Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Medis
1. Pengertian
a. Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta
tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya
(Arif Muttaqin ; 2008).
b. Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura meter)
atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera
kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses
langsung ke otak
(Corwin J.Elizabeth; 2005).
c. Cedera kepala : Trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen.
(http://www.yayanakhyar. com.nr/200905)
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik secara
langsung bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi trauma
kulit kepala, tengkorak dan juga otak sehingga dapat mengakibatkan
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen.
2. Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang lembut, yang
membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka
besar bagi seseorang. Pada orang dewasa tengkorak merupakan ruangan
keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang
sebenarnya terdiri dari 2 dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga.
Dinding luar disebut tabula eksternal dan dinding bagian dalam disebut
tabula internal. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga
lapisan meninges adalah durameter, araknoid dan piameter
(Price, Silvia A ; 2005).

Sistem persarafan terdiri dari:


a. Susunan saraf pusat
1) Otak
a) Otak besar atau serebrum (cerebrum)
Mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer
kanan yang duhubungkan oleh massa substansi alba
(substansia alba) yang disebut korpus kalosum (corpus
callosum). Serebrum terdiri atas : korteks sereri, basal ganglia
(korpora striate) dan sistem limbik (rhinencephalon).
b) Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fossa kranial posterior,
dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii
dan medula oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer
yang dihubungkan oleh vermis. serebelum dihubungkan
dengan otak tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan
pons paroli oleh pedunkulus serebri media dan dengan medula
oblongata oleh pedunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan
setiap hemisfer serebri disebut korteks yang disusun oleh
substansia grisea. Lapisan – lapisan korteks serebri ini
dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat.
Kelompok massa substansia grisea tertentu pada serebelum
tertanam dalam substansia alba yang paling besar dikenal
sebagai nukleus dentatus.
c) Batang otak.
Pada permukaan batang otak terdapat medula oblongata, pons
varolii, mesensefalon dan diensefalon. Talamus dan epitalamus
terlihat dipermukaan posterior batang otak yang terletak
diantara serabut capsula interna. Disepanjang pinggir
dorsomedial talamus terdapat sekelompok serabut saraf
berjalan keposterior basis epifise.
2) Sum-sum tulang belakang (trunkus serebri)
Medula spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang
menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio.
Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis
sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama
dipersatukan oleh struktur intermedia yang dibentuk oleh sel saraf
dan didukung oleh jaringan interstisial.
Medula spinalis membentang dari foramen magnum sampai
setinggi vertebra lumbalis I dan II, ujung bawahnya runcing
menyerupai kerucut yang disebut konus medularis, terletak
didalam kanalis vertebralis melanjut sebagai benang-benang (filum
terminale) dan akhirnya melekat pada vertebra III sampai vertebra
torakalis II, medula spinalis menebal kesamping. penebalan ini
dinamakan intumensensia servikalis.
b. Susunan saraf perifer
1) Susunan saraf somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi
sensori dari tubuh. Indra ini berbeda dengan indra khusus
(penglihatan, penghiduan, pendengaran, pengecapan dan
keseimbangan), indra somatik digolongkan menjadi 3 jenis :
a) Indra somatik mekano reseptif.
b) Indra termoreseptor.
c) Indra nyeri.
2) Susunan saraf otonom
Saraf yang mempersarafi alat – alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru – paru, lambung, usus dan ginjal. Alat ini
mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling
bertentangan, kalau yang satu merangsang yang lainnya
menghambat dan sebaliknya, kedua susunan saraf ini disebut saraf
simpatis dan saraf parasimpatis
(syaifuddin ; 2009).

3. Etiologi
Penyebab utama cedera kepala meliputi : Kecelakaan lalu lintas >50 %
kasus, Jatuh, Pukulan, Kejatuhan benda, Kecelakaan kerja/industri, Cedera
lahir, Luka tembak
(Cholik Harun dan Saiful Nurhidayat ; 2009 :49 )
4. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan
dan morfologi cedera:
a. Mekanisme:
1) Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
b. Berdasarkan beratnya:
1) Ringan (GCS 14-15)
2) Sedang (GCS (9-13)
3) Berat (GCS 3-8)
c. Berdasarkan morfologi:
1) Fraktur tengkorak
a) Kalvaria: Linear atau stelata, Depressed atau nondepressed,
Terbuka atau tertutup
b) Dasar tengkorak: Dengan atau tanpa kebocoran CNS, Dengan
atau tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial)
2) Lesi intrakranial
a) Fokal: Epidural, Subdural, intraserebral
b) Difusa: Komosio ringan, Komosio klasik, Cedera aksonal
difusa( http://www.yayanakhyar.co.nr/2009)
d. Skala Coma Glasgow (GCS)
1) Tabel I.Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)

