Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Eksklusivisme adalah paham yang mempunyai kecenderungan untuk
memisahkan diri dari masyarakat. Ciri-ciri orang yang menganut eksklusivisme, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadi dan memiliki kecenderungan untuk memisahkan
diri dengan sikap khusus yang disepakati dalam kelompok. Eksklusivisme dapat
memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif eksklusivisme, yaitu
masyarakat dapat tetap mempertahankan kebudayaan kelompoknya karena
menganggap kelompoknya yang paling baik dan wajib dipertahankan, mampu
membedakan dirinya dengan orang lain, serta tidak mudah terbawa oleh kelompok
lain sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari eksklusivisme, yaitu membuat
seseorang menganggap kepentingan kelompok sendiri menjadi satu-satunya hal yang
penting, tertutup pada pengaruh budaya lain sehingga sangat sulit melakukan
berbagai perubahan yang bersifat progresif, serta dapat memecah belah
persatuan Beberapa contoh kasus masyarakat yang menganut konsep eksklusif dan
biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari dimana terdapat satu kelompok yang
terdiri dari orang-orang yang hanya mau berteman dengan orang yang dianggap kaya,
keren, atau orang yang memiliki status sosial yang tinggi. Faktor-faktor yang
menyebabkan eksklusivisme adalah faktor kecemburuan sosial, perbedaan status dan
peran sosial, merasa kelompok sendiri adalah kelompok yang paling baik. Cara untuk
mengurangi eksklusivisme ialah mencoba berbaur dengan sesama yang memiliki
perbedaan dengan kita, tidak menyepelekan orang lain dan tidak menganggap
kelompok sendiri yang paling baik dan benar. Contoh sikap eksklusivisme: Suatu
budaya terpencil memisahkan diri dari masyarakat karena mereka tidak mau budaya
mereka terpengaruh dengan budaya yang sedang berkembang sehingga mereka lebih

1
memilih untuk memisahkan diri dari masyarakat agar budaya mereka yang mereka
percayai tidak berubah atau tidak terpengaruh dengan budaya yang baru karena
mereka sudah menganggap peraturan dari budaya mereka sudah baik dan harus
dilaksanakan. Dengan alasan demikianlah mereka memisahkan diri dari masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
 Apa yang dimaksud dengan sikap eksklusivisme ?
 Bagaimana Ciri-ciri orang yang menganut eksklusivisme ?
 Bagaimana perbedaan status dan peran sosial, merasa kelompok sendiri adalah
kelompok yang paling baik?
 . Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan eksklusivisme dalam kecemburuan
social?
C. TUJUAN

 Tujuan eksklusivisme adalah untuk mempertahakan tradisi yang dimiliki


dengan cara mengisolasi atau mengurung dirinya dan orang-orang lainnya
ditempat-tempat yang tidak ditemui serta melestarikan kebudayaan dan
tradisinya sehingga tidak mendapat ancaman dari luar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EKSKLUSIVISME DAN PARTIKULARISME

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Eksklusivisme berarti paham


yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.[1] Dan
kata Partikularisme berarti sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi (diri
sendiri) di atas kepentingan umum atau juga aliran politik, ekonomi, atau kebudayaan
yang mementingkan daerah atau kelompok khusus; sukuisme.[2]
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Eksklusivisme
dan Partikularisme Bangsa Israel merupakan suatu sifat atau paham bangsa Israel
untuk memisahkan diri dari masyarakat di luar bangsa Israel. Dan hal ini merupakan
akibat dari sistem suku bangsa Israel yang mengutamakan kepentingan daerah atau
sukunya.
Di sisi lain, ada orang-orang yang mengakui keberadaan ketuhanan yang Maha
Kuasa sebagai sebuah keyakinan yang membentuk cara berpikir dan bersikap. Dari
pemahaman ini kita tahu, bahwa apa pun agamanya, pasti akan bertemu pada suatu
kepercayaan di mana sebagai ciptaan Tuhan, manusia adalah mahluk yang sangat
bermartabat dan mulia. Karena itu mereka menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa
sebagai sebuah sila di dalam Pancasila, di samping sila Perikemanusiaan. Walaupun
kelima sila itu harus dipahami sebagai suatu kesatuan, tidak boleh terpisah-pisah,
tetapi dari dua sila itu kita melihat bagaimana kedudukan manusia itu sangat utama
dan bahwa pada akhirnya, perjuangan itu bermuara kepada kemanusiaan yang
bermartabat. Dari situ maka dapat melihat bahwa kesetaaraan adalah ekspresi dari
penghargaan kita kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan. Digabungkan dengan
kenyataan bahwa kita beraneka ragam, maka dua hal itu menjadi sebuah kesatuan

3
pemahaman, yaitu bahwa kita ini majemuk tapi juga setara. Pada dasarnya
kemajemukan yang terdapat dalam tubuh bangsa Indonesia merupakan suatu
anugerah yang dapat mendatangkan sebuah peluang atau bahkan tantangan.
Perbedaan dapat menjadi peluang apabila perbedaan tersebut dapat diatasi dengan
sikap saling menghargai sehingga melalui perbedaan maka dapat muncul kondisi
saling melengkapi. Perbedaan yang ada akan menjadi sebuah aset bagi bangsa dalam
menghadapi perubahan sosial yang terjadi. Bangsa dengan kemampuan mengelola
perbedaan akan lebih siap menghadapi perubahan sosial yang datang dari luar
dirinya. Perbedaan yang terdiri dari keanekaragaman suku, adat, agama, ras menjadi
nilai tambah karena hal tersebut menunjukan kekayaan sekaligus identitas bangsa.
Karena tidak semua bangsa di dunia ini yang memiliki keragaman seperti Indonesia.

Selain menjadi peluang, perbedaan ternyata dapat juga menjadi tantangan berbahaya
bagi keutuhan sebuah negara. Ini dikarenakan perbedaan suku, adat, ras, agama
adalah suatu hal yang vital dan sensitif bagi setiap lapisan masyarakat. Celakanya,
akhir-akhir ini sangat sering ditemukan gejala yang mengarah ke hal tersebut.
Persatuan bangsa Indonesia sedang diuji oleh berbagai kejadian yang dapat mengarah
pada ancaman disintegritas. Konflik horizontal seperti SARA menjadi momok yang
menakutkan karena tidak jarang konflik ini berujung pada kekerasan dan mengancam
ketentraman. Selain itu, tindakan dari beberapa golongan ekstrimis penganut agama
menjadi ancaman tersendiri bagi kerukunan masyarakat Indonesia. Masih segar
dalam ingatan yaitu adanya pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang tempo lalu,
pengusiran jemaat Ahmadiyah dan penutupan masjidnya, penyerangan terhadap
jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, penutupan gereja GKI Yasmin di Bogor, penusukan
pendeta HKBP di Bekasi, tindakan kekerasan oleh FPI terhadap kelompok lain yang
melakukan maksiat ketika bulan puasa atau lebih dari itu penyerangan terhadap warga
yang berjualan makanan saat bulan puasa, dan masih banyak lainnya. Hal itu
menunjukkan bahwa isu agama adalah permalahan yang penting untuk diselesaikan
guna menumbuhkan kondisi integritas bangsa.

4
Selain itu, adanya fenomena teroris yang mengatasnamakan Islam dengan cara bom
bunuh diri sangat meresahkan bangsa ini dalam sepuluh tahun terakhir. Banyak pihak
mengecam dan menyalahkan Islam atas kejadian tersebut karena aksi itu ap sebagai
sebuah perjuangan membela agama atau dengan kata lain “jihad” oleh pelakunya.
Jihad adalah konsep perjuangan membela agama dalam Islam. Hal inilah yang
menjadi awal mula teroris diidentikan dengan Islam. Padahal, konsep jihad yang
dilakukan teroris dengan jalan bom berbeda jauh dari konsep jihad yang sebenarnya
sesuai dengan Al-Qur’an. Tindakan tersebut tidak lain adalah bentuk dari radikalisme
agama oleh sejumlah penganutnya. Dari serangkaian kasus yang terus terjadi, muncul
kesan pembiaran. Penanganan aparatur pemerintah cenderung reaksioner. Dari hari ke
hari kasus radikalisme terus terjadi dan tidak jelas apa capaian penanganan
pemerintah. Ini memunculkan dugaan ketidakseriusan pemerintah menangani
radikalisme agama. Kesannya justru radikalisme agama menjadi komoditas politik
sebagai pengalih isu.[1] Apabila berbicara negara maka secara otomatis pemegang
kewajiban terbesar dari negara adalah pemerintah. Terlebih lagi Indonesia adalah
mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka sudah sepatutnya isu ini menjadi
fokus penting bagi semua pihak terutama pemerintah. KeIslaman, kemodernan dan
keIndonesian adalah tiga hal yang tidak dapat terpisahkan saat ini. hal tersebut
dikarenakan ketiganya saling membutuhkan satu sama lain. Bukan berarti keIslaman,
kemodernan dan keIndonesian berjalan mulus tanpa tantangan. Tantangan selalu
hadir seiring berkembangnya keIslaman, kemodernan dan keIndonesian. Untuk
menjawab apa saja yang menjadi tantangan ketiganya dalam mengahadapi
radikalisme agama maka makalah ini dibuat sebagai pengkajian lebih dalam atas
masalah tersebut. Tantangan bagi keIslaman, kemodernan, dan keIndonesian terhadap
radikalisme agama. Kesatuan kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa bangsa
Indonesia ini sangat beragam, tidak hanya dilihat dari sudut fisik seperti warna kulit
dan tempat tinggal yang terpisah-pisah di begitu banyak pulau, tetapi juga sudut
budaya dan agama. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa masyarakat kita yang sangat
beragam juga memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam perjumpaannya dengan

