. Karena itu gawat nafas merupakan
salah satu kegawatan yang cepat menimbulkan kematian, untuk itu perlu
penanganan yang cepat, tepat, cermat dan terpadu/multidisipliner.

MODUL 1 25
T. I. U

Mampu menjelaskan patofisiologi gawat nafas dan pengelolaannya.

T. I. K

 Memahami definisi gawat nafas


 Memahami patofisiologi gawat nafas
 Mengetahui tanda dan gejala gawat nafas
 Mengetahui kemungkinan penyebab gawat nafas
 Menjelaskan pengelolaan gawat nafas.

III.1 Patofisiologi

Jalan nafas yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu
langkah yang pertama adalah membuka jalan nafas dan menjaganya agar tetap
bebas. Setelah jalan nafas bebas tetapi tetap ada gangguan ventilasi maka harus
dicari penyebab yang lain.
Penyebab lain yang terutama adalah gangguan pada mekanik ventilasi dan
depresi susunan syaraf pusat.
Untuk inspirasi agar diperoleh volume udara yang cukup diperlukan jalan nafas
yang bebas, kekuatan otot inspirasi yang kuat, dinding torak yang utuh, rongga
pleura yang negatif dan susunan syaraf yang baik.
Bila ada gangguan dari unsur-unsur mekanik diatas maka akan menyebabkan
volume udara inspirasi tidak adekwat sehingga terjadi hipoventilasi yang
mengakibatkan hiperkarbia dan hipoksemia. Hiperkarbia menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan meningkatkan tekanan intrakranial,
yang dapat menurunkan kesadaran dan menekan pusat nafas bila disertai
hipoksemia keadaan akan makin buruk. Penekanan pusat nafas akan menurunkan
ventilasi. Lingkaran ini harus dipatahkan dengan memberikan ventilasi dan
oksigenasi.
Pusat nafas bekerja secara otomatis dan menurut kendali. Oleh karena itu pada
penderita dengan gangguan ventilasi dimana penolong belum mampu menguasai

MODUL 1 26
ventilasinya dan masih diperlukan kooperasi dengan penderita sebaiknya penderita
tidak ditidurkan, tetap dalam keadaan sadar.
Gangguan ventilasi dan oksigenasi juga dapat terjadi akibat kelainan di paru
dan kegagalan fungsi jantung.

Parameter ventilasi :
* PaCO2 (N : 35-45 mmHg)
* ETCO2 (N : 25-35 mmHg)

Parameter Oksigenasi :
* PaO2 (N : 80-100 mmHg)
* SaO2 (N : 95-100 %)

III.2. Penyebab Gangguan Nafas

Seperti apa yang telah disinggung di depan, banyak faktor dapat menyebabkan
gangguan nafas, tapi pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok :

III.2.1. Penyebab di sentral


Segala sesuatu yang menimbulkan depresi pada pusat nafas akan menimbulkan
gangguan nafas.
Contoh : obat-obatan (anesthesia, narkotik, tranquilizer), trauma kepala, radang
otak, stroke, tumor.

III.2.2. Penyebab di luar sentral

 Jalan nafas
Sumbatan jalan nafas akan mengganggu ventilasi dan oksigenasi, tetapi setelah
jalan nafas bebas masih tetap ada gangguan ventilasi maka harus dicari
penyebab yang lain.
 Paru
Kelainan di paru seperti radang, aspirasi, atelektasis, edema, contusio, dapat
menyebabkan gangguan nafas.
 Rongga pleura
Normalnya rongga pleura kosong dan bertekanan negatif, tetapi bila ada sesuatu
yang menyebabkan tekanan menjadi positif seperti udara (pneumotorak), cairan
(fluidotorak), darah (hematotorak) maka paru dapat terdesak dan timbul
gangguan nafas.
 Dinding dada

MODUL 1 27
Pada tulang iga yang multipel apalagi segmental akan menyebabkan nyeri
waktu inspirasi dan terjadinya flail chest sehingga terjadi hipoventilasi sampai
atelektasis paru
 Otot nafas
Otot inspirasi utama adalah diafragma dan interkostal eksternus. Bila ada
kelumpuhan otot-otot tersebut misal karena sisa obat pelumpuh otot, myastenia
gravis, akan menyebabkan gangguan nafas. Tekanan intra abdominal yang
tinggi akan menghambat gerak diafragma.
 Syaraf
Kelumpuhan atau menurunnya fungsi syaraf yang menginervasi otot interkostal
dan diafragma akan menurunkan kemampuan inspirasi sehingga terjadi
hipoventilasi.
Contoh : Blok subarachnoid yang terlalu tinggi, cedera tulang leher, Guillain
Barre Syndrome, Poliomyelitis.
 Jantung
Kelainan pada jantung seperti payah jantung kiri, infark miokard akut,
tamponade jantung dapat menyebabkan gangguan pada paru yang akan
menimbulkan gangguan nafas.

MODUL 1 28
Gambar 1 : komponen gangguan pernafasan
III.3. Tanda-Tanda Gangguan Ventilasi

Lihat (look)

 Takhipnea
Takhipnea walaupun dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti nyeri,
ketakutan, shock, dapat dianggap sebagai tanda dini adanya masalah jalan nafas
dan ventilasi. Lebih-lebih bila disertai dengan upaya nafas yang berat
(abnormal breathing)
 Perubahan status mental
Agitasi menunjukkan adanya hipoksemia sedangkan penurunan kesadaran
mungkin akibat hipoventilasi sehingga terjadi peningkatan PaCO 2 yang akan
meningkatkan tekanan intrakranial.
 Gerak nafas
Bagaimana pengembangan dada dan perut waktu inspirasi? Apakah besar,
normal atau menurun? Bila menurun awas hipobentilasi.
Apakah ada paralisis otot nafas (interkostal atau diafragma), bila hal ini terjadi
pada penderita trauma mungkin ada cedera tulang leher.
Apakah ada asimetri gerak dada kanan dan kiri. Awas mungkin ada
pneumotorak, hematorak, fluidotorak atau atelektasis paru.
Apakah digunakan otot nafas tambahan?
 Sianosis
Bila ada berarti ada hipoksemia, tetapi bila tidak nampak bukan berarti tidak
ada sumbatan jalan nafas atau gangguan ventilasi, mungkin baru tahap awal
atau hemoglobin kurang dari 5%.
 Distensi vena leher
Perlu dilihat pada penderita trauma, mungkin ada tension pneumotoraks atau
tamponade jantung.
 Jejas di dada
Dapat berupa luka tusuk, luka lecet, hematoma, atau bekas roda.

Dengar (listen)

 Keluhan
Bila penderita masih sadar dapat ditanyakan apakah ada keluhan sesak.
 Suara nafas

MODUL 1 29
Didengarkan apakah suara nafas normal, menurun atau hilang. Apakah ada
suara tambahan stridor, wheeze, ronkhi.

Raba (Feel)

 Hawa ekspirasi
Diraba di lubang ekshalasi, hidung, mulut, trakheostomi atau pipa endotrakheal.
 Emfisema subkutis
Pada penderita trauma sering terjadi patah tulang iga multipel yang
menimbulkan emfisema subkutis. Awas pneumotorak.
 Krepitasi/nyeri tekan
Pada trauma thorak sering terjadi patah tulang iga multipel yang menimbulkan
nyeri pada waktu dipakai bernafas, sehingga penderita cenderung bernafas
dangkal yang dapat menyebabkan hipoventilasi dan atelektasis paru.
 Deviasi trakhea
Bila ada deviasi trakhea curiga adanya atelektasis, tension pneumothorak,
hemato/fluidothorak masif dan hematoma.

Pemeriksaan Tambahan

 Pulse oximeter
Untuk mengukur saturasi O2 secara kontinyu dan tidak invasif
 CO2 detector (capnograf)
Untuk mengukur kadar CO2 pada hawa akhir ekspirasi (End Tial CO2) secara
kontinyu dan tidak invasif. Dapat pula untuk membantu mencheck apakah
intubasi yang dilakukan masuk trakhea atau esofagus. Bila masuk esofagus
kadar CO2 rendah.
 Gas darah
Tindakan invasif untuk mengukur pH, PaO2, PaCO2, dan BE sehingga bisa
diketahui oksigenasi, ventilasi dan asam basa penderita saat itu.
 Foto Torak
Untuk mengetahui jalan nafas, paru, rongga pleura, sinus phrenicocostalis,
diafragma, tulang dinding dada, jantung dan mediastinum. Untuk melihat
keadaan trakhea, paru, rongga pleura, jantung dan dinding dada.

III.4. Kriteria Gagal Nafas

III.4.1 Pontoppidan

MODUL 1 30
Menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan mechanic of breathing,
oksigenation dan ventilation (lihat tabel)

Accetable Chest physical Intubation


range therapy, Tracheotomy
oxygen, close ventilation
monitoring
Mechanics Respiratory rate 12-25 25-35 >35
Vital capacity, 70-30 30-15 <15
ml/kg.
Inspiratory 100-50 50-25 <25
force, cm. H2O
Oxygenation A- 50-200 200-350 > 350
aDO2, mm. Hgo 100-75 200-70 < 70
paO2, mm. Hg (air) (on mask O2) (on mask O2)
Ventilation VD/VT 0,3 – 0,4 0,4-0,6 > 0,6
PaCO2, mm. Hg 35-45 45-60 > 60~

* from Pontoppidan, H., etal


o After 15 minutes of 100 % O2
~ Except in chronic hypercapnia

Tabel 1

Kolom paling kanan menunjukkan keadaan gagal nafas yang harus dilakukan
intubasi endotrakheal atau trakheostomi dan bantuan ventilasi.
Kolom tengah menunjukkan keadaan hipoventilasi atau gawat nafas yang sering
perlu monitoring ketat terapi oksigen dan fisioterapi nafas.
Tetapi semua ini hanyalah suatu pedoman, yang paling penting mengetahui
keseluruhan keadaan penderita dan mencegah tidak mengalami gagal nafas.

