Anda di halaman 1dari 91

Referat

PSYCHOSOMATIC MEDICINE

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 17 September – 22 Oktober 2018

Dhanty Mukhlisa, S.Ked 04054821719179


Endy Averossely, S.Ked 04084821719182
Marlan Pardamean Lalau Hutajulu, S.Ked 04084821719137

Pembimbing: dr. H. M. Zainie Hassan A. R., Sp.KJ(K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
PSYCHOSOMATIC MEDICINE

Oleh:

Dhanty Mukhlisa, S.Ked 04054821719179


Endy Averossely, S.Ked 04084821719182
Marlan Pardamean Lalau Hutajulu, S.Ked 04084821719137

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang periode 17 September – 22 Oktiber 2018.

Palembang, Oktober 2018

dr. H. M. Zainie Hassan A. R., Sp.KJ(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“PSYCHOSOMATIC MEDICINE” untuk memenuhi tugas ilmiah yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
H. M. Zainie Hassan A. R., Sp.KJ(K) selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Oktober 2018

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

BAB III KESIMPULAN........................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................88

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kedokteran psikosomatis telah menjadi perhatian khusus dalam bidang


psikiatri selama lebih dari 50 tahun. Istilah psikosomatis berasal dari bahasa Yunani
kata-kata psyche (jiwa) dan soma (tubuh). Istilah ini secara harfiah mengacu pada
bagaimana pikiran mempengaruhi tubuh. Sayangnya, istilah ini telah digunakan,
setidaknya oleh masyarakat awam, untuk menggambarkan suatu individu dengan
keluhan medis yang tidak memiliki penyebab fisik. Sebagian karena kesalahpahaman
ini, American Psychiatric Association Diagnostic dan Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM), pada tahun 1980, menghapus gangguan psikosomatik dan
menggantinya dengan faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik, istilah
tersebut juga tidak muncul kembali dalam edisi-edisi berikutnya, termasuk edisi
terbaru (DSM-5). 1,2
Meskipun demikian, istilah terus digunakan oleh para peneliti dan dalam judul
jurnal utama di lapangan (mis., Pengobatan Psikosomatis, Psikosomatis, dan Jurnal
Penelitian Psikosomatis). Ini juga digunakan oleh dua organisasi nasional besar di
bidang ini (the Academy of Psychosomatic Medicine and the American
Psychosomatic Society) juga organisasi internasional (misalnya, European
Association for Consultation Liaison Psychiatry and Psychosomatics). Pada tahun
2003 Dewan Spesialisasi Kedokteran Amerika dan American Board of Psychiatry and
Neurology menyetujui spesialisasi dari kedokteran psikosomatis. Keputusan itu
mengakui pentingnya bidang ini dan juga membawa istilah psikosomatis kembali ke
penggunaan umum.2,3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah
Edward Shorter membahas secara rinci dalam ringkasannya tentang sejarah
penyakit psikosomatis, cara timbulnya penyakit yang bervariasi sepanjang sejarah,
karena pasien secara tidak sadar memilih gejala yang dianggap mewakili penyakit
somatik sesungguhnya. Sebagai hasilnya, tampilan psikosomatik bervariasi sepanjang
sejarah baru-baru ini. Sebelum tahun 1800, dokter tidak melakukan evaluasi klinis
dan tidak dapat membedakan penyakit somatik dari penyakit psikogenik. Akibatnya,
diagnosa histeria dan hipokondriasis dapat dengan mudah dibuat di hadapan penyakit
medis yang sesungguhnya.1,2,3
Sigmund Freud adalah teoritikus utama yang membawa psyche dan soma
bersama. Dia menunjukkan pentingnya emosi dalam menghasilkan gangguan mental
dan gangguan somatik Formulasi psikoanalitik awalnya memerinci peran psikis
determinisme dalam reaksi konversi somatik. Dengan menggunakan wawasan Freud,
sejumlah pekerja pada dekade awal abad ke-20 mencoba memperluas pemahaman
keterkaitan antara psyche dan soma. Pengaruh pada jaringan organ dewasa akibat
bermacam-macam impuls pregenital yang belum terselesaikan diusulkan oleh Karl
Abraham pada tahun 1927, aplikasi gagasan reaksi konversi ke organ di bawah
kendali sistem saraf otonom digambarkan oleh Sándor Ferenczi pada tahun 1926, dan
melampirkan simbolis yang berarti demam dan perdarahan disarankan oleh Georg
Groddeck pada tahun 1929.3,4,5
Pada abad ke-20, gejala somatisasi berubah dari yang dominan neurologis
(mis., paralisis hysterical paralysis) ke gejala lain seperti kelelahan dan nyeri kronis.
Edward Shorter menghubungkan perubahan ini pada tiga penyebab: (1) peningkatan
dalam teknik diagnostik medis membuatnya penyebab organik untuk penyakit
neurologis lebih mudah untuk dikesampingkan; (2) paradigma sistem saraf pusat

2
(CNS) memudar; dan (3) peran social yang berubah (misalnya, lenyapnya gagasan
sejarah bahwa wanita "lemah" akan diharapkan untuk pingsan dan lumpuh).2,3
Meskipun gejala neurologis histeris tetap relatif kurang umum di abad ke-21,
penjelasan CNS tentang nyeri kronis dan kelelahan semakin menonjol. Misalnya,
penelitian otak fungsional telah menunjukkan disfungsi otak dan mungkin kontribusi
genetik di beberapa individu dengan fibromialgia dan sindrom kelelahan kronis.
Sindrom tersebut, sementara masih dianggap oleh beberapa orang untuk mewakili
varian somatisasi dan saat ini ditetapkan sebagai diagnosa medis. Tren konseptual
utama dalam sejarah kedokteran psikosomatis 4,5

2.2 Tren Saat Ini


Praktek kedokteran psikosomatis telah berkembang secara signifikan sejak
awal asal-usul klinisnya dan telah difokuskan untuk penyakit kejiwaan yang terjadi
dalam setting pelayanan kesehatan fisik. Sebagian besar evolusi ini telah terjadi
sebagai akibat dari peningkatan kompleksitas obat, peningkatan pemahaman tentang
hubungan penyakit medis pada penyakit kejiwaan, dan kesadaran yang lebih tinggi
bahwa pikiran dan tubuh adalah satu. Hasil utama dari hal ini adalah pemberian status
subspesialis untuk kedokteran psikosomatis. Perawatan klinis sekarang dilakukan
dalam berbagai variasi dengan penggunaan seperangkat alat diagnostik yang terus

3
berkembang, serta intervensi psikoterapeutik dan somatik yang efektif. Penelitian
telah berkembang untuk memasukkan pemahaman yang lebih besar tentang hubungan
antara kondisi medis kronis dan gangguan kejiwaan dan telah memeriksa hubungan
patofisiologi, epidemiologi gangguan medis dan psikiatri komorbid, dan peran
intervensi spesifik yang bermain dalam hasil fisiologis, klinis, dan ekonomi

Morbiditas psikiatri sangat umum pada pasien dengan kondisi medis, dengan
prevalensi mulai dari 20 hingga 67 persen, tergantung pada penyakitnya. Pasien di
rumah sakit umum memiliki tingkat gangguan psikiatris tertinggi bila dibandingkan
dengan sampel masyarakat atau pasien dalam perawatan rawat jalan. Misalnya,
dibandingkan dengan sampel masyarakat, gangguan depresi di rumah sakit umum dua
kali lebih banyak terjadi dan lebih umum, dan penyalahgunaan zat dua sampai tiga
kali lebih umum terjadi. Delirium terjadi pada 18 persen pasien. 5,6,7
Morbiditas psikiatri memiliki efek serius pada pasien dengan penyakit medis
dan seringkali merupakan factor risiko untuk kondisi medis mereka. Sudah dipastikan
bahwa depresi merupakan faktor risiko dan indikator prognostik yang buruk pada
penyakit arteri koroner. Penyakit kejiwaan memperburuk morbiditas dan mortalitas

4
jantung pada pasien dengan riwayat miokard infark, mengurangi kontrol glikemik
pada pasien dengan diabetes, dan menurunkan kembalinya fungsi pada pasien yang
mengalami stroke. Gangguan depresi dan kecemasan terkait dengan cacat yang terkait
dengan stroke. Dalam konteks penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson atau
Alzheimer, depresi, psikosis, dan gangguan perilaku adalah prediktor signifikan dari
penurunan status fungsional dan beban pengasuh. Pasien rawat inap dengan delirium
secara signifikan lebih kecil kemungkinan meningkatnya fungsi dibandingkan dengan
pasien tanpa delirium. Delirium dikaitkan dengan hasil setelah operasi yang buruk,
bahkan setelah mengendalikan tingkat keparahan penyakit medis.6,7
Selain itu, depresi dan gangguan mental lainnya secara signifikan berdampak
pada kualitas hidup dan kemampuan pasien untuk mematuhi rejimen pengobatan
(misalnya, pada pasien dengan diabetes mellitus). Gangguan kejiwaan terkait dengan
ketidakpatuhan dengan terapi antiretroviral, mempengaruhi kelangsungan hidup
pasien yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV). Gangguan kejiwaan
memperburuk prognosis dan kualitas hidup pasien dengan kanker. Gangguan
kejiwaan juga terkait dengan ketidakpatuhan dengan pedoman seks yang aman dan
penggunaan jarum steril pada pengguna narkoba suntikan yang terinfeksi HIV,
dengan demikian memiliki implikasi yang besar terhadap derajat kesehatan
masyarakat.7,8

2.3 Proses Evaluasi Pada Kedokteran Psikosomatik


Penilaian psikiatri dalam setting medis termasuk penilaian psikiatri standar
serta fokus khusus pada riwayat medis dan perawatan kesehatan fisik. Selain
mendapatkan riwayat kejiwaan yang lengkap, termasuk riwayat masa lalu, riwayat
keluarga, riwayat tumbuh kembang, dan review sistem, riwayat medis dan
pengobatan saat ini harus ditinjau dan didokumentasikan. Pemeriksaan status mental
lengkap, termasuk pemeriksaan kognitif, harus diselesaikan, dan komponen
pemeriksaan neurologis dan fisik dapat diindikasikan tergantung pada masalah yang
dihadapi.8

5
Tujuan penting lainnya dari evaluasi psikiatri adalah untuk mendapatkan
pemahaman terhadap pengalaman pasien tentang penyakitnya. Dalam banyak kasus,
ini menjadi pusat fokus untuk penilaian dan intervensi psikiatri. Hal ini juga
seringkali membantu mengembangkan pemahaman tentang perkembangan pasien dan
riwayat pribadi serta kunci konflik dinamis, yang pada gilirannya dapat membantu
membuat pengalaman pasien dengan penyakit lebih mudah dipahami. Evaluasi
semacam itu dapat termasuk penggunaan konsep stres, ciri kepribadian, coping
strategies, dan defense mechanism. Observasi dan hipotesa yang dikembangkan dapat
membantu memandu psikoterapi pasien yang ditujukan mengurangi penderitaan dan
mungkin juga membantu bagi tim medis utama dalam interaksi mereka dengan
pasien.
Laporan lengkap yang merangkum informasi harus diselesaikan dan termasuk
rekomendasi khusus untuk evaluasi dan intervensi tambahan. Idealnya, laporan harus
disertai dengan diskusi dengan dokter yang merujuk.8,9

2.4 Pengobatan Yang Digunakan Pada Kedokteran Psikokomatik


Sejumlah intervensi telah berhasil digunakan dalam kedokteran psikosomatis.
Pertimbangan khusus harus diberikan pada penyakit medis dan perawatan medis saat
membuat rekomendasi untuk obat psikotropika. Psikoterapi juga memainkan peranan
penting dalam kedokteran psikosomatis dan dapat bervariasi dalam struktur dan
hasilnya dibandingkan dengan terapi dalam praktik kesehatan mental.
Rekomendasi psikofarmakologis perlu mempertimbangkan beberapa faktor
penting. Sebagai tambahan untuk menargetkan gejala aktif pasien,
mempertimbangkan riwayat penyakit dan pengobatan, dan menimbang profil efek
samping tertentu dari obat tertentu, ada beberapa faktor lain yang harus
dipertimbangkan yang berhubungan dengan penyakit dan pengobatan medis pasien.
Sangat penting untuk mengevaluasi potensi interaksi obat-obat dan kontraindikasi
penggunaan agen psikotropika potensial. Karena mayoritas obat psikotropika yang
digunakan dimetabolisme di hati, kewaspadaan terhadap fungsi hati sangat penting.

6
Efek samping umum seperti kenaikan berat badan, risiko berkembangnya diabetes,
dan risiko kardiovaskular, harus dipertimbangkan dalam pilihan obat-obatan. Selain
itu, penting juga untuk memasukkan pengetahuan tentang data terbaru yang
menguraikan keefektifan dan risiko spesifik yang terlibat untuk pasien dengan
gangguan kejiwaan dan fisik. Misalnya, pemahaman yang lebih baik tentang efek
samping obat antipsikotik telah menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan
obat-obatan ini pada pasien dengan demensia.
Penggunaan intervensi psikososial juga membutuhkan adaptasi ketika
digunakan dalam populasi. Metode dan tujuan intervensi psikososial yang digunakan
pada pasien dengan penyakit medis sering ditentukan oleh pertimbangan onset
penyakit, etiologi, masa perawatan, prognosis, pengobatan, dan pemahaman tentang
gejala psikiatrik yang terjadi sebagai tambahan untuk pemahaman tentang
keterampilan coping pasien yang telah ada sebelumnya dan jaringan dukungan sosial.
Namun, ada banyak data yang menyatakan bahwa intervensi psikososial efektif
dalam menangani serangkaian masalah yang teridentifikasi dan intervensi ini dalam
banyak kasus dikaitkan dengan berbagai hasil klinis yang positif.

2.5 Gangguan Gejala Somatik


Gangguan gejala somatik, juga dikenal sebagai hipokondriasis, ditandai
dengan 6 bulan atau lebih dari preokupasi umum dan nondelusional dengan ketakutan
memiliki, atau gagasan yang bahwa seseorang memiliki penyakit serius berdasarkan
salah tafsir orang tersebut tentang gejala pada tubuh. Preokupasi ini menyebabkan
distres dan gangguan yang signifikan dalam kehidupan seseorang; hal ini tidak
terhitung dalam gangguan kejiwaan atau medis lainnya; dan sebagian individu
dengan gangguan gejala somatik memiliki insight yang buruk tentang penyakit ini.

2.5.1 Epidemiologi
Pada populasi klinik medis umum, prevalensi gangguan ini selama 6 bulan dilaporkan
sebanyak 4 hingga 6 persen, tetapi bisa setinggi 15 persen. Pria dan wanita dapat

7
mengalami gangguan ini. Meskipun timbulnya gejala dapat terjadi pada semua usia,
gangguan paling sering muncul pada usia 20 hingga 30 tahun. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa diagnosis ini lebih umum di antara orang kulit hitam daripada
orang kulit putih, tetapi posisi sosial, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan status
perkawinan tampaknya tidak mempengaruhi diagnosa. Keluhan gangguan ini
dilaporkan terjadi pada sekitar 3 persen mahasiswa kedokteran, biasanya dalam 2
tahun pertama, tetapi umumnya sementara.

2.5.2 Etiologi
Orang dengan gangguan ini menambah dan memperkuat sensasi somatik
mereka; mereka memiliki ambang batas rendah, toleransi rendah, ketidaknyamanan
fisik. Misalnya, orang normal merasakan tekanan perut, namun orang dengan
gangguan gejala somatik akan mersakaan pengalaman tersebut sebagai sakit perut.
Mereka mungkin fokus pada sensasi tubuh, salah menafsirkannya, dan menjadi
khawatir oleh hal tersebut karena skema kognitif yang salah.
Gangguan gejala somatik juga dapat dipahami dalam hal model pembelajaran
sosial. Gejala-gejala gangguan ini dipandang sebagai permintaan untuk masuk pada
peran sakit yang dilakukan oleh seseorang yang menghadapi masalah yang
tampaknya tak dapat diatasi dan tak terpecahkan. Peran menjadi orang sakit
menawarkan pelarian yang memungkinkan pasien untuk menghindari kewajiban
berbahaya, untuk menunda tuntutan yang tidak diinginkan, dan dibebaskan dari tugas
dan kewajiban biasa.
Gangguan gejala somatik kadang-kadang merupakan bentuk varian dari
gangguan mental lainnya, di antaranya gangguan depresi dan gangguan kecemasan
yang paling sering disertakan. Diperkirakan 80 persen pasien dengan gangguan ini
mungkin telah hidup berdampingan dengan depresi atau gangguan kecemasan. Pasien
yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan gejala somatic mungkin
merupakan subtipe somatizing dari gangguan lain ini.

8
Psychodinamic school of thought menyatakan bahwa hasrat yang agresif dan
bermusuhan ditransfer (melalui represi dan pemindahan) ke dalam keluhan fisik.
Kemarahan pasien dengan gangguan ini berasal dari kekecewaan, penolakan, masa
lalu dan kehilangan, tetapi pasien mengungkapkan kemarahan mereka di masa kini
dengan meminta bantuan dan perhatian orang lain dan kemudian menolak mereka
sebagai solusi yang tidak efektif.
Gangguan ini juga dipandang sebagai pembelaan terhadap rasa bersalah, rasa
keburukan bawaan, dan ekspresi rendahnya harga diri, dan pertanda perhatian diri
yang berlebihan. Nyeri dan penderitaan somatik dengan demikian menjadi bermakna
sarana penebusan kesalahan dan dosa dan bisa dialami sebagai hukuman yang layak
atas kesalahan di masa lalu (baik nyata maupun khayalan) dan untuk rasa kejahatan
dan keberdosaan seseorang.

2.5.3 Diagnosis
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima
(DSM-5), kriteria diagnostik untuk gangguan gejala somatik membuat pasien
disibukkan dengan keyakinan salah bahwa mereka memiliki penyakit yang serius,
berdasarkan pada salah tafsir terhadap tanda-tanda atau sensasi fisik. Keyakinan harus
bertahan setidaknya 6 bulan, meskipun tidak ada temuan patologis pada pemeriksaan
medis dan neurologis. Kriteria diagnostik juga mengharuskan keyakinan tidak
memiliki intensitas delusi (lebih tepat didiagnosis sebagai gangguan delusional) dan
tidak dapat dibatasi untuk penderitaan tentang penampilan (lebih tepat didiagnosis
sebagaigangguan dismorfik tubuh). Gejala-gejala gangguan gejala somatik harus
cukup kuat untuk menyebabkan tekanan emosional atau mengganggu kemampuan
pasien untuk berfungsi di area kehidupan yang penting. Dokter dapat menentukan
keberadaan insight yang buruk; pasien tidak secara konsisten mengakui bahwa
kekhawatiran mereka tentang penyakit berlebihan.

9
2.5.4 Manifestasi Klinis
Pasien dengan gangguan gejala somatik percaya bahwa mereka memiliki
penyakit serius yang belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk untuk
sebaliknya. Mereka mungkin mempertahankan keyakinan bahwa mereka memiliki
penyakit tertentu atau, seiring berjalannya waktu, mereka dapat berpindah keyakinan
terhadap penyakit lain. Keyakinan mereka tetap bertahan meskipun hasil
laboratorium negatif, dugaan penyakit jinak dari waktu ke waktu, dan jaminan dari
dokter. Namun, keyakinan mereka tidak cukup untuk menjadi delusi. Gangguan
gejala somatik sering disertai dengan gejala depresi dan kecemasan dan umumnya
hidup berdampingan dengan gangguan depresi atau kecemasan.

10
Meskipun DSM-5 menetapkan bahwa gejala harus hadir setidaknya selama 6
bulan, manifestasi sementara dapat terjadi setelah tekanan berat, paling sering
kematian atau penyakit serius dari seseorang yang penting bagi pasien atau penyakit
yang serius (mungkin mengancam nyawa) yang telah sembuh tetapi menyisakan
kelemahan pada pasien untuk sementara waktu. Keadaan seperti itu yang berlangsung
kurang dari 6 bulan didiagnosis sebagai " Gangguan Gejala Somatik Spesifik dan
gangguan terkait” di DSM-5. Gangguan gejala somatik sementara stres eksternal
umumnya tidak berespons terhadap stres eksternal jika stress itu terselesaikan, tetapi
keadaan bisa menjadi kronis jika diperkuat oleh orang-orang di sistem sosial pasien
atau oleh para profesional kesehatan.

2.5.5 Diagnosis Banding


Gangguan gejala somatik harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik,
terutama gangguan yang menunjukkan gejala yang belum tentu mudah didiagnosis.
Penyakit seperti itu termasuk acquired immunodeficiency syndrome (AIDS),
endokrinopati, miastenia gravis, multiple sclerosis, penyakit degeneratif pada sistem
saraf, lupus eritematosus sistemik, dan gangguan neoplastik occult.
Gangguan gejala somatik dibedakan dari gangguan kecemasan (diagnosis
baru dalam DSM-5 dibahas dalam Bagian 13.3) dengan penekanan pada gangguan
kecemasan penyakit karena takut memiliki penyakit daripada kekhawatiran tentang
banyak gejala. Pasien dengan gangguan kecemasan penyakit biasanya mengeluh
tentang gejala yang lebih sedikit daripada pasien gangguan gejala somatik; mereka
terutama prihatin tentang sakit.
Gangguan konversi umumnya akut dan sementara dan biasanya melibatkan gejala-
gejala bukan penyakit tertentu. Ada atau tidaknya la belle indifférence adalah sebuah
manifestasi yang dapat digunakan untuk membedakan kedua kondisi tersebut. Pasien
dengan gangguan dismorfik tubuh terlihat normal, tetapi percaya bahwa orang lain
menyadari bahwa mereka memang tidak normal, sedangkan mereka dengan
gangguan gejala somatik mencari perhatian untuk dugaan penyakit mereka.

11
Gangguan gejala somatik juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan
depresi dan gangguan kecemasan. Pasien dengan gangguan panik mungkin awalnya
mengeluh bahwa mereka mengalami penyakit (misalnya, gangguan jantung), tetapi
pertanyaan yang hati-hati selama penggalian riwayat medis biasanya mengungkap
gejala klasik dari serangan panik. Gangguan delusi terjadi pada skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya, tetapi dapat dibedakan dari gangguan gejala somatik oleh
intensitas delusional mereka dan oleh kehadiran gejala psikotik lainnya. Selain itu,
delusi somatik pasien skizofrenia cenderung aneh, idiosinkratik, dan tidak sesuai
dengan budaya mereka,
Gangguan gejala somatik dibedakan dari factitious disorder dari gejala fisik
dan dibedakan dari malingering dengan gangguan gejala somatic yang benar-benar
mengalami dan tidak mensimulasikan gejala yang mereka laporkan.