5
agama-agama besar di dunia. Budhisme dan Hinduisme tampaknya terlebih dahulu
bersentuhan dengan orang-orang nusantara, kemudian disusul dengan agama-agama
lain seperti Konghucu, Islam dan Kristen. Selain itu, aneka ragam kepercayaan lokal
yang sering disebut dengan “primitivisme” telah terlebih dahulu ada sebelum
datangnya agama-agama besar tersebut. Kenyataan demikian cukup bisa
menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang Plural dan bukan hanya Islam
yang menjadi satu-satunya agama dalam bangsa ini. perbedaan atau kemajemukan
tersebut harus diperhatikan dan dijaga dengan sebaik mungkin. Hal itu dikarenakan,
perbedaan merupakan faktor yang efektif menuju perpecahan apabila tidak dihadapi
dengan benar. Pemeluk agama memiliki peran yang signifikan dalam
keberlangsungan citra agama yang dipeluknya. Mengenai peran agama, sebenarnya
terdapat 2 konsep penting yang dimiliki setiap agama yang bisa mempengaruhi para
pemeluknya dalam hubungannya dengan manusia lain yakni fanatisme dan toleransi.
Kedua hal ini harus dipraktekkan manusia dalam pola yang seimbang. Sebab
ketidakseimbangan diantara keduanya akan melahirkan problem tersendiri bagi umat
beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat agama tertentu bisa menjebak mereka
ke dalam pengaburan makna ajaran agama meraka, selain bahwa eksistensi agama
mereka juga akan melemah karena dalam situasi ini orang terkadang tidak lagi
bangga dengan agama yang mereka peluk. Agama bisa saja akhirnya hanya menjadi
sekedar ritual karena agama yang bersangkutan sama derajat dan kebenarannya
dengan agama lainnya yang ada. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan
melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah juga yang
terkadang menjadi biang lahirnya konflik dan kekerasan atas nama agama. Fanatisme
yang berlebihan melahirkan truth claim (klaim kebenaran) yang bersifat eksklusif.
Selanjutnya, eksklusivisme akan memandang penganut agama lain sebagai musuh,
sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas. Dalam
kondisi mayoritas ini, kelompok eksklusif cenderung melakukan cara-cara pemaksaan
dan kekerasan atas nama agama kepada kelompok lainnya. Selain masalah fanatisme
dan toleransi seperti di atas, agama juga mendorong pemeluknya untuk memiliki

