Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa istilah yang dipakai seringkali memusingkan karena mempunyai


penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin berbeda dari
penafsirannya secara umum.1
Anestesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Para ahli
saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis
bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes
1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan
pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal
anestesi berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri
(dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat-obatan. Anestesi
inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian
dari anestesi umum, dan kata "menerangkan" menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam
tubuh untuk menghasilkan anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat
analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum dan
anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat analgesi
regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat
blokade saraf pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka.1
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada
masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita
bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar
dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional
obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan opioid,
yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal adalah
kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali hipnosis
diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur secara
farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri atau reflek
otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah istilah yang
ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat hipnotism.1
Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi, keadaan tak
sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini mungkin lebih tepat
dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan sebagai akibat pemberian obat
narkotik (opioid).1
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi
spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke
bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal.2
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan sectio caesarea.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 PREOPERATIF / PREANESTESI


2.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. PA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Berat Badan : 50 kg
Agama : Islam
Alamat : Jln. Gassing Dg. Tiro
Diagnosis : G4P3A0 gravid aterm + CPD + post SC 1x

2.1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27
September 2018, pukul 19.25 WITA di RSUD Syekh Yusuf Gowa, Sulawesi
Selatan.
a. Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk IGD maternal dengan dengan G4P3A0 gravid 37 minggu 4
hari + mengeluh keluar darah dari jalan lahir. Awalnya hanya bercak kemudian
sehari kemudian keluar darah segar beserta lendir dan air. Pasien juga
mengeluhkan sakit perut dan pusing. Tidak ada keluhan demam, mual, muntah,
batuk dan sesak. Buang air besar terakhir 2 hari yang lalu dengan konsistensi
padat dan buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna
kekuningan.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat penyakit jantung (-)
3) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
4) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
d. Riwayat operasi (+) SC anak ketiga pada tahun 2011 atas indikasi 2011.
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 27
September 2018, pukul 20.10 WITA di RSUD Syekh Yusuf Gowa.
2.1.3 PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6

Vital Sign : Tekanan darah : 100/70 mmHg


Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5 C
Pernafasan : 20 x/menit

a. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan :
20 kali/menit, suara pernapasan : vesikular (+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-),
gigi palsu (-).
b. B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 100/70 mmHg, denyut nadi : 84 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.
c. B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 2,5 mm/2,5 mm, defisit neurologi
(-).
d. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna kekuningan.
e. B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
f. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).
2.1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal
Hematologi (27 September 2018)
Hemoglobin 11,1 11,5-16,0 g/dL
Leukosit 8.100 4000-10.000/L
Hematokrit 33,2 37-47%
Eritrosit 3.910.000 3,80-5,80x106/
Trombosit 167.000 150.000-500.000/L
MCV 84,9 80-100 µm3
MCH 28,4 27,0-32,0 pg
MCHC 33,4 32,0-36,0 g/dl
CT 8.00 4-12 menit
BT 3.00 1-4 menit
Kimia Klinik (27 September2018)
GDS 128 70-140 mg/dL
Seroimmunologi (27 September 2018)
HbsAg Negatif Negatif

2.1.5 DIAGNOSIS
G4P3A0 gravid aterm + CPD + post SC 1x

2.1.6 PENATALAKSANAAN
Rencana operasi : Sectio Caesaria Transperitonial Profunda
Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+),
 Puasa : 8 jam preoperasi
 IVFD RL 500 cc

2.1.7 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis Preoperatif : G2P1A0 gravid aterm + Bekas SC 1 x
Status Operatif : PS ASA I, skor Mallampati 2
Jenis Operasi : SCTP
Jenis Anastesi : Regional anestesi
2.2 PREINDUKSI
Pemeriksaan fisik preoperatif
1. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing : (-/-/-), potrusi mandibular (-), buka
mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-),
gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan :
22 kali/menit, suara pernapasan : vesikular (+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi (-/-), wheezing (-/-), skor Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-),
gigi palsu (-).
2. B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan
darah : 100/70 mmHg, denyut nadi : 84 kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi
jantung S1/S2 murni regular.
3. B3 (Brain) :
Kesadaran : Composmentis, Pupil : isokor Ø 2,5 mm/2,5 mm, defisit neurologi
(-).
4. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 3-4 kali sehari berwarna kekuningan.
5. B5 (Bowel) :
Abdomen : tampak cembung, stria gravidarum (+), peristaltik (+) kesan
normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
6. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan pasien preoperatif :


