Anda di halaman 1dari 16

TUGAS PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

PATOGENESIS DAN PENATALAKSANAAN REAKSI ALERGI OBAT

Oleh:

ERIC YUDHIANTO

140100180

Supervisor:

dr. Syahril Rahmat Lubis, SpKK (K)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
PATOGENESIS ERUPSI OBAT ALERGIK

Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau
mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan
keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.1
Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan
pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO),
yang dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas.2 Insidens RSO yang berat
mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %.3
Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah
mengalami RSO.2 Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang
dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA
merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian obat.4,5,6 ROA
terjadi pada 6 - l0 % kasus RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat
hingga mengancam jiwa. RSO dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau
kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi
obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi
obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).1 Erupsi
Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat Alergik : EOA) merupakan manifestasi
tersering dari ROA.7,8 Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam
obat, sedangkan satu macam obat dapat menimbulkan berbagai macam erupsi.7

REAKSI SIMPANG OBAT

Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap
obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada
penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk
modifikasi fungsi fisiologis.9 Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2
kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi,
lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan
dapat terjadi pada tiap individu.3,4,10 Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari
kasuskasus RSO.11 Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi,
tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan
dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan.3,4,7,10
Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas),
dan pseudoalergi.3,4,10 Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat
alergik.12 Belakangan ditambahkan dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan
dengan dosis dan waktu (tipe C) dan reaksi lambat (tipe D).9,10 Reaksi tipe C tidak
Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada
ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan aksis
hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi
2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut
sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).9 Reaksi tipe D tidak lazim terjadi,
biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat
setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat.9,10
Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah penghentian
obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Baru - baru ini ditambahkan
kategori tipe yang keenam (tipe F), yaitu kegagalan terapi yang tidak diharapkan.
Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan
oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat,
khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.9

REAKSI OBAT ALERGIK

ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).3 ROA memiliki beberapa
karakteristik klinis tertentu, yaitu :

1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.3,4

2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.3,4,7

3. umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.3,4


4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah
kisaran dosis terapeutik.3,7

5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses


alergi.3

6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.3

IMUNOPATOGENESIS

Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik


dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :

1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :

a. IgE : eritema, urtikaria, angioedema.

b. IgG : purpura (vaskulitis), erupsi morbiliformis.


2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas

3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik

a. Eksantema fikstum

b. Eritema multifomis (sindrom Stevens-Johnson)

c. Nekrolisis epidermal toksik

4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.1

Aspek immunopatogensisnya adalah:

A.Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten

