Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN C-REAKTIVE PROTEIN (CRP) SEBAGAI PARAMETER


DIAGNOSIS SEPSIS NEONATORUM
(Sepsis Neonatorum)

Esi Afriyanti
Pengajar PSIK Fakultas Kedokteran Unand

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengukur kadar CRP pada kasus tersangka sepsis
neonatorum sebagai alternatif parameter yang cepat, sensitif, spesifik untuk
menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian uji diagnostik. Subjek penelitian


adalah neonatus yang disangka menderita sepsis neonatorum. Subjek penelitian,
yang telah memenuhi kriteria penelitian, diambil darahnya untuk mengetahui
kadar CRP, darah tepi terutama jumlah leukosit, serta biakan darah untuk melihat
bakteri dalam darah. Analisis data dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas
antara CRP dengan baku emasnya yaitu leukosit dan biakan darah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada responden (neonatus)


tersangka sepsis neonatorum terdapat manifestasi klinis yang terdapat pada sistem
saraf pusat (letargi, reflek menghisap lemah, dan irritabel), pada sistem pernafasan
(sianosis), pada sistem kardiovaskuler, dan sistem pencernaan (tidak mau minum,
distensi abdomen, muntah dan adanya ikterus). Pada pemeriksaan CRP
mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas 25% dan 30% dibandingkan baku
emasnya yaitu leukosit, sedangkan pemeriksaan CRP lainnya mempunyai nilai
sensitifitas dan spesifisitas 36% dan 34% dibandingkan baku emasnya yaitu
biakan darah. Nilai pemeriksaan CRP tersebut masih dibawah standar untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum, yaitu nilai CRP harus
mempunyai nilai sensitivitas sebesar 84% dan spesifisitas 96%. Perlu penelitian
lebih lanjut lagi untuk mempertimbangkan pemeriksaan CRP sebagai parameter
diagnostik tersangka sepsis neonatorum.

ABSTRACT

This research aim to measure the concentrations of c-reactive protein


(CRP) at case the neonates suspected of neonatorum sepsis alternatively
parameter which quickly, sensitive, specific to uphold to be diagnosed
neonatorum sepsis.
This research represent type research of diagnostic test. Research Subjek
suspected neonates suffer neonatorum sepsis. Research Subjek, which have
fulfilled research criterion, taken its blood to know the concentrations of CRP,
blood step aside especially the amount of leucocyte, and also blood breeding to
see bacterium in blood. Data analysis by calculating sensitivitas, spesifisitas
among CRP concentrations standardly its gold that is blood breeding and
leucocyte.

Result of this research indicate that at Research Subjek suspected


neonatorum sepsis there are clinis manifest found on center nerve system (letargi,
reflek suck to weaken, and irritabel), at respirations system (sianosis), at
cardiovasculer, system and digestive system (do not want to drink, abdomen
distensi, ikterus). At inspection of CRP have value of sensitifitas and of
spesifisitas 25% and 30% compared to is standard of its gold that is leucocyte,
while inspection of other CRP have value of sensitifitas and of spesifisitas 36%
and 34% compared to is standard of its gold that is blood breeding. This result of
the CRP still below the mark to be able to assist to uphold to be diagnosed by
neonatorum sepsis, that is value of CRP have value of sensitivitas equal to 84%
and spesifisitas 96%. Needing furthermore research again to consider the
concentrations of CRP as diagnostic parameter suspected neonatorum sepsis.

