Anda di halaman 1dari 12

ac-zzz.blogspot.

com

SEBELUM MATAHARI MENGETUK PAGI


Leila S.Chudori

http://ac-zzz.blogspot.com/

Dia tahu, saat matahari mengetuk pagi, akan ada sebuah perubahan
besar. Dia tahu, ketika dia menguak tirai jendela, uraian sinar matahari bukan
hanya sebagai tanda hari yang baru, tetapi juga ada nafas baru bagi dua orang di
majalah Tera: Utara Bayu dan Kara Novena. Dia menatap undangan itu,
undangan pernikahan Tara dan Vena.
Di balik tirai, Jakarta masih berwarna hitam. Jarum Jam menunjukkan
pukul empat pagi. Satimin merasa matanya pedih. Sepanjang malam, dia tak
bisa lelap. Sudah dua hari isterinya menjenguk orangtuanya di Wonosobo. Jadi
dia tahu betul yang tengah menyeret sandal dan sibuk menjerang air itu adalah
Halimah, puterinya yang baru saja menuntaskan pendidikannya di Akademi
Komputer. Halimah…
Satimin duduk di tepi tempat tidur.
Baru saja sebulan silam, Satimin melihat cahaya di mata anaknya.
Sembari tersenyum malu, Halimah memperkenalkan Rozali kepada dia dan
isterinya. Rozali, yang sehari-hari bekerja sebagai satpam di kompleks
perumahan mewah Golden Sun. Yang mewah adalah perumahan yang dijaganya
setiap malam. Rozali sendiri adalah anak sederhana, lulusan SMA. Halimah lulus
Akademi Komputer. Satimin menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak
gatal. Kenapa Halimah bisa jatuh cinta pada Rozali yang sekolahnya cuma
sampai SMA?
Satimin ingat, dia dan isterinya dengan suara lirih dan lembut mencoba
bertanya kabar Eko, putera pemilik toko material bangunan di ujung jalan
Seroja. Dan Satimin ingat betul, mata Halimah yang bersinar itu mendadak
redup. Dia tidak menjawab. Tidak berkata apa-apa. Dan itu cukup membuat
Satimin dan isterinya tak lagi bertanya-tanya. Hanya, Satimin sempat berbisik
pada isterinya, sebaiknya undang Eko untuk datang ke rumah dan bermain catur
ac-zzz.blogspot.com

dengannya.
Satimin kembali menatap undangan itu: Utara Bayu dan Kara Novena.
Dia mencium aroma kopi jahe. Halimah sudah meletakkan kopi di ruang televisi.
Satimin berdiri.

***

Secangkir kopi hitam dengan parutan jahe dari jari-jari Satimin. Pak
Guntur Wibisono yang sesungguhnya tidak rewel. Dia bukan pemimpin yang ingin
tampak perlente. Dia bukan pemimpin yang ingin diladeni. Dia menyetir sendiri
ke kantor dengan mobil Toyota Kijang yang sudah kusam; sesekali, dia
mengantar anak-anaknya ke sekolah jika isterinya harus mengajar di Salemba.
Dia juga tak pernah merokok, apalagi minum alkohol. Tapi ada dua, hanya ada
dua hal yang harus dilakukan Satimin setiap hari untuk pak Guntur: setiap jam
tujuh pagi, saat pak Guntur baru selesai lari pagi, Satimin harus menyediakan
kopi jahe. Dan kopi jahe itu harus diracik oleh tangan Satimin.
Satimin bangga betul dengan posisi itu. Kopi hitam yang diseduhnya itu,
diberikan parutan jahe yang dikupyur gula merah. Selagi kopi itu masih panas,
Satimin akan menyerahkan secangkir kopi yang berkepul itu langsung ke tangan
pak Guntur. Beliau menerimanya sembari membaca halaman pertama koran
pagi. Dia akan mengangkat wajahnya, tersenyum dan menerima kopinya itu
sembari mengucapkan terimakasih yang tulus. Dan itu selalu menjadi pagi yang
terbaik bagi seorang Satimin yang sudah mengabdi puluhan tahun di majalah
Tera.
Hal kedua, menurut ibu Delia, sekretaris pak Guntur, toples-toples
cemilan pak Guntur tak boleh kosong. Adalah Satimin sendiri yang akan
menggoreng empat macam kerupuk kesukaan pak Guntur.
Ini juga merupakan kebanggaan Satimin. Hanya dia yang tahu betul
bagaimana menggoreng kerupuk kulit, kerupuk ikan, rengginang dan keripik
tempe kesukaan pak Guntur hingga menjadi renyah dan kriuk-kriuk hingga
membuat pak Guntur ketagihan. Satimin tahu betul, jika ada tamu datang, pak
Guntur hanya basa-basi menawarkan toples kerupuk itu pada mereka. Biasanya
wartawan Tera tahu itu makanan kesukaan pak Guntur yang tak boleh disentuh,
ac-zzz.blogspot.com

