Anda di halaman 1dari 10

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai

Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994


December 04, 2013

Dalam kajian Hubungan Internasional pra-Pembelokan Linguistik[1], identitas selalu diabaikan


sebagai salah satu variabel yang penting dalam melakukan analisis terhadap isu Hubungan
Internasional. Namun, teori-teori reflektivis yang lahir pasca-Pembelokan Linguistik
menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu hal yang lugu. Berbagai konflik yang terjadi di
dunia ini, seperti Genosida Yahudi oleh Nazi, Pembantaian Komunis oleh pemerintah Indonesia,
pembersihan etnis (ethnic cleansing) Tutsi oleh Hutu di Rwanda, menunjukkan bahwa persoalan
identitas dapat memicu manusia atau suatu kelompok untuk melakukan hal-hal yang tak
terbayangkan seperti melakukan pembunuhan massal. Dalam semua kasus tersebut, politisasi atas
identitas memegang peranan penting dalam memicu tindakan tak terbayangkan tersebut.

Film Hotel Rwanda adalah salah satu film yang berhasil menunjukkan peranan politisasi identitas
dalam memicu tindakan tak terbayangkan, seperti pembunuhan massal. Dalam hal ini, identitas
yang dipolitisasi adalah etnisitas. Film Hotel Rwanda mengisahkan tentang Paul Rusesabagina,
seorang manager hotel bintang lima yang berada di Kigali, salah satu kota utama di Rwanda,
ketika ethnic cleansing atas kelompok etnis Tutsi oleh kelompok etnis Hutu terjadi. Dari menit
awal film, telah dikisahkan bagaimana usaha kelompok etnis Hutu untuk mempolitisasi identitas
Hutu dan Tutsi. Melalui radio, penyiar menyerukan betapa pentingnya etnis Hutu untuk
menghabisi semua warga Tutsi yang mereka samakan dengan kecoak (Tutsi Cokroach). Kata-
kata Tutsi Cockroach berulang kali disebutkan dengan menyebutkan keburukan-keburukan yang
telah dilakukan oleh Tutsi pada Hutu untuk benar-benar mengajak etnis Hutu berpartisipasi dalam
usaha ethnic cleansing terhadap etnis Tutsi.

Makalah ini akan menunjukkan bagaimana politisasi identitas, khususnya politisasi etnisitas Hutu
dan Tutsi di Rwanda dapat mengakibatkan terjadinya ethnic cleansing oleh Hutu terhadap Tutsi.
Untuk melakukannya, makalah ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan
memberikan tinjauan umum terhadap konsep etnisitas dan politisasi etnisitas. Bagian kedua akan
memberikan gambaran umum mengenai konflik etnis yang terjadi antara Hutu dan Tutsi di
Rwanda. Bagian ketiga akan melakukan analisis terhadap gambaran yang diberikan dalam bagian
kedua melalui konsep-konsep yang dijelaskan dalam bagian pertama. Bagian keempat akan
menyimpulkan hasil dari analisis tersebut.

Tinjauan Umum

Etnisitas adalah sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk
menyebut jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola sosial serta
keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan pengandaiannya tentang umat
manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis yang ditentukan secara genetik. Etnisitas
merujuk kepada penyatuan banyak ciri yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis:
gabungan dari loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma,
kepercayaan, dan nilai-nilai bersama.

Kelompok etnis seseorang adalah sebuah penanda yang begitu kuat, karena meskipun ia memilih
untuk berada di dalamnya, kelompok etnis adalah sebuah identitas yang tidak dapat disangkal,
ditolak, atau direnggut oleh pihak lain. Apabila ras muncul sebagai sebuah cara untuk
mengidentifikasi orang berdasarkan kriteria genetik yang tetap, maka etnisitas biasanya
digunakan sebagai sebuah ekspresi dari persepsi-diri yang positif, yang memberikan manfaat
tertentu bagi anggotanya. Keanggotaan dari sebuah kelompok etnis didasarkan pada kriteria
tertentu yang disepakati, meskipun sifat-dasar, kombinasi dan signifikansi dari kriteria tersebut
dapat diperdebatkan atau dapat berubah kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa konsep etnisitas
dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu.