6
keterikatan dengan agama yang dianutnya. Keterikatan ini bisa diimplementasikan
melalui bentuk-bentuk ritual (praktek keagamaan) secara ketat, selain dengan
penghayatan tingkat tinggi kepada ajaran-ajaran agama mereka. Dalam situasi
tertentu, tuntutan keterikatan ini bisa memunculkan sikap-sikap radikal, yang bahkan
bisa menjurus kepada tindak kekerasan, karena hal itu berkaitan dengan upaya secara
ketat menjalankan ajaran agama dan secara keras meluruskannya ketika agama
mereka dianggap telah diselewengkan. Fenomena radikalisme agama yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini sangat menyita perhatian banyak pihak. kehadiran
radikalisme agama sangat memungkinkan dalam setiap aspek dalam keIslaman
kemodernan dan keIndonesian. Dalam perkembangannya keIslaman kemodernan dan
keIndonesian dihantui oleh sosok radikalisme agama yang menjangkiti tubuh
sebagian golongan yang ada di masyarakat. Sebelum lebih jauh membahas tentang
fenomena radikalisme agama maka ada baiknya terlebih dahulu untuk mengetahui
konsep dari radikalisme agama. Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995,
Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984)
diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya
menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling
jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini
“radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.[2]
Apabila kita melihat pengertian diatas maka konsep radikalisme identik dengan
kekerasan untuk mewujudkan perubahan ideal menurutnya kelompoknya. Fenomena
yang telah terjadi belakangan ini seperti kasus penyerangan satu kelompok terhadap
kelompok lain diluarnya menunjukkan gejala radikalisme yang hampir menyusup
masuk ke dalam kehidupan di sekitar masyarakat. Tampaknya gerakan Islam, baik
yang fundamentalis ataupun yang bukan, ada baiknya merenungkan apa yang
dikemukakan oleh Armahedi Mahzar. Menurutnya, kita harus meninggalkan tiga
macam kesombongan yang dapat merusak gerakan-gerakan Islam itu sendiri:

7
kesombongan intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri
(absolutism); kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog
dengan pihak lain (eksklusivisme); dan terakhir, kesombongan emosional berupa
sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme)[3] Radikalisme agama dalam
konteks ini yaitu radikalisme agama yang mengarah pada agama Islam. Hal ini
dikarenakan dari berbagai kasus yang ada selalu melibatkan penganut Islam. Islam
sepertinya sedang mendapat ujian dari berbagai aspek seperti masyarakat,
perkembangan zaman, serta pemeluknya sendiri. Kenyataan yang ditangkap pada hari
ini adalah bahwa Islam sebagai agama yang ekslusif dan tidak mampu menerima
perbedaan yang ada. Hal ini cukup beralasan apabila berkaca pada kejadian yang
mengatasnamakan Islam seperti kasus-kasus tersebut. Padahal sama sekali tidaklah
benar bahwa Islam sulit menerima perbedaan dan bentuk kekerasan menjadi modal
utama dalam perkembangannya. Islam tidaklah seperti yang dicitrakan selama ini
yaitu penuh kekerasan dan tidak mampu menerima perbedaan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan sejarah bagaimana Islam masuk ke kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 21 s.d. 24
Syawal 1382 H, bertepatan tanggal 17 s.d. 20 Maret 1963 dikatakan bahwa menurut
sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke
Indonesia pada Abad 1 Hijriah (abad ketujuh/kedelapan Masehi) dan langsung dari
Arab. Selain itu juga, terdapat kenyataan bahwa dalam roses peng-Islaman
selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian dan yang lebih
terpenting lagi bahwa penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara
damai. Islam dalam proses penyebarannya terbilang cukup cepat dan pesat. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor yang mendukungnya antara lain bahwa karena daya
lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi
nilai-nilai universal. Dengan demikian, ajaran Islam dapat berhadapan dengan
berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Karena watak ajaran yang
demikian itu, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan nilai-
nilai yang berkembang dalam masyarakat.[4]