III.4.2. Shapiro

Gagal nafas akut bila tekanan oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan tekanan
CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg (Rule Of Fifty)

III.4.3. Petty

a. Acute respiratory failure :

MODUL 1 31
PaO2 < 50 mmHg, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
b. Acute ventilatory failure
PaCO2 < 50 mmHg

III.5. Pengelolaan Jalan Nafas

III.5.1. Terapi Suportif

Pada dasarnya apapun penyebabnya dasar pertolongannya adalah sama yaitu


melakukan terapi suportif dulu sambil berusaha mencari penyebabnya. Terapi
suportif merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan berdasarkan prioritas
kegawatannya yaitu Airway-Breathing-Circulation-Disability/Brain dengan tujuan
untuk mengatasi hipoksemi dan hiperkarbia yang mungkin telah terjadi akibat
gawat nafasnya.

 Jalan Nafas (Airway)


Dilakukan pembebasan jalan nafas dan dijaga agar nafas tetap terbuka baik
secara manual (head tilt, chin lift, jaw thrust) dengan bantuan pipa orofaringeal/
nasofaringeal dan bila perlu dilakukan pemasangan jalan nafas definitif
(intubasi endotrakheal, cricotiroidotomi, trakheostomi). Jalan nafas yang bebas
memungkinkan pemberian oksigen lebih baik dan efektif.
Setelah jalan nafas bebas, dievaluasi bagaimana dengan ventilasinya apakah
membaik atau tetap jelek. Bila membaik, berarti gangguan ventilasinya akibat
sumbatan jalan nafasnya, tetapi bila masih jelek harus dicari penyebab yang
lain.
 Oksigenasi
Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utama dengan tujuan untuk
menghilangkan hipoksemia yang terjadi satunya dicapai oksigenasi yang
maksimum sampai ke tingkat jaringan/sel.
Pada fase awal sebaiknya diberikan 100% oksigen, kemudian kebutuhan
oksigen disesuaikan respon dan keadaan penderita. Dengan menggunakan alat
Bag-valve-mask/tube dengan aliran O2 12-151, kadar O2 hawa inspirasi (FiO2)
mendekati 100 % dengan masker ketat memakai reservoir dengan aliran O2 10-
121 FiO2 70-80 %, masker O2 aliran 10-121 FiO2 50-60%, nasal prong dengan
aliran O2 2-6 l FiO2 30-45 %.
Monitoring pemberian oksigen dapat dilakukan dengan pulse oximeter untuk
melihat saturasi O2 (saO2) dan analisa gas darah untuk melihat PaO2.
Diusahakan SaO2 lebih besar 95 % dan PaO2 lebih besar 80 mmHg.
 Breathing / Ventilasi

MODUL 1 32
Pada keadaan dimana terjadi hipoventilasi (PaCO2 > 50 mmHg) atau henti
nafas maka perlu diberikan bantuan ventilasi. Bantuan ventilasi dapat diberikan
dengan tanpa alat (mouth to mouth, mouth to nose) atau dengan bantuan alat
(mouth to facemask, bag-valve-mask sampai bentilasi mekanik). Di rumah sakit
pada umumnya bantuan ventilasi awal mempergunakan bag-valve-mask / tube
atau lazim disebut Ambu bag dengan masker atau lewat pipa endotracheal yang
bila ditambah dengan oksigen dapat sekalian untuk melakukan oksigenasi.
Dasar pemberian ventilasi bantuan adalah ventilasi bertekanan positif berkala
(IPPV= Intermittent Positive Pressure Ventilation). Untuk melakukan tindakan
ini dituntut ketrampilan penolong karena bila tidak benar dapat menyebabkan
distensi lambung dan resiko terjadinya aspirasi isi lambung. Hal ini bisa
dicegah bila penderita telah terpasang jalan nafas endotrakheal. Sebagai ukuran
bahwa pemberian nafas kita cukup baik dengan melihat pengembangan dada
yang adekwat, monitoring dengan Capnograf End Tidal CO2 (ETCO2) 25-35
mmHg dan analisa gas darah PaCO2 35-45 mmHg.
 Cirvulation / Sirkuler
Diperlukan hemodinamik yang baik, sebab tanpa hemodinamik yang baik
oksigen yang diberikan tidak akan sampai ke jaringan / sel. Bila ada chock
harus segera diatasi.
 Disability / Brain / Neurologik
Tingkat kesadaran penderita dapat menurun akibat hiperkarbia dan hipoksemia
yang berat, karena itu perbaikan tingkat kesadaran dapat dipakai sebagai
indikator keberhasilan ventilator dan oksigenasi.

III.5.2 Terapi Causal

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebabnya


gawat nafasnya, tetapi kadang tidak mudah mencari penyebabnya atau bila
diketahui kadang sulit untuk menghilangkannya atau diperlukan waktu yang lama
untuk menyembuhkannya.

Bahan Bacaan

1. Committee on Trauma, Advanced trauma life support student, Chicago,


American College of Surgeon, 1997 : 61 – 95

2. Safar P, Bircher N.G, Cardio pulmonary Cerebral Resuscitation 3rded W. B


Saunders Co, London 1988.

MODUL 1 33
Bab IV
SYOK

Pendahuluan

Pengertian tentang syok belum sepenuhnya dimengerti, sebagian besar masih


beranggapan bahwa syok identik dengan tekanan darah rendah (hiporensi).
Pengertian sebenarnya menyatakan bahwa syok sangat berkaitan dnegan aliran
darah atau perfusi darah ke jaringan.
Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen
jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang meningkat,
menimbulkan tanda-tanda syok.
Diagnose adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis atau
laboratories yang jelas, yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan.
Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital, dan penanganannya memerlukan
pemahaman tentang patofisiologi syok.
T. I. U

Mampu menjelaskan patofisiologi dan merencanakan terapi syok sesuai


jenisnya

T. I. K

 Memahami definisi dan patofisiologi syok


 Memahami macam-macam penyebab syok
 Mengenal tanda-tanda dan gejala-gejala syok
 Merencanakan terapi syok
 Menjelaskan syok pada pasca bedah

MODUL 1 34
IV.1. Definisi dan Patofisiologi

Syok adalah kumpulan gejala-gejala yang diakibatkan oleh karena gangguan


perfusi jaringan, yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi
kebutuhannya. Gangguan perfusi tersebut mengakibatkan jaringan kekurangan
oksigen, nutrisi, yang dibutuhkan untuk pembentukan energi. Bila tidak diterapi
dengan segera, terjadinya lactic asidosis karena metabolisme secara anaerobic
akan mengganggu fungsi sel, yang pada akhirnya sel tersebut akan mati.
Mekanisme kompensasi tubuh bila terjadi syok adalah vasokonstriksi, untuk
mempertahankan tekanan darah, terutama pada syok jenis hipovolemi. Pada syok
septic atau cardiogenik dapat terjadi vasodilatasi. Selain vasokonstriksi, dapat
pula terjadi rangsangan pad baroreseptor yang berakibat meningkatnya sekresi
katekolamin. Kompensasi yang lain adalah terjadinya shift cairan dari interstisiil
ke dalam intravakuler. Pada tahap dekompensasi akan terjadi peningkatan
premeabilitas membrane kapiler, pengelompokan lekosit dan thrombosit, yang
menyebabkan sumbatan pada mikrovaskuler, selanjutnya terjadi gangguan fungsi
organ.

IV.2. Macam-Macam Penyebab Syok

Terdapat banyak macam pembagian penyebab syok misalnya :


A. 1. Syok hipovolemi
2. Syok cardiogenik
3. Syok septic
4. Syok neurogenik

B. 1. Syok hipovolemik
2. Syok cardiogenik
3. Syok obstruktif
4. Syok distributif

C. 1. Syok hemorrhagic
2. Syok non hemorrhagic

Adanya banyak macam pembagian syok dapat merupakan tanda bahwa


pemahaman tentang syok masih belum lengkap. Pembagian menurut klasifikasi A
cukup banyak penganutnya.

Syok hipovolemik

MODUL 1 35
Syok yang disebabkan karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh
yang lain, misalnya ; pembedahan, trauma, luka bakar atau muntah dan diare.
Kehilangan bentuk lain disebut third space loss, misalnya : peritonitis, pancreatitis,
obstruksi ileus.
Syok kardiogenik

Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung, misalnya :


karena :
Akut miokard infark
Aritmia
Payah jantung
Tamponade jantung
Trauma jantung

Syok septik

Syok yang terjadi karena penyerbaran atau invasi kuman dan toksinya didalam
tubuh, yang berakibat vasodilatasi.

Syok meurogenik

Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi sistim saraf simpatis,
sehingga juga vasodilatasi misalnya ;
1. Trauma pada tulang belakang
2. Spinal syok
Anestesi yang terlalu dalam

Syok anafilaktik

Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen-antibody yang


mengeluarkan histamin, dengan akibat peningkatan premeabilitas membrane
kapiler dan terjadi dilatasi arteriole, sehingga venous return menurun. Syok jenis
ini dapat disebabkan karena kontras media, obat atau makanan, reaksi tranfusi,
sengatan serangga dan gigitan ular berbisa.

IV.3. Tanda-Tanda dan Gejala-Gejala

Sistim Pernafasan : Nafas cepat dan dangkal

MODUL 1 36
Sistim Sirkulasi : Ekstrimitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi
cepat dan lemah. Waktu pengisian kapiler > 2 detik,
tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30 %.
Vena tampak kolaps dan kalau diukur CVP < 5 cmH2O.
Sistim syaraf pusat : Keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi
tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah atau bingung
sampai keadaan tidak sadar.