dan mereka akan menolak dengan sopan. Tetapi ada juga satu dua tamu yang –
karena tak paham dan ingin menghormati—malah melahap kerupuk ikan dan
rengginang itu. Bisa dibayangkan bagaimana wajah pak Guntur itu cemberut
selama pertemuan dengan sang tamu.
Pernah suatu kali, Satimin jatuh sakit. Dia sungguh tak tahu siapa yang
akan menyediakan kopi jahe atau kerupuk pak Guntur. Dia betul-betul demam
dan tak bisa bergerak dari tempat tidur. Akhirnya setelah empat hari absen,
Satimin sudah muncul di dapur lantai delapan majalah Tera. Tiba-tiba saja dia
mendengar sambutan Tara, bos wartawan di lantai tujuh. Dia bos muda yang
paling baik dan ramah.
“Sudah sembuh? Sakit apa? Si Bos marah-marah terus tuh tak ada pak
Satimin…” Tara tersenyum. Hanya beberapa detik, lengan Satimin sudah
disambar ibu Delia.
“Ayuh, ayuh, tolong buatkan kopi jahe bapak!”
Satimin berani taruhan, ibu Delia yang manis dan berlesung pipit itu
hampir saja memeluknya karena saking girang melihat Satimin sudah muncul.
“Ya ya bu…ini saya sedang rebus airnya…”
Belakangan, Satimin baru paham kenapa semua orang menyambut
kedatangan Satimin. Rupanya pak Guntur uring-uringan terus karena masalah
kopi jahe yang rasanya merusak seluruh semesta. Konon kopi jahe yang dibuat
office-boy lainnya ada saja yang tak cocok di lidah beliau, entah kurang jahe,
atau kurang gula merah, atau gula merahnya kurang diparut atau ada saja hal
lain yang membuat darah pak Guntur melesat ke ubun-ubun. Pokoknya
ketidakhadiran Satimin, penyelamat syaraf pak Guntur dalam bidang kopi jahe
dan kerupuk empat toples itu, sudah membuat kehidupan majalah Tera porak
poranda dilanda ketidaknyamanan.
Akhirnya secangkir kopi jahe itu diterima oleh dua tangan pak Guntur. Dia
tersenyum dan mengucapkan terimakasih yang sungguh tulus. Satimin memulai
pagi itu dengan hati ringan.

***

Secangkir kopi jahe buatan Halimah tak kalah sedapnya dengan buatan
ac-zzz.blogspot.com

ayahnya. Masih mengepul dan masih kental manis gula merah.


Satimin menghirup kopi itu dengan perasaan gundah gulana. Dia tidak
tahu apakah dia gundah karena anaknya sedang kasmaran dengan seorang
satpam lulusan SMA, atau dia gundah karena mengkhawatirkan sesuatu yang
tidak dia pahami di antara Tara dan Nadira, dua orang yang paling peduli pada
Satimin.
Dia menatap cangkir kopinya yang kini sudah tinggal setengah. Kopi jahe
memang memiliki banyak sejarah….

***

Jakarta, 1990

Satimin tak paham ekonomi. Tidak paham efisiensi. Tidak paham grafik
yang digambar oleh ibu Nella di atas papan tulis putih itu. Demikian juga Odi,
Ahmad, Kosim dan empat office-boy yang sudah bekerja di majalah Tera
bertahun-tahun. Mereka duduk berderet di ruang Sumber Daya Manusia untuk
sebuah pertemuan penting. Tetapi Satimin sama sekali tak paham apa yang
ditulis oleh ibu Nella.
Tetapi setelah ibu Nella mengucapkan PHK, barulah Satimin tersedak.
PHK? Efisiensi? Pesangon?
“Intinya, ini justru penghargaan untuk kalian semua, karena kalau kalian
terus bekerja di sini, maka kalian akan terus menerus menjadi office boy. Itu
sebuah dead-end job…”
Satimin berpandangan dengan Odi, Ahmad dan Kosim.
“Ded apa bu?”
“Jadi begini….” Nella meletakkan spidolnya, “kan pak Satimin, pak Odi,
pak Kosim pasti suatu hari mau lebih maju kan? Tidak mau jadi Office Boy terus
kan?”
Mereka mengangguk perlahan, setengah tak paham.
“Bu Nella mau kasih kami pekerjaan lain?”
“O, bukan. Kami akan membebaskan kalian dari perusahaan ini, agar
kalian bisa memilih pekerjaan yang lebih mulia daripada office-boy. Kalian akan
mendapat pesangon yang sangat pantas.”
ac-zzz.blogspot.com

