Makalah Sejarah Perkembangan Islam
Makalah Sejarah Perkembangan Islam
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis
ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini telah penulis susun semaksimal mungkin, dengan bantuan pihak-pihak
yang terkait dalam penulisan makalah ini. Serta kami ucapkan terimakasih kepada Dosen
Pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan baik dari penulisan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis masih
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar penulis dapat meningkat kan lagi tata
cara penulisan makalah untuk tugas selanjutnya.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih, semoga makalah ini dapat memenuhi tugas
yang telah di berikan serta menambah wawasan bagi para pembacanya.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Abu Bakar di perkirakan lahir pada tahun 573 M. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
bin Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Mashud bin Taim bin Murah bin
Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Tamimi, ayah dan ibunya sama-sama
berasal dari kabilah Bani Taim.
Panggilan Abu Bakar sebebelum memeluk islam adalah Abdul Ka’bah, hamba Ka’bah.
Setelah memeluk islam, rasulullah kemudian mengubah panggilan itu menjadi Abdullah,
hamba Allah. Rasulullah juga memberikan gelar ash-Shiddiq, yang berkata benar, kepada
Abu Bakar karena dia percaya 100% pada peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah. Gelar itulah yang
di kenal sampai sekarang sehingga di panggil dengan nama Abu-Bakar ash-Shiddiq.
Umar ibn Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdl Uzza
bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay. Pada masa Umar
system administrasi pemerintahan di atur wilayah kekuasaan yang luas dapat rapi dan
sistematis agar wilayah kekuasaan yang luas dapat berjalan dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1. Ahl al-Hall wa al-Aqd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
2. Riddah (murtad) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
3. Bagaimana perkembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan politik pada masa
Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
3
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Ahl al-Hall wa al-Aqd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan
Umar bin Khattab?
2. Untuk mengetahui Riddah (murtad) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
Khattab?
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan
politik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
J. Sayuti Pulungan, op.cit h. 186.
2
Al –Mawardi, Al –Ahkam Al Sulthaniyyah, op.cit, h. 74.
3
Abul A’la Maududi, Sayyid, The Islamic Law And Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1997), h. 257 .
4
Muhammad Al Razi Fakh al Din Bin Dhiya al Din Umar, Tafsir Fakhr Raz, op.cit,. h 70.
5
Mereka adalah para amir, hakim, ulama’, militer dan semua pemimpin yang
dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan publik.5
6. Rasyid Ridha juga berpendapat ulil amri adalah Ahl-al-Hall Wa al-‘Aqd. Ia
menyatakan “kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut Ahl al-Hall Wa al-
‘Aqd adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari umat yang terdiri dari
para ulama, para pemimpin militer, para pemimpin pekerja untuk
kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para pemimpin
perusahaan, para pemimpin partai politik dan para tokoh wartawan.6
7. Al-Maraghi memiliki pendapat yang sama seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
5
Ibid.
6
Muhammad Rasid Ridho, Tafsir Al Manar, op.cit,. h. 181.
7
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, op.cit. h. 138.
6
kepala pemerintahan). Namun dalam beberapa segi lain, antara Ahl-Al-Hall Wa Al-
‘Aqd dan MPR tidak identik.8
Dengan demikian Ahl-Al-Hall Wa Al-‘Aqd dapat dikatakan dalam
pengaplikasiannya di negara Indonesia yaitu lembaga legislatif, yaitu lembaga
pembuat undang-undang.9 Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, sehingga
lembaga ini di sebut juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebutan lain yang sering
di pakai dalam parlemen. Menurut teori yang berlaku, maka rakyatlah yang berdaulat,
rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan. (oleh Rousseau di sebut volente
generate atau general will). Keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan
maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat.10
8
Ibid., h 68.
9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Prima Grafika, 2012), h. 315.
10
Ibid.
11
9 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahanya, h. 128.
12
Ibid., h.132.