Sistim Ginjal : Produksi urine menurun (normalnya ½ - 1 cc/kg BB/jam)

Sistem pencernaan : Mual atau muntah

Sistim kulit / otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering

IV.4. Terapi
Tergantung pada penyebabnya pada umumnya adalah :

1. Memperbaiki sistim pernafasan :


a. Bebaskan jalan nafas
b. Terapi oksigen
c. Bantuan nafas

2. Memperbaiki sistim sirkulasi


a. Pemberian cairan
b. Monitoring nadi, tekanan darah, perfusi perifer, produksi urine.

3. Menghilangkan atau mengatasi penyebab syok

Syok hipovolemi

Segera pasang infus dengan jarum ukuran besar (# 14,16), pasang di dua tempat.
Jumlah cairan yang diberikan pada awal pengobatan tergantung derajat syok, rata-
rata 100-2000 cc-grojog.

Untuk mempercepat pemberian cairan infus dapat dilakukan cara-cara :


1. Gunakan IV kateter ukuran besar dan pendek
2. Botol cairan digantung setinggi mungkin
3. Memakai pompa

MODUL 1 37
Macam-macam cairan yang digunakan :
Kristalloid : ringer lactate, normal saline.
Karena sifatnya yang tidak dapat bertahan lama di intravaskuler maka larutan
kristalloid diberikan 3 – 4 x jumlah perkiraan perdarahan RL lebih fisiologis
dibandingkan dengan normal saline.
Kolloid terbagi menjadigolongan protein; albumin atau plasma dan golongan non
protein ; dextran atau gelatin
Darah : whole blood – fresh atau stored, PRC

Hemodilusi
Mengingat sukarnya mendapatkan darah dalam waktu cepat dengan jumlah yang
banyak, disertai dengan kemungkinan timbulnya reaksi tranfusi, maka pada tahap
awal untuk resusitasi cairan digunakan larutan, kristalloid atau kolloid. Penelitian-
penelitian membuktikan bahwa pemberian darah tahap awal resusitasi akan
meningkatkan angka kematian.
Hemodilusi adalah mengganti kehilangan darah dengan larutan kristalloid atau
kollod sampai hemodinamik stabil yang ditandai dengan nadi < 100/menit.
Tekanan darah > 100 sistole, perfusi perifer hangat dan kering, waktu pengisian
kapiler < 2 detik dan tranfusi jantung atau paru-paru atau bukan anak atau bayi.

Syok kardiogenik
Karena masalahnya adalah berkurangnya kekuatan memompa dari jantung maka
terapinya adalah memperkuat fungsi pompa pada jantung dengan menggunakan
inotropik ; dopamine, dobutamin atau isoprenalai dan nor – adrenalin.

Syok septik
1. Normalisasi volume darah
2. Antibiotika sesuai hasil kultur
3. Vasopressor
4. Inotropik
5. Menghilangkan sumber infeksi

Syok analilaktik
1. Normalisasi volume darah
2. Adrenalin 0,5 mm IV
3. Steroid
4. Antihistamin
5. Bronchodilator bila terjadi bronchospasme

Syok neurogenik

MODUL 1 38
1. Normalisasi volume darah
2. Inotropik

IV.5. Hipotensi Pasca Bedah

Penyebab tersering hipotensi pasca bedah adalah hipovolemi perdarahan baik


yang kelihatan atau tidak kelihatan atau adanya third space loss (edema
mensenterium karena laparatomi). Hipotensi dapat pula karena sisa obat anestesi
disebabkan karena cardiogenik, kecuali pada pasien-pasien yang pernah
mengalami akut miokard infark, < 6 bulan.

Bila terjadi hipotensi pasca bedah, maka tindakannya adalah :


1. Bebaskan jalan nafas
2. Terapi oksigen
3. Posisi head down / posisi syok (kedua kaki lebih tinggi dari badan).
4. Pemberian cairan kristalloid atau kolloid (hati-hati kalau carian cadiogenik)

MODUL 1 39
Bab V
ARITMIA

T. I. U

Memahami patofisiologi aritmia dan merencanakan penanggulangannya

T. I. K

 Memahami definisi dan patofisiologi aritmia


 Mengenal aritmia yang mengancam jiwa
 Mengenal aritmia yang berhubungan dengan tindakan anestesi
 Mampu merencanakan penanggulangan aritmia

V.1. Definisi Aritmia

Aritmia atau disaritmia adalah perubahan abnormal dari denyut jantung, baik
yang berupa gangguan pada jumlah denyut (rate) keteraturan irama denyut
(rhythm), sumber asal denyut (pacemaker) dan cara penjalaran rangsang denyut
jantung (impulse conduction). Aritmia dapat terjadi spontan, atau akibat penyakit
akut atau karena pengaruh anesthesia dan pembedahan. Aritmia yang semula
benign (jinak dapat berkembang menjadi kelainan yang mengancam jiwa.

V.1.1. Variasi Jumlah Denyut (rate)


Jantung orang dewasa normal berdenyut antara 60-100 kali per menit dengan
teratur. Jika denyut < 60 maka aritmia tersebut disebut bradikardia (bradycarida).
Bila denyut > 100 maka aritmia tersbeut takhikadia (tacycardia).

MODUL 1 40
V.1.2 Irama Denyut

Jantung normal akan berdenyut teratur, dengan jarak antara gelombang R-R
selalu konstan atau bervariasi kecil sekali. Ketidak teraturan irama dapat berupa :

a. Denyut normal tidak muncul pada waktu seharusnya karena tertunda atau
hilang (Sinus arrhythmia, sinus arrest, AV block).
b. Muncul denyut baru sebelum waktunya atau mengganti denyut normal yang
seharusnya muncul (Paroxysmal Atrial Contraction, Premature Ventricular
Contraction, Atrial/Ventricular Escape Beats).
c. Gangguan konduksi (penjalaran) impulse antara antara sinoatrial node,
atrioventricular node dan intgraventrikuler mempunyai bentuk aritmia tersendiri
yang kompleks. Hal ini tidak diuraikan lebih lanjut.

V.2. Jenis Artimia

Tiga permasalahan yang menjadi penyebab aritmia ini (rhythm, pacemaker dan
konduksi) adalah saling terkait sehingga tidak dapat dibahas terpisah.

Untuk memudahkan penanganan dalam keadaan darurat, maka aritmia dibagi


menjadi dua kelompok yaitu :
a. Aritmia yang mengancam jiwa
b. Aritmia yang tidak mengancam jiwa

Umumnya aritmia yang mengancamm jiwa sumbernya berasal dari ventrikel.


Sumber aritmia yang lain yaitu supraventrikuler (sumber aritmia berada di atrium
sampai AV node) umumnya bersifat lebih jinak.

Dalam uraian ini akan dibahas hanya beberapa jenis aritmia yang banyak
berkaitan dengan resiko anestesi dan keadaan darurat yaitu :
1. Fibrilasi ventrikel dan takhikardia ventrikel (VF/VT)
2. Denyut tambahan ventrikuler (Premature Ventriculer Contraction/PVC atau
Ventrikuler Extra Systoles/VES).
3. Denyut ventrikel (ventricular Escape Beats)
4. Hambatan konduksi atrioventrikuler (AV-block derajat 1, 2, 3)
5. Gangguan pembentukan impuls atrial (Sinus arrythmia, sinus arrest, fibrilasi
atrium / AF

V.2.1. Aritmia yang mengancam jiwa

MODUL 1 41
Kematian akibat aritmia terjadi akibat :
1. Aritmia berubah menjadi fibrilasi ventrikel (VF) atau takhikardia ventrikel
tanpa denyut nadi karotis / pulseless VT (cardiac arrest). Aritmia dalam
kelompok ini adalah PVC multiple >6 x per menit, PVC berurutan (salvo), PVC
berasal dari banyak sumber (multifocal), PVC berpasangan (bigemini, trigemini
dll), TR on T (gelombang R denyut berikutnya jatuh terlalu dini pada waktu
denyut sebelumnya masih repolarisasi / gelombang T).
2. Aritmia menyebabkan penurunan drastic dari cardiac output sehingga tidak
cukup untuk perfusi otak (Adam Stokes syndrome). Gangguan cardiac output
dapat terjadi karena denyut terlalu lambat seperti pada aritmia jenis AV block
derajat 3 atau Ventricular Escape Beat. Cardiac output yang rendah juga terjadi
jika aritmia menyebabkan jantung berdenyut terlalu cepat seperti para aritmia
jenis fibrilasi atrium (AF) dengan denyut ventrikel tinggi (> 200) dan
takhikardia ventrikel (VT).

V.3. Penyebab Terjadinya Aritmia

Aritmia dapat disebabkan oleh penyebab di luar jantung (extra – cardiac) dan
penyebab di jantung sendiri (cardial).

Penyebab di luar jantung :


1. Hipoksia
2. Hiperkarbia
3. Hipovolemia/hipervolemia
4. Hiperkalemia/hipokalemia. Selain penyebab utama gangguan ion kalium, dalam
beberapa hal, hipercalcemia, hipomagnesemia juga menyebabkan aritmia.
5. Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis berat, alkalosis berat)

Rangsangan berlebihan pada nervus vagus (vagal reflex) yang terjadi pada
daerah peritoneum, organ viscera, perineum, rectum dan genitalia.
Rangsangan pada bola mata, otot bola mata dan sinus caroticus.

Penyebab dari jantung sendiri :


A. Gangguan sirkulasi koroner (ischemia sampai infark) menyebabkan timbulnya
daerah peka yang mengeluarkan denyut abnormal (ectopic).
B. Gangguan sirkulasi koroner (ischemia sampai infark) menyebabkan kerusakan
syaraf atau sistim konduksi.
C. Kelainan pada syaraf intra-cardiac (missal ; sick sinus syndrome).