Memang, hanya sedikit istilah yang digunakan dengan begitu banyak cara atau dengan begitu
banyak definisi – Isajaw membahas dua puluh tujuh definisi dari etnisitas di Amerika Serikat. Hal
ini mungkin disebabkan oleh karena kelompok etnis, meskipun tampaknya dapat didefinisikan
secara sosial, tetapi ia berbeda dilihat dari dalam dan luar kelompok yang bersangkutan atas dasar
kriteria budaya, sehingga ciri-ciri yang mendefinisikan satu ‘etnisitas’ tertentu biasanya
bergantung kepada berbagai tujuan dari pengidentifikasian kelompok tersebut. Tidak setiap
kelompok etnis akan memiliki seluruh ciri penentu yang mungkin ada, tetapi semua kelompok
etnis akan menunjukkan berbagai kombinasi dengan tingkat yang beragam. Lebih jauh lagi, baik
etnisitas maupun komponennya bersifat relatif dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, dan
seperti fenomena sosial lainnya, keduanya bersifat dinamis dan cenderung berubah. Hal ini
kembali menunjukkan bahwa konsep etnisitas dapat dikonstruksikan oleh aktor tertentu.

Istilah etnisitas cenderung digunakan untuk memberikan pemaknaan yang bersifat peyoratif.
Dalam penggunaannya yang paling awal dalam bahasa Inggris, istilah ‘etnis’ merujuk ke bangsa-
bangsa ‘kafir’ yang berbeda secara kultural. Beberapa penggunaan kontemporer dari istilah itu
mengidentifikasi etnisitas dengan kelompok-kelompok nasional di Eropa, dimana dengan
beberapa pengecualian, seperti kaum Basque, hubungan antara etnisitas dan kebangsaan tampak
telah dibenarkan. Penggunaan pertama dari kelompok etnis dalam kaitannya dengan asal
kebangsaan berkembang pada era migrasi besar-besaran dari bangsa-bangsa Eropa Timur dan
Selatan ke AS di awal abad ke-20. Nama, yang dengan mana sebuah kelompok etnis memahami
dirinya sendiri, kebanyakan masih berupa nama dari bangsa asal, terlepas dari apakah bangsa itu
masih ada atau tidak (misalnya Armenia).

Meskipun demikian, istilah ‘etnisitas’ benar-benar hanya beredar luas ketika kelompok-kelompok
‘nasional’ ini menemukan diri mereka sendiri sebagai minoritas dalam sebuah pengelompokan
nasional yang lebih besar, seperti yang terjadi sebagai buntut dari kolonisasi, baik itu melalui
imigrasi ke daerah-daerah jajahan yang telah ditempati seperti AS, Kanada, Australia, Selandia
Baru, atau dengan migrasi orang-orang daerah terjajah ke negara-negara penjajah di pusat. Satu
konsekuensi lebih lanjut dari perpindahan ini adalah bahwa bangsa-bangsa Eropa yang lebih tua
tidak lagi dapat mengklaim hanya terdiri dari satu kelompok etnis tertentu, tetapi bersifat
heterogen dan, sesuai dengan perjalanan waktu, terdiri dari campuran kelompok-kelompok
imigran yang terhibridasi.

Satu ciri dari penggunaan istilah tersebut adalah bahwa elemen marjinalisasi yang terlihat jelas
dalam penggunaan awal istilah ‘etnis’ seringkali masih tampak terimplikasi dalam penggunaan
kontemporernya. Apabila pada mulanya istilah itu merujuk ke bangsa-bangsa kafir, maka
sekarang istilah tersebut bermakna kelompok-kelompok yang tidak mainstream, kelompok-
kelompok yang secara tradisional tidak terhubung dengan mitologi nasional yang dominan. Jadi,
di koloni-koloni hunian (settler colonies) dari Kerajaan Inggris, kelompok Anglo-Saxon yang
dominan biasanya tidak dilihat sebagai sebuah kelompok etnis karena etnisitasnya sudah
mengkonstruksi mitologi identitas nasional. Identifikasi yang seperti itu tidak hanya terbatas pada
pengalaman kolonial, tetapi memang mengungkap sifat-dasar ‘imperialistik’ dari mitologi
nasional, serta implikasi politik dari hubungan apa pun antara etnisitas dan bangsa.
Politisasi Etnisitas

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa etnisitas merupakan konsep
untuk membedakan kelompok manusia yang cenderung bermakna peyoratif dan dapat
dikonstruksikan oleh aktor tertentu. Satu pertanyaan yang dapat timbul dari pernyataan tersebut
adalah: bagaimana cara mengkonstruksikan etnisitas? Di sinilah politik berperan.