7
Ahl al-Halli Wa al-’Aqd juga disebut dengan “umat” dalam firman Allah dalam
surat Ali Imran Ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”.13
Dan juga dalam firman Allah SWT, Surat An Nisa’ Ayat 58 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat”.14
Ulil Amri boleh ditaati hanya dalam batas-batas yang telah diatur oleh Allah Swt.
Para ahli hukum islam serta para ahli ijtihad juga telah sepakat pula bahwa taat itu
tidak wajib, melainkan dalam hal yang telah diperintahkan oleh Allah. Mereka
sepakat tentang tidak boleh taat kepada makhluk dalam masalah-masalah yang
mendurhakai Khaliq.
Jika Ulil Amri membolehkan sesuatu yang haram, seperti zina dan minuman keras,
dan menganggap boleh melanggar batas-batas larangan Allah, serta menganggap
hukum islam itu ketinggalan zaman, dan mengadakan peraturan-peraturan yang tidak
diizinkan oleh Allah, maka kaum muslimin wajib untuk tidak mematuhi perintah Ulil
Amri tersebut.
Dengan demikian, Ahl al-Halli Wa al-’Aqd dalam Al Quran adalah bagian dari Uli
al Amri yaitu sebagai lembaga legislatif.
13
Ibid., h.192.
14
Ibid., h.128.
8
atau "wahyu"15. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-
era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan
dengan amat sempurna. Kepemimpinan Rasulullah SAW, yang bersifat demokratis
terlihat pada kecendrungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika
menghadapi masalah yang belum ada wahyunya dari Allah SWT.16
Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah SAW, tidak menunjuk seorangpun
sebagai pengganti beliau memimpin pemerintahan Islam setelah beliau wafat. Juga
tidak memberi gambaran-gambaran kriteria apa yang harus digunakan untuk memilih
penggantinya itu. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas ini, dan dengan
mengambil dasar pada perintah al-Qur’an atas segala urusan umat diputuskan secara
musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal
Rasulullah SAW seleksi dan penunjukkan kepala negara Islam telah diserahkan
kepada kehendak pemilihan dari kaum muslim yang harus dilaksanakan sejalan
dengan jiwa perintah al-Qur’an tersebut.17
15
Farid Abdul Kholiq, Fikih Politik Islam, op.cit,. h. 78
16
Abul A’la Maududi, Sayyid, The Islamic Law And Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1997), h. 257
17
5 Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al Madzahib Al Islamiyat fi al Siyasat wa al Aqidah (Dar al Fikr Al Arab:
Bairut, t.t), h. 91
18
Ibid,. h. 239.
9
tidak jauh dari masa Nabi. Golongan Ahl al-Hall Wa al-‘Aqd adalah para pemuka
sahabat yang sering di ajak bermusyawarah oleh khalifah yang empat. Hanya pada
masa Umar, terbentuk “Team Formatur” yang beranggotakan enam orang untuk
memilih khalifah setelah ia wafat. ‘Ulama fikih menyebut anggota formatur tersebut
sebagai Ahl al- Hall wa al-‘Aqd.19
Musyawarah yang merupakan titik sentral kelegislatifan Islam bukan sekedar
keharusan normatif, melainkan juga keharusan teologis. Melakukan musyawarah
secara normatif wajib dalam Al Quran serta dicontohkan Rasulullah SAW, dan
Khulafa Rasyidin. Hal itu tidak dipisahkan dari doktrin teologi Islam. Akan tetapi,
dalam tatanan operasional, kelembagaan dan fungsinya mengalami pasang surut. Oleh
karena itu musyawarah harus dirumuskan ulang baik secara konsepsional maupun
praktikal –institisionalnya.
19
J Suyuti Pulungan, op.cit. h. 110.
20
Ibid,. h.70.