1 Tidak ada reaksi 1 Tidak ada jawaban 1 Tidak ada reaksi

2 Dengan rang 2 Mengerang 2 Reaksi ekstensi(deserebrasi)


sang nyeri

3 Terhadap suara 3 Tidak tepat 3 Reaksi fleksi(dekortikasi)

4 Spontan 4 Kacau/confused 4 Reaksi menghindar

5 Baik,tidak ada dis 5 Melokalisir nyeri


orientasi
6 Menurut perintah
(Sumber:dr George Dewanto,Sp.s,dkk.Panduan Praktis:Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf)

Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai


GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak dan
Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh cholik Harun Risjidi)
2) Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan
nilai skala Koma Glasgow
Penentuan keparahan Deskripsi Frekuensi
GCS:13-15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
Minor/ringan kurang dari 30 menit 55 %
Tidak ada fraktur tengkorak,tidak ada kontusio
serebral,tidak ada hematom
GCS:9-12
Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia lebih dari 30
Sedang menit tetapi kurang dari 24 jam 24 %
Dapat mengalami fraktur tengkorak

GCS:3-8
Kehilangan kesadaran dan /atau amnesia lebih dari 24
jam,juga meliputi kontusio serebral,laserasi,
Berat atau hematom intrakranial 21 %

(Sumber:Cholik Harun Rosjidi,cs(Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke)

5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yag berlawanan dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yag timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi
(http://www.yayankhyar. com.nr/2009)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
meliputi:
a. CT scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral angiography
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
e. Sinar X
f. Mendeteksi parubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

h. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
i. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarakhnoid
j. Kadar Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.
k. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
l. Rontgen Thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area
pleural.
Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa Gas Darah (AGD/ Astrup) adalah salah satu tes diagnostik
untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi
dan status asam basa.
(Arif Muttaqin ; 2008)

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen
dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang
memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakni dengan intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat
intermitten iatrogenic paralisis Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada
klien – klien yang koma untuk mencegah terjadinya P aCO2 yangmeninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
a. Bedrest total
b. Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c. Pemberian obat – obatan
1) Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
d. Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa –
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
e. Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari – hari pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5
% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan
diberikan melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)

8. Komplikasi
a. Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat
menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera
kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial
meningkat, dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis
cedera otak sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun
dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma
meluas dan edema interstisial memburuk.
b. Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi
da tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009)

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan
pengkajian psikososial.
a. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut –
ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala.
Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS
>15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila
klien tidak sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan
penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
ngebut – ngebutan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat – obat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus.
e. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.

f. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
persistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (Brain) dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan
dari klien.
g. Keadaan umum
Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran (cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15,
cedera kepala berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama
dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
1) B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan :
a) Inspeksi
Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan
paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh
dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan
adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus,
fraktur tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal
dan tube trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot – otot
interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot – otot interkostal tidak mampu menggerakkan
dinding dada.
b) Palpasi
Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
c) Perkusi
Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks/ hematothoraks
d) Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien
cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang
dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi
cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi
bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.
Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemaglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu syok.
Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang
berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga
memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
a) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem
persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera
kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma.
b) Pemeriksan fungsi serebral
Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut
biasanya status mental mengalami perubahan.
Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang
Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya
kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi
ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam
program rehabilitasi mereka. Masalah psikologi lain juga
umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, dendam da kurang kerja sama.
Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparase sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan
mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera
kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan,
perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan bidang
pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah
frustrasi
c) Pemeriksaan saraf kranial
(1) Saraf I
Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral
(2) Saraf II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi
dari nervus optikus. Perdarahan diruang intrakranial,
terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan
perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah didalam otak
dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala
macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan
intrakranial dapat dicerminkan pada fundus
(3) Saraf III, IV da VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien
dengan trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-
kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini
harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak
bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium
adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.
Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria
dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan
miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada
sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.
Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral
yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu
berarti pusat siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil
tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
(4) Saraf V
Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis nervus trigenimus, didapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan menguyah
(5) Saraf VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan
(6) Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma
yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
(7) Saraf IX dan Xl
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut.
(8) Saraf XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien
cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
(9) Saraf XII
Indra pengecapan mengalami perubahan