Keyword: c-reactive protein (CRP), neonatorum sepsis

Pendahuluan
Sepsis merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat reaksi inflamasi
sistemis pada manusia yang mengalami infeksi oleh mikroorganisme (Llorens &
MacCrocken, 1993). Neonatus mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis
disebabkan sistem imun belum sempurna (Schelonka & Infante, 1998; Yoder,
1996; Radetsky, 1998). Untuk menegakkan diagnosis sepsis neonatorum tidaklah
mudah karena gejala klinis sepsis pada neonatus tidak spesifik dan sering kali
sama dengan gejala klinis akibat gangguan metabolik, hematologik dan susunan
saraf pusat. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri dalam biakan darah
yang hasilnya memerlukan waktu minimal 72 jam dengan angka positif yang
relatif rendah. Dalam tenggang waktu tersebut penyakit bertambah berat, bahkan
dapat terjadi kematian. Untuk membantu penilaian klinis diperlukan pemeriksaan
penunjang salah satunya adalah protein C-reaktif (CRP) (Hickey & McCracken,
1997).
Protein C-reaktif (C-reactive protein=CRP) adalah suatu globulin yang
disintesis oleh sel hepatosit dan disekresi ke dalam darah. Kadar CRP akan
meningkat bila terjadi respons inflamasi lokal atau sistemis, dan lebih spesifik
pada penyakit infeksi neonatal seperti sepsis neonatorum dan meningitis (Pepys,
1981).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menggunakan CRP ini sebagai
parameter dalam menegakkan diagnosa sepsis neonatorum. Hasil penelitian ini
sangat bervariasi. Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas Hongkong
mendapatkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivitas 84% dan spesifisitas
96%, pada 68 orang bayi berat lahir sangat rendah sebagai pemeriksaan marker
tunggal. Kombinasi antara CRP dan IL–6 menunjukkan nilai sensifitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut
meningkat menjadi 93%, 96%, 95% dan 95%.
Chiesa et al. (2001) juga mengatakan diperlukan pemeriksaan CRP
terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai faktor risiko pada 148 neonatus
yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan hasil yang bermakna dari
pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada kasus tersangka sepsis
secara faktor risiko tersebut.
Berbeda dengan peneliti lainnya, Anwer & Mustafa (2003) meneliti lima
puluh neonatus yang memiliki faktor risiko di bagian perawatan intensif Bagian
Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi Pakistan, didapatkan pemeriksaan CRP
dengan sensitifitas diatas 60% dan spesifisitas 50%, sedangkan untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai nilai
sensitivitas sebesar 84 dan spesifisitas 96%. Bahkan Posen & Lamos (1998)
mendapatkan kasus sepsis neonatorum yang pada tindak lanjut masih ditemukan
bakteri pada biakan darah, namun kadar CRP telah menurun. Padahal secara
teoritis kadar CRP akan menurun bersamaan dengan perbaikan keadaan pasien.
Penelitian ini bertujuan mengukur kadar CRP pada kasus tersangka sepsis
neonatorum sebagai alternatif parameter yang cepat, sensitif, spesifik untuk
menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38793/3/Chapter%20II.pdf

Fungsi Biologis CRP


Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui
seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP
bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang
menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme daya
tahan tubuh terhadap infeksi.5
Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah 3,5,23,28 :

1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui


reaksi presipitasi/aglutinasi.

2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti


granulosit dan monosit/makrofag.

3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai dengan
C1q maupun jalur alternatif.

4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga
CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama
proses keradangan.

5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel


rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.

6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang


terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.

Inflamasi dan Respon Fase Akut

Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma


atau invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi
bahan yang berbahaya dan merusak jaringan. Inflamasi diperlukan tubuh
untuk mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu
keseimbangan tetapi juga dapt memperbaiki kerusakan struktur serta
gangguan fungsi jaringan. Reaksi inflamasi termasuk dalam respons imun
nonspesifik. Bila terjadi inflamasi, sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh
tubuh akan bergerak ke lokasi infeksi beserta produk-produk yang
dihasilkannya24.
Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu 24,25:

Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi

Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang


mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus dinding vaskuler.

