Antibiotic Usage in Neonate S
Antibiotic Usage in Neonate S
TINJAUAN PUSTAKA
Esi Afriyanti
Pengajar PSIK Fakultas Kedokteran Unand
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengukur kadar CRP pada kasus tersangka sepsis
neonatorum sebagai alternatif parameter yang cepat, sensitif, spesifik untuk
menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.
ABSTRACT
Pendahuluan
Sepsis merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat reaksi inflamasi
sistemis pada manusia yang mengalami infeksi oleh mikroorganisme (Llorens &
MacCrocken, 1993). Neonatus mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis
disebabkan sistem imun belum sempurna (Schelonka & Infante, 1998; Yoder,
1996; Radetsky, 1998). Untuk menegakkan diagnosis sepsis neonatorum tidaklah
mudah karena gejala klinis sepsis pada neonatus tidak spesifik dan sering kali
sama dengan gejala klinis akibat gangguan metabolik, hematologik dan susunan
saraf pusat. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri dalam biakan darah
yang hasilnya memerlukan waktu minimal 72 jam dengan angka positif yang
relatif rendah. Dalam tenggang waktu tersebut penyakit bertambah berat, bahkan
dapat terjadi kematian. Untuk membantu penilaian klinis diperlukan pemeriksaan
penunjang salah satunya adalah protein C-reaktif (CRP) (Hickey & McCracken,
1997).
Protein C-reaktif (C-reactive protein=CRP) adalah suatu globulin yang
disintesis oleh sel hepatosit dan disekresi ke dalam darah. Kadar CRP akan
meningkat bila terjadi respons inflamasi lokal atau sistemis, dan lebih spesifik
pada penyakit infeksi neonatal seperti sepsis neonatorum dan meningitis (Pepys,
1981).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menggunakan CRP ini sebagai
parameter dalam menegakkan diagnosa sepsis neonatorum. Hasil penelitian ini
sangat bervariasi. Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas Hongkong
mendapatkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivitas 84% dan spesifisitas
96%, pada 68 orang bayi berat lahir sangat rendah sebagai pemeriksaan marker
tunggal. Kombinasi antara CRP dan IL–6 menunjukkan nilai sensifitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut
meningkat menjadi 93%, 96%, 95% dan 95%.
Chiesa et al. (2001) juga mengatakan diperlukan pemeriksaan CRP
terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai faktor risiko pada 148 neonatus
yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan hasil yang bermakna dari
pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada kasus tersangka sepsis
secara faktor risiko tersebut.
Berbeda dengan peneliti lainnya, Anwer & Mustafa (2003) meneliti lima
puluh neonatus yang memiliki faktor risiko di bagian perawatan intensif Bagian
Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi Pakistan, didapatkan pemeriksaan CRP
dengan sensitifitas diatas 60% dan spesifisitas 50%, sedangkan untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai nilai
sensitivitas sebesar 84 dan spesifisitas 96%. Bahkan Posen & Lamos (1998)
mendapatkan kasus sepsis neonatorum yang pada tindak lanjut masih ditemukan
bakteri pada biakan darah, namun kadar CRP telah menurun. Padahal secara
teoritis kadar CRP akan menurun bersamaan dengan perbaikan keadaan pasien.
Penelitian ini bertujuan mengukur kadar CRP pada kasus tersangka sepsis
neonatorum sebagai alternatif parameter yang cepat, sensitif, spesifik untuk
menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38793/3/Chapter%20II.pdf
3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai dengan
C1q maupun jalur alternatif.
4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga
CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama
proses keradangan.
Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan
ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui
(antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan
antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan. 5 Jadi pada
dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu:
Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan
sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui.
Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama
(antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum
penderita. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua (antibodi pelacak) yang
berlabel enzim. Akhirnya
ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan
secara kuantitatif.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnostik dan dilakukan secara prospektif
untuk mengetahui pola kadar CRP pada tersangka sepsis neonatorum yang lahir
dengan faktor risiko. Subjek penelitian adalah neonatus yang disangka menderita
sepsis neonatorum. Subjek penelitian, yang telah memenuhi kriteria penelitian
melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis, diambil darahnya untuk
mengetahui kadar CRP, pemeriksaan darah tepi terutama jumlah leukosit, serta
biakan darah untuk melihat bakteri dalam darah. Analisis data dengan menghitung
sensitivitas, spesifisitas antara CRP dengan baku emasnya yaitu leukosit dan
biakan darah.
