Anda di halaman 1dari 9

ETIKA

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak
kesusilaan ata adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
(moral).

Selain akhlak kita juga lazim menggunakan istilah etika. Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani yakni ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksud
kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan
seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat
disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika membahasa tentang
tingkah laku manusia.

Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada karena kedua-
duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah
mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah
laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam
usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan
dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.

Apabila kita menlusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan secara jelas persamaan dan
perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara keduanya adalah terletak pada objek yang akan
dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku dan
perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak mempunyai basis atau
landasan kepada norma agama yang bersumber dari hadist dan al Quran.

Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan yang dilakukan
oleh manusia.

Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil
pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan tidak pula universal.

Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dsb. Keempat, dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman.

Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.
Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

MORAL
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan
dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide
yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.

Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih
banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat,
etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara
lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.

Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau
dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan
tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti
pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya
perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul
salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.

NORMA
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas
yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran,
aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau
sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.

Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma
menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih
kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat
prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut
dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka
dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak
bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis

NILAI
Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik dan mana
yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta tujuan yang memiliki nilai.
Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai
dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.

Penganut islam tidak akan terjamin dari ancaman kehancuran akhlak yang menimapa umat, kecuali
apabila kita memiliki konsep nilai-nilai yang konkret yang telah disepakati islam, yaitu nilai-nilai absolut
yang tegak berdiri diatas asas yang kokoh. Nilai absolut adalah tersebut adalah kebenaran dan kebaikan
sebagai nilai-nilai yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara
individual dan sosial.

AKHLAK
Akhlak berasal dari kata “akhlaq― yang merupakan jama’ dari “khulqu―
dari bahasa Arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab. Akhlak itu terbagi dua yaitu
Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang Buruk
atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah).

Akhlak yang mulia, menurut Imam Ghazali ada 4 perkara; yaitu bijaksana, memelihara
diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu) dan bersifat
adil. Jelasnya, ia merangkumi sifat-sifat seperti berbakti pada keluarga dan negara, hidup
bermasyarakat dan bersilaturahim, berani mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan
berterima kasih, sabar dan rida dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Masyarakat dan bangsa yang memiliki akhlak mulia adalah penggerak ke arah pembinaan
tamadun dan kejayaan yang diridai oleh Allah Subhanahu Wataala. Seperti kata pepatah seorang
penyair Mesir, Syauqi Bei: "Hanya saja bangsa itu kekal selama berakhlak. Bila akhlaknya telah
lenyap, maka lenyap pulalah bangsa itu".

Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT , akhlak yang baik itu dapat
diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala
perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti ajaran-ajaran dari sunnah
Rasulullah, mencegah diri kita untuk mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar,
seperti firman Allah dalam surat Al-Imran 110 yang artinya “Kamu adalah umat yang terbaik
untuk manusia, menuju kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada
Allah―

Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati, ujub, dengki,
sombong, nifaq (munafik), hasud, suudzaan (berprasangka buruk), dan penyakit-penyakit hati
yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi
orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya sebagai
contohnya yakni kegagalan dalam membentuk masyarakat yang berakhlak mulia samalah seperti
mengakibatkan kehancuran pada bumi ini, sebagai mana firman Allah Subhanahu Wataala dalam
Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berarti: "Telah timbul pelbagai kerusakan dan bencana alam di
darat dan di laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleb tangan manusia. (Timbulnya yang
demikian) karena Allah hendak merusakan mereka sebagai dari balasan perbuatan-perbuatan
buruk yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat)".

ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK


Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita
mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya
menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan.
Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam,
seperti ucapan : “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.― Atau ucapan :
“Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian…―, dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk
bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang
mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa tauhid
sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti
mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid
merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlak
seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik
manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila
seorang muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.

RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK


Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia
mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al
Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa
kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah
aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.― (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah
oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi
pekertinya.― (HR.Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Anas memuji beliau shalallahu ‘alahi wasallam : “Belum pernah
saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani Rasulullah shalallahu
‘alahi wa sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau
berbuat ini ? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu ?― (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah
disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.― (HR Tirmidzi, dari abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan Al Bani dalam Ash Shahihah
No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash
radhiallahu ‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik
akhlaknya.―

KEUTAMAAN AKHLAK
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah
ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang Baik.― (Hadits Shahih
Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyadus Sholihin no.627, tahqiq
Rabbah dan Daqqaq).
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau
shalallahu ‘alahi wasallam menggandengkan antara nasehat untuk bertaqwa dengan nasehat
untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah
dimanapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya
kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang
baik.― (HR Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al
Hilali).
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada
akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “
Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang
baik.― (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat ash Shahihah Juz 2 hal
535).
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di
hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.― (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal
418-419).
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki
keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslimah mengambil akhlak yang
baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan
ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang
dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut
timbangan syari’at atau sebaliknya.
Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk
akhlak. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang
mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Secara bahasa kata akhlak jamak dari khuluqin yang diartikan tabiat, kebiasaan, adab.
Sedangkan secara istilah adalah sifat yang mantap di dalam diri yang membuat perbuatan yang
dilakukannya baik atau buruk, bagus atau jelek.

Oleh karenanya, apabila amal dan pikiran seseorang sholeh (baik) maka sholeh pula diri dan akhlaknya,
dan sebaliknya apabila amal dan pikirannya rusak maka rusak pula dirinya akhlaknya.

Nabi bersabda :( alaa wainna fil jasadi mudzzghotan idzaa soluhat soluha jasada kulluh wa idza fasadat
fasadaljasadu kulluh wahiya alqolbu)

Adapun Akhlak memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, karena Allah SWT memuji Nabi
s.a.w karena akhlaknya yang hasan. Allah berfirman : (wainnaka la'alaa khuluqin 'adzim)(Alqolam: 4)

(walaa tastawi alhasanatu walaa assayiatu idfang billati hiya ahsanu faidza aldzi bainaka wa bainahu
'adawatan ka annahu waliyun hamimun)( Fushilat:34)

Dan sungguh Allah Mengutus Muhammad s.a.w tidak lain untuk menyempurnakan akhlak. Nabi
Muhammad s.a.w telah bersabda;(innamaa bu'ist tu liutammima makaarima alakhlakqi)(riwayat Bukhori
dan muslim)

Dan sabdanya juga :(akmalul mukminiina iimaa nan ahsanuhum khuluqon)(riwayat Ahmad dan Abu
Dawud)

    


  
   
    
    
  
22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], padahal kamu Mengetahui.
[30] ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan
sebagainya.

    


  
   
    
    
  
22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], padahal kamu Mengetahui.

[30] ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan
sebagainya.

     4.


Dan pakaianmu bersihkanlah,

79. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

    


   
     
7. Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka[20], dan penglihatan mereka ditutup[21]. dan bagi
mereka siksa yang amat berat.

[20] yakni orang itu tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasehatpun tidak akan berbekas padanya.

[21] Maksudnya: mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al Quran yang mereka dengar dan
tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan
bumi dan pada diri mereka sendiri.
    
 

QS. Al-Qashash: 77

   


    
    
     
     
    
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Lihat, QS Al-Baqarah : 286).

    


    
   
    
     
   
     
     
    
   
  
  
286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami;
ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

    


  
    
   
    
     
 
 
222. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci[138]. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.

[137] maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.

[138] ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.

Anda mungkin juga menyukai