10
c. Memiliki wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa
yang paling tepat dan paling efektif menjadi Khalifah, serta paling ahli dalam
mengelola semua kepentingan demi kemaslahatan rakyat.21
Al-Ghazali menerangkan bahwa salah seorang dari kalangan Ahl Al Hall Wa Al-
‘Aqd yang bay’ahnya untuk Imam dapat dianggap mengikat, adalah orang- orang
yang berwewenang (syawkah) dan memperoleh banyak dukungan dari rakyat. 22
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya memberikan 4 syarat, yaitu :
a. Memiliki Ilmu Pengetahuan.
b. Adil
c. Mampu melaksanakan tugas, termasuk kearifan.
d. Sehat jasmani dalam arti panca inderanya dan anggota badan lainnya.23
Dengan persyaratan ini diharapkan Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi dapat menentukan
siapa diantara calon Khalifah yang benar-benar pantas menjadi Khalifah dan mampu
memegang amanah itu untuk mengelola urusan negara dan rakyat.
21
A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah,( Jakarta:
Kencana, 2003), h. 76.
22
Ibid.
23
Ibid.
11
sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam
kitab-kitab fikih, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya.
4. Jika dalam masalah apapun Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak memberikan pedoman
yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi Al-
Khulafa’ Al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah
memberikan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa
yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini, lembaga legislatif dapat
merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
semangat syari’ah. Prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang tidak
diharamkan itu halal hukumnya. Sebaliknya, Al-Mawardi juga menyebutkan
bahwa fungsi Ahl al-Ikhtiyar adalah “mengidentifikasikan orang yang diangkat”
sebagai Imam.24
Tugas Ahl al-Halli Wa al-’Aqdi adalah sebagai berikut :
1. Tugas untuk mengangkat dan memilih khalifah.
2. Tugas untuk memecat dan memberhentikan khalifah.
3. Tugas untuk membuat undang-undang.25
Dengan adanya tugas tersebut di atas, maka wewenang dari Ahl Al-Hall Wa Al-
‘Aqd Adalah Sebagai Berikut:
1. Memberikan masukan kepada khalifah dalam berbagai aktifitas dan masalah
praktis, semisal masalah pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perdagangan, industri, pertanian, dalam hal ini pendapatnya bersifat mengikat.
2. Mengenai masalah pemikiran yang memerlukan penelitian dan analisa, serta
masalah kedisiplinan, finansial, pasukan, politik luar negeri, khalifah berhak
merujuk pada pandangan majelis umat, namun dalam hal ini pandangan Majelis
Umat tidak mengikat.
3. Khalifah berhak menyodorkan undang-undang atau hukum yang hendak di adopsi
kepada Majelis, Majelis berhak memberikan saran atau masukan serta menilai dan
mengevaluasinya meskipun tidak bersifat mengikat.
4. Majelis mempunyai hak untuk mengoreksi tindakan riil yang dilakukan oleh
khalifah. Dalam hal ini, koreksi majelis dapat bersifat mengikat manakala dalam
24
Al Mawardi, Al Ahkam Al Sulthaniyah, op.cit., h.7.
25
J Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, op.cit,.h. 66. Lihat juga Abdul Qadir
Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 191.
12
Majelis terdapat konsensus. Namun sebaliknya, koreksi tersebut tidak bersifat
mengikat manakala didalam majelis belu atau tidak terjadinya konsensus. Jika
diantara Majelis dan khalifah terjadi silang pendapat dalam masalah yang riil
berdasarkan hukum syara’, maka dalam kondisi yang seperti nantinya keputusan
yang dihasilkan bersifat mengikat.
5. Majelis berhak menampakkan ketidak sukaannya terhadap para mu’awim, dan
amil. Karena keputusan Majelis dalam hal ini bersifat mengikat, maka khalifah
harus segera memberhentikan mereka dan menggantinya dengan yang baru.
6. Majelis juga berhak membatasi kandidat calon khalifah sebagai wujud dari suksesi
kekuasaan atau pemerintahan.