Secara umum, etnis mempunyai fungsi natural untuk membedakan satu orang dengan orang
lainnya, terutama apabila orang tersebut berasal dari etnis yang berbeda. Perbedaan identitas
antara suatu etnis dengan etnis lainnya merupakan sebuah bentuk keragaman. Keragaman etnis
ini seharusnya bisa menjadi manfaat bagi satu etnis terhadap etnis lainnya untuk melengkapi
kekurangan dan menyempurnakan kelebihan diantara etnis-etnis tersebut.

Namun ketika masuk ke ranah politik, keragaman etnis ini justru banyak dipandang sebagai salah
satu perbedaan negatif yang dimana menyebabkan terjadinya kesenjangan dan persaingan.
Banyaknya keragaman etnis-etnis yang ada di sebuah Negara menimbulkan adanya keinginan di
sebuah kelompok etnis tertentu untuk berkuasa terhadap etnis lainnya. Keinginan ini muncul
karena adanya kepentingan dari suatu kelompok Etnis tertentu untuk menjadi lebih superior dan
lebih layak dari etnis lainnya. Dengan kekuasaan, tentunya tujuan kepentingan kelompok tersebut
dapat tercapai. Hal inilah menyebabkan timbulnya politisasi etnis di suatu Negara yang
menimbulkan adanya potensi konflik dan perang antar etnis.

Praktek politisasi etnis ini terjadi hampir di seluruh belahan penjuru dunia. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya politisasi etnis. Besarnya keinginan kelompok etnis mayoritas untuk
berkuasa di kursi pemerintahan tanpa adanya intervensi dari kelompok lain untuk mencapai
tujuan kelompoknya menjadi salah satu faktor utama. Hal ini biasanya membuat etnis lainnya
merasa terdiskriminasi dan tidak sedikit yang berujung konflik atau perang. Di Sudan misalnya,
banyaknya perbedaan antara mayoritas etnis bangsa Arab di dan minoritas non-Arab di Sudan
membuat terjadinya politisasi etnis oleh bangsa Arab yang berujung pada perpecahan yang
menyebabkan merdekanya Sudan Selatan pada tahun 2011. Politisasi etnis juga banyak terjadi di
Negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan juga di Indonesia. Di
Singapura terdapat dominasi etnis Cina terhadap etnis Melayu dan India, di Malaysia sebaliknya
dimana adanya dominasi etnis Melayu terhadap etnis Cina dan India, sedangkan di Indonesia pun
merasakan hal yang sama, dimana adanya kepentingan etnis terutama etnis Jawa untuk berkuasa
dan belum bisa menerima etnis minoritas seperti etnis Cina untuk duduk di kursi pemerintahan.
Faktor Imigrasi juga menjadi salah satu faktor utama dalam terjadinya politisasi etnis. Australia
misalnya, imigrasi yang dilakukan oleh etnis bangsa Inggris pada tahun 1850 membuat perlahan-
lahan bangsa Inggris tersebut menyingkirkan bangsa Aborigin, yang merupakan penduduk asli
pribumi Australia, dan mengambil alih tanah dan kursi kekuasaan milik mereka hingga saat ini.
Semenjak saat itu, budaya Australia perlahan-lahan berubah menjadi budaya “kebarat-baratan”
yang dibawa para imigran Inggris tersebut dan menjadikan bangsa Inggris sebagai masyarakat
mayoritas dan masyarakat Aborigin sebagai minoritas. Hal ini membuat timbulnya dominasi
bangsa Inggris di sistem pemerintahan Australia terhadap bangsa Aborigin yang saat ini hanya
sebesar 3% dari seluruh jumlah penduduk Australia.