Migrasi leukosit ke vaskuler


Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast
setempat seperti histamin dan bradikinin. Kejadian ini disertai dengan aktivasi
komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel endotel yang masing-
masing melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas,
neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi akan berjalan terus sampai
antigen dapat disingkirkan1.
Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein fase akut.
Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam menanggapi
mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini 1
Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat ( dengan pola
yang bergantung dengan kalsium ) sejumlah mikroorganisme yang
mengandung fosforilkolin dalam membran mereka, kompleks yang berguna
untuk mengaktifkan komplemen ( melalui jalur klasik ). Ini mengakibatkan
deposisi C3b diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk
perlekatan pada fagosit. Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya
penarikan dan pemacuan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada
mikroba yang telah diselaputi oleh C3b melalui permukaan reseptor C3b dan
kemudian menelan mereka. CRPjuga diikat C1q dan karenanya dapat
mengaktifkan komplemen atau bekerja sebagai opsonin melalui interaksi
dengan reseptor C1q pada fagosit.25,26,27.
Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga
laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi
menunjukkan infeksi yang tetap persisten1,26

Prinsip dan Metode Pemeriksaan

Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan
ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui
(antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan
antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan. 5 Jadi pada
dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan
sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui.

Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel untuk menentukan


adanya antigen di dalam serum.

Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama
(antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum
penderita. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua (antibodi pelacak) yang
berlabel enzim. Akhirnya
ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan
secara kuantitatif.

Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik. Pada tes ini,


antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran selulosa
nitrat di garis pengikat. Bila ditambahkan serum yang diencerkan sampai
ambang atas titer rujukannya pada bantalan sampel maka CRP dalam
sampel akan diisap oleh bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan
akan diikat oleh konjugat (antibodi monoklonal) pertama, berlabel emas
koloidal. Selanjutnya CRP yang telah mengikat konjugat akan diisap oleh
bantalan absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi
monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga berubah warna menjadi
merah. Sisanya yang tidak terikat pada garis pengikat akan bergerak menuju
garis kontrol yang mengandung antibodi anti tikus yang mengikat sisa
konjugat yang tidak terikat pada garis pengikat. Konjugat yang tidak terikat
dibersihkan dari membran dengan larutan pencuci yang selanjutnya diisap
oleh membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi daripada ambang atas
titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat pada garis pengikat di
membran yang intensitasnya berbanding lurus dengan kadar CRP dalam
serum. Pembacaan hasil secara kuantitatif.

Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP dalam


serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu
kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan
tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara
kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnostik dan dilakukan secara prospektif
untuk mengetahui pola kadar CRP pada tersangka sepsis neonatorum yang lahir
dengan faktor risiko. Subjek penelitian adalah neonatus yang disangka menderita
sepsis neonatorum. Subjek penelitian, yang telah memenuhi kriteria penelitian
melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis, diambil darahnya untuk
mengetahui kadar CRP, pemeriksaan darah tepi terutama jumlah leukosit, serta
biakan darah untuk melihat bakteri dalam darah. Analisis data dengan menghitung
sensitivitas, spesifisitas antara CRP dengan baku emasnya yaitu leukosit dan
biakan darah.

Hasil Penelitian dan pembahasan


Dari 30 orang responden yang termasuk dalam penelitian dapat dilihat
karakteristiknya dalam bentuk tabel – tabel frekuensi dibawah ini.

Tabel 1. Karakteristik pasien tersangka sepsis neonatorum


Karakteristik Jumlah Presentase
(N) (%)
Jumlah Kasus
Lelaki 19 63
Perempuan 11 34
Tempat lahir
RS Dr. M. Djamil Padang 12 40
Luar RS Dr. M. Djamil Padang 18 60
Cara lahir
Spontan 22 73
Ekstraksi vakum 0 0
Ekstraksi forsep 0 0
Bedah Caesar 8 27
Berat lahir
1000 – 1499 g 0 0
1500 – 2499 g 7 23
2500 – 4000 g 23 77
> 4000 g 0 0
Masa gestasi
28 – 32 minggu 0 0
32 – 37 minggu 5 17
37 – 42 minggu 25 83
> 42 minggu 0 0
Umur
< 72 jam 18 60
72 – 168 jam 12 40
> 168 jam 0 0