MODUL 1 42
V.4. Penanggulangan Aritmia

V.4.1. Menghilangkan penyebab / pencetus aritmia

1. Hipoksia diatasi dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan bantuan


pernafasan
2. Hiperkarbia diatasi dengan bantuan pernafasan.
3. Hipovolemia diatasi dengan pemberian cairan (volume) ringer laktat.
Hipervolemia diatasi dengan diuretika kerja cepat.
4. Hiperkalemia diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat (alkalinisasi),
calcium chlorida atau calcium gluconat (antagonisasi kalium) dan glukosa 10-
20 % dengan insulin reguler (mendorong masuk kalium ke dalam sel).
Hipokalemia diatasi dengan intravenous drip KCL (10-20 Meq dalam 1 jam).
Masalah hipokalemia menjadi sangat penting pada pasien dengan terapi
digitalis. Selain terapi kausal, beberapa aritmia memerlukan terapi simptomatik
(terhadap aritmianya sendiri) karena situasi mengancam jiwa.

V.4.2. Mengatasi tachyarrythmia

a. Supraventrikuler
Aritmia supraventrikuler ditandai oleh adanya gelombang “p” yang diikuti oleh
gelombang “QRS”. Seharusnya, semua gelombang “p” diikuti gelombang
“QRS”. Pada aritmia, tidak selalu setiap “p” diikuti “QRS”. Gelombang “QRS”
harus sempit, hal ini menandakan bahwa sumber impuls berada di
supraventrikuler. Jika denyut nadi carotis masih terasa dan tekanan darah masih
baik (tidak shock), maka pasien dapat diberi terapi mekanis atau terapi
farmakologis. Jika pasien shock karena aritmiannya, maka terapi satu-satunya
adalah cardiaoversu dengan memberikan DC-Shock synchronized.
Terapi mekanis ; menggunakan fenomena occulo-cardiac reflex atau sinus
caroticus reflex. Jika kedua bola mata ditekan, akan terjadi pelambatan denyut
jantung. Hal yang sama juga terjadi jika sinus caroticus yang berada di leher
(percabangan arteria carotis communis menjadi cabang interna dan externa).
Menekan carotid body hanya boleh satu sisi saja.

MODUL 1 43
Terapi farmakologis menggunakan :
1. Cacium channer blocker ; verapamil
2. Beta – blocker ; propanolol
3. Digitalis (quick acting)
4. Sulfas quinidine (oral)
Dosis dapat dibaca dalam lampiran (appendix)
Terapi dengan DC – Shock :
Alat DC-shock dipasang pada mode synchronixed dan terhubung pada pasien
sehingga jelas pada layar nampak ECG lengkap dengan QRS yang jelas. Dosis
diberikan 1 – 3 Joules / kg berat badan. Jika shock yang diberikan efektif, akan
nampak pelambatan denyut ventrikel dan tekanan darah akan meningkat.

b. Ventrikuler
Terapi farmakologis pada aritmia ventrikuler diberikan dengan :
1. Lidocain
2. Beta-blocker ; propanolol
3. Sulfas quinidine (oral)

Terapi dengan DC-Shock


Diberikan dengan mode non- synchronixed atau manual pada kasus fibrilasi
ventrikel (VF) dan takhikardia ventrikel tanpa denyut nadi carotis(pulseless
VT). Dosis adalah seperti pada rekomendasi ACLS untuk resusitasi yaitu 200-
360 Joules. Sebelum DC shock dapat diberikan, protocol resusitasi jantung
dengan pijat jantung luar, adrenalin dsb. Harus dikerjakan lebih dulu.

V.5. Mengatasi Bradyarrhythmia

Bardikardia yang disebabkan oleh gangguan suprabentrikuler berasal dari


abnormaliras atrium sampai AV-node.

Terapi farmakologis
Menggunakan atropin. Injeksi intravena sulfas atropin dengan cepat mengatasi
sinus arrest, sinus bradycardia dan beberapa kasus AV-block derajat 1 dan 2. AV
block derajat 3 tidak dapat diatasi dengan atropin. Isoproterenol (isuprel) dapat
meningkatkan denyut jantung tetapi mudah juga menyebabkan PVC yang dapat
menjadi maligna.

Terapi Mekanis
Untuk bradikardi adalah pemasangan pacu jantung. Kabel elektrode alat pacu
dimasukkan melalui vena sentral sampai menyentuh endocard ventrikel kanan.

MODUL 1 44
Impulse listrik pemacu diberikan dari generator yang berada di luar tubuh. Jika
pasien ternyata memerlukan pacuan jangka panjang, pada tahap berikutnya dapat
dipasang generator yang ditanamkan di dalam tubuh.

Bradikardia yang sampai menyebabkan Stoke-Adams Syndrome (disebut juga


symptomatic bradycardia) sering disertai PVC sebagai kompensasi jantung untuk
meningkatkan cardiac output. Jika PVC ini disalahartikan sebagai extra-beat dari
ventrikel “yang harus dihilangkan”, maka dengan terapi, denyut pasien akan
kembali ke bradikardia yang hebat dan shock.

V.6. Aritmia Yang Berhubungan Dengan Tindakan Ansthesia


Selama pasien dalam pengaruh anestesi, kejadian aritmia lebih mudah timbul
karena beberapa sebab :
a. Faktor-faktor penyebab aritmia sering timbul; hipoksia, hiperkarbia,
hipovolemia atau hipervolemia.
b. Rangsangan nyeri berlebihan pada tahap anestesi yang dangkal dapat memicu
aritmia.
c. Rangsangan pembedahan/amnipulasi mekanik pada organ viscera, peritoneum
dan perineum atau bola mata dan otot-ototnya.
d. Pengaruh obat anestesi tertentu atau kombinasi dengan obat tertentu pada
miokard. Obat anestesi halothan pada kedalaman ansthesia yang normal,
menyebabkan kepekaan miokard terhdao catecholamine meningkat. Kejadian
aritmia selama anestesi halothan berkisar antara 5 – 40 %. Aritmia akan lebih
mudah terjadi jika ada hipoksia atau hiperkarbia atau jika pasien mendapat
injeksi adrenalin eksogen.

Untuk mencegah hal ini maka pad anestesi halothan harus dilakukan :
a. Pemberian kadar oksigen setinggi mungkin, minimal 40 %.
b. Memastikan tidak ada hipoventilasi dengan membantu pernafasan berkala atau
sepenuhnya memberikan nafas buatan.
c. Menggunakankadar halothan serendah mungkin (0,5 – 1,0 volume percent)
dibantu dengan dosis narkotik yang cukup.
d. Memastikan bahwa CO2 – absorber pada sistim semi –closed berfungsi baik.
e. Menghindari penyuntikan adrenalin atau sangat membatasinya dengan dosis
maksimal larutan 1 : 100.000 sebanyak 10 ml dalam rentang waktu 30 menit.
f. Siap dengan obat lidocain i.v. untuk mengatasi PVC yang maligna. Dosis awal
adalah 1 – 2 mg/kg berat badan intravena. Jika PVC masih berlanjut, dosis
dapat diulang sekali lagi dan dilanjutkan dengan drip 1 – 3 mg/menit.

MODUL 1 45
Bab VII
KONSEP DASAR TRIAGE DAN RESUSITASI
DI INSTALASI RAWAT DARURAT

Pendahuluan

Penderita gawat darurat memerlukan pertolongan segera guna mencegah


kecacatan dan kematian. Di rumah sakit khususnya di Instalasi Rawat Darurat
akan banyak penderita gawat darurat yang datang mendapatkan pertolongan
dengan tingkat kegawatan yang berbeda-beda.

Pertolongan di rumah sakit ini merupakan satu mata rantai pertolongan


penderita gawat darurat yang tercantum dalam masalah Sistem Pelayanan Gawat
Darurat Terpadu dan Sistim Pelayanan Gawat Darurat Bencana (SPGDT-SPGDB)

Diperlukan cara seleksi (triage) untuk menentukan penderita yang perlu


sesegera mungkin ditangani, dan kelompok penderita lain yang dapat menunggu
saat penanganan tanpa membahayakan keselamatan jiwanya.

Selanjutnya bagi penderita dengan kegawatan yang mengancam jiwa, harus


diatasi dengan cara demikian rupa guna mencegah terjadinya kematian segera
dengan tindakan resusitasi.

T.I.U.

Mampu merencanakan triage dan tindakan resusitasi di Instalasi Gawat


Darurat

T.I.K.

 Memahami prinsip dasar penanganan penderita gawat


 Memahami cara melakukan triage
MODUL 1 46
 Dapat merencanakan tindakan resusitasi
VII.1. Penanganan Penderita Gawat di IRD

VII.1.1 Penderita gawat darurat

Penderita gawat darurat adalah penderita yang karena penyakitnya yang berat
apapun sebabnya mengalami gangguan fungsi vital, bila tidak segera ditangani
dapat menyebabkan terjadinya kecacatan / kematian. Pada dasarnya tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah tindakan penyelamatan jiwa dengan tepat,
cermat dan cepat untuk mengatasi gangguan fungsi vitalnya.
Diagnostik penyakit penyebab baru dilakukan sesudah kondisi fungsi vital
stabil.

VII.1.2 Pola umum penanganan penderita gawat

a. Triage
b. Survey primer
Diagnostik gangguan fungsi vital
Airway
Breath
Circulation
Brain dan C spine control pada trauma
c. Resusitasi stabilitasi
d. Diagnostik definitif
e. Terapi definitive

VII.2. Triage (Seleksi)

VII.2.1 Tujuan

Mengenali tingkat penderita yang datang di IRD secara tepat dan kemudian
menentukan siapa yang mendapatkan prioritas penanganan.

