Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis
ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini telah penulis susun semaksimal mungkin, dengan bantuan pihak-pihak
yang terkait dalam penulisan makalah ini. Serta kami ucapkan terimakasih kepada Dosen
Pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan baik dari penulisan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis masih
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar penulis dapat meningkat kan lagi tata
cara penulisan makalah untuk tugas selanjutnya.

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat memenuhi tugas
yang telah di berikan serta menambah wawasan bagi para pembacanya.

Petaling, 09 september 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abu Bakar di perkirakan lahir pada tahun 573 M. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
bin Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Mashud bin Taim bin Murah bin
Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Tamimi, ayah dan ibunya sama-sama
berasal dari kabilah Bani Taim.

Panggilan Abu Bakar sebebelum memeluk islam adalah Abdul Ka’bah, hamba Ka’bah.
Setelah memeluk islam, rasulullah kemudian mengubah panggilan itu menjadi Abdullah,
hamba Allah. Rasulullah juga memberikan gelar ash-Shiddiq, yang berkata benar, kepada
Abu Bakar karena dia percaya 100% pada peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah. Gelar itulah yang
di kenal sampai sekarang sehingga di panggil dengan nama Abu-Bakar ash-Shiddiq.

Pada masa pemerintahannya abu-bakar mendapat banyak tantangan. Hal itu di


karenakan umur pemerintahan islam masih sangat muda. Selain itu suku-suku yang masuk
agama islam pada zaman nabi Muhammad hidup ada yang kembali murtad. Mereka masuk
islam hanya karena kepentingan politik. Selain itu muncul pula nabi palsu, mulai
bermunculan orang-orang yang mengaku sebagai nabi Allah.

Umar ibn Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdl Uzza
bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay. Pada masa Umar
system administrasi pemerintahan di atur wilayah kekuasaan yang luas dapat rapi dan
sistematis agar wilayah kekuasaan yang luas dapat berjalan dengan baik.

B. Rumusan Masalah

1. Ahl al-Hall wa al-Aqd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
2. Riddah (murtad) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
3. Bagaimana perkembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan politik pada masa
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?

3
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Ahl al-Hall wa al-Aqd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan
Umar bin Khattab?
2. Untuk mengetahui Riddah (murtad) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
Khattab?
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan
politik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ahl al-Hall wa al-Aqd

a. Dari segi bahasa bahasa


Pengertian Ahl al Hall Wal Aqdi Menurut bahasa adalah orang-orang yang
melepas dan mengikat”atau’’orang-orang yang dapat memutuskan dan mengikat.1
b. Dari segi terminology
Ditinjau dari segi Terminologi, Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd banyak terjadi
perbedaan pendapat seperti uraian berikut :
1. Menurut Abd Al Hamid Anshori bahwa Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd ialah orang-
orang yang berwenang untuk merumuskan serta memutuskan suatu kebijakan
dalam pemerintahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah.
2. Imam al-Mawardi mengemukakan pandangan bahwa dalam kajian fiqih
siyasah terdapat kesamaan anatara majelis syuro, ahl-al-hall wa al-‘aqd , ahlul
jihad dan ahlul ak-ikhtiyar. Konsep ahl-al-hall wa al-‘aqd telah populer
semasa pemerintahan Khulafaurrasyidin (pada masa Rasulullah), dan bahkan
sebelumnya yaitu zaman Rasulullah Saw hanya ide konsep itu mengemuka
pada masa kepemimpinan Umar, yaitu orang-orang yang bertindak sebagai
wakil umat untuk menyuarakan gagasan mereka.2
3. Abu A’la al Maududi menyebutkan Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd sebagai lembaga
penengah dan pemberi fatwa, juga menyebut sebagai lembaga legislative.3
4. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Ahl Halli Wa al ‘Aqd adalah para ulama, para
kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang
berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.4
5. Menurut Muhammad Abduh, menyamakan Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd dengan
ulil amr yaitu kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian di
tengah masyarakat, mereka adalah orang-orang yang mempunyai kapabilitas
yang telah teruji. Sehingga Uli al-Amr tersebut adalah adalah golongan Ahl-
Al-Hall Wa Al-‘Aqd dari kalangan muslim yang kredibilitasnya tinggi.

1
J. Sayuti Pulungan, op.cit h. 186.
2
Al –Mawardi, Al –Ahkam Al Sulthaniyyah, op.cit, h. 74.
3
Abul A’la Maududi, Sayyid, The Islamic Law And Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1997), h. 257 .
4
Muhammad Al Razi Fakh al Din Bin Dhiya al Din Umar, Tafsir Fakhr Raz, op.cit,. h 70.