7. Majelis memiliki hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada
khalifah mengenai kebijakan-kebijakan strategis yang berkenaan dengan
kemaslahatan umat dan pertimbangan syara’. Hak angket, yaitu Majelis berhak
melakukan penyeledikan terhadap berbagai kebijakan khalifah yang dirasa
bertentangan hukum syara’, meskipun dalam hal ini keputusan Majelis tidak
bersifat mengikat karena hal itu merupakan hak prerogatif Wilayatul Madzalim.
Selain itu Majelis juga punya hak untuk menyatakan pendapat.26 Ada juga yang
berpendapat bahwa Ahl-Al-Hall Wa Al-‘Aqd mempunyai wewenang untuk
mengikat dan mengurai, atau itulah yang disebut juga “Ahl al- Ikhtiyar”.27
Dalam literatur yang berbeda disebutkan bahwa wewenang Ahl Al Hall Wa Al-
‘Aqd sebagai berikut:28
1. Pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan
mem-bai’at imam.
2. Mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Membuat Undang-undang yang mengikat kepada seluruh di dalam hal-hal yang
tidak diatur secara tegas oleh Al-Qur’an dan Al- Hadist.
4. Tempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
5. Mengawasi jalannya pemerintahan.
26
Munawir Sadjali, Islam Dan Tata Negara, op.cit,. h. 64.
27
Ibid,. h. 65.
28
A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah, op.cit,. h.76-77
13
B. Riddah
Riddah secara bahasa adalah keluar, yakni seorang muslim yang keluar dari
keislamannya menuju kekafiran, orang yang keluar tersebut dalam islam di sebut murtad.
“dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh) maka kamu
menjadi orang yang merugi)”
Dan riddah secara istilah adalah keluar dari islam atau lepas dari islam, kedua kata ini
bermakna satu yaitu ar-riddah.
Pada awal pemerintahan abu bakar as-siddiq telah terjadi peristiwa riddah secara besar-
besaran yang mengguncangkan stabilitas dan eksistensi Negara islam yang telah di bangun
rasulullah saw. Abu bakar terpaksa memadamkan pembangkangan itu dengan kekerasan yang
dalam sejarah islam, di kenal dengan sebutan perang riddah. Peristiwa riddah pada masa abu
bakar inilah yan menjadi pijakan pemberlakuan segala macam konsekuensi hukuman bagi
para orang murtad. Para ulama selalu mencontohkan apa yang terjadi pada masa abu bakar
mengenai riddah sebagai bukti sejarah awal pemberlakuan hukum riddah. Namun, di era
modern ini, doktrin ini mengandung problem untuk bisa di terapkan. Masyarakat modern
akan menentangnya. Mereka beranggapan bahwa urusan pribadi termasuk dalam hak asasi
setiap manusia. Siapapun termasuk doktrin agama tidaklah boleh karena melanggar hak asasi
manusia.
Wafatnya nabi mengakibatkan hengkangnya beberapa orang arab dari ikatan islam.
Mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan dukungan terhadap khalifah baru
dan bahkan menentang agama islam. Karena mereka beranggapan perjanjian yang telah di
buat sudah hilang akibat meninggalnya rasulullah.29
29
Menurut pendapat Hasnani Siri, Jurnal Pemikiran Islam, vol.3 no. 1, 2017. mengutip pendapat pada buku Ali
Mufrudi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.46.
14
Selain dari pengingkaran komitmen dan perjajian mereka dengan nabi, masih ada hal
yang secara historis dapat di anggap sebagai penyebab kemurtadan, yaitu pada waktu nabi
wafat, agama islam belum mendalam meresapi sanubari penduduk jazirah arab. 30 Di antara
mereka ada yang telah menyatakan masuk islam, tetapi belum mempelajari agama islam itu.