8
Islam memberikan legalitas berijtihad mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kamu lebih tahu mengenai urusan-urusan duniamu” kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk mencapai masyarakat adil makmur yang diberkati, ‘baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur’. Umat Islam dan penganut agama lain perlu menyadari dan setuju
untuk mewujudkan kerja sama dengan dukungan dialogis Islam bersama agama lain
agar menjadi sebuah keniscayaan. Sebenarnya Islam tidak menganjurkan umatnya
untuk melakukan paksaan terhadap umat agama lain untuk memasuki Islam. Tugas
orang hanyalah menyampaikan agama kepada orang lain yang diyakini
kebenarannya, tidak memaksakan dia untuk menerimanya. Hal ini ditetapkan karena
manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan
memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Manusia dianggap sudah
dapat menentukan jalan hidupnya yang benar. Hal ini seperti apa yang ditercantum
dalam Al-Qur’an. “Tidak ada paksaan bagi dalam (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu,
barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali aman yang kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”[5] Dari pemaparan diatas
sangatlah jelas bahwa ternyata Islam yang sesungguhnya adalah sebuah agama tanpa
kekerasan. Islam tidak sama dengan radikalisme agama seperti yang dilabelkan saat
ini. Solusi untuk mengatasi tantangan tantangan bagi keIslaman, kemodernan, dan
keIndonesian terhadap radikalisme agama. Dari sekian banyak faktor pemicu, faktor
perbedaan agama, bahkan perbedaan faham keagamaan, merupakan faktor yang tidak
bisa dikesampingkan. Kasus-kasus kerusuhan dan peperangan di berbagai belahan
dunia, menunjukkan betapa agama telah dijadikan alat “penghancuran” manusia, di
mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran semua agama. Hal tersebut
menunjukkan bahwa selama berabad-abad, sejarah interaksi antarumat beragama
lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih dapat mencapai
ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari yang
Mahakuasa[6] padahal sejatinya, setiap agama mengajarkan perdamaian,

9
kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan. Atas dasar itu, menjadi penting
untuk ditelusuri akar terjadinya konflik tersebut, terutama dari aspek model pola
kepemelukan agama sekaligus kemudian, dicoba dikedepankan alternatif untuk
mengatasi hal itu dengan bertitik tolak dari ajaran agama dan model kepemelukan
terhadapnya. Sehubungan dengan model kepemelukan terhadap agama, secara
dikotomis, terdapat pola kepemelukan yang sedemikian tertutup dan kaku terhadap
agama lain, dan juga terdapat pola kepemelukan agama yang bersikap positif
terhadap perbedaan agama. Untuk model kepemelukan yang tertutup dan kaku
terhadap perbedaan, dapat diidentifikasi pada model kepemelukan eksklusivisme.
Kemudian, model kepemelukan yang bersikap terbuka terhadap perbedaan, dapat
diidentifikasi pada pola kepemelukan dengan corak inklusivisme. Model
kepemelukan inklusivisme menjadi solusi bagi terciptanya kehidupan yang rukun
antar umat beragama. Sedangkan eksklusivisme merupakan sikap yang dapat menjadi
faktor munculnya disintegrasi antar umat beragama. Oleh karena itu, dalam
penjelasan sebelumnya, eksklusivisme atau sikap eksklusif dari pemeluk agama
menjadi tantangan bagi keberlangsungan keIslaman, kemodernan, dan keIndonesiaan.
Hal ini dikarenakan sikap eksklusif atau eksklusivisme dapat menyebabkan hal yang
paling ditakuti oleh masyarakat saat ini yaitu sikap radikalisme agama yang akan
membahayakan golongan selain golongan pelakunya. Islam tidak dapat dipisahkan
dengan kemodernan dan keIndonesian. Konteks Indonesia yaitu Islam menjadi
sebuah agama nonArab atau dapat dibilang bukan “Arabisasi” karena Islam dapat
tetap eksis dan hadir tanpa memaksakan bentuknya menjadi sama dengan negara asal
yaitu Arab. Islam harus terbuka dengan arus modernisasi yang mengedepankan
rasionalisasi bukan berarti westernisasi[7]. Pengertian yang mudah tentang
modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik dengan pengertian
rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama
yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang
rasional. Kegunannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang
maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di