Satimin terperangah, “kenapa bu? Yang bikin kopi jahe pak Guntur nanti
siapa?”
Nella tersenyum memegang bahu Satimin, “jangan khawatir. Kami akan
menyewa perusahaan office boy cleaning service profesional.”
Dahi Satimin mengkerut. Odi dan Kosim masih terperangah.
“Perusahaan klining serpis….?” Ahmad terbata-bata.
“Begini,” kata Nella mencoba sabar, “kantor ini sudah semakin besar.
Kami perlu pelayanan yang cepat dan sigap dan yang professional. Jadi….”
“Tapi saya masih muda dan sigap, bu!” kata Odi memburu.
Nella tersenyum, “Betul Di, tapi kalau Odi mau tetap bekerja sebagai
Office Boy, ya melamar saja ke PT Damai Sejahtera, nanti kantor ini urusannya
dengan perusahaan itu.”
Keempat office-boy itu terdiam.

***

Cangkir kopi itu sudah kosong. Terdengar suara adzan yang mengusap-
usap telinganya. Satimin berdiri menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu.
Begitu Satimin selesai mengucapkan salam, dia tiba-tiba merasa dirinya tak lagi
berada di tahun 2001; dia merasa terlempar ke masa lalu ketika dia berada di
dalam rangkaian salat yang dilakukannya berulang-ulang setelah pertemuan
dengan Nella beberapa tahun silam.

Satimin tak tahu apa yang harus dilakukan selain salat meminta petunjuk
kepada Gusti Allah. Semula Satimin menjadi imam sementara Odi, Kosim dan
Ahmad menjadi tiga makmum yang bertubuh lunglai. Ketika Kosim menangis
tersedu-sedu di atas sejadah selesai memberi salam, Satimin buru-buru
memeluk bahu Kosim yang sudah seperti puteranya sendiri itu.
Satimin tidak paham jalan lain selain melakukan salat terus menerus.
Tiba-tiba saja, dia mendengar anak-anak redaksi di lantai tujuh mengadakan
rapat-rapat yang isinya protes terhadap tindakan PHK keempat office-boy itu.
Satimin sungguh terkejut, dan juga tidak enak.
Mas-mas dan mbak-mbak redaksi di lantai tujuh sungguh galak jika
ac-zzz.blogspot.com

sedang protes pada manajemen; terutama mas Andara dan mas Yosrizal. Suara
kedua wartawan itu seperti dua ekor harimau yang meraung yang ingin melahap
orang hidup-hidup. Satimin dan Kosim sempat mengintip ruang rapat itu, pura-
pura membawakan kopi panas, Ternyata mereka memang sedang merancang
strategi untuk mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen. Satimin
semakin tidak enak hati karena dia bisa membaca namanya dan ketiga rekannya
ditulis sebesar-besar anak gajah di papan tulis putih itu. Apalagi dia melihat
mas Tara bertolak pinggang sambil menulis di papan tulis, sementara Nadira
mencatat entah apa dengan penuh semangat. Satim semakin meringkuk. Waduh.
Apa kata pak Guntur nanti? Apa pak Guntur nanti marah padanya, karena
menyangka dia begitu cengeng mengadu pada mas Tara, non Nadira, mas
Andara dan mas Yosrizal?
Satimin keluar perlahan dari ruang rapat itu. Dia tak tahu apakah dia
harus bangga atau sedih melihat dia dan kawan-kawannya menjadi topik
penting dalam rapat akbar redaksi yang tampak begitu riuh rendah dan
bergelora itu. Dia bahkan tak mengerti kenapa mas Andara mengepal tinjunya
dan berteriak: ”Hidup OB!” Lha, mereka semua kan memang masih hidup? Ndak
ada yang mati, to?
Satimin jadi betul-betul khawatir. Bagaimana jika pak Guntur salah
paham dan menyangka dia ada di balik itu semua? Satimin lebih baik dipecat
daripada pak Guntur menyangka dia seorang pengkhianat.
Buru-buru Satimin meletakkan nampan dan berlari menuju ruang pak
Guntur. Kosong. Dia menghampiri meja Delia.
“Bu Delia…”
“Eh, pak Satimin….”
“Maaf bu….pak Guntur ke mana ya….saya…saya ingin ketemu.”
“Looo, kok pak Satimin lupa, kan Bapak ke New York.”
“Oh iya…” tiba-tiba Satimin baru ingat, sejak kemarin dia libur dari
tugas rutin menyeduh kopi jahe. Entah karena bingung atau tak tahu lagi apa
yang harus dilakukan. Dia melihat empat toples itu. Kalau toples itu tidak
segera dimakan, pasti akan segera melempem. Kasihan pak Guntur.
Geruwalan Satimin menuju dapur dan kembali dengan setumpuk kertas
minyak di tangannya. Dia segera melapisi kertas minyak pada setiap tutup
ac-zzz.blogspot.com