5
Mereka adalah para amir, hakim, ulama’, militer dan semua pemimpin yang
dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan publik.5
6. Rasyid Ridha juga berpendapat ulil amri adalah Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd. Ia
menyatakan “kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut Ahl al-Hall Wa al-
‘Aqd adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari umat yang terdiri dari
para ulama, para pemimpin militer, para pemimpin pekerja untuk
kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para pemimpin
perusahaan, para pemimpin partai politik dan para tokoh wartawan.6
7. Al-Maraghi memiliki pendapat yang sama seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Dilihat dari berbagai pengertian yang dikemukakan mengenai Ahl-Al-Hall Wa Al-


‘Aqd oleh pakar muslim diatas, secara tersirat menguraikan Ahl-Al-Hall Wa Al-‘Aqd
adalah orang-orang yang representif dari berbagai kelompok sosial, memiliki profesi
dan keahlian berbeda baik dari birokrat pemerintahan maupun lainnya. Walaupun
tidak ada kejelasan apakah dipilih oleh rakyat atau langsung ditunjuk oleh kepala
pemerintahan. Dengan demikian Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi merupakan sarana yang
digunakan rakyat melalui wakil rakyatnya untuk memicarakan masalah– masalah
kenegaraan dan kemaslahatan rakyat.7
Jadi dapat dikatakan bahwa Ahl-Al-Hall Wa Al- ‘Aqd merupakan suatu lembaga
pemilih. Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil- wakil rakyat, dan salah satu
tugasnya memeilih khalifah atau kepala negara. Ini menunjukkan bahwa sistem
pemilihan khalifah dalam perspektif pemikiran ulama fikih, dan kecenderungan umat
Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak langsung atau melalui
perwakilan. Ini dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang
personal-personalnya merupakan wakil- wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam
pemilu, dan salah satu tugasnya adalah memilih presiden (sebagai kepala negara atau

5
Ibid.
6
Muhammad Rasid Ridho, Tafsir Al Manar, op.cit,. h. 181.
7
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, op.cit. h. 138.

6
kepala pemerintahan). Namun dalam beberapa segi lain, antara Ahl-Al-Hall Wa Al-
‘Aqd dan MPR tidak identik.8
Dengan demikian Ahl-Al-Hall Wa Al-‘Aqd dapat dikatakan dalam
pengaplikasiannya di negara Indonesia yaitu lembaga legislatif, yaitu lembaga
pembuat undang-undang.9 Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, sehingga
lembaga ini di sebut juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebutan lain yang sering
di pakai dalam parlemen. Menurut teori yang berlaku, maka rakyatlah yang berdaulat,
rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan. (oleh Rousseau di sebut volente
generate atau general will). Keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan
maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat.10

A. Dasar Hukum Ahl al Hall Wal Aqdi.


Secara eksplisit dalil tentang Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi, tidak terdapat dalam al-
Qur’an dan al-Hadis, namun sebutan tersebut hanya ada dalam turas fiqih di bidang
politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial, dari dasar- dasar yang
menyeluruh, maka dasar sebutan di qiaskan dengan istilah Uli al Amri.
Seperti dalam firman Allah SWT surah An Nisa’ Ayat 59 :11 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.11
Yang juga dalam firman Allah SWT surat An Nisa’ Ayat 83 yang artinya: “Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.12

8
Ibid., h 68.
9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Prima Grafika, 2012), h. 315.
10
Ibid.
11
9 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahanya, h. 128.
12
Ibid., h.132.

7
Ahl al-Halli Wa al-’Aqd juga disebut dengan “umat” dalam firman Allah dalam
surat Ali Imran Ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”.13
Dan juga dalam firman Allah SWT, Surat An Nisa’ Ayat 58 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat”.14
Ulil Amri boleh ditaati hanya dalam batas-batas yang telah diatur oleh Allah Swt.
Para ahli hukum islam serta para ahli ijtihad juga telah sepakat pula bahwa taat itu
tidak wajib, melainkan dalam hal yang telah diperintahkan oleh Allah. Mereka
sepakat tentang tidak boleh taat kepada makhluk dalam masalah-masalah yang
mendurhakai Khaliq.
Jika Ulil Amri membolehkan sesuatu yang haram, seperti zina dan minuman keras,
dan menganggap boleh melanggar batas-batas larangan Allah, serta menganggap
hukum islam itu ketinggalan zaman, dan mengadakan peraturan-peraturan yang tidak
diizinkan oleh Allah, maka kaum muslimin wajib untuk tidak mematuhi perintah Ulil
Amri tersebut.
Dengan demikian, Ahl al-Halli Wa al-’Aqd dalam Al Quran adalah bagian dari Uli
al Amri yaitu sebagai lembaga legislatif.