Tabel diatas memperlihatkan bahwa jumlah kasus tersangka sepsis


neonatorum berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar tersebar di jenis kelamin
laki – laki (63%). Walaupun belum ada penelitian yang menngkaitkan antara
sebaran jenis kelamin dengan tersangka sepsis neonatorum, namun dalam
penelitian CRP yang meningkat dialami oleh responden dengan jenis kelaim laki-
laki.
Tempat lahir responden tersebut sebagian besar berada di luar RS Dr. M.
Djamil Padang (60%) seperti di RSUD Sei aia Pacah dan sebagian lagi lahir di
bidan – bidan yang tersebar di Sumatera Barat. Hal ini disebabkan RS M Djamil
merupakan rumahsakit rujukan di Sumatera Barat.
Cara lahir responden sebagian besar (73%) lahir dengan spontan walaupun
ada responden lahir dengan cara caesar dengan indikasi partus lama.
Masa gestasi responden adalah 83% masa gestasi (kehamilan berkisar
dalam rentang 37 – 42 minggu atau cukup bulan. Sedangkan umur responden saat
di bawa ke RS berkisar kurang dari 72 jam (60%). Beberapa penelitian memang
mengatakan bahwa sepsis nenonatorum lebih banyak insidennya pada neonatus
dengan berat badan lahir dengan sangat rendah (BBLR). Tapi pada penelitian ini,
kebanyakan responden yang di curigai menderita sepsis neonatorum mempunyai
masa gestasi yang aterm (cukup bulan).
Enam puluh persen responden berusia <72 jam (3 hari), walaupun masih
terdapat 40% responden berusia > dari 72 jam (4 hari). Hal ini disebabkan bahwa
responden yang di bawa ke RS M Djamil berasal dari rujukan rumahsakit daerah
di seluruh Sumatera Barat seperti dari Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Kodya
Solok, dan dari tanah Datar.

Tabel 2. Manifestasi klinik tersangka sepsis neonatorum

Gejala Klinis Jumlah (N)


Ya Tidak
Sistem saraf pusat
Letargi 24 6
Reflek isap lemah 22 8
Kejang 3 27
Iritabel 12 18
Ubun – ubun membonjol 8 22
Sistem Kardiovaskular
Takikardi 14 16
Capillary Refill time >3’’ 28 2
Sklerema 27 3
Sistem respiratorik
Sianosis 28 2
Apnoe 3 27
Sistem Pencernaan
Tidak mau minum 26 4
Perut kembung 28 2
Muntah 24 6
Diare 0 30
Ikterus 21 9

Dari semua manifestasi klinis yang dijumpai pada responden tersangka


sepsis neonatorum maka keluhan utama masuk adalah bayi menderita sesak nafas
dan adanya sianosis serta tidak mau minum. Berdasarkan manifestasi klinik pada
pemeriksaan fisis di sistem saraf pusat, sebagian besar responden memperlihatkan
tanda –tanda letargi (not doing well) yang dapat diamati pada respon fisik bayi
yang sangat lemah. Pada saat pengujian reflek menghisap maka reflek hisap
responden lemah, walaupun insiden kejang yang menetap jarang dijumpai.
Keadaan irritabel dan pemeriksaan ubun – ubun pada pemeriksaan fisis pertama
juga masih dalam keadaan normal.
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskular, didapatkan data responden
tersangka sepsis mengalami takikardia dengan rata-rata denyut jantung responden
adalah 145x/menit. Namun pada pemeriksaan capillary refill time maka hasilnya
masih normal (>3 detik).
Pada sistem pencernaan, ditandai dengan adanya keluhan tidak mau
minum, perut kembung, muntah setelah pemberian minuman, dan adanya ikterus
(warna kuning pada kulit).
Dari hasil pemeriksaan fisis ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pada responden yang dicurigai sepsis neonatorum dijumpai kelainan pada sistem
saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernafasan dan sistem pencernaan.