Jadi mereka tidak pernah menerima keislaman sebagai refleksi keimanan. Ada yang mengaku
islam tetapi sebagai kedok melindungi diri dari peperangan melawan kaum muslim. Bahkan
ada yang masuk islam hanya karena ingin mendapatkan harta rampasan, nama dan
kedudukan.31
Selain masalah kemurtadan muncul pula masalah yang sebenarnya bukan masalah baru,
akan tetapi masalah ini sudah ada ketika zaman nabi. Yaitu orang-orang yang mengaku
dirinya nabi mereka mengira kepemimpinan setelah nabi adalah kepemimpinan yang lemah
maka mereka bermunculan sebagai nabi-nabi palsu. Orang-orang yang mengaku dirinya nabi
di antaranya ialah Muzailimatul Kazzab dari bani hanifah di Al-yamamah, Al Aswad Al Ansi
di Yaman, Thulailah Ibnu Khuwalid dari bani Asad.32
Fenomena ini menjadi bumerang terhadap kekhalifahan abu bakar. Eksistensi nabi-nabi
palsu ini sangat mempenaruhi keadaan politik saat itu. Dimana sebagian orang murtad
berkiblat dan berkualisi dengan menyatukan kekuatan untuk menyerang kekhalifahan Abu
Bakar. Mereka beranggapan mampu menandingi kewibawaan Nabi Muhammad SAW.
Para nabi-nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang islam dengan
membebaskan prinsip-prinsip moralitas dan upacara keagamaan seperti, membolehkan
minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga, puasa ramadhan
di hapus, pengubahan membayar zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan
dalam perkawinan. Dalam penyebarannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha menguasai
dan mempengaruhi masyarakat islam, dengan mengerahkan pasukannya untuk masuk ke
daerah-daerah, diantaranya : Oman Mahara dan Hadramaut.
30
A. Syalabi, sejarah kebudayaan islam, jilid 1(Jakarta : PT Al-Husna Zikra, 1997), hal.227.
31
Hasnani Siri, Jurnal Pemikiran Islam, vol.,3, no.1, juli 2017.
32
A. Syalabi, op.cit., hal.231
15
Namun Abu Bakar tidak tinggal diam, Abu Bakar menginstruksikan agar mereka
kembali pada islam, jika menolak maka mereka harus perangi. Beberapa dari suku tunduk
tanpa peperangan, sementar yang lainnya tidak mau menyerah dan mengobarkan api
peperangan. Oleh karena itu pecahlah mereka Khalid bin Walid di beri tugas untuk
menundukkan Thulaihah dalam perang Buzaka, berhasil dan kembali pada islam . Sedangkan
Musailamah seorang penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan
Surabil. Namun mereka gagal, kemudian Abu Bakar mengutus Khalid untuk melawan nabi
palsu dari yaman itu, dalam pertempuran Khalid berhasil menghancurkan pasukan
Musailamah dan membunuh dalam taman yang berdinding tinggi yang di sebut “taman
maut”.33
33
Maulana Muhammad ali ,Early Caliphate (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007) hlm. 32
16
C. Pengembangan Islam Sebagai Kedaulatan Dan Politik Islam
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit,
maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang
diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti
yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beeserta pengikutnya yang hadir dalam
pertemuan tersebut.35
34
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran 21-23
35
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX
17
Madinah. Namun, Abu Bakar tetap dengan pendiriannya sesuai dengan
perintah Rasulullah, apapun yang akan terjadi.
Hal ini dilakukan Abu Bakar sebagai usaha untuk menampakkan kepada
semua pihak bahwa kekuatan Islam masih tetap kokoh dan sulit dikalahkan
baik secara material maupun spiritual. Ternyata passukan ini memetik
kemenangan yang sangat gemilang. Kemenangan ini telah membuat banyak
orang kokoh berperang pada agama islam.
Setelah Rasulullah wafat, seluruh Jazirah Arab murtad dari agama Islam
kecuali Makkah, Madinah, dan Thaif. Sebagian orang murtad ini kembali
kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai
Nabi, sebagian yang lain hanya tidak mau membayar zakat.36
36
Al-‘Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, h 145-146.