2.5.6 PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Perjalanan gangguan ini biasanya bersifat episodik; episode berlangsung dari
bulan ke tahun dan dipisahkan oleh periode diam yang sama panjangnya. Mungkin
ada hubungan yang jelas antara eksaserbasi gejala somatik dan stressor psikososial.
Meskipun tidak ada penelitian besar yang dilakukan dengan baik dilaporkan,
diperkirakan sepertiga hingga satu setengah dari semua pasien dengan gangguan
gejala somatik akhirnya membaik secara signifikan. Prognosis yang baik dikaitkan
dengan status sosioekonomi yang tinggi, kecemasan atau depresi yang responsif
terhadap pengobatan, onset gejala yang tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian,
dan tidak adanya kondisi medis nonpsikiatrik terkait. Sebagian besar anak-anak
dengan gangguan ini pulih pada masa remaja akhir atau awal masa dewasa.

2.5.7 Pengobatan
Pasien dengan gangguan gejala somatik biasanya menolak pengobatan
psikiatri, meskipun beberapa menerima perawatan ini jika itu terjadi dalam setting
medis dan berfokus pada pengurangan stress dan edukasi untuk menerima penyakit

12
kronis. Psikoterapi kelompok sering bermanfaat bagi pasien seperti itu, sebagian
karena grup tersebut memberikan dukungan sosial dan interaksi sosial yang
tampaknya mengurangi kecemasan mereka. Bentuk psikoterapi lainnya, seperti
psikoterapi berorientasi pada insight individu, terapi perilaku, terapi kognitif, dan
hipnosis, mungkin bermanfaat.
Pemeriksaan fisik rutin yang teratur membantu meyakinkan pasien itu bahwa
dokter mereka tidak menyepelekan mereka dan bahwa keluhan mereka ditanggapi
serius. Prosedur diagnostik dan terapeutik invasif seharusnya hanya dilakukan ketika
terdapat bukti objektif. Jika memungkinkan, dokter seharusnya menahan diri untuk
menatalaksana temuan pemeriksaan fisik yang masih samar-samar atau insidentil.
Farmakoterapi meredakan gangguan gejala somatik hanya ketika seorang
pasien memiliki kondisi responsif obat yang mendasarinya, seperti gangguan
kecemasan atau depresi. Ketika gangguan gejala somatik terjadi sekunder terhadap
gangguan mental primer lain, gangguan itu harus ditatalaksana dalam jalur penyakit
itu sendiri. Ketika gangguan itu bersifat reaksi situasional sementara, dokter harus
membantu pasien mengatasi stres tanpa memperkuat perilaku penyakit mereka dan
penggunaan peran sakit mereka sebagai solusi bagi masalah mereka.

2.6 Gangguan Somatik Spesifik Atau Tidak Spesifik Lainnya


Kategori DSM-5 ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang dicirikan
oleh satu atau lebih gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan setidaknya selama 6
bulan, yang masih di bawah ambang batas untuk diagnosis gangguan gejala somatik.
Gejala-gejala tidak disebabkan, atau sepenuhnya dijelaskan oleh gangguan medis,
psikiatri, atau penyalagunaan zat lain, dan gangguan ini menyebabkan stres yang
signifikan dan ketidakberdayaan.
Dua jenis pola gejala dapat dilihat pada pasien dengan gangguan somatik
spesifik atau tidak spesifik lainnya: yang melibatkan sistem saraf otonom dan yang
melibatkan sensasi kelelahan atau kelemahan. Dalam gangguan gairah otonom,
beberapa pasien mengeluhkan gejala yang terbatas untuk fungsi tubuh yang

13
dipersarafi oleh sistem saraf otonom. Pasien seperti itu memiliki keluhan yang
melibatkan sistem kardiovaskular, pernafasan, gastrointestinal, urogenital, dan
dermatologis. Pasien lain mengeluh kelelahan mental dan fisik dan ketidakmampuan
untuk melakukan banyak kegiatan sehari-hari karena gejala mereka. Beberapa dokter
percaya sindrom ini adalah neurastenia, diagnosis yang terutama digunakan di Eropa
dan Asia. Sindrom ini dapat tumpang tindih dengan sindrom kelelahan kronis,
berbagai laporan penelitian telah berhipotesis bahwa faktor psikiatri, virologi, dan
imunologi terlibat dalam gangguan ini. (Lihat Bab 14, yang membahas sindrom
kelelahan kronis secara mendalam). Kondisi lain yang termasuk dalam kategori
gangguan gejala somatik yang tidak sepsifik adalah pseudocyesis (dibahas dalam Bab
27) dan kondisi yang mungkin tidak memenuhi kriteria durasi 6 bulan seperti
gangguan gejala somatik lainnya.

2.7 Penyakit Gangguan Kecemasan


Penyakit gangguan kecemasan adalah diagnosis baru dalam DSM-5 yang
berlaku untuk orang-orang dengan preokupasi sedang sakit atau dengan
mengembangkan penyakit tertentu. Ini adalah varian gangguan gejala somatic
(hipokondriasis) yang dijelaskan dalam Bagian 13.2. Sebagaimana tercantum dalam
DSM-5: Sebagian besar individu dengan hipokondriasis sekarang diklasifikasikan
sebagai gangguan gejala somatik; Namun, dalam sebagian kecil kasus, diagnosis
gangguan kecemasan penyakit berlaku sebagai gantinya. Dalam menggambarkan
diagnosis banding antara keduanya, menurut DSM-5, gangguan gejala somatik
didiagnosis ketika ada gejala somatik, sedangkan pada gangguan kecemasan
penyakit, ada sedikit atau tidak ada gejala dan orang tersbut “berfokus pada gagasan
bahwa mereka sakit”. Diagnosis juga dapat digunakan untuk orang-orang yang pada
kenyataannya memang memiliki penyakit medis tetapi kecemasannya terlalu
berlebihan terhadap diagnosis mereka dan membayangkan kemungkinan hasil
terburuk dari penyakit tersebut.

14
2.7.1 Epidemiologi
Prevalensi gangguan ini tidak diketahui selain dari menggunakan data yang
berhubungan dengan hipokondriasis, yang memberikan prevalensi 4 hingga 6 persen
dalam populasi klinik medis umum. Dalam survei lain, hingga 15 persen orang dalam
populasi umum khawatir tentang menjadi sakit dan lumpuh. Orang yang lebih tua
lebih sering mengharapkan gangguan itu didiagnosis daripada orang yang lebih muda.
Tidak ada bukti sampai saat ini bahwa diagnosis dipengaruhi oleh ras yang berbeda
atau jenis kelamin, posisi sosial, tingkat pendidikan, dan status perkawinan.

2.7.2 Etiologi
Etiologi tidak diketahui. Model pembelajaran sosial yang menjelaskan
gangguan gejala somatic mungkin berlaku untuk gangguan ini juga. Dalam model itu,
rasa takut akan penyakit dipandang sebagai permintaan untuk memainkan peran sakit
yang dilakukan oleh seseorang yang tampaknya memiliki masalah yang tak dapat
diatasi dan tak terpecahkan. Peran sakit menawarkan pelarian yang memungkinkan
pasien untuk dibebaskan dari tugas dan kewajiban.
Psychodynamic school of thought juga mirip dengan gangguan gejala somatik.
Keinginan agresif dan bermusuhan terhadap orang lain ditransfer ke keluhan fisik
minor atau ketakutan akan penyakit fisik. Kemarahan pasien dengan gangguan
kecemasan penyakit, seperti pada mereka dengan hipokondriasis, berasal dari
kekecewaan di masa lalu, penolakan, dan kehilangan. Demikian pula, ketakutan akan
penyakit juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, rasa keburukan
dalam diri, ekspresi rendahnya harga diri, dan tanda perhatian terhadap diri yang
berlebihan. Penyakit yang ditakuti juga bisa dilihat sebagai hukuman untuk masa lalu
baik kesalahan itu nyata atau hanya imajinasi. Hubungan orang itu dengan orang lain
dalam kehidupan masa lalunya mungkin juga signifikan. Orang tua yang meninggal

15
karena penyakit, misalnya, mungkin menjadi stimulus untuk rasa takut mengalami
penyakit itu karena keturunan dari orang tua. Jenis rasa takut juga bisa menjadi
simbol konflik yang tidak disadari yang tercermin dalam jenis penyakit yang ditakuti
atau sistem organ yang dipilih (misalnya, jantung, ginjal).

2.7.3 Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-5 untuk gangguan kecemasan penyakit yaitu pasien
disibukkan dengan keyakinan salah bahwa mereka memiliki atau akan mengalami
penyakit yang serius dengan sedikit gejala (jika ada tanda atau gejala fisik. Keyakinan
harus bertahan setidaknya 6 bulan, dan tidak ada temuan patologis pada pemeriksaan
medis atau neurologis. Keyakinan tidak boleh memiliki suatu delusi (lebih tepat
didiagnosis sebagai gangguan delusional) dan bukan masalah tentang penampilan
(lebih banyak didiagnosis sebagai gangguan dismorfik tubuh). Kecemasan tentang
penyakit harus menjadikan pasien tidak mampu dan menyebabkan tekanan emosional
atau mengganggu kemampuan pasien untuk berfungsi di area kehidupan yang
penting. Beberapa orang dengan gangguan dapat mengunjungi dokter (tipe care
seeking) sementara yang lain mungkin tidak (tipe care-avoidant). Namun, mayoritas
pasien melakukan kunjungan berulang ke dokter dan penyedia layanan kesehatan
lainnya.

16
2.7.4 Manifestasi Klinis
Pasien dengan gangguan kecemasan penyakit, seperti mereka dengan
gangguan gejala somatik, percaya bahwa mereka memiliki penyakit serius yang
belum didiagnosis, dan mereka tidak bisa dibujuk untuk sebaliknya. Mereka mungkin
mempertahankan keyakinan bahwa mereka memiliki penyakit tertentu atau seiring
berjalannya waktu mereka dapat mengubah keyakinan mereka ke penyakit lain.
Keyakinan mereka tetap ada meski hasil laboratorium negatif, penyakit jinak, dan
jaminan yang tepat dari dokter. Preokupasi mereka dengan penyakit mengganggu
interaksinya dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Mereka sering kecanduan
pencarian internet tentang penyakit yang mereka takuti, menyimpulkan yang terburuk
dari informasi (atau misinformasi) yang mereka temukan di sana.

2.7.5 Diagnosis Banding


Gangguan kecemasan penyakit harus dibedakan dari kondisi medis lainnya.
Terlalu sering pasien-pasien ini dijuluki sebagai “pengadu kronis” dan pemeriksaan
medis yang teliti tidak dilakukan. Pasien dengan gangguan kecemasan penyakit

17
dibedakan dari mereka dengan gangguan gejala somatik oleh penekanan pada takut
memiliki penyakit pada gangguan kecemasan penyakit versus penekanan
kekhawatiran tentang banyak gejala pada gangguan gejala somatik; tetapi keduanya
mungkin ada untuk berbagai tingkat dalam setiap gangguan. Pasien dengan gangguan
kecemasan penyakit biasanya mengeluh tentang gejala yang lebih sedikit daripada
pasien gangguan gejala somatik. Gangguan gejala somatik biasanya memiliki onset
sebelum usia 30, sedangkan gangguan kecemasan penyakit memiliki usia onset yang
kurang spesifik. Gangguan konversi bersifat akut, umumnya sementara, dan biasanya
melibatkan gejala daripada penyakit. Gangguan nyeri kronis, seperti hipokondriasis,
gejalanya terbatas pada keluhan sakit. Rasa takut terhadap penyakit juga bisa terjadi
pada pasien dengan depresi dan gangguan kecemasan. Jika seorang pasien memenuhi
kriteria diagnostik lengkap untuk kedua gangguan kecemasan penyakit dan gangguan
mental utama lainnya, seperti gangguan depresi mayor atau gangguan kecemasan
umum, pasien harus menerima kedua diagnosa. Pasien dengan gangguan panik
mungkin awalnya mengeluh bahwa mereka mengalami penyakit (misalnya, masalah
jantung), tetapi bertanya dengan hati-hati selama penggalian riwayat medis biasanya
mengungkap gejala klasik serangan panik. Keyakinan delusional terjadi pada
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya tetapi dapat dibedakan dari gangguan
kecemasan penyakit oleh intensitas delusional mereka dan oleh kehadiran gejala
psikotik lainnya. Sebagai tambahan, delusi somatik pasien skizofrenia cenderung
aneh, idiosinkratik, dan keluar dari budaya mereka.
Gangguan kecemasan penyakit dapat dibedakan dari gangguan obsesif-
kompulsif oleh singularitas keyakinan mereka dan dengan tidak adanya ciri-ciri
perilaku kompulsif; tapi sering terdapat obsesif pada ketakutan pasien.

2.7.6 Perjalanan Penyakit Dan Prognosis


Karena gangguan tersebut baru-baru ini dijelaskan, belum ada data yang dapat
dipercaya tentang prognosis. Mungkin dapat mengekstrapolasi dari gangguan gejala
somatik, yaitu biasanya episodik; episode berlangsung dari bulan ke tahun dan

18
dipisahkan oleh periode diam yang sama panjang. Seperti halnya hipokondriasis,
prognosis yang baik berhubungan dengan status sosial ekonomi yang tinggi,
kecemasan atau depresi yang responsif terhadap pengobatan, onset gejala yang
mendadak, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya hubungan dengan
kondisi medis nonpsikiatrik.

2.7.7 Pengobatan
Seperti gangguan gejala somatik, pasien dengan gangguan kecemasan
penyakit biasanya menolak pengobatan psikiatri, meskipun beberapa menerima
perawatan ini jika terjadi dalam setting medis dan berfokus pada pengurangan stres
dan edukasi dalam mengatasi dan menerima penyakit kronis. Psikoterapi kelompok
dapat membantu terutama jika kelompok itu merupakan pasien homogen yang
menderita gangguan yang sama. Bentuk psikoterapi lainnya, seperti psikoterapi
berorientasi insight individu, terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis, mungkin
bermanfaat.
Peran pemeriksaan fisik yang rutin dan dijadwalkan masih kontroversial.
Beberapa pasien dapat mendapatkan manfaat dan diyakinkan bahwa keluhan mereka
sedang ditanggapi serius dan bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mereka
takuti. Namun, yang lainnya tidak ingin menemui dokter atau jika telah
melakukannya mereka tidak menerima kenyataan bahwa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Diagnostik invasif dan prosedur terapi hanya harus dilakukan ketika
terdapat bukti objektif. Bila memungkinkan, dokter harus menahan diri dari
menatalaksana temuan pemeriksaan fisik yang masih samar-samar atau insidental.
Farmakoterapi mungkin bisa membantu dalam mengurangi kecemasan yang
ditimbulkan oleh rasa takut pasien memiliki penyakit, terutama jika itu adalah
penyakit yang mengancam jiwa; tetapi terapi tersebut hanya amelioratif dan tidak bisa
memberikan kesembuhan yang lama. Kesembuhan hanya bisa datang dari program
psikoterapi yang efektif yang dapat diterima oleh pasien di mana dia berada dia mau
dan bisa berpartisipasi

19
2.8 Gangguan Gejala Neurologis Fungsional (Gangguan Konversi)
Gangguan konversi, juga disebut gangguan gejala neurologis fungsional
dalam DSM-5 yang merupakan suatu penyakit dengan gejala atau defisit yang
mempengaruhi fungsi motorik atau sensorik volunter yang menunjukkan kondisi
medis lain, tetapi dinilai disebabkan oleh faktor psikologis karena penyakit didahului
oleh konflik atau stressor lainnya. Gejala atau defisit pada gangguan konversi tidak
hadir dengan disengaja, bukan disebabkan oleh penggunaan zat, tidak terbatas pada
rasa sakit atau gejala seksual, dan berkembang terutama karena faktor psikologis dan
bukan karena faktor sosial, moneter, atau hukum.
Sindrom yang dikenal sebagai gangguan konversi berasal dari kombinasi
sindrom yang dikenal sebagai gangguan somatisasi dan merujuk pada histeria, reaksi
konversi, atau reaksi disosiatif. Paul Briquet dan Jean-Martin Charcot berkontribusi
terhadap perkembangan konsep gangguan konversi dengan mencatat adanya
pengaruh herediter pada gejala dan hubungan yang sering dengan kejadian traumatik.
Istilah konversi diperkenalkan oleh Sigmund Freud, yang berdasarkan pekerjaannya
dengan Anna O menghipotesiskan gejala pada gangguan konversi merefleksikan
konflik yang tidak disadari.

20
2.8.1 Epidemiologi
Beberapa gejala dari gangguan konversi yang tidak cukup parah untuk
menegakkan diagnosis dapat terjadi pada hingga sepertiga dari populasi umum
selama mereka hidup. Dilaporkan tingkat gangguan konversi bervariasi dari 11 dari
100.000 hingga 300 dari 100.000 dalam sampel populasi umum. Di antara populasi
tertentu, terjadinya gangguan konversi mungkin lebih tinggi dari itu, mungkin
membuat gangguan konversi menjadi gangguan somatoform yang paling umum pada
beberapa populasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa 5 hingga 15 persen
konsultasi psikiatri di rumah sakit umum dan 25 hingga 30 persen penerimaan ke
rumah sakit administrasi tentara melibatkan pasien dengan diagnosa gangguan
konversi. Rasio perempuan dengan laki-laki di antara pasien dewasa paling sedikit 2
banding 1 hingga sebanyak 10 banding 1; di antara anak-anak, dominasi yang lebih
tinggi terlihat pada anak perempuan. Gejalanya lebih umum di sebelah kiri daripada
di sisi kanan tubuh pada wanita. Wanita dengan gejala konversi lebih mungkin
kemudian untuk mengalami gangguan somatisasi daripada wanita yang belum
mengalami gejala konversi. Terdapat hubungan antara gangguan konversi dan
gangguan kepribadian antisosial pada pria. Pria dengan gangguan konversi sering
terlibat dalam kecelakaan kerja atau militer. Onset gangguan konversi umumnya dari
masa kanak-kanak hingga masa dewasa awal dan langka sebelum usia 10 tahun atau
setelah 35 tahun, tetapi onset hingga akhir dekade kesembilan kehidupan telah
dilaporkan. Ketika gejala menunjukkan onset gangguan konversi di tengah atau usia
lanjut, probabilitas kondisi medis neurologis samar atau kondisi medis lainnya tinggi.
Gejala konversi pada anak-anak yang lebih muda dari 10 tahun biasanya terbatas
pada masalah gaya berjalan atau kejang.
Data menunjukkan bahwa gangguan konversi adalah yang paling umum di
antara populasi pedesaan, orang-orang dengan pendidikan rendah, mereka yang
memiliki inteligensi rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan personil militer
yang telah mengalami situasi pertempuran. Gangguan konversi umumnya terkait

21
dengan diagnosis komorbid gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan, dan
skizofrenia dan menunjukkan peningkatan frekuensi secara relatif dengan gangguan
konversi. Data terbatas menunjukkan gejala konversi lebih sering pada kerabat orang
dengan gangguan konversi. Peningkatan risiko gangguan konversi pada monozigotik
pada pasangan kembar telah dilaporkan.

2.8.2 Komorbiditas
Gangguan medis dan terutama gangguan neurologis sering terjadi di antara pasien
dengan gangguan konversi. Apa yang biasanya terlihat pada komorbid kondisi
neurologis atau medis ini adalah elaborasi dari gejala yang berasal dari lesi organik
asli. Gangguan depresif, gangguan kecemasan, dan gangguan somatisasi khususnya
dicatat untuk hubungan mereka dengan gangguan konversi. Gangguan konversi
dalam skizofrenia dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Studi pasien yang dirawat di
rumah sakit jiwa untuk gangguan konversi mengungkapkan, pada studi lebih lanjut,
bahwa seperempat hingga satu setengah memiliki gangguan mood atau skizofrenia
yang signifikan secara klinis.
Gangguan kepribadian juga sering menyertai gangguan konversi, terutama
tipe histrionik (dalam 5 hingga 21 persen kasus) dan tipe passive-dependent (9 hingga
40 persen dari kasus). Namun gangguan konversi dapat terjadi pada orang yang tidak
memiliki predisposisi medis, neurologis, atau gangguan kejiwaan.

2.8.3 Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh represo
konflik intrapsikis yang tak disadari dan konversi kecemasan menjadi gejala fisik.
Konflik terjadi karena adanya dorongan naluriah (misalnya, agresi atau seksualitas)
dan larangan terhadap ekspresinya. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial dari
keinginan terlarang atau mendesak tetapi menyamarkannya, sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar menghadapi dorongan mereka yang tidak dapat diterima;

22
yaitu, gejala gangguan konversi memiliki simbol sehubungan dengan konflik tak
sadar — misalnya, vaginismus melindungi pasien dari mengungkapkan keinginan
seksual yang tidak dapat diterima. Gejala gangguan konversi juga memungkinkan
pasien untuk berkomunikasi bahwa mereka memerlukan pertimbangan khusus dan
perawatan khusus. Gejala-gejala seperti itu dapat berfungsi sebagai sarana nonverbal
dalam mengendalikan atau memanipulasi yang lain.
Teori Belajar
Dalam hal teori pembelajaran terkondisi, gejala konversi dapat dilihat sebagai
bagian dari perilaku belajar yang dikondisikan secara klasik; gejala penyakit, yang
dipelajari pada masa kanak-kanak dipanggil sebagai sarana untuk mengatasi situasi
yang sebaliknya tidak mungkin.

Faktor Biologis
Peningkatan data melibatkan faktor biologis dan neuropsikologis dalam
perkembangannya terhadap gejala gangguan konversi. Dalam studi pencitraan otak
awal telah ditemukan hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme pada
hemisfer yang tidak dominan dan telah mengimplikasikan gangguan komunikasi
hemisferik pada penyebab gangguan konversi. Gejala-gejalanya mungkin disebabkan
oleh gairah kortikal yang berlebihan itu memicu umpan balik negatif antara korteks
serebral dan formasio retikularis batang otak. Peningkatan level output kortikofugal,
pada gilirannya, menghambat kesadaran pasien terhadap sensasi tubuh, yang dapat
menjelaskan defisit sensorik yang diamati pada beberapa pasien dengan gangguan
konversi. Tes neuropsikologis kadang-kadang mengungkapkan gangguan otak ringan
dalam komunikasi verbal, memori, kewaspadaan, ketidakcocokan afektif, dan
perhatian pada pasien-pasien ini.

DIAGNOSIS
DSM-5 membatasi diagnosis gangguan konversi pada gejala-gejala neurologis
yang mempengaruhi fungsi motorik atau fungsi sensorik volunter. Dokter tidak bisa

23
menjelaskan gejala neurologis tersebut dikarenakan dasarnya tidak ada gangguan
neurologi yang diketahui. Diagnosis gangguan konversi mengharuskan dokter
menemukan hubungan kritis antara penyebab gejala neurologis dan faktor psikologis
yang diperlukan, meskipun gejala tidak dapat dihasilkan dari malingering atau
factitious disorder. Diagnosis gangguan konversi juga tidak termasuk gejala nyeri dan
disfungsi seksual dan gejala yang hanya terjadi pada gangguan somatisasi. DSM-5
memungkinkan spesifikasi jenis gejala atau defisit yang terlihat pada gangguan
konversi, misalnya, dengan kelemahan atau kelumpuhan, dengan gerakan abnormal,
atau dengan serangan atau kejang.