Tabel 3. Kadar CRP saat diagnosis tersangka sepsis ditegakkan

Kadar CRP Jumlah (N) Presentase (%)

Normal (< 10 mg/ mm3) 12 40


Abnormal (>10 mg/ mm3 18 60

Setelah dilakukan pemeriksaan CRP, maka didapatkan data bahwa hanya


60% responden yang nilai CRPnya abnormal sedangkan yang normal (<10 mg/
mm3) sebanyak 40%. Hal ini mungkin disebabkan karena umur dari responden
dan kejadian inflamasi lebih dari 72 jam. Kadar CRP dalam plasma darah akan
meningkat dan dapat dideteksi 6–18 jam setelah terjadi respons inflamasi dan
akan mencapai maksimal dalam waktu 48 – 72 jam, dengan waktu paruh selama 5
– 7 jam (Lorenz, 1990), setelah itu kadar CRP kembali normal dalam 5 – 6 hari.
Selain itu, neonatus yang memiliki faktor risiko saat lahir, pemeriksaan CRP
sebagai penunjang diagnosis hanya berarti pada dua hari pertama. Setelah itu nilai
CRP menjadi tak bermakna karena dapat disebabkan oleh faktor lain seperti
tercemarnya alat perawatan bayi maupun infeksi nosokomial, atau perawatan tali
pusat yang tidak steril. Pada penelitian ini terdapat juga kasus perawatan tali
pusatn yang tidak steril sehingga akan mempengaruhi hasil dari CRP.
Tabel 4. Sebaran nilai leukosit tersangka sepsis neonatorum

Nilai Leukosit Jumlah (N) Presentase (%)

1. Normal 10 33
2. Abnormal 20 67

Setelah dicurigai bahwa responden menderita sepsis neonatorum maka


langsung dilaksanakan pemeriksaan darah tepi terutama kadar leukosit. Hasil
leukosit ini juga bervariasi. Pada pemeriksaan nilai leukosit yang normal
(<10.000/ mm3) sebesar 10 responden dengan nilai rata-rata berkisar 5900/ mm3,
sedangkan pada responden yang nilai leukositnya abnormal (>10.000 mm3)
terdapat pada 20 responden dengan nilai rata – rata leukositnya adalah 24.900/
mm3. Hasil penelitian mendekati teori bahwa jumlah leukosit total pada sepsis <
5000/mm3 atau lebih dari 20.000/mm3 setelah neonatus berusia 5 hari. Namun 1
dari 3 neonatus dengan bakteremia mempunyai jumlah leukosit total yang normal.

Tabel 5. Hubungan CRP dengan Leukosit pada tersangka sepsis neonatorum

Kadar CRP Leukosit Jumlah


Abnormal normal (N)