toples kerupuk pak Guntur, agar kerupuk kesayangan beliau tetap renyah dan
tidak melempem. Dari luar, Delia memperhatikan dengan heran.
“Pak Satimin….”
“Ya bu…kalau tidak ditutup kertas minyak, nanti melempem bu. Bapak
suka jengkel kalau kerupuknya tidak kriuk kriuk..” Pak Satimin berbicara sambil
menyembunyikan kedua matanya.
“Pak Satimin, Pak Guntur masih lama kembali dari New York.
Kemungkinan beliau sebulan di sana. Kerupuknya dibawa ke lantai tujuh saja,
kasih anak-anak. Tidak bakal kuat disimpan selama itu,” kata ibu Delia
mendekati Satimin.
“Oh…sebulan, lama sekali yak…ada rapat apa di sana, lama betul bu?”
“Bukan rapat. Opera pak Guntur mau dipentaskan di sana.”
Satimin mengejap-ngejap matanya yang terasa agak pedas. Dia tak berani
bertanya arti opera, karena ibu Delia nampaknya sudah terlihat sibuk dan mulai
cemberut. Buat Satimin, kata “opera” terdengar penting sekali.
Satimin mengangguk-angguk sembari menyembunyikan airmatanya yang
hampir jatuh. Dia bergegas mengangkut kertas minyaknya dan permisi keluar
dari ruang pak Guntur. Delia mendadak merasa dirinya keji. Dia memanggil
Satimin.
“Saya sudah dengar keputusan manajemen,”kata Delia, “Kenapa pak
Satimin tidak sekalian bergabung dengan perusahaan cleaning service saja,”
Delia tiba-tiba merasa bisa membantu.
“Oh….” Satimin menelan ludah, “sudah saya tanya bu, katanya mereka
hanya menerima yang usianya 18 sampai 25 tahun saja. Mungkin Kosim dan Odi
bisa gabung dengan mereka.”
“Oh…”
Delia terdiam.
“Saya yakin akan ada jalan keluar….” katanya mencoba menghibur. “Saya
dengar mas Andara dan mas Yos sedang menyusun ulang corporate strategy.”
Satimin kembali mengangguk-angguk, meski dia tak paham apa arti kata
……………apa itu, susah sekali mengucapkannya. Mungkin itu artinya uang
pesangon.
Satimin permisi. Dia berjalan menuju dapur dengan setumpuk kertas minyak di
ac-zzz.blogspot.com