IVFD RL 500 ml
Persiapan di kamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter”
dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel komponen STATICS


Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.3 INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah
G4P3A0 gravid aterm + CPD + post SC 1x
2. Diagnosis pasca bedah
P4A0 post partum SC atas indikasi CPD + post SC 1x
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : Regional Anestesi
b. Lama anestesi : 09.10 – 09.30 (20 menit)
c. Lama operasi : 09.35 – 10.55 (75 menit)
d. Anestesiologi : dr. Ade Irna, Sp.An
e. Ahli Bedah : dr. Anggrainy, Sp.OG
f. Posisi : Supine
g. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kanan
h. Teknik anastesi : Sub Arachnoid Block (SAB)
 Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk
 Posisi pasien :
1) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10
cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
(pada pasien)
2) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat
premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten
untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan
terutama bila diinginkan sadle block.
3) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
 Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
 Cara penusukan :
Memakai jarum yang kecil no. 25 (Spinocain). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum
spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di
ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan
spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili
meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.
Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat
anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing
(Meningismus).
i. Premedikasi : Ondansentron 4 mg
Ranitidin 50 mg
j. Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% 10 mg
k. Medikasi tambahan : Methylergometrine 0,2 mg
Epinefrin 2 mg
Dexamethason 2 amp
Oxytocin drips 20 IU
Pethidin 40 mg
l. Maintanance : O2 2 lpm
m. Respirasi : Pernapasan spontan
n. Posisi : Supinasi
o. Cairan durante operasi : RL 500 ml + Gelafusin 500 ml

Estimasi volume darah dan estimasi kehilangan darah


BB : 50 kg
EBV : 65 cc/kg BB x 50 kg = 3.250 ml
Jumlah perdarahan : ± 250 ml
% perdarahan : 250/3.250 x 100% = 7,69 %
𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 − 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟
𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 ×
(𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 + 𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )/ 2
33,2−25 8,2
= 3.250 × (33,2+25)/ 2
= 3.250 × = 913,25 𝑚𝑙
29,1

Cairan yang masuk


 Preoperatif : Kristaloid RL 500 ml
 Durante operatif :
- Kristaloid RL 500 ml
- Koloid Gelafusin 500 ml
Cairan yang keluar
 Urin ± 150 ml
 Perdarahan ± 250 ml

Perhitungan cairan
Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan Maintanance (M) : 2ml/kgBB/jam = 100 ml/jam. Pasien dioperasi
selama kurang lebih 1 jam 30 menit berarti cairan maintenance yang
dibutuhkan selama operasi 150 ml.
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 100 =
800 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 300 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 50 kg = 400 cc
4. Cairan defisit urin = 150 ml
5. Cairan defisit darah = 250 ml

Keseimbangan kebutuhan cairan


Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1000 ml – 1250 ml = - 250 ml. Jadi
pasien membutuhkan kurang lebih 3 botol cairan selama operasi
berlangsung.

2.4 POSTOPERATIF
Pemantauan di Recovery Room (RR) :
 Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
 Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan analgetik.
 Mengevaluasi Bromage Score bila ≤ 2 boleh pindah ruangan.
 Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum diperbolehkan
sesuai instruksi sejawat obgyn.
 IVFD RL 50 tetes/menit selama 2 jam.
 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10 mg/iv
 Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg dan
konsul anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Ny. PA, 32 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani
operasi SCTP pada tanggal 28 September 2018 dengan diagnosis pre operatif G3P2A0
gravid aterm + CPD + post SC 1x. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 27 September
2018. Dari anamnesis terdapat keluhan keluar darah dari jalan lahir. Pemeriksaan fisik dari
tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg; nadi 84x/menit; respirasi 20x/menit;
suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi: Hb 11,1 g/dl; GDS: 128 mg/dl
dan HBsAg(-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa tidak didapatkan adanya penyulit berupa gangguan organik.