B. Sejarah Ahl Al Hall Wal Aqdi


Era pertama dalam sejarah Islam, yaitu dimulai semenjak Rasulullah SAW
memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT, hingga
meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian"

13
Ibid., h.192.
14
Ibid., h.128.

8
atau "wahyu"15. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-
era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan
dengan amat sempurna. Kepemimpinan Rasulullah SAW, yang bersifat demokratis
terlihat pada kecendrungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika
menghadapi masalah yang belum ada wahyunya dari Allah SWT.16
Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah SAW, tidak menunjuk seorangpun
sebagai pengganti beliau memimpin pemerintahan Islam setelah beliau wafat. Juga
tidak memberi gambaran-gambaran kriteria apa yang harus digunakan untuk memilih
penggantinya itu. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas ini, dan dengan
mengambil dasar pada perintah al-Qur’an atas segala urusan umat diputuskan secara
musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal
Rasulullah SAW seleksi dan penunjukkan kepala negara Islam telah diserahkan
kepada kehendak pemilihan dari kaum muslim yang harus dilaksanakan sejalan
dengan jiwa perintah al-Qur’an tersebut.17

Jadi setelah Rosulullah meninggal diadakan musyawarah untuk menentukan


khalifah selanjutnya. Hal ini terus berlangsung ketika era khulafur rasyidin.
Dengan mengkaji hal diatas, inilah yang diakui sebagai konvensi di zaman
kekhalifahan mengenai pemilihan kepala negara Islam. Dan inilah juga yang
merupakan rangkuman dari tindakan kolektif para sahabat untuk masalah yang sangat
penting. Sebagian besar hal tersebut di dasarkan kepada acuannya Nabi untuk
menunjuk pengganti beliau dan berdasarkan perintah al-Qur’an bahwa semua
keputusan penting yang menyangkut kepentingan orang banyak haruslah diambil
secara musyawarah.18 Musyawarah, sebagai bagian dari mabda syura, merupakan
pangkal utama mekanisme pengambilan keputusan di masjlis syura. Para anggota
majlis syura yang oleh para pemikir politik Islam disebut Ahl al Hall Wa al Aqd.
Tinjauan tentang Ahl al-Hall Wa al-‘Aqd seperti beberapa kejadian di atas,
meyaksikan bahwa Syura merupakan fenomena yang menonjol terutama dalam
periode kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Tetapi menurut Pulungan dalam bukunya,
Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran; pada masa Khulafaur Rasyidin polanya

15
Farid Abdul Kholiq, Fikih Politik Islam, op.cit,. h. 78
16
Abul A’la Maududi, Sayyid, The Islamic Law And Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1997), h. 257
17
5 Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al Madzahib Al Islamiyat fi al Siyasat wa al Aqidah (Dar al Fikr Al Arab:
Bairut, t.t), h. 91
18
Ibid,. h. 239.

9
tidak jauh dari masa Nabi. Golongan Ahl al-Hall Wa al-‘Aqd adalah para pemuka
sahabat yang sering di ajak bermusyawarah oleh khalifah yang empat. Hanya pada
masa Umar, terbentuk “Team Formatur” yang beranggotakan enam orang untuk
memilih khalifah setelah ia wafat. ‘Ulama fikih menyebut anggota formatur tersebut
sebagai Ahl al- Hall wa al-‘Aqd.19
Musyawarah yang merupakan titik sentral kelegislatifan Islam bukan sekedar
keharusan normatif, melainkan juga keharusan teologis. Melakukan musyawarah
secara normatif wajib dalam Al Quran serta dicontohkan Rasulullah SAW, dan
Khulafa Rasyidin. Hal itu tidak dipisahkan dari doktrin teologi Islam. Akan tetapi,
dalam tatanan operasional, kelembagaan dan fungsinya mengalami pasang surut. Oleh
karena itu musyawarah harus dirumuskan ulang baik secara konsepsional maupun
praktikal –institisionalnya.