10
bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengethauan, tidak lain adalah hasil
pemahaman manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam, ideal
dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan
harmonis. Berdasarkan pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan modern maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya Islam tidaklah bertentangan atau
melarang umatnya untuk terlibat dalam arus kemodernan. Kemodernan yang berarti
mendatangkan banyak manfaat dan tetap mengedepankan Tuhan (tauhid). Memasuki
tahun 2012 dengan berbagai perubahan sosial yang terjadi meliputi kemodernan
adalah suatu kondisi yang sudah barang tentu dihadapi oleh bangsa Indonesia. Islam
terbuka dengan arus kemodernan yang mengedepankan rasionalitas. Menghilangkan
tradisi lama yang berupa mitos yang tidak terdapat manfaat di dalamnya bagi
manusia. Selain kemodernan, Islam juga harus mampu bertahan dan berjalan
beriringan dengan konsep keIndonesian karena hadir dalam Negara Indonesia. Islam
keIndonesian sebagai bagian dari Islam di Indonesia memiliki wajah tersendiri. Dia
lebih merupakan interpretasi terhadap masyarakat (muslim) secara sosio-
antropologis. Bukan domain aturan absolut teologis atau instrumen legal-formal yang
bernama fiqh. Konstruksi muslim Indonesia sudah majemuk dari awalnya ketika
Islam sebagai agama vis a vis masyarakat lokal yang telah ada sebelum Islam masuk.
Tentulah agama yang menjadi rahmatan lil’alamiin ini tetap dengan cita-cita
transendennya yang mulia sebagai penyebar kasih sayang dan rahmat. Interaksi Islam
sebagai agama dengan local genius tersebut tidak berhenti pada titik temporal saja,
sebutlah saat penyebaran Islam oleh Wali Songo dan pendakwah Islam nusantara
lainnya. Namun interaksi tersebut tetap mengalir terjadi sampai era postmodern
sekarang ini. Islam benar-benar memasyarakat dan hidup di tengah tradisi lokal yang
ramah juga dengan perubahan. Islam keIndonesian merupakan manifestasi atau
ekspresi keberagamaan umat Islam Indonesia yang selalu berinteraksi dan hidup
inhern dengan nilai-nilai lokal.[8]

11
Sebagai seorang cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid memiliki wawasan yang
begitu luas. Pemikiran-pemikirannya secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi keIslaman, keIndonesian dan kemodernan. Seperti apa yang dikatakan oleh
M. Syafi’i Anwar dalam Jurnal Ulumul Qur’an, sebagai berikut: Kalau diamati
dengan seksama dan sabar, pemikiran Nurcholish pada dasarnya merupakan
dialektika tiga ide dalam kesatuan, yakni: keIslaman, kemodernan dan keIndonesian.
Dialektika dan kesatuan tiga ide besar itu, melahirkan ide-ide pendukung (supporting
ideas) yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan ide, yakni neo-
modernisme, integrasi dan pembangunan. Adapun untuk mempersatukan seluruh
konstruksi bangunan ide adalah teologi inklusif. (M. Syafi’i Anwar) Nurcholish
Madjid mencoba memberi keyakinan bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan
modernisasi. Dengan mengutip pendapat dari dua ahli sosiologi agama yaitu Marshall
Hodgson dan Ernest Gellner, Nurcholish Madjid ingin menumbuhkan rasa percaya
diri umat Islam dalam merespon modernisasi. Namun, walaupun Nurcholish Madjid
terbuka dengan modernisasi, beliau tetap apresiasi terhadap tradisi dan intelektual
Islam klasik yang kaya akan wawasan. Syafi’i Anwar mengatakan dalam artikelnya
sebagai berikut: Berbeda dengan modernis lainnya, Nurcholish sangat menekankan
perlunya apresiasi terhadap tradisi dan intelektual klasik Islam yang kaya dimensi itu,
sambil menggunakannya untuk memperkaya wawasan intelektual Islam yang baru.
Itulah sebabnya ia sangat apresiatif dengan jargon klasik kalangan ulama yang
terkenal, yakni al muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa ‘l-akhdi b’il-jadid al-aslah
(memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang baik. (M. Sayafi’i
Anwar) Apresiasi Nurcholish Madjid terhadap warisan Islam klasik inilah yang
membedakan beliau dengan intelektual modernis lainnya. Dengan menghargai prinsip
ini, Nurcholish Madjid dengan mudah dapat mencari makna masyarakat madani yang
berbeda dengan konsep awalnya, yaitu civil society. Dengan metode seperti ini, Greg
Barton menyebutkan Nurcholish Madjid sebagai pelopor gerakan neo-modernis di
Indonesia.