tangannya.
Di dapur, dia duduk di pojok dapur. Sendirian.
Dia tak tahu berapa lama dia tertidur di pojok itu, mungkin sejam.
Mungkin dua jam. Mungkin dua malam. Dia sungguh tak tahu. Hingga akhirnya
dia merasa ada yang menepuk bahunya dengan lembut. Satimin gelagapan.
Nadira.
Nadira tersenyum mengaduk-aduk secangkir kopi hitam lalu
menyodorkannya pada Satimin. Satimin merasa sungguh sungkan dan malu dan
mengusap-usap wajahnya.
“Minum pak…”
“Kok Non…”
“Ayo, kopi selalu bikin lebih segala sesuatu lebih enteng….” Tiba-tiba
Nadira tertawa, “sebetulnya tidak. Tapi, sudahlah, ayo minum….”
Dengan patuh Satimin menghirup kopi itu. Agak aneh rasanya. Ada susu.
Manis sekali. Ini memang kopi milik Nadira dari luar negeri.
“Suka pak?”
Satimin mengangguk, menelan kopi itu dengan berat dan mengusap-usap
mulutnya. Sebetulnya tidak enak. Ini susu dengan kopi atau kopi dengan susu?
Tapi bagi Satimin, kopi itu kopi terenak di dunia karena diberikan oleh
seseorang yang begitu perhatian padanya.
Nadira duduk ngedeprok di sebelah Satimin. Satimin semakin sungkan.
“Nanti celana mbak Dira kotor,”
“Tidak apa, pak….”
“Pak Satimin, saya minta pak Satimin percaya pada kami. Kita semua
sedang membicarakan masalah Pak Satimin dan office Boy lainnya dengan
Dewan Karyawan. Jadi Pak Satimin tidak boleh berduka. Tidak boleh sedikitpun
meneteskan airmata. Tidak boleh lemah. Tidak boleh rontok barang satu tulang
tubuh. Tidak boleh ringkih.”
Satimin kembali mengangguk-angguk meski dia tak terlalu paham maksud
Nadira. Pastilah maksudnya jangan cengeng. Tapi Non satu ini memang
bahasanya seperti bahasa orang yang sedang berdeklamasi, sehingga sering
terasa rumit. Dia adalah wartawan yang baru setahun bergabung dengan
majalah Tera. Dia tak banyak bicara; tak banyak bergaul, tapi jelas dia sangat
ac-zzz.blogspot.com

senang bekerja. Dan Satimin tahu betul, mas Tara sangat rajin membuatkan
kopi untuk Non Nadira. Satimin juga bisa melihat betapa mata mas Tara
bercahaya setiap kali membawakan minum untuk Nadira.
Jadi jika Nadira mengatakan Satimin tak boleh cengeng, maka dia akan
berusaha sekuat tenaga untuk tidak cengeng; jika Nadira mengatakan tulangnya
tidak boleh rontok, Satimin akan memastikan dia tidak akan sakit pinggang atau
encok. Jia Nadira mengatakan tidak boleh meneteskan airmata, pastilah
Satimin akan menahan diri sekuat tenaga untuk menahan bobolnya airmata.
Pasti dia bisa.
“Lihat mata saya, pak. Kalau penuh semangat seperti ini, insya Allah
usaha kita akan berhasil.”
Satimin betul-betul mematuhi perintah Nadira. Dia melihat ada
serangkaian sinar yang terurai dari kedua bola mata Nadira. Dan Satimin
paham, Nadira tengah mengatakannya dengan jujur: dia, seperti juga Andara,
Yosrizal dan Utara bersemangat membela Satimin dan kawan-kawannya.
Ketika akhirnya manajemen menyetujui tuntutan karyawan untuk
mempertahankan keempat office boy itu—dan mengangkat mereka sebagai
karyawan majalah Tera—Satimin segera melakukan satu hal yang paling dia
pahami. Berterimakasih kepada Tuhan. Dia salat begitu lama.
Hal berikutnya yang dia lakukan adalah: berterimakasih kepada rekan-
rekan redaksi yang galak-galak namun berhati baik itu. Satimin, Odi, Kosim dan
Ahmad beramai-ramai membuatkan kopi jahe untuk seluruh warga lantai tujuh.

****

Bagi Satimin, segalanya sederhana saja. Tara dan Nadira seharusnya


berjodoh. Bukankah Mas Tara selalu baik dan perhatian pada Nadira, dan
bukankah Nadira nampaknya juga hanya percaya pada Mas Tara?
Tetapi Satimin juga percaya bahwa Gusti Allah sering menentukan hal-
hal yang tak begitu dipahami manusia biasa. Misalnya kenapa dia dan ketiga
rekannya hampir saja di PHK, lalu batal, tapi malah dijadikan karyawan setelah
protes galak mas-mas redaksi. Satimin juga tak paham kenapa ibunda Nadira
suatu hari, kabarnya, bunuh diri dan membuat Non Nadira bergelung di bawah
ac-zzz.blogspot.com