Normal (< 10 mg/ mm3) 5 7 12


Abnormal (>10 mg/ mm3 15 3 18

Jumlah 20 10 30

Berdasarkan tabel tersebut, maka didapatkan hasil bahwa nilai sensitifitas dari
kadar CRP dibandingkan leukositnya sebagai baku emas mempunyai nilai sebesar
25%. Untuk nilai spesifisitas nilai CRP dibandingkan leukosit sebagai baku
emasnya hanya mempunyai nilai 30%, nilai duga positif 42%, nilai duga negatif
17%, dan nilai akurasinya hanya 27%.
Hasil ini cukup mencengangkan karena nilai diatas rendah sekali
dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu. Penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa pemeriksaan CRP dapat dijadikan sebagai parameter
diagnostik untuk tersangka sepsis neonatorum seperti penelitian yang dilakukan
oleh Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas Hongkong mendapatkan
pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivitas 84% dan spesifisitas 96%, pada 68
orang bayi berat lahir sangat rendah sebagai pemeriksaan marker tunggal.
Kombinasi antara CRP dan IL–6 menunjukkan nilai sensifitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut meningkat menjadi 93%,
96%, 95% dan 95%. Sedangkan Chan & Ho (1993) melakukan penelitian dari Juli
1990 sampai April 1993 di Rumah sakit anak Osaka, Jepang mendapatkan nilai
sensitifitas, spesifisitas, prediksi positif dan negatif masing-masing 56%, 72%,
71% dan 57% pada 70 neonatus yang dirawat di ruang intensif dengan diagnosis
tersangka sepsis dengan faktor risiko.
Hasil penelitian yang dilakukan Chiesa et al. (2001) juga mengatakan
diperlukan pemeriksaan CRP terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai
faktor risiko pada 148 neonatus yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan
hasil yang bermakna dari pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada
kasus tersangka sepsis secara faktor risiko tersebut. Hasil yang hampir sama juga
didapatkan oleh Dilara (cit. Icagasioglu, 2002) di Bagian Kesehatan Anak, Turki
juga mendapatkan peningkatan yang bermakna dari pemeriksaan CRP dan IL–6
serum pada 30 neonatus tersangka sepsis dibanding subjek kontrol dengan
p>0.05.
Hasil pada penelitian ini hampir mendekati penelitian yang dilakukan oleh,
Anwer & Mustafa (2003) meneliti lima puluh neonatus yang memiliki faktor
risiko di bagian perawatan intensif Bagian Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi
Pakistan, didapatkan pemeriksaan CRP dengan sensitifitas diatas 60% dan
spesifisitas 50%, sedangkan untuk dapat membantu menegakkan diagnosis sepsis
neonatorum, CRP mempunyai nilai sensitivitas sebesar 84 dan spesifisitas 96%.
Hasil pemeriksaan CRP ini yang mempunyai nilai sensitifitas dan
spesifisitas yang rendah, dilakukan pada nonatus cukup umur dan kurang ketatnya
pengendalian pada faktor – faktor eksternal lain yang dapat mempengaruhi hasil
kadar CRP seperti masa iflamasi, infeksi nosokomial, dan lain – lain.

Tabel 6. Sebaran biakan bakteri tersangka sepsis neonatorum


Biakan Bakteri Jumlah (N) Presentase (%)

1. Positif 25 83
2. Negatif 5 17

Selain itu dilakukan juga dicoba juga pemeriksaan biakan bakteri yang
diyakini sebagai baku emas terhadap diagnosis sepsis neonatorum. Hasil biakan
darah didapatkan hasil bahwa biakan darah positif terdapat pada neonatus
tersangka sepsis neonatorum sebesar 25 neonatus (83%), sedangkan hasil biakan
darahnya yang negatif dari bakteri terdapat pada 5 orang (17%) responden
(neonatus).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
ditemukannya bakteri dalam biakan darah merupakan diagnosis pasti sekaligus
sebagai baku emas pemeriksaan penunjang pada kasus tersangka sepsis
neonatorum. Namun tumbuhnya bakteri pada biakan darah tergantung pada
spesies bakteri, kondisi biakan, jumlah inokulum dan pemberian antibiotik
sebelum biakan, dan memerlukan waktu yang lama minimal 72 jam dengan angka
positif yang relatif rendah.
Berbagai jenis mikroorganisme dapat mengakibatkan terjadinya sepsis
neonatorum. Infeksi yang disebabkan bakteri merupakan mikroorganisme yang
sangat penting pada penyebab sepsis neonatorum. Di antara mikroorganisme
tersebut yang terdapat dalam biakan darah yang dilakukan pada neonatus di
penelitian ini, penyebab terbanyak adalah Enterobacter sp, Pseudomonas
eoroginosa, E coli, dan Streptococcus.

Tabel 7. Hubungan CRP dengan biakan pada tersangka sepsis neonatorum

Kadar CRP Hasil Biakan (Baku emas) Jumlah


Positif Negatif (N)

Normal (< 10 mg/ mm3) 9 3 12


Abnormal (>10 mg/ mm3) 16 2 18

Jumlah 25 5 30
Untuk melihat kemungkinan CRP sebagai parameter diagnostik maka
dilakukan perbandingan CRP dengan baku emas lain yaitu hasil biakan darah.
Hasil perhitungan diatas juga memperlihatkan bahwa nilai spesifisitas dan
sesnsitifitas CRP rendah terhadap baku emasnya yaitu biakan darah, yang ditandai
dengan nilai sensitifitasnya 36%, nilai spesifisitasnya 40%, nilai duga positif
75%, nilai duga negatifnya 11%.