Sebelum diputuskannya anestesi, hendaknya sebelumnya dilakukan penentuan


standar kesehatan pasien sesuai American Society of Anesthesia. Dengan keadaan tersebut
di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA I. Adapun pembagian kategori ASA adalah:

I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental

II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan


fungsional

III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi

IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan


menyebabkan ketidakmampuan fungsi

V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi

VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E
(misalnya IE atau IIE)

Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan pada
dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses persalinan
dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan regional. Anestesi
spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di daerah umbilikus ke
bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari anestesi umum, yaitu kemudahan
dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
pasien tetap sadar dan jalan nafas terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal.

Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan
yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.

Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya penolakan
pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak
diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus
pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat
tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi
yang tidak diketahui. Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek
sistemiknya lebih rendah dibanding anestesi umum.

Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid,
dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1) pada
dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan saccus duralis,
ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3
(S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga
di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,
jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis.
Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi
tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.

Gambar 1. Anestesi Spinal


Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi tentang
tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan
juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam
lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan ukuran 25 G.
Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.
Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik),
maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada
di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal

Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric 0,5%
dengan dosis 15 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan diameter,
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena menunjukkan urutan
kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot
skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran
di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh
jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid
obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi
impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang
penting di akar-akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di
kornu anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.
Pasien ini mengalami penurunan tekanan dimana tekanan darah pasien 90/60
mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemberian
anestesi spinal. Dimana penurunan tekanan darah biasanya terjadinya pada 10 menit
pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama
periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), maka kita harus
bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan kristaloid
secara cepat serta efedrin sebanyak 2 mg secara intravena. Namun dapat pula pemberian
cairan kristaloid sebanyak 500 cc sebelum pemberian anestesi spinal untuk mencegah
terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf
adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah
ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin
tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan berat
badan pasien adalah 50 kg, maka estimated blood volume = 65 cc/kgBB x 50 kg = 3250 cc
(estimated blood volume untuk orang dewasa perempuan 65 cc/KgBB). Jumlah perdarahan
yang terjadi durante operasi adalah sekitar 250 cc (7,69%).
Kebutuhan cairan maintenance 100 cc/jam ditambah defisit puasa 300 cc,
ditambah output urine 150 cc dan perdarahan 250 cc sehingga total cairan pengganti yang
dibutuhkan durante operasi adalah 1250 cc.
Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kondisi syok hipovolemik.
‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien
dalam keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan
tanda-tanda klinis: hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin,
melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok
hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh.
Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma
tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Tujuan dari resusitasi adalah menormalkan
kembali oksigenasi jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka
resusitasi cairan merupakan prioritas. Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari
kehilangan darah akut sekitar 20% dari volume total. Tanpa darah yang cukup atau
penggantian cairan, syok hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada
organ dan sistem. Resusitasi dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14
- 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie.
1. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
2. Hindari cairan yang mengandung glukose.
3. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.

Tabel 2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah


Tujuan pemberian cairan pengganti adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh
yang disebebkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain misalnya perdarahan pada
pembedahan pada kasus ini. Sebagai cairan pengganti digunakan cairan kristaloid (NaCl
0,9% dan RL) atau Koloid (Dextrans 40 dan 70, Gelaofusin, Expafusin, Hemasel,
Albumin, dan Plasma).
Tabel 3. Perbandingan antara Kristaloid dan Koloid
SIFAT-SIFAT KRISTALOID KOLOID
Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam
sirkulasi
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Untuk dehidrasi Pada perdarahan massif
Untuk koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai dengan jumlah
perdarahan perdarahan perdarahan

Gambar 3. Alur Resusitasi pada Perdarahan

Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik


berasal dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac
output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong
perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini
menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik.
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada rangkaian
keadaan di bawah ini:

1. Penurunan volume cairan intravascular


2. Pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan preload dan stroke
volume
3. Penurunan cardiac output
4. Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)
5. Kerusakan perfusi jaringan
6. Penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel
7. Kegagalan multisistem organ
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali
diresusitasi secara adekuat. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah: (1)
memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak
mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan,
dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.

Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan


perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau mungkin
diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.

Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat
akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara
simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya: Ringer Laktat
dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).

Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai


pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan.
Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi.

Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30 menit,
dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan hemodinamik post operasi. Jika Skor
Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Tabel 4. Penilaian Skor Bromage
Kriteria Nilai Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tidak mampu ekstensi tungkai 1

Tidak mampu fleksi lutut 2

Tidak mampu fleksi pergelangan 3


kaki
TOTAL

Pasien masuk keruang OK pada pukul 08.50 dilakukan pemasangan NIBP dan O2
dengan hasil TD 100/70 mmHg; Nadi 84x/menit, dan SpO2 100%. Dilakukan premedikasi
dengan pemberian Ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50 mg. Ondansentron 4 mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai
antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat
aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Ranitidin 50 mg
merupakan salah satu obat yang digunakan untuk masalah gangguan pecernaan terutama
yang terkait dengan asam lambung. Ranitidin termasuk dalam golongan antihistamin, lebih
tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi produksi asam
lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat ulkus atau tukak lambung,
dan masalah asam lambung tinggi lainnya.

Pemberian petidin (golongan opioid) dapat digunakan untuk mengatasi keluhan


menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang bekerja pada
reseptor opioid μ (mu) dan κ (kappa). Petidin mempunyai efek untuk mengatasi menggigil
melalui reseptor κ. Petidin merupakan obat yang paling efektif dan sering digunakan untuk
mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak
menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus dan depresi nafas.

Oxytocin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi. Tetapi pada dosis tinggi menyebabkan
tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus ringer laktat 20 IU perifer, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan 10 IU intramiometrikal
(IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dosis maksimum
per hari yaitu tidak lebih dari tiga liter larutan dengan oksitosin. Farmakokinetik: waktu
paruh 1-9 menit.

Methilergometrine adalah obat golongan alkaloid ergot semi sintetis yang


mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Obat ini bekerja pada otot polos rahim
secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme kontraksi rahim.
Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan mengontrol perdarahan rahim
setelah melahirkan (post partum). Methergin bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah
diminum. Dosis maksimum per hari yaitu 1 mg atau 5 dosis. Kontraindikasi pada pasien
pre eklamsia, vitium cordis dan hipertensi. Efek samping yang sering terjadi dapat berupa
nyeri kepala, hipertensi, ruam pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang
kuat. Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran, kejang,
nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah. Efek samping seperti syok anafilaktik sangat
langka namun dapat terjadi pada pasien yang hipersensitif terhadap methergin. Onset kerja
i.m 2-5 menit, iv segera. Durasi im 3 jam, durasi iv 45 menit. Absorpsi cepat, distribusi iv
terutama diplasma dan cairan ekstrasel. Waktu paruh eliminasi bifasik, awal 1-5 menit,
akhir 0,5-2 jam. T maks di serum, im 0,2 – 0,6 jam. Ekskresi lewat urine dan feses.
Dexametasone seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti
alergi dengan pencegahan pelepasan histamine. Deksametason merupakan salah satu
kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan
alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Efek
samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis,
retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain. Kegunaan kortikosteroid pada gangguan
fungsi adrenal merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons
inflamasi dan imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam
mengontrol proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi
dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu
respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses
penyakit tersebut.
Pada pukul 10.55 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir
TD 120/70mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan selama 75
menit dengan perdarahan ± 250 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis.
BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan preanestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang


melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi spinal pada operasi SCTP pada
penderita perempuan, usia 32 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis G4P3A0 gravid
aterm + CPD + post SC 1x.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga mengakibatkan
paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang diblok.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, perdarahan yang dihasilkan 250 cc
adapun resusitasi cairan yang diberikan belum mencukupi. Mengingat perdarahan
merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan syok hipovolemik, pemantauan
tanda-tanda syok dan resusitasi yang optimal sangat diperlukan. Selama di ruang
pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum
pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko, HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,


Fakultas Kedokteran Undip / RSUP dr. Kariadi. Semarang.2010
2. Liou, S., Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses pada 8 April 2017 dari:
<http://www.nlm.nih. gov/medlineplus/ency/article/007413.htm>. 2013.
3. Purmono A. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta. 2015.
4. Mansjoer, A., et all. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi. Media
Aesculapius. Makassar. 2010.
5. Mangku, Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi. Indeks: Jakarta. 2009.
6. Sarwono. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo: Jakarta.
2008.
7. Gunawan, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI: Jakarta. 2007.

Anda mungkin juga menyukai