kolong meja bertahun-tahun, hingga Satimin tak pernah bisa berbuat apa-apa.
Bahkan bergalon-galon kopi jahe pun tak akan menyembuhkan hati Non yang
baik hati itu. Satimin lebih tak paham lagi ketika ternyata Gusti Allah
menjodohkan Nadira dengan lelaki lain. Bukan mas Tara yang baik hati itu.
Masya Allah.
Kini Satimin duduk dengan hati duka. Dia mengaduk-aduk kopi itu,
memarut-marut jahe dan mengucurkan gula merah.
“Untuk saya, Min?”
Astaga. Pak Guntur. Tumben amat Bapak Bos ke dapur.
“Untuk mas Tara, pak. Tapi ambil saja pak, nanti saya bikin yang baru
buat mas Tara.”
“Kok tumben untuk mas Tara?”
Satimin terdiam. Dia melirik pada sehelai undangan pernikahan yang
ditempel di dinding dapur: Nadira Suwandi dan Niko Yuliar. Guntur Wibisono
segera menangkap sekejap pandangan mata Satimin.
Lalu dia memandang secangkir kopi jahe kesayangannya itu. Panas
mengepul dengan aroma yang membangunkan syaraf kehidupannya. Dia
tersenyum.
“Kasih Utara saja, Min. Nanti bikinkan saya yang baru.”
Satimin tersenyum.
Segelas kopi jahe itu diterima oleh sepasang hati yang terluka. Utara
Bayu.
“Terimakasih.”
Satimin mengangguk dan memandang Nadira dari kejauhan yang sedang
beberes karena sudah dijemput calon suaminya. Gusti Alah pasti punya maksud
yang kita tak pahami. Demikian Satimin menghibur dirinya.

***

Di balik tirai, Jakarta tak lagi pekat. Matahari sudah mengetuk pagi dan
mengetuk hati Satimin. Satimin bisa melihat beberapa untai sinar matahari
yang menyelip. Jadi inilah hari Utara Bayu dan Kara Novena membuhulkan
hubungan mereka. Sembari mengenakan batiknya, Satimin terus berdoa agar
ac-zzz.blogspot.com

mas Tara berbahagia dengan pilihannya.


Lepas Zuhur, Satimin sudah kembali dalam keadaan berkeringat dan
lelah. Dia duduk di teras muka rumahnya dengan wajah kuyu. Halimah segera
membuatkan es teh tawar. Siang itu, matahari seperti mengibas-ngibaskan
sinarnya hingga membuat warga bumi menggelepar.
“Bagaimana mas Tara dan mbak Vena, pak?” Halimah duduk di depan
bapaknya yang tampak kalah oleh keringatnya sendiri. Dia terus menerus
mengusapnya dengan handuk kecil.
Satimin mereguk es teh tanpa gula itu sekali teguk. Habis. Halimah
terperangah.
“Ramai sekali, nak….”
“Ya pasti…bapak kan pernah bilang, mas Tara wartawan istana.”
“Yah….dia banyak teman juga, nak. Dan keluarganya besar sekali.
Keluarga sugih.”
Halimah mengangguk. Dia sudah mau berdiri, tapi bapaknya menyuruh
dia duduk kembali.
“Halimah, ibu pulang besok. Lusa, ajak Rozali ke sini…”
Halimah terperangah. “Bapak mau apa?”
“Bapak mau main catur sama dia. Kamu masak apa saja yang enak. Atur
dengan ibu.”
Halimah terdiam. Dia memandang ayahnya. Masih bertanya.
Satimin menghela nafas. “Tadi Bapak menghadiri pernikahan mas Tara
dan mbak Vena. Ramai. Ramai sekali. Bapak menyalami mereka. Dan Bapak bisa
melihat mata mas Tara….”
“Kenapa mata mas Tara?”
“Matanya….seperti kehilangan cahaya”
Satimin menggeleng, ‘Bapak tidak mau melihat matamu seperti itu di
hari perkawinanmu. Yang namanya pengantin, harus bercahaya…..”
Perlahan-lahan senyum Halimah mengembang. Dia mengangguk dan
meninggalkan ayahnya.
Satimin masih duduk sendirian. Dia menyenderkan punggungnya yang
terasa berantakan sembari bertanya-tanya, kemanakan Nadira kini. Apakah dia
masih jauh di luar negeri atau dia sudah di Jakarta? Apakah Nadira tahu bahwa
ac-zzz.blogspot.com

hingga kini, hingga hari perkawinan Tara, tampaknya namanya masih saja
bertahta di hati Tara?

(dimuat di Femina Edisi Khusus Kartini, April 2010)


Jakarta, 2010

Anda mungkin juga menyukai