Kesimpulan
1. Pada responden (neonatus) tersangka sepsis neonatorum terdapat
manifestasi klinis yang terdapat pada sistem saraf pusat, sistem pernafasan,
sistem kardiovaskuler, dan sistem pencernaan.
2. Pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas 25% dan
30% dibandingkan baku emasnya yaitu leukosit
3. sedangkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitifitas dan spesifisitas
36% dan 340% dibandingkan baku emasnya yaitu biakan darah
4. Nilai pemeriksaan CRP tersebut masih dibawah standar untuk dapat
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum, yaitu nilai CRP
harus mempunyai nilai sensitifitas sebesar 84% dan spesifisitas 96%.
5. perlu penelitian lebih lanjut lagi untuk mempertimbangkan pemeriksaan
CRP sebagai parameter diagnostik tersangka sepsis neonatorum.

Daftar Pustaka
1. Anwer, S.K., Mustafa, S. 2003. Rapid Identification of Neonatal Sepsis.
JPMA Vol 50.
2. Chan, D.K.L, Ho, L.Y. Usefullness of C – Reactive Protein in the
Diagnosis of Neonatal Sepsis. SMJ. Diakses dari : http://www.sma.org
.sg/smj/3806/articles/3806a4.htm.
3. Chiesa, C., Signore, F., Asumma, M., Buffone, E., Tramontozi, P. 2001.
Serial Mesurements of C- Reactive Protein and Interleukin – 6 in the
Immediate Post Natal Periode: Reference Intervals and Analysis of
Maternal and Perinatal Confounders. Clin Chemist. 47 : 1016-1022
4. Hickey, S.M., McCracken, G.Jr. 1997. Post natal bacterial infections.
Dalam Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal – perinatal
medicine. Diseases of the fetus and infant. St Louis : Mosby Year Book,. h.
717 – 800.
5. Llorens, X.S., McCracken, G. 1993. Sepsis sindrome and septick shock in
pediatrics current concept of terminology patophysiology and
management. J Pediatrics. 123: 497 – 508
6. Ng, P.C., Cheng, S.H., Chui, K.M., Fok, T.F., 1997. Diagnosis of late onset
neonatal sepsis with cytokines, adhesion molecule, and C-reactive protein
in preterm very low birth infants. Arch Dis Child . 77 : F221 – F227
7. Pepys, M.B., 1981. C-reactive protein fifty years on. Lancet. 21 : 653 – 7
8. Schelonka, R.L., Infante A.J., 1998. Neonatal immunology. Semin
Perinatol. 22:2–14.
9. Yoder, M.C., Polin, R.A., 1997. Developmental immunology. Dalam :
Neonatal – perinatal medicine. Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Edisi
ke-6. St Louis: Mosby – year book. h. 685 – 800

https://ridwananalis.wordpress.com/2012/08/13/imunologi-dan-serologi/

UJI CRP

Tujuan : untuk mendeteksi adanya infeksi kerusakan jaringan, inflamasi

Metode : kualitatif

Prinsip : aglutinasi pasif terbalik dimana latex dilapisi antibodi CRP dan yang
dideteksi adalah antigen CRP dalam serum dengan kadar tinggi, aglutinasi terlihat
dalam waktu 2 menit

Alat Pemeriksaan : kaca obyek, transferpet + tip, pengaduk

Bahan : serum

Reagen : Latex (suspensi polysterin latex)

Cara Kerja : masukkan 50 mikroL serum dalam test slide, tambahkan satu tetes
suspensi, campurkan suspensi dengan cara digoyang. Putar test slide selama dua
menit lihat aglutinasi yang terjadi.
Interpretasi Hasil : hasil positif = aglitunasi kasar ; positif lemah = aglutinasi
halus ; hasil negatif = tidak ada aglutinasi

http://id.wikipedia.org/wiki/C-reactive_protein

C-reactive protein (CRP) adalah suatu protein yang dihasilkan oleh hati,
terutama saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh. Namun, berhubung
protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak organ yang mengalami
infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui.[1] Pemeriksaan CRP juga telah
dikembangkan menjadi high-sensitivity CRP sehingga dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya penyakit jantung di masa depan.[2][3] Pada pasien penderita
penyakit autoimunitas, CRP juga dapat dihasilkan tubuh dalam jumlah besar,
contohnya pada penderita rheumatoid arthritis, lupus, atau vasculitis.[1]