Konflik Etnis di Rwanda

Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan
Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Negeri ini juga dikenal sebagai
“negeri seribu bukit” karena memang kondisi geografisnya yang terdiri dari banyak bukit dan
merupakan wilayah yang subur[12]. Masyarakat Rwanda didominasi oleh dua etnis besar yaitu
Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh
maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku
Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih
tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang,
postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan
mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak
pendek, hidungnya besar dan pesek.

Perbedaan utama antara keduanya adalah etnis Tutsi dianggap sebagai etnis yang lebih mapan
dan lebih tinggi status sosialnya karena etnis Tutsi memiliki kerajaannya sendiri di tanah
Rwanda. Mereka yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan pada dasarnya sudah
dapat dikategorikan ke dalam bagian dari etnis Tutsi. Penduduk setempat yang tidak memiliki
kedekatan dengan orang-orang kerajaan di pihak lain hanya dapat berprofesi sebagai petani dan
pekerja kasar. Golongan profesi inilah yang didominasi oleh etnis Hutu.

Pada 1894 Rwanda menjadi jajahan Jerman. Namun Jerman tidak membubarkan kerajaan milik
orang-orang Tutsi. Jerman membiarkan kerajaan mereka berdiri selama mereka mau tunduk
terhadap orang-orang Jerman dan membiarkan Jerman menempatkan penasehatnya disana.
Namun pasca-kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, Rwanda menjadi daerah Jajahan Belgia
sejak tahun 1918. Semenjak Belgia berkuasa inilah perbedaan antara etnis Hutu dan Tutsi
Semakin menonjol. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk
menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka
mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi
posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar
diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara
tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.

Pemerintah Belgia juga melakukan sensus dan menambahkan kolom etnis dalam kartu tanda
penduduk setempat untuk membedakan orang Hutu dengan Tutsi. Dengan adanya kebijakan ini,
orang-orang Hutu-pun menjadi semakin sulit untuk menempati posisi-posisi elit dalam birokrasi.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan
kecemburuan sosial yang akut dan mengakar.

Menyusul terjadinya gelombang kemerdekaan di negara-negara Asia dan Afrika, Belgia


berencana untuk memberikan kemerdekaan kepada Rwanda. Rencana Belgia tersebut lantas
menimbulkan konflik antara komunitas Tutsi yang menginginkan Rwanda merdeka sebagai
kerajaan yang didominasi oleh orang-orang Tutsi, dan komunitas Hutu yang menginginkan
Rwanda merdeka sebagai republik. Hasilnya, Hutu menang dengan dukungan terselubung dari
Belgia sehingga Rwanda merdeka sebagai Republik di Tahun 1962. Tentu saja keputusan ini
sangat mengejutkan Tutsi yang telah begitu lama memiliki kekuasaan di Rwanda. Tentunya Hutu
sangat gembira dengan keputusan Belgia, dan mereka mengambil alih kekuasaan di Rwanda.
Konflik menjelang kemerdekaan tersebut juga menyebabkan ratusan ribu orang-orang Tutsi
melarikan diri ke luar negeri, khususnya ke Uganda dan Burundi.

Awal dari Ethnic Cleansing

Masa dekolonisasi Belgia membawa Tutsi pelan-pelan terpinggirkan dari Rwanda, karena
Rwanda telah didominasi oleh Hutu. Hal ini membuat Tutsi harus mengungsi ke negara–negara
tetangga sekitar Rwanda seperti Uganda dan Burundi. Pada 1988, komunitas perantauan Tutsi
mendirikan RPF (Rwanda Patriotic Front), yang dipimpin oleh Paul Kagame. Mereka adalah
sebuah kelompok militer yang terlatih untuk merebut kekuasaan dari Hutu yang terus
mendominasi Rwanda. Youri Musevini selaku pemimpin Uganda sendiri mendukung pendirian
dan aktivitas RPF sebagai balas jasa karena semasa perang sipil uganda di tahun 1983-1986 dulu,
orang-orang Tutsi di Uganda ikut menjadi bagian dari pasukan Musevini dan simpatisannya. Pada
1990 mereka menginvasi Rwanda dan meminta posisi dalam pemerintahan. Namun Rwanda
masih menolaknya. Mereka menggunakan taktik gerilya dan serangan sporadis yang membuat
pasukan Rwanda sulit menghancurkan RPF.