2.8.4 Manifestasi Klinis


Paralisis, kebutaan, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling
umum. Gangguan konversi mungkin paling sering dikaitkan dengan pasif-agresif,
gangguan kepribadian dependen, antisosial, dan histrionik. Depresi dan gejala
gangguan kecemasan sering menyertai gejala gangguan konversi pasien dapat
berisiko untuk bunuh diri.
Gejala Sensorik
Dalam gangguan konversi, anestesi dan parestesia umum terjadi, terutama
pada ekstremitas. Semua modalitas sensori dapat dilibatkan, dan distribusi dari
gangguan biasanya tidak konsisten dengan penyakit neurologis sentral atau perifer.
Dokter dapat melihat anestesi tipe stocking and glove khas pada tangan atau kaki atau
hemianestesia tubuh mulai tepat di sepanjang garis tengah.
Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ-organ indera khusus dan
dapat menghasilkan tuli, kebutaan, dan penglihatan terowongan. Gejala-gejala ini
bisa unilateral atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jalur sensorik
yang utuh. Dalam gangguan konversi kebutaan, misalnya, pasien berjalan tanpa

24
tabrakan atau cedera diri, pupil mereka bereaksi terhadap cahaya, dan potensi yang
membangkitkan kortikal mereka normal.
Gejala Motor
Gejala motorik pada gangguan konversi termasuk gerakan abnormal,
gangguan gaya berjalan, kelemahan, dan kelumpuhan. Tremor ritmik kasar, gerakan
koreiform, tics, dan tersentak mungkin hadir. Pergerakan itu secara umum memburuk
ketika mereka diperhatikan. Salah satu gangguan gaya berjalan yang terlihat pada
gangguan konversi adalah astasia-abasia, yang adalah gaya berjalan yang sangat
ataksik, sempoyongan disertai dengan sentakan pada trunkus, gerakan memukul dan
melambaikan tangan. Penderita dengan gejala ini jarang jatuh; jika mereka jatuh,
mereka umumnya tidak terluka. Gangguan motorik umum lainnya adalah
kelumpuhan dan paresis yang melibatkan satu, dua, atau semua empat anggota badan,
meskipun distribusi otot yang terlibat tidak sesuai dengan jalur saraf. Refleks tetap
normal; pasien tidak memiliki fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis
konversi lama); temuan elektromiografi normal.

Gejala Kejang
Pseudoseizures adalah gejala lain dalam gangguan konversi. Dokter mungkin
sulit untuk membedakan pseudoseizure dari kejang yang sebenarnya dengan
pengamatan klinis saja. Selain itu, sekitar sepertiga dari pseudoseizure pasien juga
memiliki gangguan epilepsi. Menggigit lidah, inkontinensia urin, dan cedera setelah
jatuh bisa terjadi pada pseudoseizures, meskipun gejala-gejala ini umumnya tidak
ada. Refleks pupil dan refleks muntah tetap ada setelah pseudoseizure, dan pasien
tidak memiliki peningkatan konsentrasi prolaktin post kejang.

Manifestasi Terkait Lainnya


Beberapa gejala psikologis juga dikaitkan dengan gangguan konversi.

Keuntungan Utama

25
Pasien memperoleh keuntungan utama dengan menjaga konflik internal di luar
kesadaran mereka. Gejala memiliki nilai simbolis dan mewakili konflik psikologis
yang tidak disadari.

Keuntungan Sekunder
Pasien memperoleh manfaat yang nyata akibat sedang sakit; misalnya, dibebaskan
dari kewajiban dan situasi kehidupan yang sulit, menerima dukungan dan bantuan,
dan mengendalikan perilaku orang lain.

La Belle Indifférence
La belle indifférence adalah sikap pasien yang tidak semestinya terhadap
gejala serius; yaitu, pasien tampaknya tidak peduli apa yang tampaknya merupakan
masalah besar. Ketidakpedulian ini juga terlihat pada beberapa orang pasien dengan
sakit parah yang menumbuhkan sikap tabah. Ada atau tidaknya la belle indifférence
tidak patognomonik untuk kelainan konversi, tetapi sering dikaitkan dengan
kondisinya.

Identifikasi
Pasien dengan gangguan konversi mungkin tidak sadar meniru seseorang
yang penting bagi mereka. Misalnya, orang tua atau orang yang baru saja meninggal
dapat menjadi contoh untuk pasien mengalami gangguan konversi. Selama reaksi
berkabung yang patologis, orang yang berduka sering memiliki gejala seperti gejala
almarhum.

2.8.5 Diagnosis Banding


Salah satu masalah utama dalam mendiagnosis gangguan konversi adalah
kesulitan menyingkirkan kemungkinan gangguan medis. Gangguan medis
nonpsikiatrik yang terjadi bersamaan umum pada pasien rawat inap dengan gangguan
konversi, dan bukti gangguan neurologis sebelumnya atau penyakit sistemik yang

26
memengaruhi otak dilaporkan pada 18 hingga 64 persen pasien tersebut. Diperkirakan
25 hingga 50 persen pasien yang memiliki gangguan konversi akhirnya menerima
diagnosis neurologis atau gangguan medis nonpsikiatrik yang bisa menyebabkan
gejala awal mereka. Jadi, pemeriksaan medis dan neurologis menyeluruh sangat
penting dalam semua kasus. Jika gejalanya bisa diselesaikan dengan sugesti, hipnosis,
atau amobarbital parenteral (Amytal) atau lorazepam (Ativan), gejala tersebut
mungkin hasil dari gangguan konversi. Gangguan neurologis (misalnya, demensia
dan penyakit degeneratif lainnya), tumor otak, dan penyakit ganglia basal harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Sebagai contoh, kelemahan mungkin
didiagnosis banding dengan miastenia gravis, polimiositis, miopati didapat, atau
multiple sclerosis. Neuritis optik dapat salah didiagnosis sebagai gangguan konversi
kebutaan. Penyakit lain yang dapat menyebabkan gejala membingungkan adalah
sindrom Guillain-Barré, penyakit Creutzfeldt-Jakob, kelumpuhan periodik, dan
manifestasi neurologis awal AIDS. Gejala gangguan konversi terjadi pada
skizofrenia, gangguan depresi, dan gangguan kecemasan, tetapi gangguan lain ini
terkait dengan gejala khas mereka sendiri yang akhirnya mungkin menyingkirkan
diagnosis.
Gejala sensorimotor juga terjadi pada gangguan somatisasi. Tetapi gangguan
somatisasi adalah penyakit kronis yang dimulai sejak awal kehidupan dan termasuk
gejala di banyak sistem organ lainnya. Pada hipokondriasis, pasien tidak kehilangan
fungsi atau distorsi; keluhan somatik bersifat kronis dan tidak terbatas pada gejala
neurologis, dan terdapat sikap dan keyakinan hypochondriacal yang khas. Jika gejala
pasien terbatas pada nyeri dapat didiagnosis sebagai gangguan nyeri. Pasien yang
keluhannya terbatas pada fungsi seksual diklasifikasikan sebagai disfungsi seksual
bukan gangguan konversi.
Pada malingering dan factitious disorder, gejala berada di bawah sadar dan
kontrol pasien. Riwayat biasanya tidak konsisten dan kontradiktif dibandingkan
dengan pasien dengan gangguan konversi dan perilaku malingering jelas memiliki
tujuan..

27
2.8.6 Perjalanan Penyakit Dan Prognosis
Onset gangguan konversi biasanya akut, tetapi gejala crescendo mungkin juga
terjadi. Gejala atau defisit biasanya berdurasi pendek, dan kurang-lebih 95 persen
kasus akut remisi secara spontan, biasanya dalam 2 minggu pada pasien yang dirawat
di rumah sakit. Jika gejala sudah ada selama 6 bulan atau lebih, prognosis untuk
resolusi gejala kurang dari 50 persen dan semakin lama konversi hadir maka
kemungkinan resolusi pun semakin berkurang. Kekambuhan terjadi pada seperlima
hingga seperempat orang dalam 1 tahun dari episode pertama. Jadi, satu episode
adalah prediktor untuk episode selanjutnya. Prognosis yang baik ditandai oleh onset
akut, kehadiran stres yang jelas teridentifikasi di waktu onset, interval singkat antara
onset dan dimulainya perawatan, dan kecerdasan diatas rata-rata. Kelumpuhan,
afonia, dan kebutaan dikaitkan dengan prognosis yang baik, sedangkan tremor dan
kejang merupakan faktor prognostik yang buruk.

2.8.7 Pengobatan
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan, meskipun memang
demikian mungkin difasilitasi oleh terapi suportif yang berorientasi insight atau terapi
perilaku. Yang paling penting dari terapi adalah hubungan dengan seorang terapis
yang penuh perhatian dan memberikan kenyamanan. Dokter dapat menyarankan

28
bahwa psikoterapi akan fokus pada masalah stres dan mengatasi masalah dengan
pasien yang menolak ide psikoterapi. Memberitahu pasien bahwa gejala mereka
adalah khayalan sering membuat mereka lebih buruk. Hipnosis, anxiolitik, dan latihan
perilaku relaksasi efektif dalam beberapa kasus. Amobarbital parenteral atau
lorazepam dapat membantu dalam memperoleh riwayat informasi tambahan, terutama
ketika seorang pasien baru-baru ini mengalami peristiwa traumatis. Pendekatan
psikodinamik termasuk psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi insight, di mana
pasien mengeksplorasi konflik intrapsikik dan simbolisme gejala gangguan konversi.
Psikoterapi jangka pendek secara singkat dan langsung pada pasien juga telah
digunakan untuk menatalaksana gangguan konversi. Semakin lama durasi peran sakit
pasien dan semakin banyak yang mereka alami kemunduran amak akan semakin sulit
perawatannya.

2.9 Faktor Psikologis Yang Memengaruhi Kondisi Medis Lain


Kedokteran psikosomatik telah menjadi area studi spesifik dalam bidang
psikiatri. Area studi tersebut berbasis pada dua asumsi dasar: adanya kesatuan pikiran
dan tubuh; dan faktor psikologis harus diperhatikan ketika mempertimbangkan semua
kondisi penyakit.
Konsep yang berasal dari bidang kedokteran psikosomatik memengaruhi baik
kehadiran kedokteran komplementer dan alternatif, yang sangat bergantung pada
pemeriksaan daktor psikologis dalam pemeliharaan kesehatan, dan bidang kedokteran
holistik, dengan penekanannya pada pemeriksaan dan pengobatan keseluruhan
kondisi pasien, tidak hanya penyakitnya. Konsep kedokteran psikosomatik juga
memengaruhi bidang kedokteran perilaku, yang mengintegrasi ilmu perilaku dan
pendekatan biomedik terhadap pencegahan, diagnosis, dan tatalaksana penyakit.
Konsep psikosomatik telah berkontribusi besar terhadap pendekatan-pendekatan
tersebut dalam pelayanan medis.
Konsep kedokteran psikosomatik dimasukkan dalam entitas diagnostik ”Faktor
Psikologis yang Memengaruhi Kondisi Medis Lain.” Kategori ini mencakup kelainan

29
fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor emosional atau psikologis. Sebuah
kondisi medis harus selalu ada agar diagnosis tersebut dapat ditegakkan.

2.9.1 Klasifikasi
Kriteria diagnosis untuk ”Faktor Psikologis yang Memengaruhi Kondisi Medis
Lain” mengeksklusi (1) gangguan jiwa klasik yang memiliki gejala fisik sebagai
bagian dari gangguannya (misal gangguan konversi); (2) gangguan somatisasi,
dimana gejala fisik tidak didasarkan patologi organik; (3) hipokondriasis, dimana
pasien memiliki kepedulian berlebihan akan kesehatan mereka; (4) keluhan fisik yang
seringkali dihubungkan dengan gangguan jiwa (misal gangguan distimia, yang
biasanya memiliki penyerta somatik seperti kelemahan otot, astenia, fatigue, dan
kelelahan); dan (5) keluhan fisik yang berhubungan dengan gangguan
penyalahgunaan obat (misal batuk yang berhubungan dengan ketergantungan
nikotin).

TEORI STRES
Stres dapat dideskripsikan sebagai keadaan yang mengganggu, atau mungkin
mengganggu, fungsi fisiologis atau psikologis normal seseorang. Pada tahun 1920an,
Walter Cannon (1871-1945) melakukan studi sistematik pertama mengenai hubungan
stres terhadap penyakit. Beliau mendemonstrasikan bahwa stimulasi sistem saraf
otonom, terutama sistem simpatik, mempersiapkan organisme untuk respon fight-or-
flight, yang dicirikan dengan hipertensi, takikardia, dan peningkatan cardiac output.
Temuan tersebut berguna pada hewan yang dapat bertarung atau melarikan diri;
namun pada seseorang yang tidak dapat melakukan keduanya karena terikat oleh
budaya, stres yang berlangsung mengakibatkan penyakit (misal menyebabkan
gangguan kardiovaskular).
Pada tahun 1950an, Harold Wolff (1898-1962) mengamati bahwa fisiologi
traktus gastrointestinal tampak berhubungan sengan kondisi emosional spesifik.
Hiperfungsi dihubungkan dengan kemarahan dan hipofungsi dengan kesedihan. Wolff
menganggap reaksi tersebut tidak spesifik, dan percaya bahwa reaksi pasien

30
ditentukan oleh situasi umum kehidupan dan penilaian perseptual terhadap kejadian
penuh tekanan tersebut, Sebelumnya William Beaumont (1785-1853), seorang ahli
bedah asak Aneruja memiliki pasien bernama Alexis St. Martin yang terkenal karena
luka tembak yang menyebabkan fistula gaster permanen. Beaumont mengamati
bahwa selama kondisi emosional yang tinggi, mukosa dapat menjadi antara hiperemis
atau pucat, mengindikasikan bahwa aliran darah ke lambung dipengaruhi oleh emosi.
Hans Selye (1907-1982) mengembangkan sebuah model stres yang disebutnya
sindroma adaptasi umum, terdiri dari tiga fase: (1) reaksi alarm; (2) tahap resistensi,
dimana adaptasi secara ideal tercapai; dan (3) tahap kelelahan, dimana adaptasi atau
resistensi yang didapat dapat hilang. Ia menganggap stres sebagai respon tubuh
nonspesifik terhadap kebutuhan apapun yang disebabkan oleh baik kondisi
menyenagkan ataupun tidak. Selye percaya bahwa stres, menurut definisi, tidak harus
tidak menyenangkan. Ia menyebut stres yang tidak menyenangkan sebagai distres.
Penerimaan kedua tipe stres membutuhkan adaptasi.
Tubuh bereaksi terhadap stres—dalam hal ini didefinisikan sebagai apapun
(nyata, simbolik, atau imajiner) yang mengancam keberlangsungan individu—dengan
memulai sederet respon yang bertujuan mengurangi dampak stresor dan
mengembalikan homeostasis. Banyak telah diketahui mengenai respon fisiologis
terhadap stres akut, namun jauh lebih sedikit terhadap stres kronik. sebagian besar
stresor terjadi selama periode waktu yang panjang atau memiliki dampak dalam
jangka panjang. Sebagai contoh kehilangan pasangan dapat diikuti oleh kesendirian
berbulan atau bertahun-tahun, dan kekerasan seksual dapat diikuti oleh bertahun-
tahun kecemasan. Respon neuroendokrin dan imun terhadap kejadian tersebut
membantu menjelaskan mengapa dan bagaimana stres dapat memliki efek tidak
menguntungkan.
Respon Neurotransmiter terhadap Stres
Stresor mengaktivasi sistem noradrenergik otak (paling jelasnya di lokus
seruleus) dan menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stresor
juga dapat mengaktivasi sistem serotoninergik otak, seperti diperlihatkan oleh

31
peningkatan penggantian serotonin. Bukti terbaru mengusulkan bahwa, meskipun
glukokortikoid cenderung mendukung fungsi keseluruhan serotonin, mungkin
terdapat perbedaan pengaturan glukokortikoid pada subtipe reseptor serotonin
berbeda, yang dapat berdampak pada fungsi serotoninergik dalam depresi dan
penyakit terkait. Stres juga meningkatkan neurotransmisi dopaminergik di jaras
mesoprefrontal.
Neurotransmiter asam amino dan peptidergik juga terlibat dalam reson stres.
Penelitian menunjukkan bahwa corticotropin-releasing factor (CRF), glutamat, dan
GABA memiliki peran penting dalam menghasilkan respon stres atau dalam modulasi
sistem stres-respon lain, seperti sirkuit dopaminergik dan noradrenergik.

Respon Endokrin terhadap Stres


Sebagai respon terhadap stres, CRF disekresikan dari hipotalamus menuju
sistem hipofisis-pituitari-portal. Hormon tersebut berperan pada pituitari anterior,
memicu pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH). Begitu ACTH dilepaskan,
hormon tersebut bekerja pada korteks adrenal untuk menstimulasi sintesis dan
pelepasan glukokortikoid. Glukokortikoid sendiri memiliki beragam efek dalam
tubuh, namun kerja mereka dapat dirangkum dalam kalimat pendek sebagai promotor
penggunaan energi, peningkatan aktivitas kardiovaskular, dan penghambat fungsi
pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas.
Aksis HPA dipengaruhi oleh kontrol umpanbalik negatif ketat oleh produk
akhirnya sendiri (ACTH dan kortisol) pada berbagai tahap, termasuk pituitari
anterior, hipotalamus, dan regio otak suprahipotalamus seperti hipokampus. Selain
CRF, banyak sekretagog lain dapat melintasi pelepasan CRF dan bekerja langsung
untuk menginisiasi kaskade glukokortikoid, seperti katekolamin, vasopresin, dan
oksitosin. Stresor yang berbeda memicu pola pelepasan sekretagog yang berbeda
pula, sekali lagi menunjukkan bahwa respon stres terhadap stresor generik tidak
sesederhana yang dibayangkan.
Respon Imun terhadap Stres

32
Sebagian respon stres terdiri dari inhibisi fungsi imun oleh glukokortikoid.
Inhibisi tersebut mungkin menggambarkan aksi kompensatorik aksis HPA untuk
mengurangi efek fisiologis stres lainnya.sebaliknya stres juga dapat menyebabkan
aktivasi sistem imun melalui berbagai jalur. Hormon CRF sendiri dapat menstimulasi
pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang terletak di lokus seruleus, yang
mengaktivasi sistem saraf simpatik, baik sentral maupun perifer, dan meningkatkan
pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Sebagai tambahan terdapat hubungan
langsung sinaps terhadap sel target imun. Maka dalam menghadapi stresor, aktivasi
sistem imun yang segera juga terjadi, mencackup pelepasan faktor imun humoral
(sitokin) seperti interleukin-1 (IL-1) dan IL-6. Sitokin-sitokin tersebut sendiri dapat
menyebabkan pelepasan CRF, yang menurut teori akan meningkatkan efek
glukokortikoid dan membatasi aktivasi sistem imun.
Kejadian Kehidupan
Kejadian atau situasi dalam kehidupan, menguntungkan ataupun tidak (distres
Selye) seringkali terjadi tanpa perencanaan, menyebabkan tantangan yang harus
dihadapi seseorang secara adekuat. Thomas Holmes dan Richard Rahe membuat
skala penyesuaian sosial setelah bertanya pada ratusan orang dari berbagai
latarbelakang untuk menilai derajat relatif penyesuaian yang dibutuhkan oleh
kejadian yang mengubah hidup. Holmes dan Rabe menuliskan 43 kejadian kehidupan
berhubungan dengan berbagai stres pada kehidupan sehari-hari dan menandai
masing-masing dengan unit numerik: misal kematian pasangan bernilai 100 unit;
perceraian 73 unit, dan sebagainya. Akumulasi minimal 200 poin unit dalam satu
tahun meningkatkan risiko mengembangkan gangguan psikosomatik. Perlu dicatat
individu yang menghadapi stres umum secara optimis cenderung tidak mengalami
gangguan psikosomatik; serta apabila mengalami gangguan tersebut, mereka
cenderung lebih mudah sembuh.
Tabel Skala Penyesuaian Sosial
Kejadian Kehidupan Nilai Rerata
Kematian pasangan 100

33
Perceraian 73
Berpisah dari pasangan menikah 65
Masuk penjara aau institusi lain 63
Kematian anggota keluarga dekat 63
Cedera atau penyakit pribadi mayor 53
Pernikahan 50
Pemecatan 47
Rujuk dengan pasangan menikah 45
Pensiun 45
Perubahan besar pada kesehatan atau perilaku anggota 44
keluarga
Kehamilan 40
Kesulitan seksual 39
Memiliki anggota keluarga baru 39
Penyesuaian bisnis mayor 39

Faktor Stres Spesifik vs Nonspesifik


Sebagai tambahan stres kehidupan seperti perceraian atau kematian pasangan,
beberapa peneliti mengusulkan bahwa kepribadian dan konflik spesifik berhubungan
dengan penyakit psikosomatik tertentu. Kepribadian spesifik atau konflik tak sadar
spesifik dapat berkontribusi terhadap perkembangan gangguan psikosomatik khusus.
Peneliti pertama mengidentifikasi tipe kepribasdian spesifik dalam hubungan dengan
penyakit koroner. Seseorang dengan kepribadian koroner merupakan individu
kompetitif dan agresif yang memiliki predispoissi terhadap penyakit arteri koroner.
Meyer Friedman dan Ray Rosenman pertama mendefinisikan dua tipe: (1) tipe A—
mirip dengan kepribadian koroner—dan (2) tipe B—tenang, rileks, dan tidak rentan
terhadap penyakit koroner.
Franz Alexander adalah pendukung teori bahwa konflik tak sadar spesifik
berhubungan dengan gangguan psikosomatik spesifik. Sebagai contoh, individu

34
rentan terhadap ulkus peptikum dipercayai memiliki kebutuhan ketergantungan besar
yang tak terpenuhi. Individu dengan hipertensi esensial dianggap memiliki impuls tak
baik yang membuat mereka merasa bersalah. Pasien dengan asma bronkial memiliki
isu dengan kecemasan berpisah. Teori stres psikik spesifik tersebut tidak lagi
dianggap sebagai indikator yang dapat dipercaya untuk memprediksi siapa yang akan
mengalami gangguan mana; teori stres nonspesifik lebih diterima oleh sebagian besar
pekerja lapangan saat ini. Meskipun demikian, stres kronik, biasanya dengan
kecemasan, menjadi predisposisi sebagian orang untuk mengalami gangguan
psikosomatik. Organ yang terkena dapat organ manapun. Beberapa orang adalah
“reaktor lambung”, lainnya bisa “reaktor kardiovaskular”, “reaktor kulit”, dan
seterusnya. Diatesis atau kerentanan sistem organ tertentu untuk bereaksi terhadap
stres kemungkinan memiliki dasar genetik; tetapi dapat juga disebabkan oleh
kerentanan yang didapat (misal paru-paru yang lemah karena merokok). Menurut
teori psikosomatik, pilihan organ yang terdampak ditentukan oleh faktor tak sadar,
sebuah konsep dikenal sebagai somatic compliance. Sebagai contoh Freud
melaporkan seorang pasien laki-laki dengan ketakutan impuls homoseksual yang
mengalami pruritus ani dan seorang perempuan dengan rasa bersalah karena
masturbasi mengalami vulvodinia.
Faktor nonspesifik lain adalah konsep aleksitimia, dikembangkan oleh Peter
Sifneos dan John Nemiah, dimana individu tidak dapat mengekspresikan perasaannya
karena tidak sadar akan mood mereka. Pasien tersebut mengalami keadaan tegang
yang menyebabkan mereka rentan mengalami gangguan somatik.