C. Syarat dan Mekanisme Pengangkatan Ahl al Hall Wal Aqdi


Mekanisme pengangkatan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi secara jelas tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Hadis, tetapi Nabi SAW pernah mencontohkan pemilihan yang
demokratis. Peristiwa tersebut ketika nabi meminta kepada suku Aus dan Khazrad
untuk menentukan tokoh-tokoh yang mewakili mereka. Kemudian terjadilah
pemilihan yang akhirnya memilih wakil masing-masing tiga dari suku Aus dan
sembilan dari suku Khazraj. Dari peristiwa pemilu pertama tersebut nantinya akan
menentukan bagaimana cara pemilihan Ahl al-Halli wa al- ’Aqdi. Anggota Ahl al-
Halli Wa al-’Aqdi adalah para ulama, para ahli dan tokoh yang dianggap mumpuni.20
Tidak semua umat memenuhi kriteria sebagai anggota Ahl al-Hall wa Al-’Aqdi. Al-
Mawardi merumuskan syarat-syarat legal yang harus dimiliki oleh Ahl al-Halli Wa al-
’Aqdi yaitu :
a. Adil dengan segala syarat-syaratnya.
b. Berilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi
Khalifah sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.

19
J Suyuti Pulungan, op.cit. h. 110.
20
Ibid,. h.70.

10
c. Memiliki wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa
yang paling tepat dan paling efektif menjadi Khalifah, serta paling ahli dalam
mengelola semua kepentingan demi kemaslahatan rakyat.21

Al-Ghazali menerangkan bahwa salah seorang dari kalangan Ahl Al Hall Wa Al-
‘Aqd yang bay’ahnya untuk Imam dapat dianggap mengikat, adalah orang- orang
yang berwewenang (syawkah) dan memperoleh banyak dukungan dari rakyat. 22
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat, yaitu :
a. Memiliki Ilmu Pengetahuan.
b. Adil
c. Mampu melaksanakan tugas, termasuk kearifan.
d. Sehat jasmani dalam arti panca inderanya dan anggota badan lainnya.23
Dengan persyaratan ini diharapkan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi dapat menentukan
siapa diantara calon Khalifah yang benar-benar pantas menjadi Khalifah dan mampu
memegang amanah itu untuk mengelola urusan negara dan rakyat.

D. Fungsi, Tugas dan Wewenang Ahl Al Hall Wal Aqdi


Lembaga Legislatif dalam suatu Negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus
dilakukannya :
1. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Allah SWT, dan Rasulullah SAW,
meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka hanya
legislatiflah yang akan kompeten untuk menegakkannya dalam susunan dan
bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi yang relevan serta
rincian-rincian untuk mengundangkannya.
2. Jika pedoman-pedoman Al-Qur’an dan Al-Sunnah mempunyai kemungkinan
interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan penafsiran
mana yang harus ditempatkan dalam kitab undang-Undang Dasar.
3. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al-sunnah, fungsi lembaga
legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan
masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam. Dan jika

21
A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah,( Jakarta:
Kencana, 2003), h. 76.
22
Ibid.
23
Ibid.

11
sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam
kitab-kitab fikih, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya.
4. Jika dalam masalah apapun Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak memberikan pedoman
yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi Al-
Khulafa’ Al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah
memberikan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa
yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini, lembaga legislatif dapat
merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
semangat syari’ah. Prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang tidak
diharamkan itu halal hukumnya. Sebaliknya, Al-Mawardi juga menyebutkan
bahwa fungsi Ahl al-Ikhtiyar adalah “mengidentifikasikan orang yang diangkat”
sebagai Imam.24
Tugas Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah sebagai berikut :
1. Tugas untuk mengangkat dan memilih khalifah.
2. Tugas untuk memecat dan memberhentikan khalifah.
3. Tugas untuk membuat undang-undang.25

Dengan adanya tugas tersebut di atas, maka wewenang dari Ahl Al-Hall Wa Al-
‘Aqd Adalah Sebagai Berikut:
1. Memberikan masukan kepada khalifah dalam berbagai aktifitas dan masalah
praktis, semisal masalah pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perdagangan, industri, pertanian, dalam hal ini pendapatnya bersifat mengikat.
2. Mengenai masalah pemikiran yang memerlukan penelitian dan analisa, serta
masalah kedisiplinan, finansial, pasukan, politik luar negeri, khalifah berhak
merujuk pada pandangan majelis umat, namun dalam hal ini pandangan Majelis
Umat tidak mengikat.
3. Khalifah berhak menyodorkan undang-undang atau hukum yang hendak di adopsi
kepada Majelis, Majelis berhak memberikan saran atau masukan serta menilai dan
mengevaluasinya meskipun tidak bersifat mengikat.
4. Majelis mempunyai hak untuk mengoreksi tindakan riil yang dilakukan oleh
khalifah. Dalam hal ini, koreksi majelis dapat bersifat mengikat manakala dalam

24
Al Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyah, op.cit., h.7.
25
J Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, op.cit,.h. 66. Lihat juga Abdul Qadir
Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 191.