d) Sistem motorik
Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah
satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda
yang lain.
Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade
kekuatan otot didapatkan grade O
Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.
e) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon
normal.
Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks
fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
f) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual
karena gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan
korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan
kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimulasi visual, taktil dan auditorius.
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik,
termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia
urine karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakan
neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan kerusakan
neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar
selang endotrakeal dan nasotrakeal.
6) Tulang (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan
adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir
dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa
dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemaglobin atau
syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator
dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Joundice (warna kuning)
pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat
penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan pocked red
cells (PRC) dalam jangka waktu lama.
Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak
begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat
menunjukan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk
menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau paralisis/
hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan
aliran darah otak sekunder edema serebri, hematom.
b. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular control mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru-
paru.
c. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan terapi diuretic,
pembatasan cairan.
d. Resiko injuri sehubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah,
gangguan fungsi motorik, kejang.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.
f. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan kognitif,
sensorik.
g. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan kognitif,
sensorik, kerusakan memori, paralisis, menurunya neuromuskuler.

3. Intervensi
a. Dx. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
kerusakan aliran darah otak sekunder edema, serebri.
Kriteria hasil
1) Tingkat kesadaran kompos mentis : orientasi orang, tempat dan
memori baik.
2) Tekanan perfusi serebral >60 mmHg, tekanan intrakranial < 15
mmHg.
3) Fungsi senssori utuh / normal.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS Tingkat kesadaran merupakan
indikator terbaik adanya perubahan
neurologi
2. Kaji pupil, ukuran, respon terhadap Mengetahui fungsi N I,II dan III
cahaya, gerakan mata
3. Kaji refleks kornea dan refleks gag Menurunnya refleks kornea dan
refleks gag indikasi kerusakan
pada batang otak
4. Evaluasi keadaan motorik dan Gangguan motorik dan sensori
sensori pasien dapat terjadi akibat edema otak.
5. Monitor tanda vital setiap 1 jam Adanya perubahan tanda vital
seperi respirasi menunjukkan
kerusakan pada batang otak
6. Observasi adanya edema periorbita Indikasi adanya fraktur basilar
ekimosis diatas
osmatoid,rhinorrhea, otorrhea.
7. Pertahan kan kepala tempat tidur Memfasilitasi drainasi vena dari
30-45 derajat dengan posisi leher otak
menekuk
8. Anjurkan pasien untuk tidak Dapat meningkatkan tekanan
menekuk lututnya / fleksi, batuk, intrakranial
bersin, feses yang keras
9. Pertahankaan suhu normal Suhu tubuh yang meningkatkan
akan meningkatkan aliran darah ke
otak sehingga meningkatkan TIK
10. Monitor kejang dan berikan obat
10. Kejang dapat terjadi akibat iritasi
antikejang serebral dan keadaan kejang
memerlukan banyak oksigen

11. Lakukan aktivitas keperawatan dan


11. Meminimalkan stimulus sehingga
aktivitas pasien seminimal menurunkan TIK.
mungkin.

12. Pertahankan kepatenan jalan napas,


12. Mempertahankan adekuatnya
suction jika perlu, berikan oksigen oksigen, suction dapat
100 % sebelum suction dan suction meningkatkan TIK
tidak lebih dari 15 detik.

13. Monitor AGD, PaCO2 antara35-45


13. Karbondioksida menimbulkan
mmHg dan PaCO2 >80 mmHg vasodilatasim adekuatnya oksigen
sangat penting dalam
mempertahankan metabolisme
otak.
14. Berikan obat sesuai program dan
14. Mencegah komplikasi lebih dini
monitor efek samping.
b. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, kontrol mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru-
paru.
Kriteria hasil
1) Pasien dapat menunjukkan pola napas yang efektif: frekwensi <
20/ menit, irama dan keadaan normal.
2) Fungsi paru-paru normal: tidak volume > 7-10 ml/kg, vital
capacity > 12-15 ml/kg.
Intervensi Rasional
1. Kaji frekwensi napas, kedalaman, Pernapasan yang tidak teratur, seperti
irama setiap 1-2 jam. apnea,pernapasan cepat atau lambat
kemungkinan adanya gangguan pada
pusat pernapasan pada otak.

2. Auskultasi bunyi napas setiap 1-2 Salah satu komplikasi cidera kepala
jam adalah adanya gangguan pada paru-
paru
3. Pertahankan kebersihan jalan Mempertahankan adekuatnya suplai
napas, suction jika perlu, berikan oksigen ke otak
oksigen sebelum suction.

