Anda di halaman 1dari 16

SISTEM ANGGARAN DAN

PERBENDAHARAAN NEGARA
Materi Makalah : Pelaksanaan Anggaran (DIPA)

DISUSUN OLEH :

Walfadilah Yurizal
1502110487

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) “ tepat pada waktunya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Restu Agusti, M. Si., Ak
sebagai dosen mata kuliah Sistem Anggaran dan Perbendaharaan Negara atas arahan dan
bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut
membantu baik secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna mewujudkan makalah yang lebih baik di masa mendatang.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca.

Pekanbaru, 15 Oktober 2018

Penulis,
PEMBAHASAN

PELAKSANAAN ANGGARAN PEMERINTAH

Gambaran Umum Pelaksanaan APBN

Pelaksanaan anggaran merupakan bagian dari Siklus anggaran yang terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Siklus anggaran dimulai
dari tahap penyusunan dan penetapan APBN. Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya (misal tahun
anggaran 2008) kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan
(misal tahun 2007). Kemudian pemerintah pusat dan DPR membahas kerangka ekonomi
makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah pusat dalam
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggran berikutnya.

Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah


pusat bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan
acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.

Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku


pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran Kemeterian
Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai, disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun
anggaran yang sedang disusun. RKA-KL tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang
APBN tahun berikutnya.

Pemerintah pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai


dengan nota keuangan dan dokumen–dokumen pendukungnya kepada DPR pada Bulan
Agustus tahun sebelumnya. Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan
sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. Dalam
Pembahasan ini DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN.

Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang


APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan pemerintah pusat,maka pemerintah pusat dapat
melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, rincian pelaksanaannya dituangkan


lebih lanjut dengan Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Kemudian Menteri Keuangan
memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen
pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian negara/lembaga. Menteri/pimpinan
lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden
tentang rincian APBN.
Dalam dokumen pelaksanaan anggaran diuraikan sasaran yang hendak dicapai,
fungsi, program, dan rincian kegiatan anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran
tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan
yang diperkirakan.Pada Dokumen pelaksanaan anggaran juga dilampirkan rencana kerja dan
anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara/lembaga.

Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan


disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, BPK, Gubernur, Direktur Jenderal
Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan
terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran.

Pengajukan dana dengan menerbitkan surat perintah membayar oleh masing-masing


penanggungjawab kegiatan kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum
Negara, yang kemudian melaksanakan fungsi pembebanan kepada masing-masing bagian
anggaran serta fungsi pembayaran kepada yang berhak melalui jalur penyaluran dana yang
ditetapkan dengan mekanisme giralisasi.

Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan APBN adalah Surat Keputusan


Otorisasi/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Surat Permintaan Pembayaran, Surat Perintah
Membayar, dan Surat Perintah Pencairan Dana.

Dalam Pelaksanaan APBN tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat menyusun laporan
realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, kemudian
disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang
bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah pusat. Mengenai
penyesuaian APBN dengan perkembangan dan atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPR dengan pemerintah pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN
tahun anggaran yang besangkutan, apablia terjadi :

1. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam APBN;
2. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
3. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
4. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, pemerintah pusat mengajukan rancangan


undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan, untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Demikian juga, dalam keadaan darurat pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran yang
belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN
dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata
dalam UU 17/2003, namun dalam Keputusan Presiden nomor 42/2002 jo Keppres 72/2004
tentang Pedoman Pelaksanaan APBN terdapat di Bab IX yang mengatur pengawasan
pelaksanaan APBN. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh
atasan kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga menyelenggarakan
pengawasan terhadap pelaksanaan APBN yang dilakukan kepala kantor/satuan kerja dalam
lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan pemeriksaaan kas bendahara
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.

Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga melakukan


pengawasan atas pelaksanaan APBN yang dilakukan kantor/satuan kerja dalam lingkungan
departemen/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Mengenai hasil
pemeriksaan Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga
tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan. Inspektur
Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan
masyarakat mengenai pelaksanaan APBN.
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan
yang dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung mupun tidak langsung.
Pengawasan secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian
laporan semester I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester
I tahun anggaran yang bersangkutan atau sekitar Bulan Juli. Laporan tersebut harus pula
mencantumkan prognosa untuk semester kedua dengan maksud agar DPR dapat
mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN perubahan untuk tahun anggaran
bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut dibahas dalam rapat
kerja antara panitia anggaran dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan
tidak langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan
APBN kepada DPR. Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab
pemerintah dalam melaksanakan APBN.

Pada tahap pertanggungjawaban, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna


anggaran/pengguna barang menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di lingkungan
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berupa laporan keuangan yang meliputi
laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas leporan keuangan yang dilampiri laporan
keuangan badan layanan umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing.

Laporan keuangan kementerian negara/lembaga oleh menteri/pimpinan lembaga


disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Kemudian Menteri Keuangan menyusun rekapitulasi laporan keuangan
seluruh instansi kementerian negara. Selain itu, Menteri Keuangan selaku bendahara umum
negara menyusun laporan arus kas, dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah pusat
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan
perusahaan negara.

Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada Presiden dalam
memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Presiden menyampaikan laporan
keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya dua
bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima oleh BPK dari pemerintah.

Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-jawaban


pelaksanaan APBN kepad DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Mengenai bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah.

Landasan Hukum Pelaksanaan Anggaran

Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara,


yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-Undang Nomor 15 tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka
pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut di atas.
Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik berupa
Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan/Keputusan
Direktur Jenderal Perbendaharaan, yang antara lain terdiri dari :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.


2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
5. Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 72 tahun 2004.
6. Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden
Nomor 61 Tahun 2004.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman
Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan
Standar.
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk Penyusunan
dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun 2008.
10. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN.

Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya


Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya pemisahan kewenangan
administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan
perbendaharaa (comptable) yang berada pada Menteri Keuangan.

Kewenangan administratif meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan


lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan
pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau
menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.

Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan pejabat
lainnya yang ditunjuk sebagai BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang
melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran
penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku BUN adalah pengelola
keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan
dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan disini terbatas pada
aspek rechmategheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya
penerimaaan dan pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh
kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada


hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara
setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operasional Officer untuk
suatu bidang tertentu pemerintahan. Sesuai dengan prinsip tersebut Kementerian Keuangan
berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara
nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing.
Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri lainnya tercermin
dalam pelaksanaan anggaran tersebut di atas.

Kemudian pembagian kewenangan antara menteri/pimpinan lembaga dinyatakan dalam


pasal 4 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri/pimpinan
lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian/lembaga yang
dipimpinnya berwenang :

1. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;


2. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
3. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;
4. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang;
5. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;
6. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran;
7. menggunakan barang milik negara;
8. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara;
9. mengawasi pelaksanaan anggaran;
10. dan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan.

Sedangkan sesuai pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 2004, Menteri Keuangan selaku
BUN berwenang :

1. menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;


2. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
3. melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran;
4. menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
5. menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
6. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran
negara;
7. menyimpan uang negara;
8. menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;
9. melakukan pembayaran berdasarkan permintaaan Pejabat Pengguna Anggaran atas
beban rekening kas umum negara;
10. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;
11. memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
12. melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
13. mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintah;
14. melakukan penagihan piutang negara;
15. menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;
16. menyajikan informasi keuangan negara;
17. menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik
negara;
18. menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka pembayaran
pajak;
19. menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.

Pengertian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Pada Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di pasal 4


ayat 2 huruf a disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang
menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan anggaran
atau APBN, maka Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas penyusunan dokumen
pelaksanaan anggaran Kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Kewenangan
Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut dilimpahkan kepada kepala satuan kerja (satker)
pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal tertentu/satker sementara.