2.9.2 Sistem Organ Spesifik


Sistem Gastrointestinal
Gangguan Gastrointestinal Fungsional
Gangguan gastrointestinal adalah salah satu penyakit medis yang paling banyak
berhubungan dengan konsultasi psikiatri. Hal tersebut merefleksikan prevalensi
gangguan gastrointestinal dan hubungan antara gangguan psikiatri dan gejala somatik

35
gastrointestinal yang tinggi. Sebagian besar gangguan gastrointestinal merupakan
gangguan fungsional. Faktor psikologis dan psikiatris umumnya memengaruhi
awitan, keparahan, dan luaran gangguan gastrointestinal fungsional.
Laporan ekstensif pada literatur menjadi bukti hubungan antara stres,
kecemasan, dan responsivitas fisiologis sistem gastrointestinal. Kecemasan dapat
memproduksi gangguan fungsi gastrointestinal melalui mekanisme kontrol sentral
atau efek humoral, seperti pelepasan katekolamin. Penelitian stimulasi elektrik
mengusulkan respon otonom simpatik dapat dihasilkan pada hipotalamus lateral,
sebuah regio dengan interaksi neural dalam sistem limbik. Respon otonom
parasimpatik juga memengaruhi fungsi gastrointestinal. Impuls parasimpatik berasal
dari hipotalamus periventrikuler dan lateral kemudian berjalan ke nukleus motoris
dorsalis vagus, jaras keluar parasimpatik utama. Nervus vagus dimodulasi oleh sistem
limbik yang meghubungkan jaras respon emosi-usus.
Stres akut dapat menginduksi respon fisiologis pada beberapa organ target
gastrointestinal. pada esofagus, stres akut meningkatkan tonus istirahat sfingter
esofageal atas dan meningkatkan amplitudo kontraksi esofagus distal. Respon
fisiologis demikian dapat mengakibatkan gejala yang konsisten dengan globus atau
sindroma spasme esofagus. Pada lambung, stres akut menginduksi penurunan
aktivitas motoris antral, yang kemungkinan menghasilkan mual dan muntah
fungsional. Pada usus halus, penurunan fungsi motoris migrasi dapat terjadi,
sementara pada usus besar, aktivitas mioelektrik dan motilitas dapat meningkat. Efek
tersebut pada usus halus dan usus besar mungkin bertanggungjawab untuk gejala usus
berhubungan dengan sindroma kolon iritabel.
Pasien dengan kelainan kontraksi dan sindroma esofageal fungsional
mendemonstrasikan laju komorbiditas psikiatrik yang tinggi. Gejala esofageal
fungsional mencakup globus, disfagia, nyeri dada, dan regurgitasi. Gejala tersebut
dapat terjadi bersamaan dengan kelainan kontraksi otot polos esofageal. Tidak semua
pasien dengan gejala esofageal fungsional menunjukkan kelainan kontraksi.
Gangguan kecemasan merupakan komorbiditas psikiatrik yang paling sering pada

36
spasme esofageal fungsional, sekitar 67% pasien. Banyak pasien dalam penelitian
tersebut telah memiliki gejala gangguan kecemasan sebelum awitan gejala esofageal.
Penyakit Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merujuk pada ulserasi mukosa yang melibatkan bagian distal
gaster atau bagian proksimal duodenum. Gejala ulkus peptikum mencakup nyeri
epigastrik seperti terbakar atau tertusuk yang terjadi satu sampai tiga jam setelah
makan dan membaik dengan makanan atau antasida. Gejala penyerta dapat berupa
mual, muntah, dispepsia, atau tanda perdarahan traktus gastrointestinal sepeti
hematemeis atau melena. Lesi biasanya kecil dengan diameter 1 cm atau kurang.
Teori awal mengidentifikasi sekresi asam lambung berlebih sebagai faktor
etiologik yang paling penting. Infeksi bakteri Helicobacter pylori telah dihubungkan
dengan 5-99% ulkus duodenal dan 70-90% ulkus gaster. Terapi antibiotik yang
menarget H. pylori berdampak pada laju penyembuhan dan pemulihan yang lebih
tinggi dibanding terapi antasida dan histamine-blocker.
Penelitian awal penyakit ulkus peptikum mengusulkan peranan faktor
psikologis yang mengakibatkan kerentanan terjadinya ulkus. Pengaruh ini dipercaya
dimediasi melalui peningkatan ekskresi asam lambung yang berhubungan dengan
stres psikologis. Penelitian pada tawanan perang selama Perang Dunia II mencatat
peningkatan laju pembentukan ulkus peptikum dua kali lebih tinggi dibanding
kontrol. Bukti terbaru mengenai peran H. pylori pada inisiasi ulkus peptikum
mengusulkan bahwa faktor psikososial mungkin berperan penting dalam manifestasi
klinis gejala-gejalanya. Tidak ada konsensus mengenai gangguan psikiatrik spesifik
berhubungan dengan penyakit ulkus peptikum.

Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah penyakit radang usus yang utamanya memengaruhi usus
besar. Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Gejala predominan kolitis ulseratif
adalah diare berdarah. Manifestasi ekstrakolon mencakup uveitis, iritis, penyakit
kulit, dan kolangitis sklerosan primer. Diagnosis ditegakkan utamanya dengan

37
kolonoskopi atau proktoskopi. Reseksi surgikal sebagian atau seluruh kolon yang
terkena dapat membawa kesembuhan bagi pasien.
Pada masing-masing pasien, faktor psikiatrik dapat berperan penting dalam
presentasi dan kompleksitas penyakit seperti kolitis ulseratif. Beberapa pekerja telah
melaporkan peningkatan prevalensi kepribadian dependen pada pasien-pasien
tersebut. Tidak ada generalisasi mengenai mekanisme psikologis untuk kolitis
ulseratif yang dapat dibuat.

Penyakit Crohn
Penyakit Crohn adalah penyakit radang usus yang utamanya memengaruhi usus
halus dan kolon. Gejala umumnya mencakup diare, nyeri abdomen, dan penurunan
berat badan.
Sebagai penyakit kronik, sebagian besar penelitian komorbiditas psikiatrik
berfokus pada gangguan psikiatrik yang terjadi setelah awitan penyakit. Sebuah
penelitian gejala psikiatrik pada pasien dengan penyakit Crohn sebelum awitan gejala
menemukan laju gangguan panik yang tinggi dibanding kontrol dan kontrol dengan
kolitis ulseratif.

Efek Obat Psikotropika terhadap Fungsi Gastrointestinal


Obat-obatan psikotropika dapat menghasilkan perubahan fungsi gastrointestinal
signifikan, menyebabkan efek samping. Efek samping gastrointestinal tersebut dapat
menghasilkan beberapa tantangan klinis. Pertama pasien dapat memilih untuk putus
obat. Kedua peresep mungkin perlu mempertimbangkan kemungkinan penyakit
gastrointestinal serius atau eksaserbasi gangguan gastrointestinal fungsional saat
timbul gejala akibat obat. Klinisi mungkin perlu mempertimbangkan dengan hati-hati
profil efek samping obat psikotropika spesifik saat mengobati pasien dengan
gangguan gastrointestinal.
Serotonin ditemukan di usus dan SSRI dapat menghasilkan gejala
gastrointestinal signifikan. Efek samping tersebut cenderung dirasakan pada inisiasi

38
terapi dan berkorelasi dengan dosis obat. Mual dan diare adalah efek samping yang
signifikan pada profil senyawa SSRI.
Antidepresan trisiklik (TCA) standar juga dapat menghasilkan efek samping
gastrointestinal, spesifiknya mulut kering dan konstipasi. Efek tersebut tampak
utamanya berhubungan dengan efek antikolinergik senyawa trisiklik.

2.10.1 Tatalaksana
Penggunaan obat psikotropika umum pada tatalaksana berbagai gejala
gangguan gastrointestinal. Pengobatan menggunakan obat psikotropika pada pasien
dengan penyakit gastrointestinal dapat rumit karena gangguan motilitas dan absorpsi
gaster, serta metabolisme berhubungan dengan gangguan gastrointestinal yang
mendasari. Banyak efek gastrointestinal obat psikotropika dapat digunakan untuk
efek terapetik dengan gangguan gastrointestinal fungsional. Efek sampingnya,
meskipun demikian dapat mengeksaserbasi gangguan gastrointestinal.
Pengobatan menggunakan obat psikotropika juga dapat dikomplikasikan oleh
adanya gangguan hepar akut ataupun kronik. Sebagian besar obat psikotropika
dimetabolisme oleh hepar. Banyak obat-obatan tersebut dihubungkan dengan
hepatotoksisitas. Ketika perubahan fungsi hepar akut terjadi dengan TCA,
karbamazepin, atau antipsikotik, mungkin perlu pemutusan obat. Selama periode
pemutusan, lorazepam atau litium dapat digunakan, karena ekskresinya melalui
ginjal. Terapi elektrokonvulsif juga dapat digunakan pada pasien dengan penyakit
hepar, meskipun dibutuhkan ahli anestesi untuk memilih dengan hati-hati agen
anestetik berisiko hepatotoksisitas minimal.
Psikoterapi dapat menjadi komponen kunci dalam pendekatan tatalaksana
sindroma kolon iritabel dan gangguan gastrointestinal fungsional lainnya secara
bertahap. Berbagai model psikoterapi berbeda telah digunakan, mencakup psikoterapi
individual jangka pendek berorientasi dinamik, psikoterapi suportif, hipniterapi,
relaksasi, dan terapi kognitif.
Kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi sedang mendapatkan perhatian yang
meningkat dalam penelitian efektivitas untuk beragam gangguan. Banyak gangguan

39
gastrointestinal menyediakan kesempatan bagi klinisi untuk mempertimbangkan
pilihan terapi kombinasi. Augmentasi psikoterapi menjadi lebih penting karena
tolerabilitas gastrointestinal pada populasi ini mungkin terbatas.

2.11 Gangguan Kardiovaskular


Gangguan kardiovaskular adalah penyebab kematian utama di Amerika Serikat
dan negara berkembang. Depresi, kecemasan, kepribadian tipe A, amarah, dan stres
mental akut telah dievaluasi sebagai faktor risiko perkembangan dan ekspresi
penyakit koroner. Afek negatif secara umum, status sosioekonomi rendah, dan
dukungan sosial yang rendah telah ditunjukkan memiliki hubungan signifikan dengan
masing-masing faktor psikologis tersebut. Data dari Normative Aging Study pada 48
laki-laki dengan usia rerata 60 tahun mendemonstrasikan sebuah hubungan dosis-
respons antara emosi negatif, kombinasi gejala kecemasan dan depresi, dan insidensi
penyakit koroner. Saat ini bukti terkuat yang tersedia hanya mengarah ke depresi.
Penelitian pada pasien dengan penyakit arteri koroner juga mendemonstrasikan
hampir dua kali risiko luaran negatif, termasuk infark miokard, prosedur
revaskularisasi untuk angina tak stabil, dan kematian, yang berhubungan dengan
depresi. Depresi berat selama enam bulan setelah operasi bypass arteri koroner atau
persistensi gejala depresi sedang sebelum operasi memprediksi peningkatan risiko
kematian dalam lima tahun.

Pola Kepribadian Tipe A, Amarah, dan Hostilitas


Hubungan antara pola perilaku berciri mudah marah, ketidaksabaran, agresi,
semangat kompetitif, dan urgensi waktu (tipe A) dan penyakit arteri koroner
menemukan bahwa pola tipe A berhubungan dengan hampir dua kali peningkatan
insidensi kematian terkait infark miokard dan penyakit arteri koroner. Terapi
kelompok untuk memodifikasi pola perilaku tipe A dihubungkan dengan penurunan
reinfark dan mortalitas pada 4,5 tahun penelitian pasien dengan riwayat infark
miokard sebelumnya. Terapi modifikasi perilaku tipe A juga telah mendemostrsikan

40
penurunan episode iskemia silent seperti terlihat pada monitoring elektrokardiografi
ambulatoris.
Hostilitas atau sifat bermusuhan merupakan komponen inti konsep tipe A.
Hostilitas rendah dihubungkan dengan risiko penyakit arteri koroner rendah pada
penelitian populasi tempat kerja. Hostilitas tinggi dihubungkan dengan peningkatan
risiko kematian pada follow up penyintas infark miokard selama 16 tahun. selain itu,
hostilitas dihubugkan dengan beberapa proses fisiologis, yang pada gilirannya,
dihubungkan dengan penyakit arteri koroner, seperti penurunan modulasi
parasimpatis denyut jantung, peningkatan katekolamin yang bersirkulasi, peningkatan
kalsifikasi koroner, dan peningkatan kadar lipid selama konflik interpersonal.

Pengelolaan Stres
Penelitian metaanalisis terbaru mengenai 23 uji klinis acak terkontrol
mengevaluasi dampak tambahan terapi psikososial pada rehabilitasi penyakit arteri
koroner. Latihan relaksasi, pengelolaan stres, dan dukungan sosial kelompok
merupakan modalitas predominan intervensi psikososial. Kecemasan, depresi, faktor
risiko biologis, mortalitas, dan kejadian kardiak berulang merupakan luaran klinis
yang diteliti. Penelitian tersebut mengikutsertakan 2.024 pasien pada kelompko
intervensi dan 1.156 subjek kontrol. Pasien dengan terapi psiskososial memiliki
penurunan distres emosional, tekanan darah sistolik, denyut jantung, dan kadar
kolesterol yang lebih besar dibanding subjek pembanding. Pasien yang tidak
menerima intervensi psikososial memiliki lebih dari 70% mortalitas dan 84% laju
rekurensi yang lebih tinggi selama dua tahun follow up. Rehabilitasi kardiak sendiri
dapat menurunkan tingkat hostilitas yang tinggi, dan juga gejala kecemasan dan
depresi pada pasien paska infark miokard. Sebuah tinjauan metaanalisis program
psikoedukasi untuk pasien dengan penyakit arteri koroner menyimpulkan bahwa
mereka memiliki perbaikan substansial dalam tekanan darah, kolesterol, berat badan,
perilaku merokok, latihan fisik, dan kebiasaan makan serta hampir 29% penurunan
infark miokard dan 34% penurunan mortalitas, tanpa mencapai efek signifikan

41
terhadap mood dan kecemasan. Program tersebut mencakup komponen edukasi
kesehatan dan pengelolaan stres.

Aritmia Kordis dan Kematian Kardiak Mendadak


Tinjauan komprehensif mengenai aritmia mengenai aritmia kordis berada di
luar lingkup bagian ini. Antara banyak subtipe aritmia kordis, yang paling penting
bagi psikiater adalah disfungsi nodus sinus dan gangguan konduksi AV yang
menyebabkan bradiaritmia dan takiaritmia yang dapat letal ataupun benigna tetapi
simtomatik.
Bukan hal yang mengejutkan bahwa emosi akut dapat menstimulasi aritmia,
karena modulasi kardiak otonom sangat sensitif terhadap stres emosional akut seperti
amarah intens, ketakutan, atau kesedihan. Benar adanya bahwa beberapa kasus
kematian kardiak mendadak yang berhubungan dengan distres emosional mendadak
telah teramati sepanjang sejarah melintasi semua budaya. Dua penelitian telah
mendemonstrasikan bahwa selain depresi, tingkat gejala kecemasan yang tinggi
meningkatkan risiko kejadian koroner lanjutan pada pasien paska infark miokard dua
sampai lima kali dari pasien pembanding yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat
gejala kecemasan yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan tiga kali risiko
kematian kardiak mendadak.

Transplantasi Jantung
Transplantasi jantung tersedia pada sekitar 2.500 pasien tiap tahunnya di
Amerika Serikat dan menyediakan sekitar 75% kesintasan lima tahun untuk pasien
dengan gagal jantung berat, yang sebaliknya memiliki kurang dari 50% kesintasan
dua tahun. Kandidat transplantasi jantung umumnya mengalami beberapa tantangan
adaptif seiring proses evaluasi, menunggu, pengelolaan perioperatif, pemulihan
paskaoperasi, dan adaptasi jangka panjang akan hidup dengan transplan. Tahapan
adaptasi tersebut umumnya menyebabkan kecemasan, depresi, elasi, dan kedukaan.

42
Gangguan mood umum ditemui pada penerima transplan, sebagian dikarenakan terapi
prednison kronik.

Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit yang dicirikan oleh peningkatan tekanan darah lebih
dari sama dengan 140/90 mmHg. Kondisi tersebut dapat primer (hipertensi esensial)
atau sekunder terhadap penyakit medis yang diketahui. Beberapa pasien memiliki
tekanan darah labil (misal hipertensi white coat, dimana peningkatan terjadi hanya di
ruang periksa dokter dan berhubungan dengan kecemasan). Profil kepribadian yang
berhubungan dengan hipertensi esensial mencakup individu yang memiliki
kecenderungan untuk menjadi agresif, yang mereka coba untuk kontrol, meskipun tak
secara sukses. Psikoanalis Otto Fenichel mengamati bahwa peningkatan hipertensi
esensial mungkin berhubungan dengan keadaan mental seseorang yang telah belajar
bahwa agresifitas itu buruk dan harus hidup di dunia dimana diperlukan agresifitas
dalam jumlah banyak.

Sinkop Vasovagal
Sinkop vasovagal dicirikan oleh kehilangan kesadaran mendadak yang
disebabkan oleh respon vasodepresor menurunkan perfusi serebral. Aktivitas otonom
simpatik dihambat dan aktivitas vagal parasimpatis diperkuat; hasilnya adalah
penurunan cardiac output, penurunan resistensi perifer, vasodilatasi, dan bradikardia.
Reaksi ini menurunkan pengisian ventrikuler, menurunkan suplai darah ke otak, dan
menyebabkan hipoksia otak serta kehilangan kesadaran. Pasien dengan sinkop
vasomotor biasanya menempatkan diri atau jatuh ke posisi pronasi sehingga
penurunan cardiac output terkoreksi. Ketidakseimbangan fisiologis juga dapat
dikoreksi dengan menaikkan kaki pasien. Saat sinkop terjadi berhubungan dengan
hipotensi ortostatik, sebagai efek samping obat psikotropik, pasien seharusnya
disarankan untuk berpindah posisi dari duduk ke berdiri dengan pelan-pelan. Pemicu

43
fisiologis spesifik sinkop vasovagal belum teridentifikasi, tetapi situasi yang penuh
stres akut diketahui menjadi faktor etiologi.

Sistem Respirasi
Distres psikologis dapat bermanifestasi menjadi pernapasan yang terganggu,
seperti takipneu pada gangguan kecemasan atau menghela napas pada pasien depresi
atau kecemasan. Gangguan bernapas dapat mengganggu ketenangan psikik, seperti
rasa teror pada pasien asma manapun dengan obstruksi saluran napas berat atau
hipoksemia berat.

Asma
Asma adalah penyakit kronik episodik dicirikan oleh penyempitan ekstensif
percabangan trakeobronkial. Gejala mencakup batuk, mengi, rasa sesak di dada, dan
dispneu. Gejala nokturnal dan eksaserbasi umum dijumpai. Meskipun pasien dengan
asma dicirikan memiliki kebutuhan ketergantungan berlebih, tidak ada tipe
kepribadian spesifik yang teridentifikasi; meskipun demikian hampir 30% pasien
dengan asma masuk dalam kriteria gangguan panik atau agrafobia. Ketakutan akan
dispneu dapat secara langsung memicu serangan asma, dan tingkat kecemasan tinggi
dihubungkan dengan peningkatan laju masuk rumah sakit dan mortalitas terkait asma.
Ciri kepribadian tertentu pada pasien asma dihubungkan dengan penggunaan
kortikosteroid dan bronkodilator dalam jumlah besar serta waktu masuk rumah sakit
yang lebih panjang dibanding yang terprediksi dari fungsi paru sendiri. Ciri tersebut
mencakup rasa takut intens, labilitas emosional, sensitivitas akan penolakan, dan
kekurangan persistensi dalam situasi sulit.

Sindroma Hiperventilasi
Pasien dengan sindroma hiperventilasi bernapas dengan cepat dan dalam
selama beberapa menit, seringkali secara tak sadar. Mereka kemudian mengeluhkan
perasaan tercekik, kecemasan, dan pusing. Tetanus, palpitasi, nyeri kronik, dan

44
parestesia sekitar mulut dan jari tangan dan kaki adalah gejala yang berhubungan.
Akhirnya dapat terjadi sinkop. Gejala-gejala terebut disebabkan oleh kehilangan
karbondioksida berlebih yang menyebabkan alkalosis respiratorik. Tekanan parsial
karbondioksida serebral yang rendah menyebabkan vasokonstriksi serebral.
Serangan dapat dihentikan dengan menyuruh pasien bernapas ke suatu kantong
kertas (bukan plastik) atau menahan napas selama mungkin yang menaikkan tekanan
parsial karbondioksida plasma. Teknik tatalaksana lain yang berguna adalah
menyuruh pasien dengan sengaja melakukan hiperventilasi selama 1-2 menit dan
kemudian menjelaskan sindromanya pada mereka. Hal ini juga dapat menenangkan
pasien yang takut akan memiliki penyakit progresif, atau bahkan fatal.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merujuk pada serangkaian gangguan
yang dicirikan oleh tiga aspek patofisiologis: (1) batuk dan produksi sputum kronik;
(2) emfisema biasanya berhubungan dengan merokok atau defisiensi alfa1-antitripsin;
dan (3) inflamasi, yang menghasilkan fibrosis dan penyempitan jalan napas. Sama
seperti asma, laju prevalensi gangguan panik dan kecemasan meningkat pada pasien
PPOK. Gangguan kecemasan terjadi pada 16-34% pasien, lebih tinggi dari angka
15% pada populasi umum. Prevalensi gangguan panik pada pasien dengan PPOK
berkisar 8-24%, lebih tinggi dari prevalensi umum sebesar 1,5%.
Pasien dengan PPOK dapat mendapatkan keuntungan dari agen
simpatomimetik inhalasi, tetapi ada dua poin yang perlu penekanan. Pertama,
penggunaan dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia. Kedua, gejala refrakter
dapat menyebabkan penggunaan agonis alfa2 berlebih, yang memiliki laju efek
samping tinggi mencakup tremor, ansietas, dan gangguan tidur.