1. Normal 10 33
2. Abnormal 20 67
Jumlah 20 10 30
Berdasarkan tabel tersebut, maka didapatkan hasil bahwa nilai sensitifitas dari
kadar CRP dibandingkan leukositnya sebagai baku emas mempunyai nilai sebesar
25%. Untuk nilai spesifisitas nilai CRP dibandingkan leukosit sebagai baku
emasnya hanya mempunyai nilai 30%, nilai duga positif 42%, nilai duga negatif
17%, dan nilai akurasinya hanya 27%.
Hasil ini cukup mencengangkan karena nilai diatas rendah sekali
dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu. Penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa pemeriksaan CRP dapat dijadikan sebagai parameter
diagnostik untuk tersangka sepsis neonatorum seperti penelitian yang dilakukan
oleh Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas Hongkong mendapatkan
pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivitas 84% dan spesifisitas 96%, pada 68
orang bayi berat lahir sangat rendah sebagai pemeriksaan marker tunggal.
Kombinasi antara CRP dan IL–6 menunjukkan nilai sensifitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut meningkat menjadi 93%,
96%, 95% dan 95%. Sedangkan Chan & Ho (1993) melakukan penelitian dari Juli
1990 sampai April 1993 di Rumah sakit anak Osaka, Jepang mendapatkan nilai
sensitifitas, spesifisitas, prediksi positif dan negatif masing-masing 56%, 72%,
71% dan 57% pada 70 neonatus yang dirawat di ruang intensif dengan diagnosis
tersangka sepsis dengan faktor risiko.
Hasil penelitian yang dilakukan Chiesa et al. (2001) juga mengatakan
diperlukan pemeriksaan CRP terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai
faktor risiko pada 148 neonatus yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan
hasil yang bermakna dari pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada
kasus tersangka sepsis secara faktor risiko tersebut. Hasil yang hampir sama juga
didapatkan oleh Dilara (cit. Icagasioglu, 2002) di Bagian Kesehatan Anak, Turki
juga mendapatkan peningkatan yang bermakna dari pemeriksaan CRP dan IL–6
serum pada 30 neonatus tersangka sepsis dibanding subjek kontrol dengan
p>0.05.
Hasil pada penelitian ini hampir mendekati penelitian yang dilakukan oleh,
Anwer & Mustafa (2003) meneliti lima puluh neonatus yang memiliki faktor
risiko di bagian perawatan intensif Bagian Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi
Pakistan, didapatkan pemeriksaan CRP dengan sensitifitas diatas 60% dan
spesifisitas 50%, sedangkan untuk dapat membantu menegakkan diagnosis sepsis
neonatorum, CRP mempunyai nilai sensitivitas sebesar 84 dan spesifisitas 96%.
Hasil pemeriksaan CRP ini yang mempunyai nilai sensitifitas dan
spesifisitas yang rendah, dilakukan pada nonatus cukup umur dan kurang ketatnya
pengendalian pada faktor – faktor eksternal lain yang dapat mempengaruhi hasil
kadar CRP seperti masa iflamasi, infeksi nosokomial, dan lain – lain.
1. Positif 25 83
2. Negatif 5 17
Selain itu dilakukan juga dicoba juga pemeriksaan biakan bakteri yang
diyakini sebagai baku emas terhadap diagnosis sepsis neonatorum. Hasil biakan
darah didapatkan hasil bahwa biakan darah positif terdapat pada neonatus
tersangka sepsis neonatorum sebesar 25 neonatus (83%), sedangkan hasil biakan
darahnya yang negatif dari bakteri terdapat pada 5 orang (17%) responden
(neonatus).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
ditemukannya bakteri dalam biakan darah merupakan diagnosis pasti sekaligus
sebagai baku emas pemeriksaan penunjang pada kasus tersangka sepsis
neonatorum. Namun tumbuhnya bakteri pada biakan darah tergantung pada
spesies bakteri, kondisi biakan, jumlah inokulum dan pemberian antibiotik
sebelum biakan, dan memerlukan waktu yang lama minimal 72 jam dengan angka
positif yang relatif rendah.