Wujud dokumen pelaksanaan anggaran yang berlaku mulai tahun anggaran 2005
berupa daftar isian yang memuat uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan
rincian kegiatan, rencana penarikan dana tiap-tiap bulan dalam satu tahun serta pendapatan
yang diperkirakan oleh kementerian negara/lembaga, sehingga dokumen pelaksanaan
anggaran tersebut disebut daftar isian pelaksanaan anggaran atau disingkat DIPA. DIPA
tersebut disusun atas dasar peraturan presiden tentang rincian APBN.

Konsep DIPA yang telah selesai disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran satker
disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan kepada Kepala
Kanwil DJPB untuk DIPA daerah. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menelaah kesesuaian konsep DIPA dengan
rincian APBN yang ditetapkan dalam peraturan presiden dan kemudian mengesahkan DIPA
pusat. Sedangkan Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan selaku BUN menelaah
kesesuaian konsep DIPA dengan rincian APBN yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden
dan kemudian mengesahkan DIPA daerah.

Apabila dalam batas waktu yang ditentukan (akhir tahun anggaran) Kuasa Pengguna
Anggaran satker belum menyampaikan konsep DIPA, maka Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB tetap menerbitkan Surat Pengesahan DIPA yang
dilampiri konsep DIPA (sementara) yang dibuat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau
Kepala Kanwil DJPB berdasarkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) dan rencana kerja
anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) atau peraturan presiden tentang rincian APBN.
Dalam hal DIPA (sementara) ini dapat dipakai sebagai dasar penerbitan surat perintah
membayar dengan ketentuan bahwa
dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai, pengeluaran keperluan
sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk
jenis pengeluaran lainnya harus diblokir.

Menurut lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.05/2007 tentang


Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan, Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2006, maupun dalam Peraturan Menteri Keuangan
nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN dipasal 1
angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA)
adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta
disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendahaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi
sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan
pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.

Dari Pengertian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa dalam DIPA terdapat dua dokumen
yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu dokumen pelaksanaan
anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga bersangkutan dan dokumen surat
pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala
Kanwil DJPB atas nama menteri keuangan selaku bendahara umum negara. Dengan
demikian, suatu dokumen pelaksanaan anggaran dapat disebut DIPA (lengkap), apabila
terdiri dari :

1. Surat pengesahan DIPA (SP DIPA), berisi informasi mengenai hal – hal yang
disahkan dari DIPA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau
Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan.
2. DIPA halaman I (Umum), terdiri dari halaman IA dan halaman IB. Halaman IA
memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satuan kerja. Halaman IB memuat
informasi umum tentang rincian fungsi, program dan sasarannya serta indikator
keluaran untuk masing-masing kegiatan.
3. DIPA halaman II, berisi informasi setiap satuan kerja, uraian kegiatan / sub kegiatan
beserta volume keluaran yang hendak dicapai serta alokasi dana pada masing-masing
belanja yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran. Rincian halaman II untuk
masing-masing DIPA adalah sebagai berikut :
1. DIPA kementerian negara/lembaga, meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.
2. DIPA perimbangan keuangan negara, meliputi belanja daerah dana alokasi umum,
belanja daerah dana alokasi khusus, belanja daerah dana bagi hasil, belanja daerah
dana penyesuaian, dan belanja daerah dana otonomi khusus.
3. DIPA pembayaran bunga utang dan hibah, meliputi belanja bunga utang dalam
negeri, belanja bunga utang luar negeri, Penerusan pinjaman dan belanja hibah.
4. DIPA subsidi dan transfer berisi belanja subsidi.
5. DIPA pembiayaan, meliputi pembiayaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri,
penerusan pinjaman dan penyertaan modal pemerintah.
4. DIPA halaman III, berisi informasi tentang rencana penarikan dana dan penerimaan
negara bukan pajak yang menjadi tanggungjawab setiap satuan kerja. Dalam hal
pencantuman angka rencana penarikan pengeluaran pada halaman III DIPA
berdasarkan rencana kerja, satuan kerja perlu memperhatikan hal – hal sebagai berikut
:
1. Untuk belanja pegawai, rencana penarikan pengeluaran per bulan adalah seperdua
belas dari pagu gaji satu tahun;
2. Untuk belanja barang dan modal, agar memperhatikan kebutuhan berdasarkan rencana
penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang meliputi rencana
penarikan uang persediaan dan rencana penarikan langsung untuk setiap bulan.
5. DIPA halaman IV, berisi catatan-catatan yaitu hal-hal yang perlu menjadi perhatian
oleh pelaksana kegiatan.