37
Istianah Abu Bakar, Sejarah peradaban Islam, h 35.
38
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h 35.
18
membuat Abu Bakar mengambil inisiatif untuk menghimpun Al-Qur’an dalam
satu mushaf.
c. Penaklukan Islam
Musuh pemerintahan Islam pada saat itu adalah Persia dan Romawi.
Keduanya adalah kekaisaran terbesar pada masa itu. Keduanya selalu terlibat
sengketa yang sengit. Kondisi inilah yang memudahkan jihad kaum muslimin.
Mereka menyerbu kedua kekaisaran itu pada saat yang bersamaan.
Tentara Islam dibawah pimpinan Musanna dan Khalid ibn Walid di kirim
ke Irak dan menaklukan Hirah (sebuah kerajaan setengah Arab yang
menyatakan kesetiaannya kepada Kisra Persia), yang secara strategis sangat
penting bagi umat Islam dalam meneruskan penyebaran agama ke wilayah-
wilayah di belahan utara dan timur. Sedangkan ke Suriah, suatu Negara di
Utara Arab yang dikuasai Romawi Timur (Byzantium), Abu Bakar mengutus
empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sofyan, Amr ibn As, dan
Syurahbil. Ekspedisi ke Suria ini memang sangat besar. Artinya dalam
konstalasi terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi Timur. Dengan
bergolaknya tanah Arab pada saat menjelang dan sesudah wafatnya Nabi,
impian bangsa Romawi untuk menghancurkan dan menguasai agama Islam
hidup kembali. Mereka menyokong sepenuhnyya pergolakan itu serta
19
melindungi orang-orang yang berani berbuat makar terhadap pemerintahan
Madinah.
Satu hal yang perlu dicatat dari peristiwa diatas yang mengundang decak
kagum dan rasa kebanggaan adalah sikap Khalid bin Walid. Tatkala dia
dinyatakan diturunkan dari posisinya sebagai panglima perang, dia
menerimanya dengan lapang dada dan penuh rela. Padahal, saat itu sedang
berada dipuncak kemenangan yang sangat gemilang. Lebih hebatnya lagi dia
terus berperang dengan serius dan ikhlas dibawah pimpinan panglima baru.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Abu Ubaidah tatkala dia menerima
dengan lapang dada tatkala dia diturunkan dari posisinya sebagai panglima
perang oleh Abu Bakar dan digantikan oleh Khalid bin Walid. Ini merupakan
sebuah peristiwa dalam sejarah Islam yang sangat indah dan akan senantiasa
dikenang sepanjang zaman
20
e. Penghimpunan Al-Qur’an (12H/633M)
Satu kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar
adalah pengimpunan Al-Qur’an. Abu Bakar Assidiq memerintahkan Zaid bin
Tsabit untuk menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan
dari hafalan kaum muslimin.
Hanya dua tahun tiga bulan Abu Bakar memangku jabatan sebagai
khalifah pertama masyarakat Islam, Jadi tidak mengalami masa jatuh Siria.
Pengabdiannya itu terpaksa diakhiri karana maut telah datang tanpa dapat
dicegah. Sejarah mencatat selama masa jabatannya itu Abu Bakar telah
berhasil menganugerahkan sejumlah kesuksesan. Yang pertama, dibawah masa
kepemimpinan Islam telah tersebar di Mesopotamia. Kedua, dalam waktu
bersamaan dua tokoh nabi palsu telah berhasil dilenyapkan, yaitu Tulaihah dan
Musailimah. Ketiga, dismaping itu gagasannya untuk melakukan kodifikasi
Qur’an telah menunjukkan hasil awal yaitu mengumpulkan naskah-naskah
yang sebelumnya masih terserat. Kemudian Abu Bakar dikenal sebagai
pelopor kodifikasi Qur’an.39
39
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h 35.
21