Berbagai jenis mikroorganisme dapat mengakibatkan terjadinya sepsis
neonatorum. Infeksi yang disebabkan bakteri merupakan mikroorganisme yang
sangat penting pada penyebab sepsis neonatorum. Di antara mikroorganisme
tersebut yang terdapat dalam biakan darah yang dilakukan pada neonatus di
penelitian ini, penyebab terbanyak adalah Enterobacter sp, Pseudomonas
eoroginosa, E coli, dan Streptococcus.
Jumlah 25 5 30
Untuk melihat kemungkinan CRP sebagai parameter diagnostik maka
dilakukan perbandingan CRP dengan baku emas lain yaitu hasil biakan darah.
Hasil perhitungan diatas juga memperlihatkan bahwa nilai spesifisitas dan
sesnsitifitas CRP rendah terhadap baku emasnya yaitu biakan darah, yang ditandai
dengan nilai sensitifitasnya 36%, nilai spesifisitasnya 40%, nilai duga positif
75%, nilai duga negatifnya 11%.
Kesimpulan
1. Pada responden (neonatus) tersangka sepsis neonatorum terdapat
manifestasi klinis yang terdapat pada sistem saraf pusat, sistem pernafasan,
sistem kardiovaskuler, dan sistem pencernaan.
2. Pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas 25% dan
30% dibandingkan baku emasnya yaitu leukosit
3. sedangkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas
36% dan 340% dibandingkan baku emasnya yaitu biakan darah
4. Nilai pemeriksaan CRP tersebut masih dibawah standar untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum, yaitu nilai CRP
harus mempunyai nilai sensitifitas sebesar 84% dan spesifisitas 96%.
5. perlu penelitian lebih lanjut lagi untuk mempertimbangkan pemeriksaan
CRP sebagai parameter diagnostik tersangka sepsis neonatorum.
Daftar Pustaka
1. Anwer, S.K., Mustafa, S. 2003. Rapid Identification of Neonatal Sepsis.
JPMA Vol 50.
2. Chan, D.K.L, Ho, L.Y. Usefullness of C – Reactive Protein in the
Diagnosis of Neonatal Sepsis. SMJ. Diakses dari : http://www.sma.org
.sg/smj/3806/articles/3806a4.htm.
3. Chiesa, C., Signore, F., Asumma, M., Buffone, E., Tramontozi, P. 2001.
Serial Mesurements of C- Reactive Protein and Interleukin – 6 in the
Immediate Post Natal Periode: Reference Intervals and Analysis of
Maternal and Perinatal Confounders. Clin Chemist. 47 : 1016-1022
4. Hickey, S.M., McCracken, G.Jr. 1997. Post natal bacterial infections.
Dalam Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal – perinatal
medicine. Diseases of the fetus and infant. St Louis : Mosby Year Book,. h.
717 – 800.
5. Llorens, X.S., McCracken, G. 1993. Sepsis sindrome and septick shock in
pediatrics current concept of terminology patophysiology and
management. J Pediatrics. 123: 497 – 508
6. Ng, P.C., Cheng, S.H., Chui, K.M., Fok, T.F., 1997. Diagnosis of late onset
neonatal sepsis with cytokines, adhesion molecule, and C-reactive protein
in preterm very low birth infants. Arch Dis Child . 77 : F221 – F227
7. Pepys, M.B., 1981. C-reactive protein fifty years on. Lancet. 21 : 653 – 7
8. Schelonka, R.L., Infante A.J., 1998. Neonatal immunology. Semin
Perinatol. 22:2–14.