12
Majelis terdapat konsensus. Namun sebaliknya, koreksi tersebut tidak bersifat
mengikat manakala didalam majelis belu atau tidak terjadinya konsensus. Jika
diantara Majelis dan khalifah terjadi silang pendapat dalam masalah yang riil
berdasarkan hukum syara’, maka dalam kondisi yang seperti nantinya keputusan
yang dihasilkan bersifat mengikat.
5. Majelis berhak menampakkan ketidak sukaannya terhadap para mu’awim, dan
amil. Karena keputusan Majelis dalam hal ini bersifat mengikat, maka khalifah
harus segera memberhentikan mereka dan menggantinya dengan yang baru.
6. Majelis juga berhak membatasi kandidat calon khalifah sebagai wujud dari suksesi
kekuasaan atau pemerintahan.
7. Majelis memiliki hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada
khalifah mengenai kebijakan-kebijakan strategis yang berkenaan dengan
kemaslahatan umat dan pertimbangan syara’. Hak angket, yaitu Majelis berhak
melakukan penyeledikan terhadap berbagai kebijakan khalifah yang dirasa
bertentangan hukum syara’, meskipun dalam hal ini keputusan Majelis tidak
bersifat mengikat karena hal itu merupakan hak prerogatif Wilayatul Madzalim.
Selain itu Majelis juga punya hak untuk menyatakan pendapat.26 Ada juga yang
berpendapat bahwa Ahl-Al-Hall Wa Al-‘Aqd mempunyai wewenang untuk
mengikat dan mengurai, atau itulah yang disebut juga “Ahl al- Ikhtiyar”.27
Dalam literatur yang berbeda disebutkan bahwa wewenang Ahl Al Hall Wa Al-
‘Aqd sebagai berikut:28
1. Pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan
mem-bai’at imam.
2. Mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Membuat Undang-undang yang mengikat kepada seluruh di dalam hal-hal yang
tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Al- Hadist.
4. Tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
5. Mengawasi jalannya pemerintahan.

26
Munawir Sadjali, Islam Dan Tata Negara, op.cit,. h. 64.
27
Ibid,. h. 65.
28
A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah, op.cit,. h.76-77

13
B. Riddah

Riddah secara bahasa adalah keluar, yakni seorang muslim yang keluar dari
keislamannya menuju kekafiran, orang yang keluar tersebut dalam islam di sebut murtad.

Allah swt berfirman :

“dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh) maka kamu
menjadi orang yang merugi)”

Dan riddah secara istilah adalah keluar dari islam atau lepas dari islam, kedua kata ini
bermakna satu yaitu ar-riddah.

Pada awal pemerintahan abu bakar as-siddiq telah terjadi peristiwa riddah secara besar-
besaran yang mengguncangkan stabilitas dan eksistensi Negara islam yang telah di bangun
rasulullah saw. Abu bakar terpaksa memadamkan pembangkangan itu dengan kekerasan yang
dalam sejarah islam, di kenal dengan sebutan perang riddah. Peristiwa riddah pada masa abu
bakar inilah yan menjadi pijakan pemberlakuan segala macam konsekuensi hukuman bagi
para orang murtad. Para ulama selalu mencontohkan apa yang terjadi pada masa abu bakar
mengenai riddah sebagai bukti sejarah awal pemberlakuan hukum riddah. Namun, di era
modern ini, doktrin ini mengandung problem untuk bisa di terapkan. Masyarakat modern
akan menentangnya. Mereka beranggapan bahwa urusan pribadi termasuk dalam hak asasi
setiap manusia. Siapapun termasuk doktrin agama tidaklah boleh karena melanggar hak asasi
manusia.

Wafatnya nabi mengakibatkan hengkangnya beberapa orang arab dari ikatan islam.
Mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan dukungan terhadap khalifah baru
dan bahkan menentang agama islam. Karena mereka beranggapan perjanjian yang telah di
buat sudah hilang akibat meninggalnya rasulullah.29

29
Menurut pendapat Hasnani Siri, Jurnal Pemikiran Islam, vol.3 no. 1, 2017. mengutip pendapat pada buku Ali
Mufrudi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.46.