Sejarah

CRP ditemukan oleh William S. Tillett (1892-1974) dan Thomas Francis, Jr.
(1900-1969) pada tahun 1930 di laboratorium milik Oswald T. Avery (1877-
1955). Ketika itu, kedua peneliti tersebut sedang mengadakan studi klinis dan
laboratorium untuk mengembangkan terapi bagi infeksi pneumococcal
pneumonia. Mereka menemukan suatu antigen baru yang disebut Fraksi C dan
melanjutkannya dengan pemeriksaan imunologi terhadap pasien penderita infeksi
pneumonia. Tilett dan Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat
terhadap pasien yang berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, namun
setelah pasien sembuh maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam
percobaan lanjutan, ternyata Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien
penderita penyakit atau inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam rematik
akut.[4]

Beberapa tahun kemudian, Avery, Theodore J. Abernethy, dan Colin MacLeod


(1909-1972) mempublikasikan senyawa yang disebut C-reactive protein dan
menjelaskan sifat dari protein tersebut. Maclyn McCarty (1911-2005) berhasil
mengkristalisasi CRP pada tahun 1947 dan bersama dengan rekannya mulai
menggunakan pengukuran CRP untuk mempelajari tahapan perkembangan
penyakit demam rematik. Saat penelitian mengenai CRP makin berkembang,
Schieffelin & Co, suatu perusahaan di New York mulai memproduksi CRP secara
komersial untuk keperluan pemeriksaan medis.[4]

Pada tahun 1990, para peneliti membuktikan bahwa inflamasi berperan terhadap
perkembangan aterosklerosis sehingga CRP dapat digunakan untuk penilaian
risiko (prediksi) penyakit jantung atau kardiovaskular. Penelitian juga
menunjukkan adanya kemungkinan CRP berperan di dalam perkembangan
penyakit tersebut sehingga saat ini mulai dikembangkan obat yang dapat
menurunkan kadar CRP di dalam tubuh.[4]
Manfaat

Pengukuran kadar CRP sering digunakan untuk memantau keadaan pasien setelah
operasi. Pada umumnya, konsentrasi CRP akan mulai meningkat pada 4-6 jam
setelah operasi dan mencapai kadar tertinggi pada 48-72 jam setelah operasi.
Kadar CRP akan kembali normal setelah 7 hari pasca-operasi. Namun, bila setelah
operasi terjadi inflamasi atau sepsis maka kadar CRP di dalam darah akan terus
menerus meningkat.[5]

Pada kondisi terinfeksi aktif, kadar CRP di dalam tubuh dapat meningkat hingga
100x kadar CRP pada orang normal sehingga pengukuran CRP sering digunakan
untuk mengetahui apakah pasien dalam kondisi terinfeksi atau mengalami
inflamasi tertentu. Pada saat terjadi infeksi bakteri atau inflamasi, leukosit akan
teraktivasi kemudian melepaskan sitokin ke aliran darah. Sitokin akan
merangsang sel-sel hati (hepatosit) untuk memproduksi CRP.[5]

Pada tahun 2003, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the
American Heart Association (AHA) merekomendasi penggunaan hsCRP untuk
memprediksi risiko penyakit kardiovaskular terutama untuk pasien penderita
sindrom koroner akut dan penyakit koroner stabil. Nilai yang dijadikan acuan
untuk penilaian risiko penyakit kardiovaskular tersebut adalah :

 < 1 mg/L : risiko rendah


 1-3 mg/L : risiko menengah (intermediate)
 > 3 mg/L : risiko tinggi
 > 10 mg/L mengindikasikan adanya inflamasi atau infeksi aktif

Penanganan bayi dengan sepsis

Anda mungkin juga menyukai