Juvenal Habyarimana yaitu Presiden Rwanda dari kalangan Hutu yang saat itu berkuasa ingin
memberikan posisi bagi para Tutsi serta melakukan perjanjian perdamaian. Usaha ini dilakukan
oleh Presiden dalam rangka pertanggungjawabannya terhadap keadaan Rwanda, dan juga
tuntutan dari RPF yang membuat Presiden perlu mempertimbangkan nasib para Tutsi yang juga
merupakan bagian dari Rwanda. Pada bulan Juli 1992 di Arusha, Tanzania dilakukan
perundingan yang difasilitasi oleh Organisasi Uni Afrika. Kedua belah pihak yaitu RPF dan
pasukan Rwanda sepakat untuk berhenti mengangkat senjata, mendirikan pemerintahan bersama,
dan memberi izin untuk bagi pengamat netral untuk mengawasi jalannya proses perdamaian.
Dengan demikian, perang sipil di Rwanda dinyatakan berakhir. Namun waktu membuktikan
bahwa banjir darah yang sebenarnya baru akan dimulai.

Pada tanggal 6 April 1994, pesawat pribadi milik presiden Habyarinama (hadiah dari presiden
prancis Francois Mitterand) ditembak jatuh dekat bandar udara Kigali, menewaskan Habyarinama
dan presiden Burundi Cypien Ntarymira. Kedua presiden tersebut baru saja kembali dari
pelaksanaan KTT para pemimpin regional yang berlangsung di Tanzania. Peristiwa ini membuat
situasi memanas dan memicu kembali pecahnya konflik. Peristiwa ini mengawali terjadinya
upaya pemusnahan etnis dan pembantaian secara sistematis dan terorganisir atas etnis Tutsi dan
oposisi Hutu, serta kembali memicu perang sipil di Rwanda. Terbunuhnya Presiden menjadikan
Rwanda seketika menjadi horor untuk para Tutsi yang dituduh telah merekayasa pembunuhan
Presiden, namun sampai kasus ini selesai ternyata tidak bisa dibuktikan bahwa pembunuhan itu
adalah perbuatan Tutsi. Peristiwa inilah yang menjadi latar dalam film Hotel Rwanda.

Para Hutu melakukan operasi dengan melakukan sweeping masal kartu identitas warga negara
Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara
Hutu dan Tutsi. Dalam salah satu adegan di Hotel Rwanda, ditunjukkan bahwa pasukan militer
Rwanda merazia KTP seluruh warga Rwanda dan langsung membunuh warga yang diketahui
memiliki KTP dengan identitas Tutsi. Untuk membantu militer, warga sipil Hutu di Rwanda
dipersenjatai dengan senjata tajam dan ikut membantu melakukan razia dari rumah ke rumah
untuk mencari orang-orang Tutsi dan membunuh mereka. Awalnya dunia Internasional hanya
berfikir bahwa pembantaian tersebut adalah kekerasan biasa yang lumrah terjadi dalam perang.
Namun menyusul terjadinya pembantaian anak-anak etnis Tutsi, barulah dunia Internasional
menyadari bahwa aktivitas genosida atau pemusnahan etnis sedang berlangsung. Keadaaan
Rwanda pada saat itu memang benar-benar memprihatinkan. Jumlah korban diperkirakan sekitar
500 ribu sampai 1 juta orang.
Genosida di Rwanda baru berakhir setelah pasukan RPF berhasil menguasai negeri tersebut.
Serangan-serangan ofensif yang dilancarkan oleh RPF atas pasukan pemerintah akhirnya
membuahkan hasil. Dalam waktu 3 bulan, pasukan RPF berhasil menguasai wilayah wilayah
penting sebelum akhirnya menyatakan gencatan senjata pada tanggal 18 Juli. Pasukan pemerintah
dan misil Hutu Rwanda sudah tidak bisa diandalkan setelah banyak dari mereka yang lebih
memilih untuk melarikan diri ke sebelah barat menuju perbatasan Rwanda-Zaire (sekarang
Republik Demokratik Kongo). Dua minggu setelah menguasai kota Kigali, RPF mengumumkan
pemerintahan baru yang diantaranya beranggotakan para pemimpin RPF dan menteri-menteri
yang sebelumnya terpilih untuk melaksanakan pemerintahan transisi yang sebagaimana telah di
sepakati dalam perjanjian Arusha.