VII.2.2 Cara/dasar pertimbangan triage

MODUL 1 47
a. Ada tidaknya gangguan fungsional fungsi vital misalnya sistim nafas, sistim
sirkulasi yang nyata (factual) atau diperkirakan akan segera terjadi (potensial).
b. Ada tidaknya kelainan anatoni yang dapat mengganggu fungsi vital misalnya
fraktur nasal, fraktur maxillo facial, fraktur costae multiple dan lain-lain.
c. Mekanisme terjadinya penyakit / trauma
d. Kondisi klinis secara keseluruhan
VII.2.3. Output triage
Penderita yang datang dikelompokkan dalam kategori:
a. Gawat darurat mengancam jiwa
b. Gawat darurat
c. Darurat tidak gawat
d. Tidak gawat dan tidak darurat
guna mempermudah pengenalan kelompok berdasar tingkat kegawatan, masing-
masing kelompok ini ditandai dengan kode warna tertentu, misalnya di IRD RS
Dr. Soetomo kelompok masing-masing ditandai dengan kode warna warna sebagai
berikut:
a. Gawat darurat mengancam jiwa warna biru
b. Gawat darurat warna merah
c. Darurat tidak gawat warna kuning
d. Tidak darurat dan tidak gawat warna hijau

VII.2.4. Prioritas penanganan


Disesuaikan dengan perbandingan jumlah penderita dan jumlah penolong.
Pada keadaan normal dengan jumlah penderita jauh lebih sedikit dibanding jumlah
penolong, prioritas diberikan pada penderita dengan keadaan terberat. Penderita
dengan fungsi vital stabil harus menunggu meskipun datang lebih dahulu sebelum
kedatangan penderita yang lebih gawat. Pada keadaan dengan jumlah penderita
jauh diatas jumlah penolong seperti misalnya pada musibah masal / bencana,
prioritas pertolongan diberikan pada penderita dengan harapan hidup terbesar, cara
ini dilakukan guna mencegah terjadinya kecacatan atau kematian pada korban
yang justru mempunyai kemungkinan hidup lebih besar akibat penolong yang
jumlahnya sangat terbatas memberikan pertolongan pada korban berat dengan
harapan hidup tipis dan mengabaikan korban yang luka namun mempunyai
peluang hidup lebih besar.

VII. 3 Resusitasi
VII.3.1 Tujuan resusitasi
Mencegah kematian segera akibat gangguan fungsi vital apapun penyebab
gangguan fungsi vitalnya. Tindakan resusitasi dilakukan sesudah dilakukan
pemeriksaan fungsi vital / survey primer yang meliputi pemeriksaan:

MODUL 1 48
Airway / jalan nafas dengan c-spine control pada penderita trauma
Breath / nafas
Circulation / sistem sirkulasi
Brain / kesadaran

VII.3.2 Langkah awal dilakukan survey primer


Meliputi pemeriksaan:
a. Jalan nafas
Periksa ada tidaknya obstruksi nafas parsial / sebagian maupun total
b. Breath / nafas
Periksa adakah:
Open pneumothorax
Flail chest akibat fraktur costae pada 2 tempat / lebih pada satu costa
Hematothorax
Hematopneumothorax
Hypopventilasi
c. Circulation / sirkulasi
Periksa adakah perdarahan aktif dan tanda-tanda perdarahan yang tersembunyi
atau tanda-tanda kehilangan cairan ekstraseluler lainnya. Tentukan perkiraan
kehilangan darah / cairan ekstra seluler lainnya berdasar tanda-tanda klinis
untuk (selanjutnya dilakukan pemasangan infus dan pemberian cairan). Periksa
kemungkinan adanya tanda-tanda tamponade jantung
d. Brain
Tentukan tingkat kesadaran penderita dengan memberikan rangsangan suara
atau nyeri pada penderita. Tingkat gangguan kesadaran dinilai dengan Glasglow
Coma Scale atau metode AVPU yaitu A(lert), V (alert to voice), P (alert to
pain), U(nconcious).

VII.3.3 Tindakan resusitasi


Airway :
Pembebasan jalan nafas baik tanpa alat maupun dengan alat, termasuk penggunaan
alat penghisap lendir. Bila diperlukan lakukan needle cricothrotomy.
Pemberian oksigen sesudah dipastikan jalan nafas bebas.
Breath :
Bila diperlukan sesudah dipastikan jalan nafas bebas berikan nafas buatan secara
darurat dapat dengan mulut ke mulut / hidung atau dengan alat misalnya AMBU
bag, bag % mask sampai dengan alat canggih respirator.
Brain :

MODUL 1 49
Pada dasarnya tindakan yang dilakukan untuk mencegah keadaan bertambah
buruk. Misalnya pada trauma kepala akibat obstruksi nafas parsial terjadi
hypoventilasi  pCO2 meningkat  vasolidasi pembuluh darah otak tekanan
intra cranial makin meningkat  gangguan kesadaran makin berat. Untuk cara
resusitasi secara rinci dibaca pada Modul dengan judul terkait prosedur resusitasi

VII.3.4 Diagnostik definitive


Dilakukan sesudah fungsi vital stabil

VII.3.5 Lain-lain
Agar tindakan resusitasi dapat dilaksanakan dengan tepat, cermat, dan cepat
di IRD setempat perlu dipersiapkan hal sebagai berikut:
a. Tempat resusitasi
Hendaknya diatur sedekat mungkin dengan tempat kedatangan penderita
b. Peralatan
Disiapkan peralatan resusitasi siap pakai didekat tempat resusitasi meliputi
obat, bahan habis pakai dan peralatan penunjang hidup / life support sesuai
fasilitas tersedia setempat
c. Sumber daya manusia
Telah mendapatkan latihan yang cukup untuk tindakan life support baik tenaga
dokter maupun perawat R. resusitasi

Bahan Bacaan

1. Baskett Peter JF
Field Stabilization
Textbook of Trauma Anesthesia & Critical Care, Mosby YearBook Inc. 1993

2. Calcagni DE, Biercher NG, Pretton E


Resucitation : blood, blood components and flui theraphy
Textbook of Trauma Anesthesia & Cirital Care, Mosby Yearbook Inc. 1993

MODUL 1 50
Bab VIII
RUJUKAN DAN TRANSPORTASI
PENDERITA GAWAT

PENDAHULUAN:
Dalam menghadapi penderita gawat ada beberapa pilihan cara mengatasinya,
yaitu:
1. Diatasi ditempat karena fasilitas dan kemampuan memungkinkan
2. Meminta advis ke pusat rujukan dan selanjutnya ditangani sendiri
3. Terpaksa menangani sendiri sebatas kemampuan sebab tidak mungkin dirujuk
karena bermacam masalah
4. Dirujuk ke pusat rujukan terdekat

Pengiriman ke pusat rujukan memerlukan persiapan pra transportasi, sarana


transportasi dan selama transportasi diharapkan kondisi tetap baik agar selamat
sampai ditujuan.

Transportasi dapat dilakukan melalui sarana transportasi darat, laut atau udara.
Diperlukan persiapan yang baik sebelum dan selama transportasi karena bila
dilakukan dengan cara yang salah dapat membahayakan dan bahkan dapat
menyebabkan kematian penderita.

Untuk ketepatan dan kecepatan penanganan, diperlukan pula komunikasi pra


rujukan dan pasca rujukan.

Bagi penderita, konsultasi langsung dokter setempat dengan dokter ahli di pusat
rujukan lebih memberikan jaminan ketepatan penanganan dan persiapan yang
lebih baik dipusat rujukan.

Bagi dokter pengirim, diskusi pra rujukan memungkinkan persiapan pra


rujukan yang lebih baik dan informasi perkembangan penderita pasca rujukan

MODUL 1 51
memberikan pengalaman belajar yang baik guna penanganan kasus yang sama
pada waktu selanjutnya

T.I.U
Mampu merencanakan transportasi dan rujukan penderita gawat

T.I.K.
 Memahami masalah rujukan
 Mampu merencanakan cara persiapan pra rujukan & transportasi penderita
gawat
 Memahami pentingnya komunikasi pra dan pasca rujukan

VIII.1 Rujukan Penderita Gawat:

Penanganan penderita gawat dimulai dari tempat kejadian oleh orang terdekat
di-sekitarnya segera sesudah penderita ditemukan dalam keadaan gawat,
dilanjutkan dengan transportasi ke fasilitas medis terdekat, pertolongan di
Puskesmas atau UGD Rumah Sakit, pengobatan definitif atau rujukan ke Rumah
Sakit lain yang lebih lengkap sesuai kondisi penderita.

Peran utama masing2 tingkat secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tempat Kejadian:
Pertolongan oleh orang disekitarnya idealnya dilakukan penilaian keadaan jalan
nafas (Airway), pernafasan (Breath), keadaan sirkulasi (Circulation), gangguan
kesadaran (Brain) dan pada penderita trauma kemungkinan terjadinya patah tulang
leher (C-spine control) dilanjutkan tindakan resusitasi/stabilisasi, minimal jangan
membuat kondisi bertambah jelek misalnya tidak sadar diberi minum atau tidur
dengan bantal

Transportasi ke fasilitas medik terdekat:

MODUL 1 52
Bila dilakukan oleh petugas ambulans, dimulai kembali dengan penilaian A-
B-C-Brain & C-spine control dilanjutkan dengan resusitasi-stabilisasi misalnya
pembebasan jalan nafas, nafas buatan bila perlu, pasang infus, penghentian
perdarahan nampak, fixasi fraktur. Selanjutnya transportasi ke fasilitas medik
terdekat

Pertolongan di Puskesmas dan Rumah Sakit klas C

Lanjutan evaluasi fungsi vital dan selanjutnya resusitasi-stabilisasi. Tindakan


diagnostik dan pengobatan definitif untuk kasus ringan/sedang sesuai
kemampuan baik tenaga maupun sarana tersedia setempat.

Bila tak mampu menangani, disiapkan stabilisasi yang lebih baik untuk dirujuk
ke Rumah Sakit yang lebih lengkap dengan cara yang lebih aman dan observasi
fungsi vital selama perjalanan.

