Penatalaksanaan Reaksi Obat
Penatalaksanaan Reaksi Obat
Oleh:
ERIC YUDHIANTO
140100180
Supervisor:
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2018
PATOGENESIS ERUPSI OBAT ALERGIK
Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau
mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan
keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.1
Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan
pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO),
yang dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas.2 Insidens RSO yang berat
mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %.3
Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah
mengalami RSO.2 Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang
dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA
merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian obat.4,5,6 ROA
terjadi pada 6 - l0 % kasus RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat
hingga mengancam jiwa. RSO dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau
kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi
obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi
obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).1 Erupsi
Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat Alergik : EOA) merupakan manifestasi
tersering dari ROA.7,8 Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam
obat, sedangkan satu macam obat dapat menimbulkan berbagai macam erupsi.7
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap
obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada
penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk
modifikasi fungsi fisiologis.9 Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2
kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi,
lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan
dapat terjadi pada tiap individu.3,4,10 Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari
kasuskasus RSO.11 Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi,
tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan
dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan.3,4,7,10
Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas),
dan pseudoalergi.3,4,10 Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat
alergik.12 Belakangan ditambahkan dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan
dengan dosis dan waktu (tipe C) dan reaksi lambat (tipe D).9,10 Reaksi tipe C tidak
Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada
ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan aksis
hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi
2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut
sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).9 Reaksi tipe D tidak lazim terjadi,
biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat
setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat.9,10
Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah penghentian
obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Baru - baru ini ditambahkan
kategori tipe yang keenam (tipe F), yaitu kegagalan terapi yang tidak diharapkan.
Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan
oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat,
khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.9
ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).3 ROA memiliki beberapa
karakteristik klinis tertentu, yaitu :
IMUNOPATOGENESIS
a. Eksantema fikstum
Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui
molekul major histocornpatibitityc ontpelx( MHC). Seagai contoh, antigen eksogen
misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui
perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh
molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen
endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CDB8+. Sel T tidak
hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau
sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.5 Mekanisme
imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh APC, yaitu sel
dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan
interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada
APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk
sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.8
Beberapa kemungkinan presentasi Kebanyakan obat didetoksifikasi itraseluler
melalui isoenzim sitokrom P450.
C. Tidak ada aktivasi Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung,
dan agak labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC,
peptida atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.5
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan
faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4 menyebabkan
polarisasi kuat kearah fenotipe Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-
γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel
mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5
untuk eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast.
Sedangkan sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarari respons imun yang
berbeda- beda. Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1, tetapi bukan Th2, juga
mempreantarai respons imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai
hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek
sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan
meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada
antigen dan patogen yang spesifik. Zanni melaporkan adanya klon sel T spesifik
obat. Mayoritas klon sel T tersebut mengekspresikan reseptor sel T tipe αβ,
sebagian kecil mengekpresikan reseptor tipe γδ, seperti ada sel T yang mengenali
lidokain. Pola produksi sitokin oleh klon sel T yang spesifik untuk obat adalah
bermacam - macam. Klon yang spesifik untuk benzil penisilin terutama
menghasilkan pola menyerupai Th1 dengan produksi IL-2 dan IFN-γ yang tinggi.
Klon yang spesifik untuk sulfametoksasool dan lidokain memperlihatkan campuran
fenotip ThO dan Th2.5 Aktiviasi Thl menyebabkan produksi sitokin sepertiI L-2
dan IFN-γ, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi
seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi
Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang
mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.8
Reaksi Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan
Gell yaitu tipe I, reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I), reaksi sitotoksik (tipe II),
reaksi komplek imun (tipe III), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).
Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV
oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan
salah satu dari keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk
mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme
yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.3,7
Tipe I
Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan
sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantarai komplemen.15 reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme
pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian
mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks
obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi
komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel
menginduksi respons imun yang mengikat langsung antigen spesifik jaringan
(misalnya α-methyl-dopa).14 Antibodi yang tebentuk mengaktifkan sel K yang
mempunyai reseptor Fc sebagai efektor antibody dependent cellular cytotoxicity
(ADCC). Selanjutnya ikatan antigen antibodi mengaktifkan komplemen melalui
reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Sedormid
(sedatif) dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya
akan menghancurkan trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura.
Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih, mengakibatkan agranulositosis.
Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah
merah, mengakibatkan anemia hemalitik. Kerusakan sel dapat terjadi oleh karena
sitolisis melalui komplemen atau fagositosis melalui reseptor untuk Fc atau C3b.
Tipe III
Imunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. APC (misal sel
Langerhans), mempresentasikam antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah
tersensitisasi mengenali antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian
limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation
factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.15
Contoh klasik adalah dermatitis kontak alergik. Erupsi eksematosa, eritrodermik,
dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit
efaktor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa,
likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-
sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug emption, dan eritema
nodosum. Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun
dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan
antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel,
misalnya ADCC.15
PENGOBATAN
1. Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FKUI , Jakarta ; 1995
: 3 – 6.
2. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic diseases,
5th Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.
3. Gruchalla RS. Understanding drug allergies. J. Alergy Clin Immunol 2000 ; 105 : S637
– 5644.
4. DeShazo RD, Kemp S. Allergic reactions to drug and biologic agents. JAMA 1997 ; 278
: 1895 – 1906.
5. Zanni MP, et al. Involement of T cells in drug-induced allergies. TIPS 1998 ; 19 : 308 –
310.
7. Gruchalla RS, Beltrani VS. Drug – induced cutaneus reactions. Dalam : Leung DYM,
Greaves MW. Allergic skin disease, Marcel Dekker, Inc : New York – Basel, 2000 : 307 –
335.
9. Edwards IR, Aronson JK. Advrese drug reactions : definitions, diagnosis, and
management. LANCET 2000 ; 356 : 1255 – 2259.
10. Gruchalla RS. Clinical assessment of drug-induced disease. Lancet 2000 ; 356 : 1506
– 1511.
11. Knowles SR. et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite syndrome.
Lancet 2000 ; 356 : l587 – 1591.
12. Merk HF. Clinical aspects ; drug allergy. Dalan : Brujinzeel CAFM, Knol EF.
Immunology and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser Verlag Basel /
Switzeland ; 2000 : 157 – 172.
13. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N.Egl J Medn 1994
;19 : 1272 – 1285.
14. Wintroub BU, Stem RS. Drug reactions. Dalam : Jordon RE. Immunologic diseases of
the skin. Appleton & Lange : Houston Texas ; 1991 : 489 – 498.
16. Wedner H.J. Drug Allergy. Dalam : Danile P. Stites et al. Medical Immunology, 4th.
Appleton & Lange : Houston – Texas 1997 : 433 – 443.