Analisis

Berdasarkan penjelasan di bagian pertama, dapat dikatakan bahwa politisasi etnisitas adalah
upaya untuk melakukan konstruksi positif terhadap etnis ‘sendiri’ dan melakukan konstruksi
negatif terhadap etnis ‘lain’. Hal itu dilakukan untuk mengidentifikasikan etnis ‘lain’ tersebut,
sehingga mereka akan tunduk pada etnis ‘sendiri’. Semenjak masa kerajaan, politisasi etnisitas
telah terjadi di antara etnis Hutu dan Tutsi. Posisi Tutsi sebagai golongan bangsawan memberikan
mereka kekuasaan untuk melakukan konstruksi positif terhadap etnis mereka sendiri dan
membentuk konstruksi negatif terhadap etnis Hutu. Hal ini mengakibatkan selama bertahun-tahun
etnis Tutsi selalu menjadi golongan superior sementara etnis Hutu selalu menjadi golongan
inferior. Hal ini ditunjukkan oleh pekerjaan etnis Hutu yang tidak pernah lebih tinggi daripada
petani atau pekerja kasar. Politisasi etnisitas telah melanggengkan posisi Tutsi sebagai penguasa
Rwanda sementara menjustifikasi Hutu sebagai subjek yang tak berdaya.

Ketika bangsa Barat masuk dan mengkolonialisasi Rwanda, peran untuk melakukan politisasi
etnisitas beralih ke penjajah. Dengan para penjajah lebih memilih etnis Tutsi untuk mengerjakan
pekerjaan ‘kerah putih’, secara langsung mereka telah melanggengkan anggapan bahwa etnis
Tutsi jauh lebih superior dibandingkan etnis Hutu yang hanya dipekerjakan pada pekerjaan ‘kerah
biru’. Bangsa Barat mungkin memilih etnis Tutsi karena penampilan fisik mereka yang mirip
(hidung ramping dan mancung serta postur yang tinggi), namun secara tidak sadar mereka
memilih etnis Tutsi karena mereka percaya bahwa etnis Tutsi berdasarkan sejarahnya sebagai
penguasa Rwanda jauh lebih superior dibandingkan etnis Hutu. Perhatikan bahwa bangsa Barat
dalam hal ini telah terkena dampak dari politisasi etnisitas yang dilakukan Tutsi pada masa
kerajaan dan mereka telah melanjutkan usaha tersebut ketika menjajah. Bahkan, bangsa Barat
membuat inovasi dalam melakukan politisasi etnisitas dengan menciptakan sistem kartu identitas
yang di dalamnya terdapat tulisan besar yang menunjukkan etnisitas warga tersebut. Dengan
begitu, etnis Hutu dan Tutsi menjadi lebih mudah diidentifikasi sehingga lebih mudah untuk
dipolitisasi.

Setelah kemerdekaan Rwanda dari Belgia, peran untuk melakukan politisasi etnisitas beralih lagi,
namun kali ini ke etnis Hutu. Hal ini disebabkan Belgia memutuskan untuk memenangkan
proposal Hutu yang menginginkan Rwanda menjadi sebuah republik sehingga siapa saja dapat
menjadi pemimpin. Dengan mengatakan siapa saja, tentu mereka telah yakin bahwa bangsa Hutu-
lah yang akan memegang kekuasaan secara mereka secara jumlah jauh lebih banyak
dibandingkan etnis Tutsi. Dengan Tutsi memegang kekuasaan, mereka pun memiliki kemampuan
untuk melakukan konstruksi positif terhadap identitasnya dan membentuk konstruksi negatif
terhadap Tutsi. Awalnya hal ini dilakukan tidak secara terang-terangan karena Tutsi masih
memiliki sisa kekuatan di Rwanda. Namun begitu banyak etnis Tutsi yang berimigrasi ke negara-
negara tetangga, tindakan Hutu menjadi semakin keras, antara lain dengan menyebutkan slogan
“Tutsi Cokroach” dan “Hutu Power” sambil melakukan long march di jalanan. Terbukti bahwa
begitu pesawat yang ditumpangi oleh Presiden Juvenal Habyarimana ditembak jatuh, etnis Hutu
tanpa ragu-ragu langsung menuduh etnis Tutsi sebagai pelakunya, membuktikan bahwa mereka
mengkonstruksikan etnis Tutsi sebagai kelompok yang haus kekuasaan dan tidak terima pada
dominasi Hutu yang lebih ‘benar’.