Jenis-Jenis Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Konsep DIPA disusun untuk masing-masing Satuan Kerja dan pada prinsipnya satu DIPA
untuk satu satker. Khusus untuk Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum
dan Hak Asasi manusia, Departemen Keuangan, Departemen Pertanhanan dan Keamanan,
Kepolisian Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Pusat Statistik, satu DIPA
dapat meliputi beberapa satker pada masing-masing provinsi/Kantor Wilayah.

Berdasarkan pembagian anggaran dalam APBN, jenis DIPA dapat dikelompokkan atas DIPA
Kemeterian Negara/Lembaga dan DIPA Pembiayaan dan Perhitungan (DIPA APP).

1. DIPA Kementerian Negara/Lembaga

DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran dari Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang dikategorikan
menjadi :

1. DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat

DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh satuan
kerja yang merupakan satuan kerja pusat atau satuan kerja Kantor Pusat suatu
kementrian negara/lembaga, termasuk di dalamnya untuk DIPA Badan Layanan
Umum (BLU), dan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).

Satuan Kerja Pusat dapat terdiri dari satuan kerja–satuan kerja yang dibentuk oleh
kementerian nagara/ lembaga secara fungsional dan bukan merupakan instansi
vertikal . Sedangkan Satuan Kerja Kantor Pusat adalah satuan kerja dalam lingkup
Kantor Pusat suatu kementerian negara /lembaga. Konsep DIPA Satker Pusat/kantor
Pusat disusun dan ditetapkan oleh Satuan Kerja masing-masing kementerian
negara/lembaga.

2. DIPA Satker Vertikal/ Kantor Daerah

DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Kantor/Instansi Vertikal Kementerian Negara/Lembaga di daerah.
Konsep DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah disusun dan ditetapkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Vertikal yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh Menteri/ Ketua Lembaga.

3. DIPA Dana Dekonsentrasi

DIPA Dana dekonsentrasi adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran
kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan dana dekonsentrasi, serta
pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi yang
ditunjuk oleh Gubernur.

Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala SKPD yang
ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pendelegasian wewenang dari Menteri/Ketua
Lembaga.

4. DIPA Tugas Pembantuan

DIPA Tugas Pembantuan adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran
kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan, serta
pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Provinsi/Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur/ Bupati/Walikota.

Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala Satker Pusat
yang ditunjuk oleh Menteri/Ketua Lembaga.

2. DIPA Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (DIPA APP)

DIPA APP adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran dari Bagian
Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). BAPP merupakan Bagian Anggaran
yang dikelola oleh menteri Keuangan dan penggunaan anggaran tersebut bersifat
khusus serta tidak termasuk dalam anggaran kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah. Dalam Pelaksanaannya Menteri Keuangan menunjuk Kuasa Pengguna
Anggaran untuk menyusun dan menetapkan konsep DIPA. BAPP meliputi :

1. Cicilan Bunga Utang (BA 061)


2. Subsidi dan Transfer (BA 062)
3. Belanja Lain-Lain (BA 069)
4. Dana Perimbangan (BA 070)
5. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071)
6. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)
7. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)
8. Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)
9. Penyertaan Modal Negara (BA 099)
10. Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101)
11. Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)
DIPA APP dapat terdiri dari :