4. Berikan posisi semifowler. Memaksimalkan ekspansi paru


5. Monitor AGD Mempertahankan kadar PaO2 dan
PaCO2 dalam batas normal.
6. Berikan oksigen sesuai program Meningkatkan suplay oksigen ke otak.

c. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan terapi diuretic,


pembatasan cairan.
Kriteria hasil
1) Pasien dapat mempertahankan fungsi hemodinamik : tekanan
darah systole dalam batas normal, denyut jantung teratur.
2) Terjadi keseimabangan cairan dan elektrolit : berat badan stabil,
intake dan output cairan seimbang, tidak terdapat tanda-tanda
dehidrasi.
Intervensi Rasional
1. Monitor intake dan output cairan. Mengetahui keseimbangan cairan,
penanganan lebih dini. Jika output
urine <30ml/jam, BJ urine > 1.025
indikasi kekurangan cairan.
2. Monitor hasil laboratorium, Hemotokrit yang meningkat berarti
elektrolit, hemotokrit. cairan lebih pekat.
3. Monitor tanda-tanda dehidrasi : Indicator kekurangan cairan.
banyak minum, kulit kering, turgor
kulit kurang, kelemahan, berat
badan yang menurun.
4. Berikan cairan pengganti melalui Mengganti cairan yang hilang.
oral atau parenteral.

d. Resiko injuri sehubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah,


gangguan fungsi motorik, kejang.
Kriteria hasil
1) Injuri tidak terjadi,
2) Kejang dapat dikontrol,
3) Orientasi dan persepsi pasien baik.
Intervensi Rasional
1. Sediakan alat-alat yang untuk Aktivitas kejang dapat menimbulkan
penanganan kejang, misalnya obat- injuri / cidera.
obatan, suction.
2. Jaga kenyamanan lingkungan, tidak Banyaknya stimulus meningkatkan rasa
berisik. frustasi psien.
3. Tempatkan barabg-barang yang Menghindari trauma akibat benda-
berbahaya tidak dekat dengan pasien benda disekelilingnya.
seperti kaca, gelas, larutan antiseptic.
4. Gunakan tempat tidur dengan Mencegah terjadinya trauma.
penghalang dan roda tempat tidur
dalam keadaan terkunci.
5. Jangan tinggalkan pasien sendirian Penanganan lebih cepat dan mencegah
dalam keadaan kejang. terjadinya trauma.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
neuromuskuler, terapi bedrest, immobilisasi.
Kriteria hasil
1) Mempertahankan pergerakan sendi secara maksimal.
2) Terbebas dari kontraktur, atropi.
3) Integritas kulit utuh.
4) Kekuatan otot maksimal.
Intervensi Rasional
1. Kaji kembali kemampuan dan Mengidentifikasi masalah utama
keadaan secara fungsional pada terjadinya gangguan mobilitas fisik.
kerusakan yang terjadi.
2. Monitor fungsi motorik dan sensorik Menentukan kemampuan mobilisasi.
setiap hari.

3. Lakukan latihan ROM secara pasif Mencegah terjadninya kontraktur.


setiap 4 jam.
4. Ganti posisi tetap setiap 2 jam sekali. Penekanan yang terus menerus
menimbulkan iritasi dan dekubitus.
5. Gunakan bed board, food board. Mencegah kontraktur.
6. Koordinasikan aktifitas dengan ahli Kolaborasi penanganan fisioterapi.
fisioterapi.
7. Observasi keadaan kulit seperti Mencegah secara dini terjadinya
adanya kemerahan, lecet pada saat dekubitus.
merubah posisi atau memandikan.
8. Lakukan pemijatan / massage pada Mencegah terjadinya dekubitus.
bagian tulang yang menonjol seperti
pada koksigis, scapula, tumit, siku.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arief, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, Media Aesculapius,
Jakarta.

Muttaqin,Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Kperawatan Pada Klien dengan


Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta.
Nenk. 2010. Pemeriksaan Neurologis Fungsi Cerebral.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta, EGC ,2002

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Laporan Asuhan Keperawatan ini sudah diteliti dan disetujui oleh


Pembimbing Laboratorium Klinik STIKES Bethesda YAKKUM Yogyakarta

Yogyakarta, Juli 2012


Pembimbing Klinik I, Pembimbing Klinik II,

(Dewi Purnasiwi, S.Kep., Ns.) (Endarwati S., AMK.)

Pembimbing Akademik,

(Isnanto, S.Kep., Ns.)

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN CIDERA KEPALA

Disusun Oleh:

Desta Windy Pamungkas


0902014

PROGRAM STUDY S-1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES BETHESDA YAKKUM

YOGYAKARTA

Anda mungkin juga menyukai