9. Yoder, M.C., Polin, R.A., 1997. Developmental immunology. Dalam :
Neonatal – perinatal medicine. Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Edisi
ke-6. St Louis: Mosby – year book. h. 685 – 800
https://ridwananalis.wordpress.com/2012/08/13/imunologi-dan-serologi/
UJI CRP
Metode : kualitatif
Prinsip : aglutinasi pasif terbalik dimana latex dilapisi antibodi CRP dan yang
dideteksi adalah antigen CRP dalam serum dengan kadar tinggi, aglutinasi terlihat
dalam waktu 2 menit
Bahan : serum
Cara Kerja : masukkan 50 mikroL serum dalam test slide, tambahkan satu tetes
suspensi, campurkan suspensi dengan cara digoyang. Putar test slide selama dua
menit lihat aglutinasi yang terjadi.
Interpretasi Hasil : hasil positif = aglitunasi kasar ; positif lemah = aglutinasi
halus ; hasil negatif = tidak ada aglutinasi
http://id.wikipedia.org/wiki/C-reactive_protein
C-reactive protein (CRP) adalah suatu protein yang dihasilkan oleh hati,
terutama saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh. Namun, berhubung
protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak organ yang mengalami
infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui.[1] Pemeriksaan CRP juga telah
dikembangkan menjadi high-sensitivity CRP sehingga dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya penyakit jantung di masa depan.[2][3] Pada pasien penderita
penyakit autoimunitas, CRP juga dapat dihasilkan tubuh dalam jumlah besar,
contohnya pada penderita rheumatoid arthritis, lupus, atau vasculitis.[1]
Sejarah
CRP ditemukan oleh William S. Tillett (1892-1974) dan Thomas Francis, Jr.
(1900-1969) pada tahun 1930 di laboratorium milik Oswald T. Avery (1877-
1955). Ketika itu, kedua peneliti tersebut sedang mengadakan studi klinis dan
laboratorium untuk mengembangkan terapi bagi infeksi pneumococcal
pneumonia. Mereka menemukan suatu antigen baru yang disebut Fraksi C dan
melanjutkannya dengan pemeriksaan imunologi terhadap pasien penderita infeksi
pneumonia. Tilett dan Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat
terhadap pasien yang berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, namun
setelah pasien sembuh maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam
percobaan lanjutan, ternyata Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien
penderita penyakit atau inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam rematik
akut.[4]
Pada tahun 1990, para peneliti membuktikan bahwa inflamasi berperan terhadap
perkembangan aterosklerosis sehingga CRP dapat digunakan untuk penilaian
risiko (prediksi) penyakit jantung atau kardiovaskular. Penelitian juga
menunjukkan adanya kemungkinan CRP berperan di dalam perkembangan
penyakit tersebut sehingga saat ini mulai dikembangkan obat yang dapat
menurunkan kadar CRP di dalam tubuh.[4]
Manfaat
Pengukuran kadar CRP sering digunakan untuk memantau keadaan pasien setelah
operasi. Pada umumnya, konsentrasi CRP akan mulai meningkat pada 4-6 jam
setelah operasi dan mencapai kadar tertinggi pada 48-72 jam setelah operasi.
Kadar CRP akan kembali normal setelah 7 hari pasca-operasi. Namun, bila setelah
operasi terjadi inflamasi atau sepsis maka kadar CRP di dalam darah akan terus
menerus meningkat.[5]
Pada kondisi terinfeksi aktif, kadar CRP di dalam tubuh dapat meningkat hingga
100x kadar CRP pada orang normal sehingga pengukuran CRP sering digunakan
untuk mengetahui apakah pasien dalam kondisi terinfeksi atau mengalami
inflamasi tertentu. Pada saat terjadi infeksi bakteri atau inflamasi, leukosit akan
teraktivasi kemudian melepaskan sitokin ke aliran darah. Sitokin akan
merangsang sel-sel hati (hepatosit) untuk memproduksi CRP.[5]
Pada tahun 2003, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the
American Heart Association (AHA) merekomendasi penggunaan hsCRP untuk
memprediksi risiko penyakit kardiovaskular terutama untuk pasien penderita
sindrom koroner akut dan penyakit koroner stabil. Nilai yang dijadikan acuan
untuk penilaian risiko penyakit kardiovaskular tersebut adalah :