Sistem Endokrin
Pemahaman gangguan endokrin penting, tidak hanya karena tersebar luas,
tetapi juga karena dapat menghasilkan gejala yang sulit dibedakan dari penyakit

45
psikiatrik. Manifestasi fisik penyakit endokrin menyediakan petunjuk diagnosis,
tetapi tidak selalu ada. Efek endokrinopati pada simtomatologi psikiatrik telah diteliti,
terutama pada gangguan tiroid dan adrenal. Pada gangguan endokrin lain seperti
gangguan reproduktif, akromegali, tumor sekresi prolaktin, dan hiperparatiroidisme,
sekuelae psikiatriknya tidak banyak diketahui.

Hipertiroidisme
Hipertiroidisme atau tirotoksikosis disebabkan oleh produksi berlebih hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid. Penyebab paling umum adalah struma eksoftalmik, juga
dikenal sebagai penyakit Graves. Struma nodosa toksik menyebabkan 10% kasus
antara pasien paruh-baya dan tua. Tanda fisik hipertiroidisme mencakup peningkatan
denyut jantung, aritmia, peningkatan tekanan darah, tremor halus, intoleransi panas,
keringat berlebihan, penurunan berat badan, takikardia, iregularitas menstrual,
kelemahan otot, dan eksoftalmos. Gejala psikiatrik mencakup fatigue, insomnia,
labilitas mood, dan disforia. Bicara dapat mengalami penekanan dan pasien dapat
menunjukkan tingkat aktivitas yang meninggi. Gejala kognitif mencakup durasi
atensi pendek, memori janga pendek terganggu, dan respon terkejut yang berlebihan.
Pasien dengan hipertiroidisme berat dapat menunjukkan halusinasi visual, ide
paranoid, dan delirium. Meskipun beberapa gejala hipertiroidisme menyerupai
episode manik, hubungan antara hipertiroidisme dan mania jarang teramati; meskipun
demikian, kedua gangguan dapat terjadi pada pasien yang sama.
Tatalaksana untuk penyakit Graves adalah propiltiourasil (PTU) dan obat
antitiroid, (2) iodin radioaktif, dan (3) tiroidektomi operatif. Antagonis beta-
adrenergik (misal propanolol) dapat meredakan gejala.
Tatalaksana struma nodosa mencakup antagonis reseptor beta-adrenergik dan
iodin radioaktif. Tatalaksana tiroiditis mencakup antagonis beta-adrenergik jangka
pendek (beberapa minggu), karena kondisi ini berjangka pendek. Untuk pasien
dengan gejala psikotik, antipsikotik potensi sedang lebih disukai dibanding potensi
rendah, karena potensi rendah dapat memperburuk takikardia. Obat trisiklik harus

46
digunakan dengan hati-hati dan hanya apabila benar-benar diperlukan, juga untuk
alasan yang sama. Pasien depresi seringkali merespon SSRI. Pada umumnya gejala
psikiatrik menghilang dengan pengobatan hipertiroidisme yang sukses.

Hipotiroidisme
Hipotiroidisme disebabkan oleh sintesis hormon tiroid inadekuat dan
dikategorikan sebagai nyata atau subklinis. Pada hipertiroidisme nyata, konsentrasi
hormon tiroid rendah secara abnormal, thyroid stimulating hormone (TSH)
meningkat, dan pasien simtomatik; pada hipotiroidisme subklinis, pasien memiliki
konsentrasi hormon tiroid normal, tetapi kadar TSH meningkat.
Gejala psikiatrik hipotiroidisme mencakup mood depresif, apatis, gangguan
ingatan, dan kelainan kognitif lain. Hipotiroidisme juga berkontribusi terhadap
depresi refrakter tatalaksana. Sebuah sindroma psikotik yang terdiri atas halusinasi
auditorik dan paranoia, myxedema madness atau kegilaan miksedema, telah
dideskripsikan pada beberapa pasien. Tatalaksana psikiatrik urgen diperlukan untuk
pasien yang mengekspresikan gejala psikiatrik berat (misal psikosis atau depresi
bunuh diri). Agen psikotropika seharusnya diberikan awalnya pada dosis rendah,
karena penurunan laju metabolisme pasien hipotiroidisme dapat menurunkan
pemecahan obat, menyebabkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi.
Hipotiroidisme subklinis dapat menghasilkan gejala depresif dan defisit
kognitif, meskipun tidak seberat hipotiroidisme nyata. Prevalensi seumur hidup
depresi pada pasien dengan hipotiroidisme subklinis sekitar dua kali populasi umum.
Pasien-pasien ini menunjukkan laju respon yang lebih rendah terhadap antidepresan
dan kemungkinan tinggi merespon augmentasi liotironin dibanding pasien eutiroid
dengan depresi.

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme dan sistem vaskular,
ditunjukkan oleh kelainan tubuh menangani glukosa, lipid, dan protein. Hal tersebut

47
disebabkan oleh sekresi atau aksi insulin yang terganggu. Penyakit ini juga dapat
merupakan efek samping serius obat-obatan antagonis serotonin-dopamin yang
digunakan untuk mengobati psikosis. Hereditas dan riwayat keluarga penting dalam
awitan diabetes; meskipun demikian awitan mendadak seringkali berhubungan
dengan stres emosional, yang mengganggu keseimbangan homeostasis pada pasien
yang memiliki predisposisi. Faktor psikologis yang tampak signifikan adalah yang
memprovokasi perasaan frustasi, kesendirian, dan penolakan. Pasien dengan diabetes
harus biasanya menjaga kontrol diet karena diabetesnya. Saat mereka depresi atau
merasa ditolak, seringkalli mereka makan atau minum berlebihan dengan self-
destructive atau menghancurkan diri sendiri, dan menyebabkan diabetesnya tak
terkontrol. Reaksi ini terutama umum pada pasien dengan diabetes juvenil atau tipe I.
istilah seperti oral, dependen, mencari perhatian maternal, dan pasif berlebihan telah
diaplikasikan pada pasien dengan kondisi ini
Psikoterapi suportif membantu mencapai kooperasi dalam tatalaksana medis
penyakit kompleks ini. Terapis harus menyemangati pasien untuk menjalani
kehidupan senormal mungkin, mengenali bahwa mereka memiliki penyakit yang
kronik namun dapat terkontrol. Pada pasien dengan diabetes yang telah diketahui,
ketoasidosis dapat menyebabkan kebingungan dan kekerasan. Hipoglikemia (sering
terjadi saat pasien dengan diabetes minum alkohol) dapat menyebabkan kondisi
ansietas berat, kebingungan, dan perilaku terganggu. Perilaku tidak tepat yang
disebabkan hipoglikemia harus dibedakan dari yang disebabkan oleh mabuk biasa.

2.12 Gangguan Adrenal


Sindroma Cushing
Sindroma Cushing spontan disebabkan hiperfungsi adrenokortikal dan dapat
berkembang dari antara sekresi ACTH berlebih atau patologi adrenal. Penyakit
Cushing, bentuk paling umum sindroma Cushing spontan, disebabkan oleh sekresi
ACTH berlebih oleh pituitari, biasanya oleh karena adenoma pituitari.

48
Gejala klinis penyakit Cushing mencakup moon face yang khas, disebabkan
akumulasi jaringan lemak sekitar arkus zigomatikus. Obesitas trunkal, penampilan
buffalo hump atau punuk kerbau, disebabkan oleh deposisi jaringan lemak
servikodorsal. Efek katabolik kortisol pada protein menyebabkan atrofi otot,
penyembuhan luka yang lambat, mudah memar, dan penipisan kulit, menyebabkan
striae abnormal. Tulang menjadi osteoporotik, terkadang menyebabkan fraktur
patologis dan penurunan tinggi badan. Gejala psikiatrik umum dan bervariasi dari
depresi berat sampai elasi, dengan atau tanpa bukti gejala psikotik.

Hiperkortisolisme
Gejala psikiatrik beragam. Sebagian besar pasien mengalami fatigue dan sekitar
75% melaporkan mood depresif. Dari pasien tersebut, sekitar 60% mengalami depresi
sedang-berat. Keparahan depresi tampaknya tidak dipengaruhi oleh etiologi yang
menyebabkan sindroma Cushing. Gejala depresif terjadi lebih sering pada pasien
perempuan dibanding laki-laki dengan sindroma Cushing.
Labilitas emosional, iritabilitas, penurunan libido, kecemasan, dan
hipersensitivitas terhadap stimulus umum ditemui. Gejala somatik dan peningkatan
angka neurotisisme pada Eysenck Personality Inventory juga dilaporkan, dengan
perbaikan signifikan setelah normalisasi kadar kortisol. Penarikan sosial dapat terjadi
sebagai dampak rasa malu akan penampilan fisik. Paranoia, halusinasi, dan
depersonalisasi diperkirakan terjadi pada 5-15% kasus. Perubahan kognitif umum
ditemui, dengan sekitar 83% pasien mengalami defisit konsentrasi dan memori.
Keparahan defisit ini berkorelasi dengan kortisol dan ACTH plasma.
Gejala manik dan psikotik terjadi lebih jarang dibanding depresi, pada sekitar 3-
8% pasien, tetapi meningkat sampai setinggi 40% pada pasien dengan karsinoma
adrenal. Pada kasus hiperkortisolisme iatrogenik dan karsinoma adrenal, mania dan
psikosis dapat predominan. Gangguan psikiatrik pada pasien yang diterapi dengan
prednison cenderung muncul dalam dua minggu pertama pengobatan dan lebih sering
terjadi pada wanita dibanding pria.

49
Penghentian terapi steroid juga dapat menyebabkan gangguan psikiatrik,
terutama depresi, kelemahan, anoreksia, dan artralgia. Gejala lain mencakup labilitas
emosional, gangguan ingatan, dan delirium. Gejala tersebut dapat bertahan sampai
selama 8 minggu setelah penghentian steroid.
Pasien yang menunjukkan labilitas mood atau depresi yang berhubungan
dengan kelemahan otot, obesitas, diabetes, mudah memar, striae, akne, hipertensi, dan
pada perempuan, hirsutisme dan oligomenorea atau amenorea dapat mengikuti
evaluasi endokrinologi.

Hiperprolaktinemia
Prolaktin, diproduksi oleh pituitari anterior, merangsang produksi susu dari
payudara dan modulasi perilaku maternal. Produksinya dihambat oleh dopamin yang
diproduksi oleh neuron tuberoinfundibular nukleus arkuata hipotalamus. Konsentrasi
normal (5-25 ng/mL pada perempuan dan 5-15 ng/mL pada laki-laki) berfluktuasi,
memuncak saat tidur. Latihan dan stres emosional dapat meingkatkan konsentrasi
prolaktin. Obat-obatan yang menghambat dopamin (misal antipsikotik) meningkatkan
konsentrasi dopamin sampai 20 kali. Semua antipsikotik tampak sama mungkinnya
meningkatkan konsentrasi prolaktin, terkecuali klozapin dan olanzapin. Obat-obatan
lain yang dapat meningkatkan konsentrasi prolaktin termasuk kontrasepsi oral,
estrogen, obat trisiklik, antidepresan serotoninergik, dan propanolol. Hipotiroidisme
meningkatkan konsentrasi prolaktin karena thyrotropin-releasing hormone (TRH)
menstimulasi pelepasan prolaktin. Hiperprolaktinemia fisiologis terjadi pada
perempuan hamil dan menyusui; stimulasi putting susu juga meningkatkan
konsentrasi prolaktin.
Pengalaman kanak-kanak traumatik, seperti berpisah dari orangtua atau tinggal
dengan ayah alkoholik, juga dilaporkan menjadi predisposisi hiperprolaktinemia.
Kejadian hidup penuh stres juga dihubungkan dengan galaktorea, bahkan pada
ketiadaan peningkatan konsentrasi prolaktin. Kadar prolaktin rendah dihubungkan

50
dengan penurunan libido. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan disfungsi seksual
seperti gangguan ereksi dan anorgasmia.

2.12 Gangguan Kulit


Gangguan psikokutaneus mencakup penyakit dermatologis luas yang dapat
dipengaruhi leh keberadaan gejala psikiatrik dan penyakit psikiatrik dimana kulit
merupakan target disorganisasi pikiran, perilaku, atau persepsi. Meskipun hubungan
antara stres dan beberapa gangguan dermatologis telah dicurigai selama bertahun-
tahun, hanya sedikit penelitian terkontrol baik akan tatalaksana gangguan
dermatologisyang menilai apakah penurunan stres atau tatalaksana komorbiditas
psikiatrik memperbaiki luarannya.meskipun bukti interaksi antara sistem saraf, imun,
dan endokrin telah meningkatkan pemahaman gangguan psikokutaneus, lebih banyak
penelitian gangguan yang seringkali menyebabkan disabilitas ini diperlukan.

Dermatitis Atopi
Dermatitis atopi (juga disebut eksim atopik atau neurodermatitis) adalah
gangguan kulit kronik yang dicirikan oleh rasa gatal dan inflamasi (eksim), seringkali
berasal sebagai erupsi makulopapular eritematosa dan gatal. Pasien dengan dermatitis
atopi cenderung lebih cemas dan depresi dibanding kelompok kontol bebas penyakit.
Kecemasan atau depresi menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopi dengan
menginduksi perilaku menggaruk, dan gejala depresif tampak mengamplifikasi
persepsi gatal. Penelitian terhadap anak dengan dermatitis atopi menemukan bahwa
anak yang memiliki masalah perilaku memiliki penyakit yang lebih berat. Pada
keluarga yang mendukung independensi, anak memiliki gejala yang tidak seberat
orangtua overprotektif.

Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kulit yang kronik dan hilang timbul, dengan lesi khas
berupa skuama perak disertai dasar eritem. Sulit mengendalikan efek negatif psoriasis

51
pada kualitas hidup. Penyakit ini dapat menyebabkan stres, yang pada gilirannya
memicu lebih banyak psoriasis. Pasien yang melaporkan bahwa stres memicu
psoriasis seringkali mendeskripsikan stres terkait penyakit yang disebabkan oleh
kelainan kosmetik dan stigma sosial psoriasis, alih-alih kejadian kehidupan mayor.
Stres terkait psoriasis mungkin lebih berhubungan dengan kesulitan psikososial
hubungan interpersonal pasien dengan psoriasis dibanding keparahan atau kronisitas
aktivitas psoriasis.
Penelitian terkontrol telah menemukan bahwa pasien dengan psoriasis memiliki
tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi dan komorbiditas signifikan dengan ragam
gangguan kepribadian antara lain skizoid, menghindar, pasif-agresif, dan obsesif
kompulsif. Laporan pasien sendiri mengenai keparahan psoriasis berkorelasi
signifikan dengan depresi dan ide bunuh diri, serta depresi komorbid menurunkan
ambang pruritus pada pasien psoriasis. Konsumsi alkohol berat (lebih dari 80 g etanol
per hari) oleh pasien laki-laki dengan psoriasis dapat memprediksi luaran tatalaksana
yang buruk.

Ekskoriasi Psikogenik
Ekskoriasi psikogenik (juga disebut pruritur psikogenik) adalah lesi yang
disebabkan oleh garukan atau mengelupas kulit sebagai respon gatal atau sensasi kulit
lain atau disebabkan keinginan menghilangkan iregularitas kulit dari dermatosis,
salah satunya seperti akne. Lesi biasanya ditemukan pada area yang mudah dijangkau
pasien dan memiliki diameter beberapa milimeter, berkrusta, terkadang disertai
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi paskainflamasi. Perilaku dalam ekskoriasi
psikogenik terkadang menyerupai gangguan obsesif-kompulsif dimana seringkali
repetitif, ritualistik, dan menurunkan ketegangan, dan pasien berusaha (seringkali
tidak berhasil) untuk menahan hasrat ekskoriasi. Kulit merupakan daerah erogenosa
yang penting, dan Freud percaya bahwa kulit rentan terhadap impuls seksual tak
sadar.

52
Pruritus Lokal
Investigasi pruritus ani biasanya memberikan riwayat iritasi lokal (misal cacing
kremi, discharge iritan, infeksi fungal) atau faktor sistemik umum (misal defisiensi
nutrisi, intoksikasi obat). Setelah perjalanan penyaki konvensional, pruritus ani
seringkali gagal merespon usaha terapi. Keluhan tersebut dapat menyebabkan distres
yang mengganggu aktivitas pekerjaan dan sosial. Investigasi banyak pasien dengan
gangguan tersebut menunjukkan bahwa penyimpangan kepribadian seringkali
mendahului kondisi tersebut dan bahwa gangguan emosional seringkali menyebabkan
presipitasi dan persistensi.
Seperti halnya pruritus ani, pruritus vulva dapat memiliki penyebab fisik
spesifik, baik lokal atau umum, serta keberadaan psikopatologi tidak menurunkan
kebutuhan upaya investigasi medis. Pada beberapa pasien, kesenangan yang berasal
dari penggosokan dan penggarukan disadari—sebagai suatu bentuk simbolik
masturbasi—tetapi lebih sering tidak disadari, elemen kesenangan ditekan. Beberapa
pasien mungkin memberikan riwayat panjang frustasi seksual, yang seringkali
bertambah kuat saat awitan pruritus.
Hiperhidrosis
Kondisi ketakutan, amarah, dan ketegangan dapat menginduksi peningkatan
sekresi keringat yang tampak utamanya pada telapak tangan, telapak kaki, dan aksila.
Sensitivitas berkeringat sebagai respon emosi menjadi basis pengukuran keringat oleh
respon kulit galvanik (alat penting riset psiksomatik), biofeedback, poligraf (tes
deteksi kebohongan). Di bawah kondisi stres emosional jangka panjang, hiperhidrosis
dapat menyebabkan perubahan kulit sekunder, ruam, lepuh, dan infeksi; maka dari itu
hiperhidrosis dapat menjadi penyebab beberapa kondisi dermatologis lain yang tidak
terutama dipengaruhi oleh atau berhubungan dengan emosi. Pada dasarnya
hiperhidrosis dapat dipandang sebagai fenomena kecemasan dimediasi oleh sistem
saraf otonom, dan harus dibedakan dari kondisi hiperhidrosis terinduksi obat.
Urtikaria

53
Faktor psikiatrik telah diimplikasikan dalam perkembangan beberapa tipe
urtikaria. Sebagian besar penelitian psikiatrik fokus kepada urtikaria idiopatik kronik.
Teori psikodinamika awal mengenai urtikaria telah ditinggalkan karena tidak ada
hubungan antara konflik kepribadian spesifik dan urtikaria yang dapat dibuktikan.
Pasien dengan urtikaria idiopatik kronik seringkali depresi dan cemas, serta
perempuan lebih mungkin mengalami gejala psikiatrik signifikan. Penelitian
terkontrol menemukan hubungan antara kejadian kehidupan yang penuh stres dan
awitan urtikaria. Stres dapat menyebabkan sekresi neuropeptida seperti peptida
intestinal vasoaktif dan substansi P, yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan
berkontribusi terhadap perkembangan urtikaria.
2.13 Sistem Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal adalah kelompok sindroma dan penyakit beragan
yang memiliki gejala otot dan sendi sebagai denominator umumnya. Relevansi
gagguan tersebut untuk psikiater adalah korelasi dengan penyakit psikatrik yang
secara konsisten teramati. Banyak pasien dengan gangguan muskuloskeletal
menunjukkan gejala tambahan mengindikasikan keberadaan gangguan psikiatrik
penyerta. Kondisi psikiatrik komorbid ini dapat disebabkan oleh respon fisiologis
pasien terhadap kehilangan dan ketidaknyamanan yang disebabkan penyakit atau
disebabkan efek perjalanan penyakit pada sistem saraf pusat.
Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit yang dicirikan oleh nyeri
muskuloskeletal kronik berasal dari inflamasi sendi. Faktor penyebab signifikan dalah
herediter, alergik, imunologis, dan psikologis.
Stres dapat menjadi predisposisi pasien kepada artritis reumaoid dan penyakit
autoimun lain melalui supresi imun. Depresi merupakan komorbid dengan AR pada
sekitar 20% individu. Pasien yang mengalami depresi lebih sering tidak menikah,
memiliki durasi penyakit lebih panjang, dan memiliki kejadian komorbiditas medis
lebih tinggi. Individu dengan AR dan depresi biasanya mendemostrasikan status

54
fungsional yang lebih buruk, dan mereka melaporkan nyeri sendi yang lebih sering,
dibanding pasien tanpa depresi.
Agen psikotropika dapat digunakan pada beberapa pasien. Tidur, yang
seringkali diganggu oleh nyeri, dapat dibantu dengan kombinasi obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) dan trazodon atau mirtazapine, dengan saran yang tepat
mengenai hipotensi ortostatik. Obat-obatan trisiklik menyebabkan efek antiinflamasi
ringan independen terhadap pengubahan mood; meskipun demikian efek
antikolinergik (menonjol antara obat trisiklik dan beberapa agen serotoninergik) dapat
memperberat kekeringan membran oral dan okular pada beberapa pasien.
Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit jaringan ikat dengan etiologi yang
tak jelas, dicirikan oleh episode berulang inflamasi destruktif pada beberapa organ,
mencakup kulit, sendi, ginjal, pembuluh darah, dan sistem saraf pusat. Gangguan ini
sangat tak terprediksi, seringkali menyebabkan disabilitas, dan berpotensi
menyebabkan kecacatan fisik, serta tatalaksananya memerlukan pemberian obat-
obatan yang berpotensi toksik. Psikiater dapat membantu mempromosikan interaksi
positif antara pasien dan staf program serta memastikan sikap toleran oleh anggota
staf tersebut. Psikoterapi suportif dapat membantu pasien memiliki pengetahuan dan
kedewasaan yang dibutuhkan untuk menangani gangguan seefektif mungkin.

Low Back Pain


Nyeri punggung bawah atau low back pain (LBP) memengaruhi hampri 15 juta
orang Amerika dan salah satu alasan utama tidak masuk kerja serta klaim disabilitas
oleh perusahaan asuransi. Tanda dan gejala bervariasi antarpasien, seringkali terdiri
atas nyeri yang sangat hebat, gerakan terbatas, parestesia, dan kelemahan atau rasa
kebas, kesemuanya dapat disertai kecemasan, ketakutan, atau bahkan panik. Area
yang paling sering terkena adalah lumbar bawah, lumbosakral, dan sakroiliaka.
Seringkali kondisi ini disertai sciatica, dengan nyeri menjalar dari satu atau kedua
bokong mengikuti perjalanan saraf nervus sciaticus. Meskipun LBP dapat disebabkan

55
oleh ruptur diskus intervertebralis, fraktur vertebra, kelainan kongenital spina bawah,
atau strain otot ligamentosa, banyak kasus merupakan psikosomatik. Dokter yang
memeriksa harus waspada dengan pasien yang memberikan riwayat trauma minor
disusul oleh nyeri yang sangat hebat. Pasien dengan LBP seringkali melaporkan
bahwa nyeri berawal dari saat adanya trauma atau stres psikologis, tetapi lainnya
melaporkan nyeri bertambah bertahap dalam periode beberapa bulan. Reaksi pasien
terhadap nyeri secara disproporsi emosional, dengan kecemasan dan depresi berlebih.
Selain itu distribusi nyeri arang mengikuti distribusi neuroanatomis normal.
Tatalaksana mencakup edukasi pasien mengenai komponen fisiologis
(vasospasme) dan membantu mereka memahami kerja pikiran tak sadar dan konflik
yang berasal dari afek tak sadar, terutama amarah. Pasein memahami bahwa
pikirannya sedang mengganti nyeri fisik dan nyeri emosional sehingga pikiran sadar
tidak harus menangani konflik tersebut. Aktivitas fisik harus dilanjutkan secepat
mungkin, dengan tatalaksana seperti manipulasi spinal dan sesi terapi fisik digunakan
seminimal mungkin.