Permasalahannya, etnis Tutsi tidak tinggal diam diperlakukan dengan rendah oleh Hutu. Mereka
membentuk Rwanda Patriotic Front (RPF) dengan dibantu oleh Uganda untuk merebut kembali
Rwanda dari kekuasaan Hutu. Etnis Hutu yang tidak mampu membuat etnis Tutsi tunduk
kepadanya mulai merasa terancam dengan keberadaan etnis Tutsi yang masih dianggap superior
sebagai warisan panjang sejarah masa kerajaan dan kolonialisme dimana etnis Tutsi selalu
dikonstruksikan sebagai etnis yang lebih superior. Rasa terancam tersebut menimbulkan
keinginan untuk “menghapus” etnis Tutsi agar tidak ada lagi yang dapat mengambil posisi
mereka sebagai penguasa. Keinginan inilah yang mengantarkan kita pada peristiwa ethnic
cleansing di Rwanda tahun 1994 yang menewaskan lebih dari satu juta warga Tutsi, di antaranya
adalah anak-anak. Anak-anak dipilih oleh Hutu sebagai targetnya untuk menghapus generasi
mendatang milik etnis Tutsi.

Kesimpulan
Genosida adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia terberat di dunia ini.
Untuk itu peristiwa ini diharapkan tidak akan terulang lagi dalam peradaban dunia ini. Identitas
dan etnisitas memang merupakan salah satu isu sensitif yang kerap menjadi pemicu berbagai
terjadinya konflik. Apalagi ditambah dengan banyaknya faktor sejarah maupun eksternal yang
turut memanaskan kondisi antar etnis.

Peristiwa berdarah yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 merupakan salah satu peristiwa
genosida terbesar di dunia. Masalah etnsitas merupakan faktor utama penyabab konflik tersebut.
Konflik yang terjadi antara etnis Hutu dan Tutsi ini bukan disebabkan oleh faktor material,
namun lebih kepada karena adanya politisasi etnisitas yang berperan penting dalam memicu dan
memperkeruh konflik. Ketika masuk ke ranah politik, keragaman etnis ini justru banyak
dipandang sebagai salah satu perbedaan negatif yang dimana menyebabkan terjadinya
kesenjangan dan persaingan Tindakan politisasi etnisitas yang dilakukan oleh sekelompok orang-
orang yang memiliki kepentingan untuk berkuasa dapat menimbulkan peristiwa berdarah seperti
genosida di Rwanda yang merupakan salah satu hasilnya.

Ditulis oleh: Gema Ramadhan Bastari, Dinar Syafira Haruka, Farah Aisha, dan Jino Dwi Putra
_________________________________________________________
[1] Pembelokan Linguistik adalah sebuah fenomena dalam perkembangan Ilmu Hubungan Internasional yang
menyebabkan lahirnya pendekatan interpretif-hermeneutik sebagai metode baru dalam mempelajari ilmu
Hubungan Internasional dan berbagai teori-teori reflektivis, seperti Postmodernisme, Konstruktivisme, dan
Teori Kritis. Lebih lanjut lihat Bob Sugeng Hadiwinata, “Pembelokan Linguistik (The Linguistic Turn) dan
Munculnya Teori-Teori Reflektivis dalam Studi Hubungan Internasional,” dipresentasikan dalam Simposium
Ilmu Hubungan Internasional: Menjawab Tantangan Ilmu HI dalam Sketsa Kontemporer di Universitas
Paramadina, (Jakarta:2013), hlm. 4-6.

Anda mungkin juga menyukai