12
Menyadari adanya pluralisme sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia dan
kecenderungan kearah konvergensi nasional yang mantap, Nurcholish berpendapat
bahwa penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan
strategi yang matang. Kemudian ia mengajukan argument perlunya integrasi
keIslaman dan keIndonesian. Sekalipun nilai-nilai dan ajaran Islam itu bersifat
universal, tetapi pelaksanaan ajaran agama Islam menuntut pengetahuan dan
pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Termasuk di dalamnya masalah politik, dalam kerangka konsep negara bangsa. Hal
itu disebabkan karena bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki
heterogenitas tertinggi secara fisik. Heterogenitas itu menurut Nurcholish bukan saja
merupakan sesuatu yang sudah given, tetapi juga harus diperhitungkan.
Memperhatikan fakta ini ia berijtihad dengan mengatakan, setiap langkah
melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial
budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan
kemajemukan.[9] Bagi Nurcholish Madjid, persoalan teologi Islam Indonesia ialah
bagaimana menjadikan umat Islam Indonesia tidak melihat lagi ada jarak antara
keIslaman dan keIndonesian. Hal ini bisa terwujud jika Islam juga bisa tampil dengan
tawaran-tawaran kultural yang produktif serta konstruktif. Tawaran-tawaran tersebut,
setidak-tidaknya ada empat persyaratan. Pertama, tawaran kultural itu tidak semata-
mata menunjukkan hal-hal yang sempit, tetapi kultural yang mencakup dalam suatu
format yang meliputi semua aspek. Kedua, tawaran kultural itu harus responsif
terhadap tuntutan untuk memenuhi kebutuhan yang kontemporer. Ketiga, tawaran
kultural yang tampil itu merupakan hasil dialog dengan kebutuhan ruang dan waktu.
Keempat, penampilan Islam di Indonesia harus secara inklusif dan mengakhiri
penampilan yang eksklusif.[10] Gagasan yang akan menjadi solusi atas permasalahan
radikalisme agama dan mengikis sikap ekslusivisme dalam beragama di kehidupan
bangsa Indonesia saat ini dapat merujuk pada konsep sekularisasi ala Nurcholish.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularsm is
the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a

13
new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating
development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan
sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya
Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan hierarki nilai
itu sendiri sering terbalik, transsendental semuanya, bernilai ukhrawi tanpa terkecuali.
Sekalipun mereka mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, sikap itu
tercermin dalam tindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum menjadi
cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat
dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela
tradisi ini, timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat
reaksioner. Kacamata hierarki inilah, dikalangan kaum Muslim, telah membuat tidak
sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada
di dunia dewasa ini. Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan
untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan
demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran
suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, atapun historis, menjadi
sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih
memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi
khalifah Allah tentu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk
menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-
perbaikan kehidupannya diatas bumi dan sekaligus memberikan pembenaran bagi
adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu dihadapan
Tuhan[11] Berangkat dari pemaparan gagasan Nurcholish tentang sekularisasi dan
sikap inklusif. Maka untuk penerapan teknisnya dapat diberikan solusi Pendidikan
agama (Islam) multikultural pluralistik. Salah satu cara dalam membentuk model
kepemelukan inklusivisme terhadap agama adalah melalui promosi dan aplikasi
Pendidikan Agama (Islam) berbasis multikultural pluralistik. Pelaksanaan pendidikan

14
agama berbasis dan berwawasan multikultural pluralistik tersebut semakin dirasakan
penting dan mendesak jika dikorelasikan dengan kenyataan bahwa kemajemukan
agama dan kemajemukan lainnya, seperti kemajemukan etnis, antar golongan dan
kemajemukan lainnya belakangan ini telah menjadi suatu hal yang memancing
eskalasi konflik yang sedemikian mengental pekat sebagaimana telah disinggung di
atas. Pada sisi lain, kondisi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah sangatlah
memprihatinkan. Atas dasar itu, sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai multikultural
pluralistik secara aktif intensif sejak dini kepada terdidik sangat mendesak sehingga
diharapkan nantinya mereka terbiasa dengan suasana berbeda, bahkan memandang
perbedaan dan keberbagaian dalam seluruh aspek kehidupan merupakan sesuatu yang
sudah semestinya, dalam arti tidak dapat ditolak eksistensinya, sekaligus pada saat
yang sama secara teologis menyadari bahwa fenomena demikian merupakan Sunnat
Allah (Devine order). Pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik adalah
proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang
berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan
dalam konteksnya yang luas sebagai suatu grand design of God (Sunnat Allah) yang
mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan
yang plural multikultural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan
kehidupan yang berkeadilan. Dengan definisi yang lebih operasional, dapat
dinyatakan bahwa pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik merupakan
usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah
terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya
sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun,
karena pendidikan agama berwawasan multikultural pluralistik memiliki visi dan misi
untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap
pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal
transformatif.[12] Pendidikan agama (Islam) multikultural pluralistik ini dapat
menjadi rekomendasi ke tingkat struktur pemerintahan yakni kementrian pendidikan
nasional agar menambahkan pendidikan ini ke dalam kurikulum sekolah SD sampai

15
dengan perguruan tinggi. Hal ini menjadi penting karena mengingat sekolah adalah
sarana yang paling efektif dalam pembentukkan pola pikir serta kepribadian anak.
Sekolah adalah tempat para generasi penerus bangsa ini selanjutnya maka perlu untuk
diperhatikan pendidikan yang akan diberikan dan diterapkan.