Rujukan di Rumah Sakit lebih lengkap/klas B-klas A

Lanjutan resusitasi/stabilisasi bila masih diperlukan, diagnostik definitif dan


selanjutnya pengobatan definitif

VIII.2 Transportasi
VIII.2.1 Persiapan pra rujukan / pra transportasi
Pada dasarnya transportasi dilakukan sesudah stabilisasi fungsi vital tercapai
dan selama transportasi fungsi vital harus tetap dipertahankan dalam keadaan baik.
Transportasi yang dilakukan pada saat penderita belum stabil bahkan "hanya"
transpor-tasi antar ruang yang didalam lingkungan intra Rumah Sakit sendiri,
dapat menyebabkan kematian.
Dimaksud dengan fungsi vital telah stabil bila:
a. Tidak ada/telah dapat diatasi semua gangguan jalan nafas baik obstruksi total
maupun parsial jalan nafas
Gangguan nafas baik berupa pneumothorax (close maupun open), tension
pneumothorax, flail chest telah dapat diatasi.
b. Fungsi hemodinamik telah kembali normal atau tingkat stabilitas tertentu yang
tidak membahayakan hidupnya telah tercapai. Bila pernah atau diperkirakan
akan terjadi gangguan hemodinamik. Apapun sebabnya harus telah terpasang

MODUL 1 53
i.v.line/infus yang berjalan baik. Semua sumber perdarahan yang tampak harus
telah dapat dihentikan.
c. Semua fraktur telah difixasi dengan baik untuk mencegah kerusakan jaringan
tubuh disekitarnya dan untuk mengurangi rasa nyeri. Bila dicurigai patah tulang
leher, telah dipasang fixasi leher dengan sempurna sebelum memindahkan
penderita. Perlu disiapkan alat dan obat yang mungkin diperlukan selama
perjalanan untuk mempertahankan fungsi vital dan melakukan tindakan
resusitasi bila diperlukan.

Kemungkinan gangguan fungsi vital akibat alat transportasi yang digunakan


harus dibatasi sesedikit mungkin dengan informasi yang jelas kepada
pengemudi ambulans pra transportasi.

VIII.2.2 Transportasi darat


Alat transport:
a. Suspensi kendaraan harus baik untuk mencegah guncangan berlebihan
b. Tempat tidur terfixasi dengan baik, alas cukup keras untuk keperluan resusitasi
c. Penerangan cukup untuk keperluan observasi fungsi vital
d. Pendingin udara diperlukan agar suhu cukup nyaman bagi penderita guna
mengurangi kebutuhan oksigen dan menurunkan metabolisme tubuh, idealnya
sama dengan suhu kamar.
e. Peletakan sirene hendaknya diatur demikian rupa agar suara sirene sesedikit
mungkin masuk ke tempat penderita.
f. Lampu rotary cukup jelas dapat dilihat oleh kendaraan lainnya
g. Tersedia pengeras suara untuk meminta jalan pada kendaraan didekatnya

Cara transport:
a. Selama transportasi fungsi vital harus diobservasi secara teratur, makin gawat
kondisi penderita, makin sering pengukuran fungsi vital dilakukan
b. Kecepatan kendaraan harus konstan, percepatan/perlambatan dilakukan
"sehalus" mungkin.
c. Lampu rotary sebagai tanda permintaan prioritas jalan. Sirene hanya saat tanpa
penderita didalamnya atau saat akan melintasi perempatan jalan atau untuk
pembuka jalan pada saat tertentu.
d. Ikuti semua peraturan lalu lintas yang ada, jangan menentang arus lalu lintas
e. Posisi tidur penderita disesuaikan kondisi:
- distress nafas masih sadar, posisi setengah tidur; tidak sadar tidur terlentang
tanpa bantal

MODUL 1 54
- infark myokard tanpa penyulit posisi sesuai keinginan penderita/setengah
duduk
- trauma dengan gangguan kesadaran posisi datar tanpa bantal, kepala miring
bila muntah (kecuali bila ada dugaan fraktur tulang leher)
- non trauma dengan gangguan kesadaran posisi datar tanpa bantal, harus
selalu dijaga jalan nafas tetap terbuka
- syok karena perdarahan, posisi kaki lebih tinggi, bila mungkin posisi
Trendelenburg

Peralatan medik & obat-obatan:


a. Peralatan pembebasan jalan nafas & nafas buatan
b. Cairan infus cadangan sesuai perkiraan kebutuhan selama perjalanan
c. Obat-obatan untuk keperluan mempertahankan sirkulasi & untuk keperluan
resusitasi
d. Bila ada, oksigen lengkap dengan regulator, flow meter dan humifider

VII.2.3 Transport Udara


Masalah khusus transportasi udara
Perubahan tekanan udara:
Makin tinggi terbang, udara makin tipis dan tekanan udara luar makin turun.
Akibatnya tekanan parsial oksigen dalam udara akan turun sehingga oksigen darah
arteri tanpa pemberian oksigen menurun
Sebaliknya, semua udara yang terperangkap dalam ruangan tertutup tekanannya
akan relatif meninggi misalnya:
- udara dalam botol infus tertutup
- udara dalam tangki oksigen (hati2 kekuatan penahan tekanan regulator
oksigen dapat terlampaui)
- udara dalam balon endotracheal tube
- udara dalam thorax penderita close pneumothorax
- udara dalam lumen usus penderita ileus
Peningkatan tekanan ini dapat menyebabkan bahaya bagi penderita.

Sebagai gambaran perubahan tekanan udara dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

KETINGGIAN P arterial O2 feet Saturasi O2 Meter


0 0 98 97
1000 300 90 96

MODUL 1 55
2000 650 86 95
4000 1200 80 93
8000 2400 55 86

Pada pesawat terbang dengan pressurized cabin, masalah tekanan udara luar
yang rendah ini dapat dikompensasi demikian rupa sehingga meskipun pesawat
terbang pada ketinggian 25.000 feet (8000 meter) tekanan udara dalam kabin
relatif masih mendekati 1 atm (kira-kira 14.06 opsi) yang masih dapat ditoleransi
oleh penderita dengan tekanan oksigen arteri rendah.
Helikopter umumnya tidak mempunyai pressurized cabin, perlu perhatian
khusus tentang tinggi terbang, disesuaikan dengan kondisi penderita. Untuk itu
diperlukan diskusi pra penerbangan dengan penerbangnya.

Pengaruh suhu udara:

Makin tinggi terbang, makin rendah suhu udara (-36 C pada ketinggian 17.000
feet/5.500 meter). Pada pesawat modern bukan masalah terlalu besar.

Pengaruh goncangan alat transport:

Semua penumpang pesawat terbang menghadapi kemungkinan guncangan


pesawat karena turbulensi udara. Akibatnya dapat timbul "motion
sickness"/muntah bagi penumpang pesawat terbang. Kondisi jalan nafas penderita
yang sulit misalnya adanya fixasi interdental wiring akan menyulitkan pengantar
membersihkan jalan nafas, bila se-belumnya kesadaran penderita sudah menurun,
dapat menimbulkan bahaya, obstruksi ja-lan nafas.
Peralatan medik yang dibawa harus difixasi dengan baik agar tidak
"berhamburan" saat ada turbulensi udara.

Peralatan medik:

Peralatan elektronik yang dipakai jangan sampai mengganggu peralatan avionik


pesawat. Untuk itu perlu kordinasi lebih dahulu dengan penerbang sebelum take
off.
Tangki oksigen (tekanan intra tangki 150 atm!!!) yang dibawa harus memenuhi
persyaratan khusus penerbangan, baik tangkinya maupun regulatorynya. Hal ini
disebabkan bahaya pengaruh tipisnya udara diatas yang menyebabkan tekanan

MODUL 1 56
didalam tangki relatif akan meningkat tajam dengan resiko peledakan tangki
oksigen saat terbang.
Oksigen yang biasa dipakai dipesawat terbang tingkat humiditasnya sangat
rendah dibandingkan dengan oksigen medik guna mencegah pembekuan oksigen
karena turun-nya suhu dipesawat terbang. Karena itu bila akan diberikan pada
penderita harus melalui humidifier lebih dahulu.

Masalah penderita
Evaluasi penderita terutama pra transportasi ditujukan pada kemampuan
penyesuaian terhadap perubahan tekanan udara, khususnya pengaruh perubahan
tekanan parsial oksigen darah arteri dan udara abnormal yang terperangkap dalam
tubuh.
Beberapa penyakit dibawah ini merupakan kontra indikasi untuk evakuasi udara
yang bisa bersifat relatif atau pada kondisi tertentu bersifat mutlak. Untuk itu
perlu dikaji keuntungan dan kerugian transportasi udara bagi penderita pra
transportasi.
a. Penyakit dengan gangguan oksigenasi misalnya:
- dekompensasi kordis
- pneumonia berat
- keracunan cyanida
- anemia berat (Hb<6 g%)
- shunting paru berat
- syok
b. Penyakit yang menghebat dengan mengembangnya gas yang terperangkap
dalam tubuh misalnya:
- close pneumothorax
- post pneumoencephalogram
- trauma tembus okuli
- penyakit hypebaric
- ileus berat
c. Penyakit yang mengganggu lingkungan misalnya:
- penyakit menular
- psikosis dalam faser akut

Pertimbangan terakhir terletak pada dokter yang merawat, apakah dapat


dilakukan tindakan lain untuk kompensasi keadaan agar penderita dapat mengatasi
akibat perubahan tekanan udara ini.
Adanya udara abnormal yang terperangkap dalam tubuh misalnya pada close
penumothorax, post encephalogram, ileus harus dipertimbangkan kemungkinan

MODUL 1 57
gangguan akibat "pengembangan" udara tersebut dalam tubuh karena penurunan
tekanan udara lu-ar akibat ketinggian terbang.
Anemi berat (Hb<8,5 g%) memerlukan pemberian oksigen, demikian pula
penderita dengan tekanan oksigen arteri kurang dari 80 torr.
Bila oksigen tidak tersedia, maka tinggi terbang maksimum pada unpressurized
cabin adalah 2000 feet.