14
Selain dari pengingkaran komitmen dan perjajian mereka dengan nabi, masih ada hal
yang secara historis dapat di anggap sebagai penyebab kemurtadan, yaitu pada waktu nabi
wafat, agama islam belum mendalam meresapi sanubari penduduk jazirah arab. 30 Di antara
mereka ada yang telah menyatakan masuk islam, tetapi belum mempelajari agama islam itu.
Jadi mereka tidak pernah menerima keislaman sebagai refleksi keimanan. Ada yang mengaku
islam tetapi sebagai kedok melindungi diri dari peperangan melawan kaum muslim. Bahkan
ada yang masuk islam hanya karena ingin mendapatkan harta rampasan, nama dan
kedudukan.31

Selain masalah kemurtadan muncul pula masalah yang sebenarnya bukan masalah baru,
akan tetapi masalah ini sudah ada ketika zaman nabi. Yaitu orang-orang yang mengaku
dirinya nabi mereka mengira kepemimpinan setelah nabi adalah kepemimpinan yang lemah
maka mereka bermunculan sebagai nabi-nabi palsu. Orang-orang yang mengaku dirinya nabi
di antaranya ialah Muzailimatul Kazzab dari bani hanifah di Al-yamamah, Al Aswad Al Ansi
di Yaman, Thulailah Ibnu Khuwalid dari bani Asad.32

Fenomena ini menjadi bumerang terhadap kekhalifahan abu bakar. Eksistensi nabi-nabi
palsu ini sangat mempenaruhi keadaan politik saat itu. Dimana sebagian orang murtad
berkiblat dan berkualisi dengan menyatukan kekuatan untuk menyerang kekhalifahan Abu
Bakar. Mereka beranggapan mampu menandingi kewibawaan Nabi Muhammad SAW.

Para nabi-nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang islam dengan
membebaskan prinsip-prinsip moralitas dan upacara keagamaan seperti, membolehkan
minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga, puasa ramadhan
di hapus, pengubahan membayar zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan
dalam perkawinan. Dalam penyebarannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha menguasai
dan mempengaruhi masyarakat islam, dengan mengerahkan pasukannya untuk masuk ke
daerah-daerah, diantaranya : Oman Mahara dan Hadramaut.

30
A. Syalabi, sejarah kebudayaan islam, jilid 1(Jakarta : PT Al-Husna Zikra, 1997), hal.227.
31
Hasnani Siri, Jurnal Pemikiran Islam, vol.,3, no.1, juli 2017.
32
A. Syalabi, op.cit., hal.231

15
Namun Abu Bakar tidak tinggal diam, Abu Bakar menginstruksikan agar mereka
kembali pada islam, jika menolak maka mereka harus perangi. Beberapa dari suku tunduk
tanpa peperangan, sementar yang lainnya tidak mau menyerah dan mengobarkan api
peperangan. Oleh karena itu pecahlah mereka Khalid bin Walid di beri tugas untuk
menundukkan Thulaihah dalam perang Buzaka, berhasil dan kembali pada islam . Sedangkan
Musailamah seorang penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan
Surabil. Namun mereka gagal, kemudian Abu Bakar mengutus Khalid untuk melawan nabi
palsu dari yaman itu, dalam pertempuran Khalid berhasil menghancurkan pasukan
Musailamah dan membunuh dalam taman yang berdinding tinggi yang di sebut “taman
maut”.33

33
Maulana Muhammad ali ,Early Caliphate (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007) hlm. 32

16
C. Pengembangan Islam Sebagai Kedaulatan Dan Politik Islam

1. Proses pengangkatan Abu Bakar ra. Sebagai Khalifah

Abu Bakar menjadi khalifah sejak 11-13 Hijriyah / 632-634M. Proses


pengangkatan Abu Bakar Ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah
Rasulullah wafat, kaum muslimin di Madinah, berusaha untuk mencari penggantinya.
Ketika kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi
perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya
tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar mencalonkan Said bin
Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti Nabi. Dalam
kondisi tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin
Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulah tersebut.34

Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit,
maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang
diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti
yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beeserta pengikutnya yang hadir dalam
pertemuan tersebut.35

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan


betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat
itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem
senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun-temurun.