Fibromialgia
Fibromialgia dicirikan oleh nyeri dan ketegangan jaringan lunak, seeprti otot,
ligamen, dan tendon. Area nyeri lokal disebut sebagai poin pemicu atau trigger
points. Area servikal dan toraksika lebih sering dipengaruhi, tetapi nyeri dapat
terlokasi dimana saja. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada perempuan dibanding
laki-laki. Etiologinya tidak diketahui; meskipun demikian seringkali dipresipitasi oleh
stres yang menyebabkan spasme arteri terlokalisasi yang kemudian mengganggu
perfusi oksigen pada area yang terkena. Gangguan tersebut kemudian menyebabkan
nyeri, dapat disertai kecemasan, fatigue, dan tidak bisa tidur karena nyeri. Tidak ada
temuan laboratorium patognomonik. Diagnosis ditegakkan setelah mengesampingkan
penyakit rematik atau hipotiroidisme. Fibromialgia seringkali ada pada sindroma
fatigue kronik dan gangguan depresif.

56
Analgetika seperti aspirin dan asetaminofen berguna untuk nyeri. Narkotika
sebaiknya dihindari. Beberapa pasien dapat mereson OAINS. Pasien dengan kasus
yang lebih berat dapat merespon injeksi anestetik ke area yang terkena. Hubungan
antara stres, spasme, dan nyeri sebaiknya dijelaskan. Latihan relaksasi dan pemijatan
poin pemicu juga dapat berguna. Antidepresan, terutama sertraline telah
menunnjukkan hasil yang mendukung. Psikoterapi dapat dilakukan untuk pasien yang
bisa mendapatkan insight kepada dasar penyakit dan juga untuk membantu mereka
mengidentifikasi dan menangani stresor psikososial.
Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah gejala neurologis yang paling umum dan salah satu
keluhan medis yang paling umum. Tiap tahunnnya sekitar 80% populasi mengalami
setidaknya sekali nyeri kepala, dan sekitar 10-20% pergi ke dokter dengan nyeri
kepala sebagai keluhan utamanya. Nyeri kepala juga merupakan penyebab utama
absenteisme kerja dan penghindaran aktivitas sosial dan personal.
Sebagian besar nyeri kepala tidak berhubungan dengan penyakit organik
signifikan; banyak orang rentan dengan sakit kepala pada waktu-waktu stres
emosional. Terlebih pada banyak gangguan psikiatrik, termasuk kecemasan dan
depresi, nyeri kepala seringkali gejala yang menonjol. Pasien dengan nyeri kepala
seringkali dirujuk ke psikiater oleh dokter layanan primer dan neurologis setelah
pemeriksaan biomedik ekstensif, termasuk MRI kepala. Sebagian besar pemeriksaan
untuk keluhan nyeri kepala umum memiliki temuan negatif, dan hasil tersebut dapat
menyebabkan frustasi untuk baik pasien dan dokter. Dokter yang tidak ahli dalam
kedokteran psikologis mungkin berusaha meyakinkan pasien bahwa tidak ada
penyakit yang ditemukan, namun usaha tersebut memiliki efek yang berlawanan yaitu
meningkatkan kecemasan pasien dan bahkan menyebabkan ketidaksepahaman
mengenai apakah nyeri tersebut nyata atau imajiner.
Nyeri Kepala Migrain (Vaskular) atau Cluster
Nyeri kepala migrain (vaskular) adalah gangguan paroksismal yang dicirikan
oleh nyeri kepala unilateral berulang, dengan atau tanpa gangguan visual dan

57
gastrointestinal terkait. Penyebabnya kemungkinan adalah gangguan fungsional pada
sirkulasi kranial. Migrain dapat dipresipitasi oleh estrogen yang bersirkulasi, dan
banyak orang dengan migrain sangat terkontrol, perfeksionis, dan tidak dapat
meredam amarah. Nyeri kepala cluster berhubungan dengan migrain, dengan ciri
unilateral, terjadi sampai delapan kali per hari dan berhubungan dengan miosis,
ptosis, dan diaforesis.
Nyeri kepala migrain dan cluster paling baik ditatalaksana selama periode
prodromal dengan ergotamin tartrat dan analgetika. Pemberian propanolol atau
verapamil profilaksis berguna apabila nyeri kepala sering terjadi. Sumatriptan
diindikasikan untuk tatalaksana jangka pendek migrain dan dapat menghentikan
serangan. SSRI juga berguna sebagai profilaksis. Psikoterapi untuk menurunkan efek
konflik dan stres serta beberapa teknik perilaku (misal biofeedback) telah dilaporkan
berguna.

Nyeri Kepala Tension (Kontraksi Otot)


Stres emosional seringkali dihubungkan dengan kontraksi otot kepala leher
yang diperpanjang, dimana setelah beberapa jam dapat menyebabkan konstriksi
pembuluh darah dan iskemia. Nyeri tumpul, terkadang terasa seperti diikat, sering
berasal dari duboksipital dan menyebar ke seluruh kepala. Kulit kepala dapat nyeri
ketika diraba dan, berlawanan dengan migrain, nyeri dirasakan bilateral dan tidak
berhubungan dengan prodromata, mual, atau muntah. Nyeri kepala tenion dapat
episodik atau kronik dan perlu dibedakan dari nyeri kepala migrain, terutama dengan
dan tanpa aura.
Nyeri kepala tension seringkali dihubungkan dengan kecemasan dan depresi
dan terjadi pada sekitar 80% pasien selama periode stres emosional. Kepribadian
tegang dan kompetitif terutama rentan. Pada tahap awal, individu dapat diobati
dengan agen antiansietas, relaksan otot, dan aplikasi pijat atau hangat pada kepala dan
leher; antidepresan dapat diresepkan ketika ada gangguan depresi yang mendasari
keluhan. Psikoterapi merupakan tatalaksana efektif untuk pasien dengan nyeri kepala
tension kronik.

58
2.14 tatalaksana gangguan psikosomatik
Peran utama psikiater dan dokter lain yang bekerja dengan pasien gangguan
psikosomatik adalah menggerakkan pasien untuk mengubah perilaku dalam cara-cara
yang mengoptimalkan proses penyembuhan. Hal yang dimaksud dapat memerlukan
pengubahan umum dalam gaya hidup atau pengubahan perilaku yang lebih spesifik.
Kemungkinan terjadi perubahan tersebut bergantung pada kualitas hubungan dokter
dan pasien. Kegagalan dokter membangun rapor baik menyebabkan ketidakefektifan
dalam upaya mendorong pasien berubah.
Idealnya baik dokter maupun pasien berkolaborasi dan menentukan alur yang
akan diambil. Seringkali hal ini menyerupai negosiasi dimana dokter dan pasien
mendiskusikan berbagai opsi dan mencapai suatu kompromi mengenai tujuan yang
disepakati.

2.14.1 Pengelolaan Stres dan Terapi Relaksasi


Terapi perilaku kognitif semakin sering digunakan untuk membantu individu
mengelola respon mereka terhadap kejadian kehidupan yang penuh stres. Metode
tatalaksana tersebut berdasar pada asumsi bahwa penilaian kognitif mengenai
kejadian stres dan usaha penerimaan terkait penilaian tersebut berperan penting dalam
menentukan respon stres. Pendekatan terapi perilaku kognitif terhadap pengelolaan
stres memiliki tiga tujuan utama: (1) membantu individu menjadi lebih sadar akan
penilaian kognitif mereka, (2) mengedukasi individu mengenai bagaimana penilaian
mereka akan kejadian penuh stres dapat memengaruhi respon emosi dan perilaku
negatif serta utnuk membantu mereka merekonseptualisasi kemampuan mereka
mengubah penilaian tersebut, dan (3) untuk mengajarkan individu bagaimana
mengembangkan dan menjaga penggunaan berbagai kemampuan pengelolaan stres
terapi dan kognitif secara efektif.
Latihan Pengelolaan Stres

59
Lima kemampuan menyusun inti dari hampri semua program pengelolaan stres:
pengamatan sendiri, restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi, pengelolaan waktu, dan
pemecahan masalah.
Pengamatan sendiri menggunakan format buku harian, dengan pasien diminta
mencatat bagaimana mereka merespon kejadian penuh stres atau tantangan yang
terjadi tiap harinya. Stres tertentu dapat mempresipitasi tanda atau gejala.
Restrukturisasi kognitif membantu peserta sadar akan, dan mengubah, pikiran,
kepercayaan, dan ekspektasi maladaptif mereka. Pasien diajari untuk menggantu
asumsi negatif dengan asumsi positif.
Salah satu contoh latihan relaksasi adalah metode relaksasi otot progresif yang
dikembangkan oleh Edmund Jacobson pada 1938, yang bertujuan mengajarkan
relaksasi tanpa menggunakan alat seperti digunakan pada biofeedback. Pasien diajari
untuk merelaksasi kelompok otot, seperti yang terlibat pada nyeri kepala tension.
Ketika mereka berhadapan atau menyadari situasi yang menyebabkan tegangan pada
otot, pasien dilatih untuk relaksasi. Metode ini merupakan suatu tipe desentisisasi
sistemik.
Hipnosis efektif dalam berhenti merokok dan augmentasi pengubahan pola
makan. Penggunaannya dilakukan bersamaan dengan penggambaran aversif (misal
rokok terasa tidak enak). Beberapa pasien menunjukkan laju relaps yang cukup tinggi
dan mungkin memerlukan program terapi hipnotik berulang.
Pada tahun 1969 Neal Miller mempublikasi laporan pionir “Learning of
Visceral and Glandular Responses” dimana ia melaporkan bahwa pada hewan,
berbagai respon viseral yang diatur oleh sistem saraf otonom involunter dapat
dimodifikasi dengan mempelajari pengondisian operan yang dilakukan di
laboratorium. Upaya ini memungkinkan manusia mengendalikan beberapa respon
fisiologik involunter (disebut biofeedback) seperti vasokonstriksi pembuluh darah,
ritme kardiak, dan denyut jantung. Perubahan fisiologis tersebut tampak berperan
signifikan dalam perkembangan dan tatalaksana atau penyembuhan beberapa
gangguan psikosomatik tertentu.
Biofeedback dan teknik terkait telah berguna dalam nyeri kepala tension, nyeri
kepala migrain, dan penyakit Raynaud. Meskipun biofeedback pada awalnya

60
memberikan hasil yang mendukung pada tatalaksana hipertensi esensial, terapi
relaksasi telah memberikan efek jangka panjang yang lebih signifikan dibanding
biofeedback.
Metode pengelolaan waktu didesain untuk membantu individu mengembalikan
rasa keseimbangan kepada kehidupan mereka. Langkah pertama dalam latihan
kemampuan pengelolaan waktu didesain untuk meningkatkan kesadaran akan pola
penggunaan waktu saat ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, individu mungkin
diminta untuk mencatat bagaimana mereka menghabiskan waktu tiap hari, termasuk
waktu yang digunakan pada kategori penting, seperti bekerja, keluarga, olahraga, atau
aktivitas rekreasi. Selain itu, peserta dapat juga diminta membuat daftar area penting
dalam kehidupan mereka kemudian diminta menyediakan dua perkiraan waktu: (1)
waktu yang saat ini mereka gunakan dan (2) waktu yang mereka inginkan. Seringkali
perbedaan signifikan terlihat dari kedua wktu tersebut. Kesadaran akan perbedaan
tersebut akan meningkatkan motivasi untuk membuat perubahan.
Langkah terakhir adalah pemecahan masalah. Dalam langkah ini pasien
mencoba mengaplikasikan solusi terbaik untuk situasi bermasalah dan kemudian
meninjau ulang kemajuan mereka dengan terapis.

2.14.2 Epidemiologi
Tidak ada data epidemiologi yang komprehensif pada gangguan buatan. Studi
terbatas menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan buatan mungkin terdiri dari
sekitar 0,8 untuk 1.0 persen dari pasien konsultasi. Kasus psikiatri tanda psikologis
yang pura-pura dan gejala umum dilaporkan jauh kurang daripada gejala dan tanda-
tanda fisik. Bank data dari orang-orang yang berpura-pura sakit didirikan untuk
rumah sakit peringatan tentang pasien seperti ini, banyak di antaranya bepergian dari
satu tempat ke tempat, berusaha masuk dengan nama berbeda, atau mensimulasikan
penyakit yang berbeda.
Sekitar dua pertiga dari pasien dengan sindrom Munchausen adalah laki-laki.
Mereka cenderung putih, setengah baya, pengangguran, belum menikah, dan tanpa
lampiran sosial yang signifikan atau Keluarga. Pasien yang didiagnosis dengan

61
gangguan buatan dengan tanda-tanda fisik dan gejala yang sebagian besar perempuan,
yang melebihi jumlah pria 3-1. Mereka biasanya berusia 20 sampai 40 tahun dengan
riwayat pekerjaan atau pendidikan dalam ilmu perawatan atau kesehatan perawatan
penduduk. Gangguan fisik buatan biasanya mulai dari usia 20-an atau 30-an,
Walaupun berdasarkan literatur kasus mulai dari 4 sampai 79 tahun.
Gangguan buatan oleh proxy adalah paling sering dilakukan oleh Ibu terhadap
anak-anak bayi atau anak kecil. Kurang dari 0,04 persen, atau 1.000 3 juta kasus
pelecehan anak dilaporkan dalam Amerika Serikat setiap tahun.

Penyerta
Banyak orang didiagnosis dengan gangguan buatan memiliki komorbiditas
psychiatric diagnose (misalnya, gangguan mood, gangguan kepribadian, atau zat
yang berhubungan dengan gangguan).

2.14.3 Etiologi
Faktor-faktor psikososial
Dasar-dasar psikodinamik gangguan buatan yang kurang dipahami karena
pasien sulit untuk terlibat dalam proses eksplorasi psikoterapi. Laporan anekdotal
menunjukkan bahwa banyak pasien yang menderita pelecehan atau kekurangan pada
masa kanak-kanak, mengakibatkan rawat inap sering terjadi selama awal
pengembangan. Dalam keadaan seperti itu, rawat inap yang mungkin dianggap
sebagai melarikan diri dari situasi rumah yang traumatis, dan pasien mungkin telah
menemukan pengasuh (misalnya, dokter, perawat, pekerja dan rumah sakit) menjadi
penuh cinta dan peduli. Sebaliknya pasien menolak ibu dan ayah atau keluarga untuk
hadir. Pasien tidak mampu untuk membentuk hubungan dekat dengan keluarga.
Bentuk Gangguan paksaan repetitional, mengulangi konflik dasar
membutuhkan dan mencari penerimaan dan cinta sambil berharap bahwa mereka

62
tidak akan datang. Oleh karena itu, pasien berubah menganggap dokter dan anggota
staf menjadi orang tua. Pasien yang mencari prosedur menyakitkan, seperti operasi
bedah dan invasive tes diagnostik, mungkin memiliki riasan masokis kepribadian di
mana rasa sakit berfungsi sebagai hukuman untuk dosa-dosa masa lalu,
membayangkan atau nyata. Beberapa pasien mungkin mencoba untuk menguasai
masa lalu dan trauma awal penyakit medis serius atau rawat-inap dengan
mengasumsikan peran pasien dan menghidupkan kembali pengalaman yang
menyakitkan dan menakutkan berulang-ulang sekali lagi melalui beberapa kali rawat
inap. Pasien yang berpura-pura sakit jiwa mungkin memiliki saudara yang dirawat
dengan penyakit yang mereka simulasikan. Banyak pasien dengan latar belakang
terganggu citra diri merupakan karakteristik dari seseorang dengan ciri gangguan
kepribadian. Meskipun sebagian tindakan pasien sendiri, teman atau kerabat
berpartisipasi dalam fabrikasi penyakit dalam beberapa contoh. Mekanisme
pertahanan signifikan adalah penindasan, identifikasi dengan agresor, regresi, dan
simbolisasi.

Faktor biologis
Beberapa peneliti telah mengusulkan disfungsi otak menjadi faktor dalam gangguan
buatan. Ada hipotesa bahwa gangguan pemrosesan informasi berkontribusi
pseudologia fantastica dan perilaku menyimpang pasien dengan gangguan
Munchausen; Namun, tidak ada pola genetik dan electroencephalographic (EEG)
Studi mencatat tidak ada kelainan yang spesifik pada pasien dengan gangguan buatan.

2.14.4 Diagnosis Dan Manifestasi Klinis


Gangguan buatan adalah berpura-pura fisik atau psikologis tanda-tanda dan
gejala. Petunjuk yang harus memicu dugaan gangguan yang diberikan dalam tabel
dibawah. Pemeriksaan Psikiatri harus menekankan mengamankan informasi dari
teman yang tersedia, kerabat, atau informan lainnya, karena wawancara dengan
handal luar sumber sering mengungkapkan sifat palsu penyakit pasien. Meskipun

63
memakan waktu dan membosankan, memeriksa fakta-fakta yang disajikan oleh
pasien tentang rawat inap sebelumnya dan perawatan medis sangat penting.
Table Tanda Tanda Pasien Dengan Gangguan Buatan
 Gambaran gejala yang tidak biasa dan dramatis yang tidak
sesuai dengan pemahaman medis atau psikiatri konvensional
 Gejala tidak merespon dengan tepat terhadap pengobatan
atau obat-obatan biasa
 Munculnya gejala baru yang tidak biasa ketika gejala-gejala
lain selesai
 keinginan untuk menjalani prosedur atau pengujian atau
untuk menghitung gejala
 Keengganan untuk memberikan akses ke sumber-sumber
agunan informasi (yaitu, menolak untuk menandatangani rilis
informasi atau untuk memberikan informasi kontak untuk
keluarga dan teman-teman)
 Riwayat medis yang luas atau bukti beberapa operasi
 Beberapa alergi obat
 Profesi medis
 Sedikit penjenguk
 Kemampuan untuk meramalkan perkembangan gejala yang
tidak biasa atau respon yang tidak biasa terhadap
pengobatan

Gangguan buatan telah dibagi menjadi dua kelompok bergantung pada jenis
tanda-tanda atau gejala yang pura-pura. Ada satu gangguan yang ditandai dengan
gejala psikologis dan lainnya ditandai oleh gejala fisik. Keduanya dapat terjadi
bersama-sama. Dalam DSM-5, tidak ada perbedaan dibuat antara dua dan gangguan
dibagi menjadi yang "dikenakan pada diri" dan bahwa "dikenakan pada yang lain"
(buatan gangguan oleh proxy). Dalam diskusi berikut, gambar klinis gejala psikologis
atau gejala fisik adalah dipertimbangkan secara terpisah.

64
2.14.5 Gejala dominan gangguan buatan dengan tanda-tanda psikologis
Beberapa pasien menunjukkan gejala kejiwaan yang dinilai dapat pura-pura.
Penentuan ini dapat menjadi sulit dan sering dilakukan hanya setelah penyelidikan
berkepanjangan. Gejala buatan sering termasuk depresi, halusinasi, dissociative dan
konversi gejala dan perilaku aneh. Karena kondisi pasien tidak meningkatkan setelah
langkah-langkah terapi rutin yang diberikan, dia atau dia mungkin menerima dosis
besar obat-obatan psikoaktif dan mungkin mengalami terapi electroconvulsive. Gejala
psikologis buatan menyerupai fenomena pseudomalingering, dikonseptualisasikan
sebagai memuaskan kebutuhan untuk mempertahankan citra diri utuh, yang akan
dirusak oleh mengakui masalah psikologis yang berada di luar kemampuan orang
untuk melalui upaya sadar. Temuan terbaru menunjukkan bahwa gejala psikotik
buatan lebih umum daripada sebelumnya dicurigai. Kehadiran simulasi psikosis
sebagai fitur lain gangguan, seperti gangguan mood, menunjukkan keseluruhan
prognosis yang buruk. Pasien rawat inap yang psikotik dan ditemukan memiliki
gangguan buatan dengan didominasi psikologis tanda dan gejala — yaitu eksklusif
simulasi gejala psikotik — umumnya memiliki diagnosis bersamaan kepribadian
batas gangguan. Dalam kasus ini, hasil tampaknya lebih buruk daripada bipolar I
disorder atau gangguan schizoafektif.
Pasien mungkin muncul depresi dan mungkin menjelaskan depresi palsu.
Riwayat hari kematian signifikan teman atau kerabat. Unsur-unsur riwayat yang
mungkin menyarankan buatan berkabung termasuk kekerasan atau berdarah
kematian, kematian di bawah keadaan yang dramatis, dan orang yang meninggal
menjadi seorang anak atau orang dewasa muda. Lainnya pasien mungkin
menggambarkan baik kehilangan memori baru dan terpencil atau keduanya auditori
dan halusinasi visual. Beberapa pasien dapat menggunakan zat psikoaktif untuk
mrmuncukan gejala, seperti stimulan untuk menghasilkan kegelisahan atau insomnia,
atau halusinogen untuk menghasilkan distorsi realitas. Kombinasi dari zat psikoaktif
dapat menghasilkan presentasi yang sangat luar biasa.