VIII. 3 Pelaksanaan Transportasi


Rotary wing (Helikopter):
Cara masuk pesawat:
- pada dasarnya hati-hati dengan baling2 atas dan belakang serta akibat hempasan
angin yang ditimbulkannya
- masuk pesawat harus sesudah ada tanda/ijin dari pilot pesawat, seharusnya dari
arah depan/dalam sudut pandang pilot
Rencana penerbangan:
- sebelum terbang harus didiskusikan dulu dengan pilot tentang kondisi
penderita dan ketinggian terbang disesuaikan kondisi penderita
Hal2 yang harus dihindari:
- semua peralatan/baju/topi yang mudah terbang akibat hempasan angin harus
disingkirkan/diikat agar saat naik/turun pesawat tidak membahayakan
keselamatan semuanya
- benda2 yang panjangnya dapat menjangkau ketinggian baling2 atas dibawa
dalam posisi horisontal

Fixed wing (Pesawat terbang)


Pada pesawat terbang unpressurized cabin harus ditentukan maksimum
ketinggian terbang yang masih dapat ditoleransi penderita.
Posisi tidur penderita saat take off perlu perhatian khusus;
- bila ada ketidakstabilan hemodinamik/cenderung hipovolemi, posisi kepala
diekor pesawat
- trauma capitis, edema paru posisi kepala diarah moncong pesawat
Pada pesawat berbadan lebar, dapat diatur posisi "netral" penderita tidur
posisi melintang badan pesawat.

VIII. 4 Prosedur Administrasi

MODUL 1 58
Sebelum pengangkutan penderita dengan pesawat terbang dilakukan, harus
melaporkan pada perusahaan penerbangan setempat dan selanjutnya diharuskan
mengisi for-mulir tentang kondisi medik penderita guna evaluasi apakah
transportasi udara dimungkinkan.

Bila dimungkinkan, dengan formulir yang telah diketahui dokter perusahaan


penerbangan, direncanakan pengaturan sesuai kebutuhan penderita, baik dari segi
tempat duduk / tidur, oksigen maupun makanan penderita selama penerbangan.

Harus ada penanggung jawab medik selama penerbangan, dapat seorang


perawat atau dokter beserta peralatan medik / obat yang diperlukan penderita.
Siapkan pengantaran dan penjemputan ditempat tujuan serta harus
diberitahukan lebih dulu pada Rumah Sakit tujuan.

VII.5 Komunikasi Pra dan Pasca Rujukan

Peran komunikasi dalam penanganan penderita gawat


Masalah waktu dalam penanganan penderita gawat sangat penting.
Diperlukan untuk mengaktifkan sistem pertolongan misalnya memanggil
ambulans, konsultasi darurat antar fasilitas medik dan/atau permintaan bantuan
pada musibah masal atau bencana.
Untuk itu dukungan komunikasi dalam penanganan penderita gawat khususnya
untuk kepentingan rujukan dan transportasi tidak dapat diabaikan begitu saja.
Semua pihak yang diperkirakan memerlukan bantuan penanganan medik
hendaknya mengetahui nomor telepon atau fasilitas komunikasi lain yang tersedia
di semua fasilitas pelayanan medik agar dengan mudah dapat memberitahukan /
meminta bantuan.

Komunikasi pra rujukan

Tujuan utama komunikasi pra rujukan untuk ketepatan indikasi rujukan dan
mendapatkan kepastian apakah Rumah Sakit penerima mampu dan siap
menerima penderita. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk diskusi guna
penyiapan stabilitas penderita yang lebih baik untuk perjalanan rujukannya.

Komunikasi selama transportasi:


Diperlukan bila terjadi keadaan mendadak diluar perkiraan sebelumnya

MODUL 1 59
Komunikasi pasca rujukan
Informasi balik dan diskusi hasil akhir diagnosti serta perkembangan di Rumah
Sakit rujukan sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dokter pengirim.
Dapat sebagai sarana pendidikan berkelanjutan jarak jauh.

Perangkat keras tersedia


Masalah komunikasi dikota besar dan tempat yang telah tersedia jaringan telepon
lengkap dengan kemampuan SLJJ tidak ada, namun di tempat terpencil/ke-pulauan
tertentu belum tersedia jaringan telepon. Diperlukan sarana komunikasi alternatif,
umumnya berbentuk perangkat radio komunikasi. Idealnya fasilitas medik
utamanya pemberi pelayanan gawat darurat selalu tersedia sarana komunikasi
cadangan selain telepon karena pada keadaan tertentu misalnya bencana alam
atau bencana buatan manusia jaringan telepon biasa pada saat-saat awal dapat
mengalami kerusakan dan tidak berfungsi.

Perangkat komunikasi radio


Berbeda dengan telepon, pengoperasian perangkat komunikasi radio
memerlukan sedikit ketrampilan dan pengertian teknis sederhana agar dapat
memanfaatkan perangkat secara optimal.

Keunggulan utama perangkat ini tidak memerlukan kabel antar tempat sehingga
pada bencana alam maupun karena bencana buatan manusia (konflik lokal /
perang) perangkat masih dapat berfungsi

Secara liar akan mengganggu dinas lain, mungkin pula negara lain dan bahkan
berpotensi mencelakakan pihak lain misalnya bila sampai mengganggu frekuensi
penerbangan.

Perangkat terdiri dari:


a. Sumber listrik:
Umumnya dari accu 12-13.8 V DC, ada alat tertentu yang perlu listrik AC 110-
220 V

b. Pesawat pemancar/penerima:
bekerja pada frekuensi tertentu
Umumnya yang digunakan:
Kelompok Ultra High Frequency (UHF Band)

MODUL 1 60
Cara perambatan seperti sinar, jarak efektif 25-50 km pada kekuatan pancar 25-
40 watt.

Kelompok Very High Frequency (VHF Band), 138-174 MHZ)


Cara perambatan seperti sinar (line of sight), terhalang oleh gunung/gedung
beton, makin jauh pancaran makin lemah
Jarak efektif 75-100 km pada kekuatan 25-40 watt.

Kedua kelompok ini tersedia perangkat handy talky atau perangkat yang dapat
dengan mudah dipasang dimobil ambulans.
Kelompok High Frequency (HF Band)
Cara perambatan gelombang melalui pantulan lapisan ionosfer. Karena itu
jarak dekat kadang tak terjangkau namun jarak ratusan kilometer dapat
tertangkap dengan baik. Ketinggian ionosfer berubah tiap saat tergantung cuaca
sehingga ada waktu-waktu tertentu dua tempat tidak bisa saling berhubungan
dan jelas bukan disebabkan kerusakan perangkat radio.
Jarak jangkau efektif 300-500 km (5,4 MHz), kwalitas suara lebih jelek
dibanding kelompok VHF Band. Frekuensi lebih tinggi misalnya 15 MHz
mempunyai daya jangkau sampai 2500-3000 km
c. Antena dan Kabel antena (Coaxial cable):
Tiap frekuensi mempunyai ukuran antena tertentu yang hanya sesuai untuk
frekuensi tersebut. Pemakaian antena yang tidak sesuai dapat merusak bagian
pemancar radio dengan gejala tidak dapat memancar namun dapat menerima
dengan baik.
Dikenal jenis antena satu arah dan multi arah. Penggunaan antena satu
arah hanya akan memancar/menangkap dengan baik sesuai arah antena.
Kabel antena menggunakan kabel 50 ohm (kabel TV bentuk hampir sama,
ukuran 75 ohm), harus terhubung secara baik dengan perangkat pemancar dan
antena melalui konektor khusus. Hubungan yang tidak baik menyebabkan
kerusakan perangkat pemancar.

Bahan bacaan:
1. Grant, Harvey D,; Murray, Robert H,; Bergeron, J. David
Emergency Care 6th edition
Prentice Hall Inc. 1994
2. Lensworth M Jacobs,; Barbara R Bennett
Emergency Patient Care : Pre Hospital and Air Procedures

MODUL 1 61
Macmillan Publishing Co. 1983
3. McSwain, Norman E; White, Roger D.
The Basic EMT, Comprehensive Pre Hospital Patient Care
Mosby Yearbook Inc. 1997
4. Nancy L. Caroline
Emergency Medical Treatment, A Manual for Instructors
Little Brown & Co 1987

Bab IX
DASAR - DASAR ICU

Pendahuluan
Keadaan gawat biasanya menyangkut gangguan 4 sistim organ yaitu
pernafasan sirkulasi, neurologis dan sistim ginjal / elektrolit. Padamulannya
mungkin hanya mengenai I fungsi organ akan tetapi bila penanganan kurang
baik dapat mengenai organ -organ yang lain, misalnya pasien dengan gagal
ginjal jarung karena miokard infark dapat pula mengakibatkan terjadinya gagal
nafas dan gagal ginjal, demikian pula pasien dengan primer gagal nafas dapat
pula mengalami gagal jantung dan gagal ginjal:
Penanganan pasien dengan memperhatikan hubungan yang erat diantara
fungsifungsi organ tubuh merupakan dasar penanganan pasien di ICU.
Dalam sejarahnya ICU berkembang dari adanya unit - unit yang terpisah
misalnya unit paru-paru untuk pemakaian ventilator, unitginjal untuk dialisa,
unit koroner untuk perawatan pasien dengan penyakit janrung koroner. Karena
penagnanan pasien gawat lebih kurang samaa apapun penyakitnya maka
pasien ,pasien gawat tersebut lebih efektif bila dirawat disuatu .ruang tertentu
yang disebut ICU umum (general ICU).
Dari segi ekonomi dan penyediaan tenaga clan peralatan, perawatan pasien
gawatyang dilakukan di ICU lebih menguntungkan.