Masa pemerintahannya sangatlah singkat. Walaupun berjangka pendek, masa


pemerintahannya penuh dengan perbuatan-perbuatan dan aksi-aksi yang agung. Di
antaranya sebagai berikut :

a. Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zaid Sesuai dengan Pesan Rasulullah

Banyak sahabat yang mengusulkan agar Abu Bakar membatalkan


pemberangkatan pasukan Usamah ini. Karena terjadi banyak tindakan murtad
dari penduduk Arab dan kemungkinan adanya bahaya yang mengancam

34
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran 21-23
35
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX

17
Madinah. Namun, Abu Bakar tetap dengan pendiriannya sesuai dengan
perintah Rasulullah, apapun yang akan terjadi.

Hal ini dilakukan Abu Bakar sebagai usaha untuk menampakkan kepada
semua pihak bahwa kekuatan Islam masih tetap kokoh dan sulit dikalahkan
baik secara material maupun spiritual. Ternyata passukan ini memetik
kemenangan yang sangat gemilang. Kemenangan ini telah membuat banyak
orang kokoh berperang pada agama islam.

a. Perang Melawan Orang-orang Murtad

Setelah Rasulullah wafat, seluruh Jazirah Arab murtad dari agama Islam
kecuali Makkah, Madinah, dan Thaif. Sebagian orang murtad ini kembali
kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai
Nabi, sebagian yang lain hanya tidak mau membayar zakat.36

Abu Bakar membentuk sebelas kelompok tentara untuk memerangi orang-


orang yang murtad dari Islam. Abu Bakar memilih sahabat-sahabat senior
untuk memimpin pasukan itu. Misalnya Khalid bin Walid yang bertugas
memerangi Tulaihah bin Khuwailid yang mengaku Nabi palsu dan
pemberontakan di Battah Arab Selatan yang dipimpin Malik bin Nuwairah.
Khalid berhasil menaklukkan mereka.37

b. Perang Yamamah (11H/632M)

Setelah itu pasukan melanjutkan perjalanan ke Bani Hanifah di Yamamah.


Yang diutus oleh Abu Bakar adalah Ikrimah bin Abu Jahal yang Bertugas
memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku sebagai Nabi dari Bani
Hanifah yang terletak di pesisir pantai timur arab.38

Terjadi sebuah pertempuran sangat sengit yang akhirnya dimenangkan


oleh kaum muslimin dan Musailamah terbunuh. Akhirnya, penduduk di tempat
itu bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Pada perang ini sejumlah sahabat
mati syahid. Diantaranya adalah para penghafat Al-Qur’an. Inilah yang

36
Al-‘Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, h 145-146.
37
Istianah Abu Bakar, Sejarah peradaban Islam, h 35.
38
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h 35.

18
membuat Abu Bakar mengambil inisiatif untuk menghimpun Al-Qur’an dalam
satu mushaf.

Abu Bakar mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Huzaifah bin


Muhsun al-Galfani, mengamankan daerah Daba karena pemimpinnya
mengaku sebagai Nabi. Arjafah bin Harsamah, mengembalikan Stabilitas
daerah Oman dan Muhrah.

Setelah itu Najran, Hadramaut, dan Yaman berhasil ditundukkan.


Ditempat itu ada Aswad al-‘Ansi yang mengaku sebagai Nabi. Diantara
komandan perangnya yang termahsyur adalah Al-Muhajir bin Abi Umayyah
dan Ikrimah bin Abu Jahal. Abu Bakar mengirim Ala’al-Hahrami ke Bahrain.
Akhirnya, penguasa Bahrain tunduk dan menyerah. Setelah itu beberapa
wilayah juga tunduk kembali ke passukan Islam baik melalui peperangan
maupun tanpa peperangan. Dengan demikian, Jazirah Arab kembali stabil dan
tunduk berada dibawah naungan islam.

c. Penaklukan Islam

Musuh pemerintahan Islam pada saat itu adalah Persia dan Romawi.
Keduanya adalah kekaisaran terbesar pada masa itu. Keduanya selalu terlibat
sengketa yang sengit. Kondisi inilah yang memudahkan jihad kaum muslimin.
Mereka menyerbu kedua kekaisaran itu pada saat yang bersamaan.