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Tantangan bagi keIslaman, Kemodernan dan keIndonesiaan dalam melewati


suatu perubahan sosial saat ini adalah sikap eksklusif atau eksklusivisme. Sikap yang
menutup diri dari berbagai perbedaan yang ada di sekitarnya. Konteks fenomena ini
adalah dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang notabenenya adalah bangsa
yang dianugerahi kemajemukan dalam hal suku, adat, ras dan agama. Setelah
mengetahui tantangan tersebut maka dicarikan sebuah solusi untuk menangkalnya
yakni lewat pemikiran Nurcholish Madjid dengan konsep Sekularisasi dan sikap
inklusivisme. Dan diterapkan lewat media pendidikan yakni Pendidikan agama
(Islam) multikultural pluralistik.

B, Saran

Indonesia belum terlambat untuk bergerak melakukan perubahan menuju ke


arah yang lebih baik. Hal ini dapat terwujud apabila tercipta suatu kesadaran kolektif
dari berbagai pihak yang peduli dengan nasib masa depan bangsa Indonesia.
Kesadaran yang ada harusnya menjadi stimulus untuk pemerintah agar melakukan
perombakan yang signifikan. Karena semua perubahan akan terasa efektif apabila ada
regulasi yang mengatur dengan sifat formal. Ini yang menjadi tugas bersama bagi
pemerintah dan juga masyarakat untuk mewujudkan solusi yang telah diusulkan oleh
beberpa ahli yang terdapat dalam makalah ini. Dengan adanya kesadaran dan
kemauan yang kuat dari berbagai pihak niscaya bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa ideal dan patut dicontoh oleh bangsa lain yang memimpikan kerukunan dalam
perbedaan.

17
DAFTAR ISI

DR. Mujiburrahman. 2008. MengIndonesiakan Islam: Representasi dan


Ideologi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 24

Agussalim Sitompul. 2008. Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam Dan


Pelaksanaan Syariat Islam Di Indonesia. (Jakarta: Misaka Galiza) hal.35
Prof. Burhanuddin Daya. 2004. Agama Dialogis. (Yogyalkarta: Mataram-
Minang Lintas Budaya) hal. 120

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.


(Bandung: Mizan, 1997),

Nurcholish Madjid. 2008. Islam, Kemodernan dan Keidnonesiaan. (Bandung:


Mizan) hal 178

18
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

a. Latar Belakang ..............................................................................................1


b. Rumusan masalah..........................................................................................2
c. Tujuan ..........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3

A. PENGERTIAN EKSKLUSIVISME DAN PARTIKULARISME.................3

BAB III PENUTUP ................................................................................................17

A. KESIMPULAN ............................................................................................17
B. SARAN ........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

iii
19
MAKALAH

TAFSIR AYAT AYAT SOSIAL

DOSEN PENGAMPU

Zakaria Ansor M.Hum

KELOMPOK III

RABANIA (170602034)

RUSLI (170602033)

UNVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA
Tahun 2018/2019

20
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum wr.wb
Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat
Allah SWT.Atas segala limpahan rahmat, dan karuniaNya. Kedua kalinya
sholawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam
Nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari alam kegelapan
menuju alam terang benderang.sehingga kami bisa menyelesaikan pembuatan
makalah ini

Dan tidak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen
yang telah membantukami dalam pembuatan makalah ini

Dan dengan adanya makalah ini bisa mengetahui sebatas mana


pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini kami berharap pula agar
bisa dibimbing lebih baik lagi.mungkin hanya ini yang bisa kami sampaikan
semoga bermanfaat, terimakasih atas perhatiannya.

Wassalammualaikum wr.wb

Mataram 14 ,November 2018

Penulis

21
ii

Anda mungkin juga menyukai