65
Gejala lainnya, yang juga muncul dalam jenis buatan gangguan fisik,
termasuk
pseudologia fantastica dan impostorship. Di pseudologia fantastica, terbatas bahan
faktual dicampur dengan fantasi yang luas dan berwarna-warni. Pasien sering
memberikan account palsu dan bertentangan tentang daerah lain atau kehidupan
mereka (misalnya, mereka mungkin mengklaim kematian orang tua, untuk bermain
simpati).
Imposture umumnya terkait dengan berbaring dalam kasus ini. Banyak pasien
menganggap identitas orang yang bergengsi. Laki-laki, misalnya, laporan menjadi
pahlawan perang dan atribut luka bedah mereka luka-luka yang diterima selama
pertempuran atau lain dramatis dan eksploitasi berbahaya. Demikian pula, mereka
mengatakan bahwa mereka memiliki ikatan dicapai atau tokoh-tokoh terkenal.
Tabel daftar berbagai sindrom gangguan buatan oleh pasien yang ingin dilihat
sebagai penyakit mental.
 Kehilangan  Gangguan makan
 Depresi  Amnesia
 Gangguan Post traumatic  Gangguan terkat zat dan obat
 Gangguan nyeri  Paraphilias
 Psychosis  Hypersomnia
 Gangguan Bipolar I  Transexualism
 Dissociative identity disorder

Contoh kasus
N. MA berusia 24 tahun ketika ia pertama kali disajikan pada tahun 1973 setelah
overdosis. Dia memiliki riwayat overdosis berulang dan upaya memotongpergelangan
tangannya sejak 1969, saat masuk, dia menyatakan bahwa ia adalah dikendalikan oleh
kakaknya yang sudah mati yang terus menceritakan untuk mengambil hidupnya
sendiri. Riwayat keluarganya adalah negatif. Dia ditemukan akan membawa daftar
gejala peringkat pertama Schneiderian dalam dirinya atas; Dia berperilaku aneh,
memilih imajiner objek dari keranjang sampah dan membuka pintu imajiner di ruang

66
tunggu. Dia mengaku ada halusinasi visual dan empat gejala peringkat pertama di
atas daftar, tapi dia kembali normal setelah 2 hari. Saat dia disajikan pada konferensi
kasus, tanggapan konsensus adalah dia memiliki gejala skizofrenia tetapi juga
gangguan kepribadian. Pada tahun 1975 Dia tidak boleh masuk keluhan bisu,
katatonik, berpikir acak, dan diagnosis diganti dengan penyakit skizofrenia. Dia telah
ditindaklanjuti secara teratur sejak dan kini menghadirkan gambaran keadaan Cacat
skizofrenia ringan; Dia mengambil obat depot biasa tetapi masih mengeluh halusinasi
pendengaran, mendengar suara adiknya mati. Ia adalah hari pasien.
Gangguan buatan kronis dengan tanda-tanda Gejala fisik dominan yang paling
terkenal jenis sindrom Munchausen. Gangguan juga disebut kecanduan rumah sakit,
polysurgical kecanduan dan sindrom professional pasien. Untuk mendukung riwayat
mereka, pasien berpura-pura menunjukkan gejala gangguan yang melibatkan sistem
organ apapun. Mereka akrab dengan diagnosis bahkan menipu dokter, kebanyakan
gangguan yang biasanya memerlukan masuk rumah sakit atau obat. Presentasi klinis
banyak sekali dan termasuk hematoma, hemoptysis, sakit perut, demam,
hipoglikemia, sindrom seperti lupus, mual, muntah, pusing, dan kejang. antikoagulan
dikonsumsi untuk mensimulasikan gangguan pendarahan; insulin digunakan untuk
menimbulkan hipoglikemia; dan seterusnya. Pasien tersebut sering bersikeras pada
operasi dan mengklaim adhesi dari prosedur bedah sebelumnya. Keluhan nyeri,
terutama yang menggambarkan penyakit ginjal kolik, umum, dengan pasien
menginginkan narkotika. Dari sekitar setengah kasus yang dilaporkan, pasien ini
menuntut pengobatan dengan obat-obatan tertentu, biasanya analgesik.
Karena setiap tes ulang dengan hasil negatif, mereka bisa menuduh ketidak
mampuan dokter, mengancam menuntut, dan menjadi kasar. Beberapa mungkin
keluar tiba-tiba tak lama sebelum mereka percaya mereka akan dihadapkan dengan
perilaku buatan mereka. Mereka kemudian pergi ke lain rumah sakit dan mulai siklus
lagi. Faktor Predisposisi tertentu yaitu gangguan fisik selama masa kanak-kanak
masalah medis dan dendam terhadap profesi medis, bekerja sebagai medis
paraprofessional, dan hubungan penting dengan dokter di masa lalu. Dalam rekam

67
medis perwakilan laporan, pasien berganti-ganti keluhan antara Pura-Pura demensia,
berkabung, pemerkosaan, dan kejang.

2.15 Gangguan Buatan oleh Proxy


Dalam diagnosis ini, seseorang sengaja menghasilkan tanda atau gejala fisik
di orang lain yang berada di bawah perawatan orang pertama, oleh karena itu
diagnosis DSM-5 “ Gangguan buatan yang dikenakan oleh Orang Lain.”Salah satu
tujuan dari tingkah laku yang jelas adalah agar di anggap sakit atau dibebaskan dari
tanngung jawab merawatnya. Pada anak dirawat di rumah sakit, Kasus gangguan
pengacau yang paling umum terjadi proksi melibatkan seorang ibu yang memaksa
tenaga medis untuk percaya bahwa anaknya adalah sakit. Penipuan itu mungkin
melibatkan riwayat medis yang salah, pencemaran sampel laboratorium, perubahan
catatan, atau induksi cedera dan penyakit pada anak.

Contoh kasus
BC, seorang anak perempuan berusia 1 bulan, dirawat untuk evaluasi demam.
Konsultasi Psikiatri diminta karena ketidak konsistenan ibu dalam laporan medis
meskipun presentasi ibu memiliki tingkat pendidikan yang baik yaitu ibu bekerja
sebagai teknisi medis darurat. Ibu BC melaporkan diagnosis nya sendiri yaitu kanker
ovarium ketika ia berusia 3 bulan hamil dengan BC. Dia melaporkan mengalami
histerektomi selama bedah Caesar nya, dan bahwa dia telah mendapatkan terapi
radiasi di rumah sakit setempat sejak kelahiran BC. Dokter anak di rumah sakit
setempat mengetahui bahwa dia memiliki Kista corpus luteum yang diangkat pada 3
bulan kehamilan dan hidronefrosis ringan tetapi tidak ada kanker atau histerektomi.
Ibu BC, ketika berhadapan dengan ini, hanya menyatakan bahwa dia mungkin perlu
transplantasi ginjal untuk hidronefrosis.
Eksplorasi lebih lanjut, ditemukan bahwa ibu membawa anak-anaknya ke
ruang gawat darurat, memberikan akurat riwayat yang diminta berlebihan. Pada satu

68
kunjungan, dia mengatakan kepada dokter bahwa anaknya 2 tahun memiliki lupus
dan
hypergammaglobulinemia, pada kunjungan lain, bahwa ia mempunyai asma dan
kejang. Dia juga mengejar prosedur bedah kosmetik kecil untuk anaknya. Dokter
menduga bahwa ibu BC sengaja mengarang gejala, seperti pada panas tubuh BC di
termometer. Ibu rajin kontrol ke dokter dan anak-anaknya tampak sehat dan terawat
dengan baik, meskipun adatingkah buatan, tetapi Ibu menyangkal riwayat psikiatri
memberi izin dokter untuk menghubungi kantor rumah sakit psikiatris. Rumah sakit
mengungkapkan riwayat depresi, anoreksia, panik, gangguan, dan usaha bunuh diri
yang mengakibatkan di rawat di rumah sakit psikiatri. Selanjutnya, ia menerima
psikoterapi dan psychopharmacotherapy, lalu berhenti beberapa bulan sebelum
kejadian ini. Selama BC demam, Ibu sepakat untuk melanjutkan perawatan
psikiatris. Pelayanan sosial rujukan dibuat, dan dokter anak memutuskan untuk
jadwal kunjungan tindak lanjut untuk anak-anak.

2.15.1 Pemeriksaan Patologi Dan Laboratorium


Tes Psikologi dapat mengungkapkan patologi yang mendasari pada individu
pasien. Fitur overrepresented di pasien dengan gangguan buatan termasuk normal
atau aboveaverage, tidak adanya gangguan pikiran formal, rasa miskin identitas,
termasuk kebingungan atas mengidentifikasi seksual, penyesuaian seksual yang
miskin, frustrasi miskin toleransi, ketergantungan kebutuhan yang kuat, dan narsisme.
Profil tes tidak valid dan ketinggian dari segala skala klinis di Minnesota multifase
kepribadian persediaan- 2 (MMPI-2) menunjukkan upaya untuk muncul lebih
terganggu dari kasus. Tidak ada tes laboratorium atau Diagnostik patologi gangguan
buatan, meskipun mereka dapat membantu untuk mengkonfirmasikan diagnosis
dengan menunjukkan penipuan. Tes tertentu (misalnya, skrining obat), namun dapat
membantu mengkonfirmasi atau menyingkirkan gangguan mental atau medis tertentu.

2.15.2 Diferensial Diagnosis

69
Setiap gangguan di mana tanda-tanda fisik dan gejala yang menonjol harus
dipertimbangkan diferensial diagnosis, dan kemungkinan asli atau secara fisik
penyakit harus selalu dieksplorasi. Selain itu, riwayat banyak operasi pada pasien
dengan gangguan buatan mungkin mempengaruhi komplikasi pasien atau penyakit
aktual, sehingga perlu pembedahan lebih jauh. Gangguan buatan adalah sebuah
kontinum antara gangguan somatoform dan pura-pura sakit, tujuan untuk
menganggap peran sakit. Di satu sisi, ini bawah sadar dan nonvolitional, dan di sisi
lain, itu sadar dan disengaja (pura-pura sakit).

2.16 Gangguan Konversi


Gangguan buatan dibedakan dari gangguan konversi oleh keinginan
memunculkan gejala buatan, riwayat beberapa kali rawat inap, dan kesediaan pasien
dengan gangguan buatan untuk menjalani prosedur merusak (mutilasi). Pasien dengan
gangguan konversi biasanya tidak fasih dengan istilah medis dan rumah sakit
rutinitas, dan gejala mereka memiliki hubungan langsung atau referensi sementara
yang simbolik konflik emosional spesifik. Kecemasan hypochondriasis atau penyakit
gangguan berbeda dari gangguan buatan yang hypochondriacal pasien tidak sukarela
memulai memunculkan gejala, dan hypochondriasis biasanya memiliki onset usia
lambat. Seperti dengan gangguan konversi, pasien dengan hypochondriasis biasanya
tidak menerima untuk prosedur berpotensi merusak (mutilasi).

2.17 Gangguan kepribadian


Karena kurangnya hubungan dengan orang lain, bermusuhan patologis
berbaring, dan cara Manipulatif, dan terkait penyalahgunaan zat dan pidana riwayat,
pasien dengan gangguan buatan sering digolongkan sebagai memiliki gangguan
kepribadian antisosial. Orang-orang antisosial, bagaimanapun, biasanya tidak
sukarela untuk prosedur invasif atau resort cara hidup yang ditandai oleh rawat inap
berulang atau jangka panjang. Karena mencari perhatian dan bakat sesekali untuk
penderita dramatis, gangguan buatan dapat diklasifikasikan sebagai memiliki

70
gangguan kepribadian yang dramatis. Tapi tidak semua pasien tersebut memiliki
bakat yang dramatis; banyak ditarik dan hambar. Pertimbangan gaya hidup pasien
kacau, riwayat interpersonal terganggu hubungan krisis identitas, penyalahgunaan zat,
tindakan-tindakan merusak diri, dan taktik manipulative dapat mengakibatkan
diagnosis gangguan kepribadian batas. Orang dengan gangguan buatan biasanya tidak
memiliki eksentrik, berpikir, atau komunikasi yang mencirikan pasien gangguan
kepribadian schizotypal.

2.18 Skizofrenia
Diagnosis skizofrenia sering didasarkan pada pasien memang aneh gaya
hidup, Tapi pasien dengan gangguan buatan biasanya tidak memenuhi kriteria
diagnostic skizofrenia kecuali mereka memiliki tetap khayalan bahwa mereka benar-
benar sakit dan bertindak berdasarkan kepercayaan ini dengan mencari rawat inap.
Praktik seperti itu tampaknya menjadi pengecualian; beberapa pasien dengan
gangguan buatan menunjukkan bukti-bukti dari gangguan pikiran yang parah atau
aneh delusi.
Pura-pura sakit Gangguan buatan harus dibedakan dari pura-pura sakit.
Malingerers memiliki jelas, dikenali tujuan lingkungan dalam memproduksi tanda
dan gejala. Mereka mungkin mencari rawat inap untuk mengamankan kompensasi
finansial, menghindari polisi, menghindari pekerjaan, atau hanya mendapatkan gratis
tidur dan makan malam, tetapi mereka selalu mereka memiliki beberapa perilaku
akhir untuk mereka. Selain itu, pasien tersebut dapat biasanya berhenti memunculkan
tanda-tanda dan gejala ketika mereka tidak lagi dianggap menguntungkan atau ketika
risiko menjadi terlalu besar. Penyalahgunaan obat Meskipun pasien dengan gangguan
buatan mungkin memiliki riwayat yang rumit zat penyalahgunaan, mereka harus
dipertimbangkan bukan hanya sebagai pelaku substansi tetapi sebagai memiliki
Diagnosa bersamaan.

2.19 Ganser's sindrom

71
Ganser's sindrom, suatu kondisi yang kontroversial yang paling biasanya
terkait dengan penjara narapidana, ditandai dengan menggunakan perkiraan jawaban.
Orang-orang dengan sindrom menanggapi pertanyaan dengan jawaban yang
mengejutkan salah. Sebagai contoh, ketika bertanya tentang warna biru Mobil, orang
jawaban "merah" atau jawaban "2 plus 2 sama dengan 5." Ganser's sindrom mungkin
varian dari pura-pura sakit, dalam bahwa pasien menghindari hukuman atau tanggung
jawab atas tindakan mereka. Ganser's sindrom dapat diklasifikasikan DSM-5 sebagai
tipe dissociative gangguan dan klasifikasi statistik internasional Penyakit dan masalah
kesehatan terkait, edisi 10 (ICD-10), itu diklasifikasikan di bawah lain Dissociative
atau gangguan konversi. Sebaliknya, pasien dengan gangguan buatan dengan
didominasi psikologis tanda dan gejala mungkin sengaja memberikan perkiraan
jawaban.
Table 13.6-5 Intervensi pada anak dengan gangguan buatan oleh Proxy
Dokter anak harus berfungsi sebagai "penjaga gerbang untuk
perawatan medis. Semua dokter lain harus mengkoordinasikan
perawatan dengan penjaga gerbang.
Layanan perlindungan anak harus diberitahu setiap kali seorang
anak dirugikan. Psikoterapi keluarga dan atau psikoterapi individu
harus menjadi perusahaan asuransi kesehatan
Izin orang tua atau layanan perlindungan anak harus diperoleh.
Kemungkinan harus mempertimbangkan rumah sakit rawat inap
memfasilitasi pemantauan diagnostik gejala dan untuk
menanamkan rencana perawatan
Anak mungkin memerlukan penempatan di keluarga lain
Orang tua yang melakukan mungkin perlu dijauhkan dari anak
melalui penuntutan dan penahanan kriminal.

Farmakoterapi pada gangguan buatan adalah digunakan secara terbatas.


Utama gangguan mental seperti seperti skizofrenia akan menanggapi obat
antipsikotik; Namun, dalam semua kasus, pengobatan harus diberikan dengan hati-

72
hati karena potensi untuk penyalahgunaan. Selektif serotonin reuptake inhibitor
(SSRI) mungkin berguna dalam mengurangi perilaku impulsif.
Dalam edisi keempat diagnostik dan statistik Manual of Mental Disorders
(DSM-IV), gangguan rasa sakit memiliki kategori diagnostik sendiri; tetapi dalam
edisi kelima saat ini (DSM-5), itu didiagnosis sebagai gangguan varian gejala
somatik. Kepentingannya adalah seperti itu, namun, menjamin bahwa diskusi terpisah
dalam buku ini. Gangguan nyeri yang ditandai dengan kehadiran, dan fokus pada,
sakit di satu atau lebih tubuh situs dan cukup parah untuk datang ke perhatian klinis.
Faktor-faktor psikologis diperlukan dalam Kejadian, keparahan, atau pemeliharaan
rasa sakit, yang menyebabkan tekanan signifikan, gangguan, atau keduanya. Dokter
tidak harus menilai rasa sakit "tidak pantas" atau "lebih dari yang diharapkan."
Sebaliknya, fokus fenomenologis dan diagnostik adalah pentingnya faktor psikologis
dan tingkat kerusakan yang disebabkan oleh rasa sakit. Gangguan telah disebut
somatoform sakit gangguan, gangguan psychogenic sakit, sakit idiopatik gangguan,
dan gangguan atipikal sakit. Rasa sakit gangguan didiagnosis sebagai "Unspecified
somatik gejala Gangguan"di DSM-5 atau itu dapat ditunjuk sebagai"specifier"di
bawah judul itu.

2.19 Epidemiologi
Prevalensi gangguan sakit tampaknya umum. Karya terbaru menunjukkan
bahwa 6 bulan dan seumur hidup prevalensi adalah sekitar 5 dan 12 persen, masing-
masing. Memiliki telah diperkirakan bahwa 10 hingga 15 persen dari orang dewasa di
Amerika Serikat memiliki beberapa bentuk bekerja Cacat karena sakit punggung
sendirian dalam setiap tahun. Sekitar 3 persen dari orang dalam praktik umum sakit
terus-menerus, dengan setidaknya 1 hari per bulan aktivitas pembatasan karena sakit.
Gangguan nyeri dapat mulai pada usia berapa pun. Rasio jenis kelamin tidak
diketahui. Rasa sakit gangguan ini terkait dengan kecemasan dan gangguan kejiwaan,
terutama afektif lain gangguan.
Sakit kronis tampaknya paling sering dikaitkan dengan gangguan depresi, dan

73
nyeri akut tampaknya lebih sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan. Gangguan
kejiwaan yang terkait bisa mendahului gangguan sakit, mungkin terjadi bersama
dengan itu, atau mungkin hasil dari itu. Gangguan depresi, ketergantungan alkohol,
dan nyeri kronis mungkin lebih umum dalam keluarga individu dengan gangguan
kronis. Individu yang sakit berhubungan dengan depresi berat dan orang-orang sakit
yang berhubungan dengan terminal penyakit, seperti kanker, berada pada peningkatan
risiko untuk bunuh diri. Mungkin ada perbedaan dalam cara berbagai kelompok etnis
dan budaya menanggapi rasa sakit, tapi kegunaan dari faktor-faktor budaya bagi
dokter tetap tidak jelas bagi perlakuan terhadap individu dengan gangguan sakit
karena kekurangan data yang baik dan karena keragaman individu yang tinggi.

2.20 Etiologi
Faktor-faktor psikodinamik
Pasien yang mengalami tubuh sakit dan nyeri tanpa diidentifikasi dan
memadai penyebab fisik mungkin secara simbolis mengungkapkan konflik intrapsikis
melalui tubuh. Pasien yang menderita alexithymia, yang tidak mampu
mengartikulasikan perasaan internal mereka, mengungkapkan perasaan mereka
dengan tubuh mereka. Pasien lain mungkin tanpa sadar menganggap rasa sakit
emosional lemah. Makna simbolis dari tubuh gangguan juga berhubungan dengan
penebusan dosa yang dirasakan, untuk penebusan bersalah, atau untuk ditekan agresi.
Banyak pasien telah sakit terselesaikan dan tidak responsif karena mereka yakin
mereka layak untuk menderita. Rasa sakit dapat berfungsi sebagai sebuah metode
untuk memperoleh cinta, hukuman untuk kesalahan, dan mekanisme yang digunakan
oleh pasien dengan gangguan nyeri yang berpindah, substitusi, dan represi.
Faktor-faktor perilaku
Perilaku Sakit yang diperkuat ketika dihargai dan terhambat ketika diabaikan
atau dihukum. Sebagai contoh, gejala nyeri moderat dapat menjadi kuat ketika
diikuti oleh perilaku perhatian orang lain, dengan keuntungan moneter, atau dengan
yang sukses menghindari aktivitas yang tidak menyenangkan.

74
Faktor-faktor interpersonal
Sakit sebagai sarana untuk manipulasi dan memperoleh keuntungan dalam
hubungan interpersonal, misalnya, untuk menjamin pengabdian anggota keluarga atau
untuk menstabilkan pernikahan yang rapuh. Keuntungan sekunder seperti paling
penting untuk pasien dengan rasa sakit gangguan.
Faktor biologis
Korteks serebral dapat menghambat hantaran serabut aferen rasa sakit.
Serotonin mungkin adalah neurotransmiter utama di jalur penghambatan menurun,
dan endorfin juga memainkan peran dalam modulasi sistem saraf pusat rasa sakit.
Kekurangan endorphin berhubungan dengan augmentasi stimuslus masuknya
rangsangan. Beberapa pasien mungkin memiliki gangguan rasa sakit, daripada
gangguan mental lain, karena sensorik dan struktural limbik atau kelainan kimia yang
mempengaruhi mereka untuk mengalami rasa sakit
Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Pasien dengan gangguan sakit tidak ber kelompok, tetapi sebuah kumpulan
heterogen orang dengan nyeri punggung, sakit kepala, nyeri wajah atipikal, nyeri
panggul kronis, dan jenis lain dari rasa sakit. Pasien sakit dapat traumatic, neuropatik,
neurologis, iatrogenik, atau muskuloskeletal; untuk memenuhi diagnosis gangguan
sakit, namun, gangguan harus memiliki faktor psikologis yang dinilai secara
signifikan terlibat dalam gejala rasa sakit dan konsekuensi mereka.
Pasien dengan gangguan sakit sering memiliki sejarah panjang perawatan
medis dan bedah. Mereka mengunjungi banyak dokter, permintaan obat banyak, dan
mendesak dalam keinginan mereka untuk operasi. Memang, mereka dapat benar-
benar sibuk dengan rasa sakit mereka dan dikutip sebagai sumber dari semua
penderitaan mereka. Pasien tersebut sering menyangkal sumber-sumber lain

75
dysphoria emosional dan bersikeras bahwa kehidupan bahagia kecuali rasa sakit
mereka. Gambaran klinis Mereka dapat menjadi rumit dengan gangguan berhubungan
dengan substansi, karena ini pasien berusaha untuk mengurangi rasa sakit melalui
penggunaan alkohol dan zat lain.
Setidaknya satu studi telah berkorelasi jumlah gejala nyeri pada kemungkinan
dan keparahan gejala somatik gejala gangguan, gangguan depresi dan gangguan
kecemasan. Penatalaksanaan gangguan depresi Mayor hadir di sekitar 25-50 persen
pasien dengan gangguan nyeri, dan dysthymic gangguan atau gangguan depresi gejala
dilaporkan 60 sampai 100 persen pasien. Beberapa peneliti percaya bahwa sakit
kronis adalah hampir selalu varian gangguan depresi, bertopeng atau somatized
bentuk depresi. Gejala depresi yang paling menonjol di pasien dengan gangguan sakit
adalah anergia, anhedonia, penurunan libido, insomnia, dan mudah tersinggung;
diurnal variasi, berat badan, dan retardasi psikomotor tampaknya kurang umum.

Contoh Kasus
Seorang akuntan berusia 54 tahun yang mencari dokter keluarga Nya dengan
keluhan rasa sakit kembali parah yang datang tiba-tiba ketika mencoba untuk
mengangkat perabot berat dirumah. Pada pemeriksaan dia menunjukkan tanda-tanda
neurologis tidak fokus tetapi tidak mampu untuk berdiri. Pasien dirujuk untuk
Pencitraan Resonansi Magnetis (MRI), yang mengungkapkan tidak ada kelainan
struktural. Dia dinasehati untuk memiliki beberapa sesi dengan fisik terapi untuk
mengobati apa didiagnosis sebagai "kembali ketegangan", tetapi dengan berjalannya
terapi, rasa sakit menjadi lebih parah, dan ia mengeluh ketegangan otot di lehernya
kembali dan menghabiskan sebagian besar hidupnya duduk di kursi atau berbaring di
tempat tidurnya. Dia akhirnya disebut seorang psikiater dan berbicara tentang stres
yang ia alami di tempat kerja karena asisten yang dia mengandalkan dipecat karena
perusahaan perlu untuk berhemat. Beban kerja nya telah meningkat sangat sebagai
akibatnya. Psikiater menganggap bahwa pasien adalah "somatizing" transformasi kuat
menjadi sakit yang memungkinkan dia untuk melarikan diri dari situasi stres. Kursus

76
psychoeducation dimulai di mana dinamika ini yang dieksplorasi. Sama pentingnya
adalah ia menyatakan dirinya di tempat kerja, menjelaskan bahwa ia diharapkan
untuk membawa beban adalah terlalu banyak dan bantuan yang diperlukan. Saat ini
tercapai, pasien sakit punggung yang hilang dalam hitungan hari.