Tentara Islam dibawah pimpinan Musanna dan Khalid ibn Walid di kirim
ke Irak dan menaklukan Hirah (sebuah kerajaan setengah Arab yang
menyatakan kesetiaannya kepada Kisra Persia), yang secara strategis sangat
penting bagi umat Islam dalam meneruskan penyebaran agama ke wilayah-
wilayah di belahan utara dan timur. Sedangkan ke Suriah, suatu Negara di
Utara Arab yang dikuasai Romawi Timur (Byzantium), Abu Bakar mengutus
empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sofyan, Amr ibn As, dan
Syurahbil. Ekspedisi ke Suria ini memang sangat besar. Artinya dalam
konstalasi terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi Timur. Dengan
bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya Nabi,
impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama Islam
hidup kembali. Mereka menyokong sepenuhnyya pergolakan itu serta

19
melindungi orang-orang yang berani berbuat makar terhadap pemerintahan
Madinah.

d. Permulaan Perang Yarmuk (13H/634M)

Khalifah Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid agar segera


berangkat bersama-sama pasukannya untuk menuju Syam dan menjadi
panglima perang di sana. Khalid pun segera melakukan apa yang
diperintahkan khalifah. Maka, mulailah Khalid melakukan perjalanan historis
dengan menembus padang sahara yang sebelumnya belum pernah dia lalui.

Khalid baru sampai di Syam setelah melakukan perjalanan panjang selama


18 hari. Maka, bergabunglah kaum muslimin hingga mencapai 26.000
personil. Dia kemudian mengatur pasukannya dan membaginya dalam
beberapa divisi. Pertempuran ini terjadi disebuah pinggiran sungai Yordania
yang disebut Yarmuk. Maka, berkecamuklah perang dengan sangat sengitnya.
Pada saat perang sedang berkecamuk dengan sengitnya, datang kabar bahwa
khalifah Abu Bakar meninggal dunia dan Umar menjadi penggantinya. Khalid
diturunkan dari posisinya sebagai panglima dan segera diganti oleh Abu
Ubaidah ibnul-Jarrah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir Tahun 13
H/634 M.

Satu hal yang perlu dicatat dari peristiwa diatas yang mengundang decak
kagum dan rasa kebanggaan adalah sikap Khalid bin Walid. Tatkala dia
dinyatakan diturunkan dari posisinya sebagai panglima perang, dia
menerimanya dengan lapang dada dan penuh rela. Padahal, saat itu sedang
berada dipuncak kemenangan yang sangat gemilang. Lebih hebatnya lagi dia
terus berperang dengan serius dan ikhlas dibawah pimpinan panglima baru.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Abu Ubaidah tatkala dia menerima
dengan lapang dada tatkala dia diturunkan dari posisinya sebagai panglima
perang oleh Abu Bakar dan digantikan oleh Khalid bin Walid. Ini merupakan
sebuah peristiwa dalam sejarah Islam yang sangat indah dan akan senantiasa
dikenang sepanjang zaman

20
e. Penghimpunan Al-Qur’an (12H/633M)

Satu kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar
adalah pengimpunan Al-Qur’an. Abu Bakar Assidiq memerintahkan Zaid bin
Tsabit untuk menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan
dari hafalan kaum muslimin.

Jasa Abu Bakar yang mengabadikannya, ialah atas usulan Umar, ia


berhasil membukukan Al-Qur’an dalam satuan tsabit untuk membukukan Al-
Qur’an dibantu oleh Ali ibn Abi Thalib. Naskah tersebut terkenal dengan
Naskah Hafsah yang selanjutnya pada masa khalifah Usman membukukan Al-
Qur’an berdasarkan mashaf itu, kemudian terkenal dengan Mashaf Usmani
yang sampai sekarang masih murni menjadi pegangan kaum muslim tanpa ada
perubahan atau pemalsuan. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga
kelestarian Al-Qur’an setelah sahidnya beberapa orang penghafal Al-Qur’an di
Perang Yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan
Al-Qur’an ini. Sejak itulah Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah
untuk pertama kalinya Al-Qur’an di himpun.

Hanya dua tahun tiga bulan Abu Bakar memangku jabatan sebagai
khalifah pertama masyarakat Islam, Jadi tidak mengalami masa jatuh Siria.
Pengabdiannya itu terpaksa diakhiri karana maut telah datang tanpa dapat
dicegah. Sejarah mencatat selama masa jabatannya itu Abu Bakar telah
berhasil menganugerahkan sejumlah kesuksesan. Yang pertama, dibawah masa
kepemimpinan Islam telah tersebar di Mesopotamia. Kedua, dalam waktu
bersamaan dua tokoh nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Tulaihah dan
Musailimah. Ketiga, dismaping itu gagasannya untuk melakukan kodifikasi
Qur’an telah menunjukkan hasil awal yaitu mengumpulkan naskah-naskah
yang sebelumnya masih terserat. Kemudian Abu Bakar dikenal sebagai
pelopor kodifikasi Qur’an.39

39
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h 35.

21

Anda mungkin juga menyukai