MODUL 1 62
T.I.U.
Dapat menjelaskan pengertian ICU dan kriteria masuk keluar ICU
T.I.K.
Dapat menjelaskan pengertian ICU
Uapat menjelaskan kriteria masuk ke ICU dan keluar dari ICU Dapat
IX.1.Pengertian ICU
menjelaskan design ruang ICU
Icu adalah suatu unit didalam rumah sakit yang mengetrapkan terapi yang
Dapat menjelaskan
aggresif, lembar pencatatan
dengan menggunakan alat-alat canggih baik invasive atau
noninvasive, pada pasien
Dapat menjelaskan - pasien
problem yang
etika di ICUgawat baik actual atau potential
(pasien resiko tinggi), diharapkan pasien akan memperoleh manfaat yang
besar bila dirawat di ICU, oleh karena itu pasien dengan penyakit terminal
atau tak dapat disebuhkan kurang mendapatkan manfaat maksimal bila
dirawat di ICU. Prinsip kerja di ICU adalah instant diagnose dan instant
terapi, karena itu hasil pengamatan adanay perubahan fisiologis atau hasil
pemeriksaan baik fisik, laboratorium atau diagnostik lain yang menunjang
keberhasilan penanganan pasien di ICU.
Pasien gawat adalah pasien yang karena penyakitnya baik karena trauma,
pembedahan atau medik dapat mengancam jiwanya, bila tidak segera
dilakukan pertolongan berakibat kematian, kecacatan.
Sesuai dengan macam perawatan yang dapat dilakukan maka ICU terbagi
menjadi 3 level yaitu level I, II dan III

Level I
Disebut pula high dependency unit, di unit ini hanya dilakukan
monitoring / observasi fungsi vital, trmasuk monitoring EKG. Fasilitas untuk
melakukan resusitasi juga tersedia di unit kalau paien memerlukan respirator
dimungkinkan pula tetapi hanya dalam jangka waktu < 24 jam.

Level ll
Perawatan respirator dalam waktu lebih lama, terdapat dokter jaga dalam
24 jam, serta setiap waktu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium,
radiology.

Level III

MODUL 1 63
Biasanya terletak dirumah sakit besar (tipe A), melakukan semua tindakan
berkaitan dengan perawatan intensifpada semua gagal organ. Di unit ini
terdapat seorang intensive atau anestetistyang bekerjasama dengan semua
dokter dari disiplin lain, yang dapat saling berhubungan dalam 24 jam.
Perawat yang bekerja di unit ini harus berpendidikan khusus (critical care
nurse).
Sistim pelayanan di ICU dapat bersifat closed system, yaitu adanya 1
tim dokter yang melakukan perawat pasien, dokter - dokter lain bisa
memasukkan pasien ke ICU setelah mendapat persetujuan dari tim dokter
tersebut, dan semua kebi jakan perawat pasien diserahkan pada tanggung
jawab tim dokter di Icu. Opened system, yaitusistim yang memperkenankan
setiap dokter merawat pasiennya di ICU dengan kebijakan perawatan dari
masing-masingdokter. Sedangkan sistim yang lebih kompromitas adalah sistim
menagement-in-concultation yaitu adanya dokter intensivist atau dokter
anestesi yang bertindak sebagai koodinator dalam pelayanan pasien disini
faktor komunikasi, informasi dan edukasi sangat penting demi kebaikan
pelayanan pada pasien. Harus dihindari terjadinya "single organ doctor" yang
dapat menimbulkan konflik dalam pemberian terapi.

IX.2. Design / Perencaaan ICU

Pada dasarnya suatu ICU harus mempunyai area atau ruang untuk perawatan
pasien, ruang penyimpanan barang / alat / obat, ruang laboratorium dan ruang
untuk tunggu atau komunikasi dengan keluarga atau fami(i penderita.

Area perawatan pasien


Minimal setiap pasien memerlukan area seluas 18,5 m 2, setiap area
dilengkapi dengan sumber listrik yang cukup, 2-3 sumber oksigen, 2 sumber
compressed air, 2 sumber suction, dapat menempel didinding atau
menggantung dari atap, atau pada kolom dari lantai.
Disetiap tempattidurdilengkapi dengan monitor minimal 4 channel; EKG-Nadi,
SpO2, pengukuran tekanan darah noninvasive, dapat pula ditambahkan
pengukuran tekanan darah invasive (direct arterial blood pressure monitoring),
cardiac output monitor, atau end tidal C02 monitor, serta monitoring suhu.
Sebaiknya dilengkapi dengan ruang isolasi untuk pasien-paien yang
menderita sepsis. Ruang ini memerlukan perlakuan khusus.
Disekitar tempat tidur harus cukup ruangan untuk menempatkan barang /
alat misalnya respirator, tiang infus, syringe pump, infusion pump, meja atau
trolley tempat lembar observasi.

MODUL 1 64
Ruangan ICU harus diberi jendela kaca yang bening supaya pasien tidak
merasa diisolasi atau mengalami disorientasi waktu, yang dapat meningkatkan
stress. Di area nurse station, sebaiknya bisa mengamati semua pasien,
dilengkapi dengan _ rak penyimpanan obat, kulkas baik untuk obat atau
specimen, telepon serta formulir-formuliryang digunakan.
Tempat cuci tangan harus disediakan dalam jumlah yang cukup, sebaiknya
berdekatan den-an tempat tidur pasien. Alat viewer untuk membaca foto juga
merupakan keharusan di suatu ICU.

IX.3.Kriteria Masuk dan Keluar ICU

Indikasi masuk ICU biasanya digolongkan menjadi prioritas tinggi dan


prioritas rendah. Prioritas tinggi adalah pasien - pasien gawat, fungsi vital tidak
stabil, penyakitnya potensial bersifat reversible, yang memerlukan perawatan
intensif, pemasangan ventilator, pemberian obat vasoaktif dan observasi fungsi
vital yang ketat. Bila prognosisnya tidak dapat tidak dapat dipastikan, maka
dapat dicoba dirawat di ICU dengan catatan "risk" yang memerlukan perawat
intensif atau pasien dengan keadaan medik atau penyakitnya bersifat
irreversible. Termasuk golongan pasien ini adalah pasien dengan Ca terminal,
atau penyakit kronis yang lanjut. Kadang - kadang atas pertimbangan social
paien yang sebenarnya tidak memerlukan perawatan ICU diputuskan untuk
dirawat ICU, asalkan keluarga diterangkan tentang masalah yang akan dihadapi
khusunya tentang biayanya.
Criteria masuk dan keluar dapat ditentukan oleh masing - masing ICU sesuai
dengan tipe jumlah tempat tidur. Penyususnan criteria tersebut berdasarkan
adanya gagal organ baik pernafasan, sirkulasi, syaraf pusat atau gagal ginjal /
elektrolit.

IX.4. Lembar Pencatatan ICU

Pasien yang dirawat di ICU menunjukkan adanya perubahan patofisiologi


yang kompleks, sehingga pemeriksaan fisik dan pengamatan data-data
perubahan fisiologis dan laboratorium merupakan informasi yang sangat
penring dalam menentukan diagnose dan trapi. Lembar pencacatan di ICU
harus dapat mencakup semua perubahan fisiologis dan penanganannya. Prinsip
dari lembar pencacatan adalah clear, complete dan lebaryang kendalannya
adalah cara penulisan dan cara penyimpail nya.

MODUL 1 65
Parameter yang harus ada dilembar pencatatan.
Tanda/ fungsi vital; tekanan darah, nadi, suhu, respirasi. Respirasi ; Sp02, tidal
volume, minute ventilation, airway pressure, AaD02, compliance.
Hemodinamik; CVP, arterial pressure, cardiac output, tekanan A, pulmonalis
Setting ventilator: mode, PEEP, Fo02.
5. Status neurologis : GCS, ukuran pupil, reaksi cahaya.
Balans cairan input dan output.
Obat-obat yang diberikan
Data-data laboratorium

IX.5. Etika Perawatan ICU


Masalah etik sering muncul di ICU, misalnya pasien dirawat dengan
respirator, ternyata diketahui menderita hepatoma stadium lanjut, apakah
respirator tersebut akan dilepas, lebih-lebih bila respirator tersebut hanya satu-
satunya sedang ada pasien lain yang mutlak memerlukan bantuan nafas dengan
respirator. Problem lain misalnya pasien dengan penyakit AIDS kemudian
mengalami cardiac arrest apakah pasien harus dilakukan CPR? Seringkali pula
tidak ada jawaban yang bisa memuaskan.

Walaupun pasien atau keluarga menghendaki dilakukan tindakan maksimal


dokter harus mempertimbangkan antara manfaat dilakukannya terapi dengan
kalau tidak dilakukan, dalam arti tindakan tersebut akan sia-sia.

Beberapa alternatif pengobatan yang diberikan pada pasien ICU sehubungan


dengan masalah etik :
1. Do anything–full support, meliputi CPR, obat vasopressor, respirator
hemodialisa dan pembedahan.
2. Do something–full support kecuali CPR, obat vasopressor masih diberikan
kalau perlu parenteral nutrisi.
3. Do nothing–mengupayakan agar pasien merasa nyaman, tak mengalami
nyeri, tergantung pada kebijakan para dokter dan keluarga seringkali obat
antibiotika dan obat –obatan lain tidak diberikan kecuali vitamin, cairan
infus hanya diberikan larutan standard maintenance saja.

Bila mengalami kesulitan dalam memutuskan masalah yang berkaitan


dengan etik, maka sebaiknya konsultasi dengan komisi etik di masing-masing
rumah sakit.

MODUL 1 66

Anda mungkin juga menyukai