2.21 Diferensial Diagnosis


Rasa sakit fisik semata-mata dapat menjadi sulit untuk membedakan dari
murni sakit psychogenik, terutama karena keduanya tidak saling eksklusif. Rasa sakit
fisik berfluktuasi dalam intensitas dan sangat sensitif terhadap emosional, kognitif,
attentional, dan pengaruh situasional. Sakit yang tidak bervariasi dan tidak sensitif
terhadap salah satu faktor cenderung menjadi psychogenik. Gangguan sakit harus
dibedakan dari gangguan somatik gejala lainnya, meskipun mungkin ada tumpang
tindih. Pasien dengan hypochondriacal keasyikan mungkin mengeluh rasa sakit, dan
aspek presentasi klinis hypochondriasis, seperti tubuh keasyikan dan keyakinan
penyakit, juga dapat hadir di pasien dengan gangguan.nyeri Pasien dengan
hypochondriasis cenderung memiliki banyak lebih gejala daripada pasien dengan
nyeri gangguan, dan gejala mereka cenderung berfluktuasi lebih dari orang-orang
pasien dengan gangguan sakit. Konversi gangguan ini umumnya singkat, sedangkan
sakit gangguan kronis. Selain itu, rasa sakit adalah, menurut definisi, tidak gejala
dalam konversi gangguan. Pura-pura sakit pasien sadar memberikan laporan palsu,
dan keluhan mereka biasanya terhubung ke tujuan dikenali.
Diferensial diagnosis dapat menjadi sulit karena pasien dengan gangguan
nyeri sering menerima kompensasi Cacat atau penghargaan litigasi. Kontraksi otot
(ketegangan) sakit kepala, misalnya, memiliki mekanisme patofisiologi untuk
memperhitungkan rasa sakit dan sehingga tidak didiagnosis sebagai gangguan rasa
sakit. Pasien dengan gangguan sakit tidak berpura-pura menjadi sakit, namun. Seperti
dalam semua gangguan ini, gejala yang terjadi tidak imajiner.

2.23 Prognosis

77
Rasa sakit pada gangguan sakit umumnya mulai tiba-tiba dan peningkatan
tingkat keparahan beberapa Minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, walaupun rasa
sakit gangguan sering dapat kronis, distressful, dan benar-benar melumpuhkan.
gangguan sakit Akut memiliki lebih prognosis menguntungkan dari gangguan kronis.
Orang-orang dengan gangguan rasa sakit yang melanjutkan partisipasi dalam kegiatan
yang dijadwalkan secara rutin, meskipun memiliki prognosis yang lebih baik daripada
orang-orang yang membiarkan rasa sakit untuk menjadi faktor menentukan gaya
hidup mereka.

2.24 Pengobatan
Karena itu tidak mungkin untuk mengurangi rasa sakit, pendekatan
pengobatan harus menangani rehabilitasi. Klinisi harus mendiskusikan masalah faktor
psikologis awal di pengobatan dan harus terus terang mengatakan kepada pasien
bahwa faktor-faktor tersebut penting dalam penyebab dan konsekuensi dari rasa sakit
fisik dan psychogenic. Terapis juga harus menjelaskan bagaimana berbagai sirkuit
otak yang terlibat dengan emosi (misalnya, sistem limbik) dapat mempengaruhi jalur
sensorik sakit. Sebagai contoh, orang-orang yang memukul kepala mereka sementara
bahagia di pesta bisa mengalami sakit kurang daripada ketika mereka memukul
kepala mereka sementara marah dan di tempat kerja. Namun demikian, terapis
sepenuhnya harus memahami bahwa pasien pengalaman rasa sakit nyata.

2.25 Farmakoterapi
Obat Analgesik umumnya tidak menguntungkan kebanyakan pasien dengan
gangguan rasa sakit. Selain itu, penyalahgunaan zat, dan ketergantungan yang sering
masalah besar untuk pasien seperti ini. Pasien yang menerima pengobatan jangka
panjang pada analgesik bersifat sedatif dan agen anti ansietas yang sangat tidak
bermanfaat dan juga dapat penyalahgunaan, penyalahgunaan, dan efek samping.
Antidepresan, seperti tricyclics dan inhibitor reuptake serotonin selektif
(SSRI),adalah agen farmakologis paling efektif. Apakah antidepresan mengurangi

78
rasa sakit melalui tindakan antidepresan mereka atau mengerahkan independen,
langsung efek analgesic (mungkin dengan merangsang eferen penghambatan sakit
jalur) tetap kontroversial. Keberhasilan SSRI mendukung hipotesis serotonin yang
sangat penting dalam patofisiologi dari gangguan. Amfetamin, yang memiliki efek
analgesik, mungkin manfaat beberapa pasien, terutama bila digunakan sebagai terapi
tambahan SSRI, namun dosis harus dipantau.

2.26 Psikoterapi
Beberapa data hasil menunjukkan bahwa psikodinamik psikoterapi dapat
menguntungkan pasien dengan gangguan rasa sakit. Langkah pertama dalam
psikoterapi adalah untuk mengembangkan terapi yang solid. Aliansi oleh berempati
dengan pasien menderita. Dokter tidak harus menghadapi pasien dengan komentar-
komentar seperti "ini adalah semua di kepala Anda." Untuk pasien, rasa sakit nyata,
dan dokter harus mengakui kenyataan rasa sakit, bahkan ketika mereka memahami
bahwa itu sebagian besar intrapsikis di asal. Berguna masuk ke aspek-aspek
emosional dari rasa sakit adalah untuk memeriksa konsekuensi yang interpersonal
dalam hidup pasien. Terapi kognitif telah digunakan untuk mengubah pikiran negatif
dan untuk menumbuhkan sikap positif. Terapi lain Biofeedback dapat membantu
dalam pengobatan rasa sakit gangguan, terutama dengan migraine rasa sakit, sakit
myofascial dan negara ketegangan otot, seperti Parkinson. Hipnosis, stimulasi saraf
Transcutaneous, dan kolom dorsal stimulasi juga telah digunakan. Saraf blok dan
bedah ablatif prosedur yang efektif untuk beberapa pasien dengan gangguan nyeri;
Tapi prosedur ini harus diulang, karena rasa sakit kembali setelah 6 untuk 18 bulan.

2.27 Program pengendalian nyeri


Kadang-kadang mungkin diperlukan untuk menghapus pasien dari setelan
biasa mereka dan tempat mereka di rawat inap maupun rawat jalan sakit kontrol
program komprehensif atau klinik. Sakit multidisiplin unit menggunakan banyak
modalitas, seperti kognitif, perilaku, dan kelompok terapi. Mereka menyediakan luas

79
pengkondisian fisik melalui terapi fisik dan latihan dan menawarkan kejuruan
evaluasi dan rehabilitasi. Gangguan mental yang bersamaan didiagnosis dan diobati,
dan pasien yang bergantung pada analgesik dan didetoksifikasi hipnotik.
Consultation-Liaison Psychiatry (C-L) adalah studi, praktek dan pengajaran
hubungan antara gangguan medis dan psikiatris. Di C-L psikiatri, psikiater berfungsi
sebagai konsultan untuk rekan-rekan medis (baik lain psikiater atau, lebih umum,
dokter nonpsychiatric) atau untuk profesional kesehatan mental lainnya (psikolog,
pekerja sosial, atau perawat Psikiatri). Selain itu, C-L psikiater berkonsultasi
mengenai pasien di pengaturan medis atau operasi dan menyediakan perawatan
psikiatris tindak lanjut seperlunya. C-L Kedokteran jiwa terkait dengan semua
diagnostik, terapi, penelitian, dan pengajaran Layanan bahwa psikiater melakukan
secara umum rumah sakit dan berfungsi sebagai jembatan antara psikiatri dan
masakan khas lainnya. Di bangsal rumah sakit, C-L psikiater harus memainkan
banyak peran: terampil dan singkat pewawancara, baik psikiater dan psikoterapis,
guru, dan berpengetahuan dokter yang memahami aspek Kedokteran kasus. C-L
psikiater adalah bagian dari tim medis yang membuat kontribusi unik untuk pasien.
Total perawatan medis.

Tabel Lingkup Consultation-Liaison Psychiatry


1. Memahami dampak medis penyakit dan sistem di mana ia
dirawat dan bagaimana hal ini mempengaruhi presentasi,
pengalaman, dan dampak morbiditas psikiatri dan psikososial
2. Melakukan penilaian biopsikososialkultural, membuat formulasi,
dan menerapkan pengobatan yang sesuai dalam konteks rumah
sakit umum termasuk komunikasi yang efektif dengan anggota tim
pengobatan lainnya.
3. Kaji reaksi terhadap penyakit, dan bedakan presentasi depresi
dan kecemasan dalam lingkungan medis.
4. Memahami gabungan penyakit dan masalah perkembangan

80
orang dengan masalah kesehatan mental dan penyakit mental.
5. Kemampuan untuk menilai dan mengobati "Gejala Somatik dan
Terkait
6. Kemampuan untuk menilai dan mengelola Neurokognitif umum.
7. Memahami kebutuhan khusus populasi khusus. Gangguan"
Gangguan, dengan penekanan khusus pada delirium. dengan
morbiditas psikiatrik dan psikososial dalam pengaturan medis,
termasuk muda, tua, pribumi, dan orang-orang dengan cacat
intelektual
8. Menilai dan mengelola presentasi akut dan darurat morbiditas
psikiatri di bagian medis umum

2.28 Pengobatan
kontribusi utama C-L psikiater untuk perawatan medis yang komprehensif
Analisis pasien menanggapi penyakit, psikologis dan sosial sumber daya, mengatasi
gaya, dan penyakit jiwa, jika ada. Penilaian ini adalah dasar dari rencana pengobatan
pasien. Dalam membahas rencana, C-L psikiater memberikan penilaian mereka
pasien untuk profesional kesehatan nonpsychiatric. Psikiater rekomendasi harus jelas,
batas pedoman untuk tindakan. Seorang psikiater C-L dapat merekomendasikan terapi
spesifik, menyarankan area untuk penyelidikan medis lebih lanjut, menginformasikan
dokter dan peran dari perawat mereka dalam pasien perawatan psikososial,
merekomendasikan yang melanjutkan ke sebuah fasilitas psikiatri untuk jangka
panjang pengobatan psikiatris, dan menyarankan atau melakukan psikoterapi singkat
dengan pasien. C-L psikiater harus berurusan dengan berbagai macam gangguan
kejiwaan, yang paling gejala umum sedang kecemasan, depresi, dan disorientasi.
Masalah umum C-L Usaha bunuh diri atau ancaman, depresi, agitasi dan halusinasi.

Buhuh Diri

81
Tingkat bunuh diri lebih tinggi pada orang dengan penyakit medis daripada
orang tanpa masalah medis atau operasi. Faktor-faktor yang berisiko tinggi untuk
bunuh diri yaitu tidak ada dukungan sosial, ketergantungan alkohol, bunuh diri
sebelumnya usaha, disertai oleh sakit jiwa parah. Jika ada risiko bunuh diri, pasien
harus ditransfer ke Psikiatri unit atau mulai Keperawatan 24 jam perawatan.

Depresi
Risiko bunuh diri harus dinilai dalam setiap pasien depresi. Depresi tanpa
bunuh ini tidak jarang pada pasien, dan pengobatan dengan obat antidepresan dapat
dimulai jika diperlukan. Hati-hati penilaian dari interaksi obat-obat harus dilakukan
sebelum memberikan resep, yang harus dilakukan bekerjasama dengan dokter utama
pasien. Antidepresan harus digunakan hati-hati pada pasien jantung karena efek
samping konduksi dan hipotensi orthostatik.

Agitasi
Agitasi sering berkaitan dengan adanya gangguan kognitif atau terkait dengan
penarikan dari obat-obatan (misalnya, opioid, alkohol, obat penenang hipnotik). Obat-
obat antipsikotik (misalnya, haloperidol) sangat berguna untuk berlebihan agitasi.
Hambatan fisik harus digunakan dengan hati-hati yang besar dan hanya sebagai
pilihan terakhir.
Pasien harus diperiksa untuk halusinasi perintah atau paranoid ideation untuk
yang dia atau dia menanggapi secara gelisah. Reaksi beracun untuk obat bahwa
penyebab agitasi harus selalu dapat dikesampingkan.

Halusinasi
Penyebab paling umum halusinasi adalah delirium, yang biasanya mulai 3
sampai 4 hari setelah rawat inap. Pasien di unit perawatan intensif (ICU) yang
pengalaman sensorik isolasi dapat merespon dengan aktivitas halusinasi. Kondisi
seperti gangguan singkat psikotik disorder, skizofrenia, dan neurokognitif yang

82
terkait dengan halusinasi, dan mereka merespon dengan cepat terhadap antipsikotik
obat-obatan.

Psikiatri C-L dalam Situasi Khusus


Unit Perawatan Intensif
Semua ICU menangani pasien yang mengalami kecemasan, depresi, dan
delirium. ICU juga memberatkan stres yang luar biasa tinggi pada staf dan pasien,
yang terkait dengan intensitas masalah. Pasien dan anggota staf sama sering
mengamati serangan jantung, kematian, dan bencana medis, yang meninggalkan
mereka semua terbangun secara otonom dan secara psikologis bertahan. Perawat ICU
dan pasien mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang sangat tinggi. Akibatnya,
perawat kelelahan dan tingkat perputaran tinggi biasa terjadi.
Masalah stres di antara staf ICU menerima banyak perhatian, terutama di
literatur keperawatan. Perhatian jauh lebih sedikit diberikan kepada staf rumah,
terutama mereka yang berada di layanan bedah. Semua orang di ICU harus dapat
berhubungan langsung dengan perasaan mereka tentang pengalaman luar biasa
mereka dan keadaan emosional dan fisik yang sulit. Kelompok dukungan reguler di
mana orang dapat mendiskusikan perasaan mereka penting bagi staf ICU dan staf
rumah sakit.
Unit Bedah
Beberapa ahli bedah percaya bahwa pasien sering berharap mati selama
operasi. Keyakinan ini sekarang tampaknya kurang dipercaya dibanding dulu.
Menurut Patterson Kimball dan yang lain telah mempelajari penyesuaian psikologis
premorbid pasien yang dijadwalkan untuk operasi dan telah menunjukkan bahwa
mereka yang menunjukkan depresi yang nyata atau kecemasan dan menyangkalnya
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi daripada mereka yang,
diberikan depresi atau kecemasan yang serupa, dapat mengungkapkannya. Bahkan
hasil yang lebih baik terjadi pada mereka dengan sikap positif terhadap operasi yang
akan datang. Faktor-faktor yang berkontribusi pada suatu hasil yang lebih baik untuk

83
pembedahan adalah informed consent dan edukasi sehingga pasien tahu apa yang
dapat mereka rasakan, di mana mereka akan berada (misalnya, itu berguna untuk
menunjukkan pasien ruang pemulihan), kehilangan fungsi apa yang diharapkan,
tabung dan gadget apa yang akan masuk tempat, dan bagaimana mengatasi rasa sakit
yang diantisipasi. Jika pasien tidak akan bisa berbicara atau lihat setelah operasi, akan
sangat membantu untuk menjelaskan sebelum operasi apa yang dapat mereka lakukan
untuk mengkompensasi untuk kerugian ini. Jika keadaan pasca operasi seperti
kebingungan, delirium, dan nyeri bisa diprediksi, mereka harus didiskusikan dengan
pasien terlebih dahulu agar mereka tidak mengalami mereka sebagai tidak beralasan
atau sebagai tanda bahaya. Anggota keluarga yang konstruktif dapat membantu baik
sebelum dan sesudah operasi. Masalah Transplantasi. Program transplantasi telah
berkembang selama masa lalu dekade, dan psikiater C-L memainkan peran penting
dalam membantu pasien dan mereka keluarga berurusan dengan banyak masalah
psikososial yang terlibat:
(1) kapan pasien akan menerima organ pada daftar tunggu,
(2) kecemasan tentang prosedur,
(3) takut akan kematian,
(4) penolakan organ, dan
(5) adaptasi terhadap kehidupan setelah transplantasi yang sukses. Setelah
transplantasi, pasien membutuhkan perawatan yang kompleks, dan mencapai
kepatuhan dengan obat mungkin sulit tanpa psikoterapi suportif. Ini khususnya
relevan untuk pasien yang telah menerima transplantasi hati yang akibat hepatitis C.
Psikiater harus sangat peduli komplikasi psikiatri. Dalam 1 tahun
transplantasi, hampir 20 persen pasien mengalami depresi berat atau gangguan
penyesuaian dengan suasana hati yang tertekan. Sedemikian kasus, evaluasi untuk
keinginan bunuh diri dan risiko adalah penting. Selain depresi, 10 persen pasien lain
mengalami tanda-tanda gangguan stres pasca trauma, dengan mimpi buruk dan
serangan kecemasan yang berkaitan dengan prosedur. Masalah lain menyangkut
apakah atau bukan organ yang ditransplantasikan berasal dari mayat atau dari donor

84
hidup yang mungkin atau mungkin tidak berhubungan dengan pasien. Sesi konsultasi
pretransplant dengan potensi donor organ membantu mereka mengatasi ketakutan
tentang operasi dan kekhawatiran tentang siapa yang akan melakukannya terima
organ mereka yang disumbangkan. Terkadang, baik penerima maupun donor dapat
dikonseling bersama-sama, seperti dalam kasus di mana satu saudara kandung
menyumbangkan ginjal ke yang lain. Dukungan rekan kelompok dengan donor dan
penerima juga telah digunakan untuk memfasilitasi mengatasi masalah transplantasi.

PSIKO-ONCOLOGY
Psycho-oncology berusaha mempelajari dampak kanker pada fungsi
psikologis dan peran yang variabel psikologis dan perilaku dapat bermain dalam
risiko kanker dan bertahan hidup. Salah satu ciri penelitian psiko-onkologi adalah
studi intervensi itu mencoba untuk mempengaruhi jalannya penyakit pada pasien
dengan kanker. Sebuah studi penting oleh David Spiegel menemukan bahwa wanita
dengan kanker payudara metastasis yang menerima mingguan psikoterapi kelompok
bertahan rata-rata 18 bulan lebih lama daripada pasien control secara acak ditugaskan
untuk perawatan rutin. Dalam penelitian lain, pasien dengan melanoma maligna yang
menerima intervensi kelompok terstruktur menunjukkan penurunan yang signifikan
secara statistic kambuhnya kanker dan tingkat kematian yang lebih rendah daripada
pasien yang tidak menerima seperti itu terapi. Pasien dengan melanoma maligna yang
menerima intervensi kelompok juga menunjukkan secara signifikan lebih besar
granular limfosit dan natural killer (NK) sel sebagai serta indikasi peningkatan
aktivitas sel NK, menunjukkan peningkatan tanggapan kekebalan tubuh. Studi lain
menggunakan intervensi perilaku kelompok (relaksasi, dipandu pencitraan, dan
pelatihan biofeedback) untuk pasien dengan kanker payudara, yang ditunjukkan
aktivitas sel NK yang lebih tinggi dan respons mitogen limfosit daripada kontrol.
Karena protokol pengobatan baru, dalam banyak kasus, telah mengubah
kanker dari penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan, aspek kejiwaan kanker —
reaksi terhadap diagnosis dan perawatan — semakin meningkat penting. Setidaknya

85
setengah dari orang-orang yang mengidap kanker di Amerika Serikat masing-masing
tahun hidup 5 tahun kemudian. Saat ini, diperkirakan 3 juta penderita penyakit kanker
tidak terbukti. Sekitar setengah dari semua pasien kanker memiliki gangguan mental.
Kelompok terbesar adalah mereka dengan gangguan penyesuaian (68 persen), dan
gangguan depresi mayor (13 persen) dan delirium (8 persen) adalah diagnosis paling
umum berikutnya. Sebagian besar gangguan ini dianggap reaktif terhadap
pengetahuan memiliki kanker. Ketika orang-orang mengetahui bahwa mereka
mengidap kanker, reaksi psikologis mereka termasuk rasa takut kematian, cacat, dan
cacat; takut ditinggalkan dan kehilangan kemerdekaan; takut gangguan dalam
hubungan, fungsi peran, dan klasemen keuangan; dan penolakan, kecemasan,
kemarahan, dan rasa bersalah. Meskipun pikiran dan keinginan untuk bunuh diri
sering terjadi pada orang dengan kanker, insiden bunuh diri yang sebenarnya hanya
sedikit lebih tinggi dari pada di populasi umum. Psikiater harus membuat penilaian
yang cermat tentang masalah psikiatri dan medis di setiap pasien. Perhatian khusus
harus diberikan kepada faktor keluarga, khususnya, konflik intrafamili yang sudah
ada sebelumnya, pengabaian keluarga, dan kelelahan keluarga.

BAB III
KESIMPULAN

Kedokteran psikosomatis menggambarkan individu dengan keluhan medis yang


tidak memiliki penyebab fisik. Kriteria diagnostik dari gannguan ini menurut DSM-5
adalah pasien yang disibukkan dengan keyakinan salah bahwa mereka memiliki atau
akan mengalami penyakit yang serius dengan sedikit gejala (jika ada tanda atau gejala
fisik). Keyakinan harus bertahan setidaknya 6 bulan, dan tidak ada temuan patologis

86
pada pemeriksaan medis atau neurologis. Keyakinan tidak boleh memiliki suatu
delusi dan bukan masalah tentang penampilan (dismorfik tubuh).
Perjalanan gangguan ini biasanya bersifat episodic. Hal ini berkaitan dengan
hubungan yang jelas antara eksaserbasi gejala somatik dan stressor psikososial. 80
persen pasien dengan gangguan ini berdampingan dengan gangguan depresi atau
gangguan kecemasan. Gejala yang dapat dikeluhkan pada gangguan ini dapat berupa
gangguan sistem gastrointestinal, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem
endokrin, sistem adrenal, sistem dan neurologis.
Tatalaksana gangguan psikosomatik bergantung pada psikoterapi yang
diberikan. Peran utama psikiater dan dokter lain yakni menggerakan pasien untuk
mengubah perilaku sehingga dapat mengoptimalkan proses penyembuhan.
Psikoterapi kelompok dapat membantu terutama jika kelompok itu merupakan pasien
homogen yang menderita gangguan yang sama. Farmakoterapi mungkin bisa
membantu dalam mengurangi kecemasan.

87

Anda mungkin juga menyukai