1. DIPA Belanja Pemerintah Pusat.

DIPA Belanja Pemerintah Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggaran Bagian Anggaran Cicilan Bunga Utang (BA 061), Bagian Anggaran Subsidi
dan Transfer (BA 062), Bagian Anggaran Belanja Lain-Lain (BA 069), dan Bagian
Anggaran Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101). Pelaksanaan anggaran
dilakukan oleh satuan kerja kementerian negara/lembaga atau satuan kerja yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2. DIPA Belanja Daerah

DIPA Belanja Daerah adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran Bagian
Anggaran Bagian Anggaran Dana Perimbangan (BA 070) dan Bagian Anggaran
Bagian Anggaran Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071), pelaksanaannya
dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Konsep DIPA Dana Perimbangan disusun dan ditetapkan oleh Kuasa Pengguna
Anggaran yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan

3. DIPA Pembiayaan

DIPA Pembiayaan adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran BAPP
sebagai berikut :

1. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)


2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)
3. Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)
4. Penyertaan Modal Negara (BA 099)
5. Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)
4. DIPA Khusus

DIPA Khusus adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran yang berasal
dari BAPP dimana karena sifat dan keperluannya sehingga Konsep DIPA dan Surat
Pengesahan DIPA disatukan dalam satu lembar DIPA yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Sifat dan keperluan penerbitan DIPA Khusus ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan dengan kriteria penanganan kejadian luar biasa yang mempunyai
tingkat urgensi sangat tinggi dan bersifat mendesak, seperti :

1. penanganan yang bersifat darurat,


2. kegiatan yang bersifat politis dalam rangka menjaga kredibilitas Pemerintah
Pelaksanaan Anggaran

Dalam pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran


mempunyai kewenangan dan bertanggunjawab atas penyusunan kegiatan dan perhitungan
biaya yang tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Kewenangan dan tanggungjawab
tersebut dilimpahkan kepada kepala satker pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker
non vertikal tertentu/satker sementara, dan dikuasakan kepada gubernur untuk menunjuk
satker perangkat daerah selaku kuasa pengguna anggaran.

Satker kementerian negara/lembaga tersebut menyusun dokumen pelaksanaan


anggaran mengacu kepada rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) dan peraturan presiden
tentang rincian APBN. Hasil penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disebut
konsep DIPA yang memuat uraian sasaran yang akan dicapai, fungsi, program, dan rincian
kegiatan, rencana penarikan dana setiap bulan dalam satu tahun serta pendapatan yang
diperkirakan.

Konsep DIPA diajukan kepada Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala
Kanwil Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahan. Sebelum melakukan pengesahan Konsep
DIPA tersebut, Dirjen PBN dan Kanwil Ditjen PBn mengadakan penelaahan terhadap konsep
DIPA, apakah telah sesuai dengan peraturan presiden tentang rincian APBN dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila telah selesai kemudian Direktur Jendaral
Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil Ditjen PBN menerbitkan SP DIPA. SP DIPA
dan konsep DIPA tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan disebut DIPA.

Apabila dalam pelaksanaan DIPA terdapat hal-hal yang mengharuskan adanya


perubahan isi yang tercantum dalam DIPA, maka satker kementerian negara/lembaga dapat
mengajukan revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil
Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahannya. Mengenai pengesahan revisi DIPA ini ada
yang langsung diputuskan oleh Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil
Ditjen PBN, namun ada yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari
Direktur Jenderal Anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan badan diatas terjadi pembagian wewenang antara DJN (Direktorat
Jenderal Anggaran ) sebagai fiscal research dan fiscal policy, dan DJPBN ( Direktorat
Jenderal Perbendaharaan Negara) selaku Fiscal Implementation dan Budget execution. DJN
menganalisa dan mengkaji kebijakan fiscal serta perumusan asumsi makro, sedangkan
DJPBN sebagai Perencana dan penyusun APBN serta pelaksana dan penanggung jawab
APBN.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara;

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan

Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah

Anda mungkin juga menyukai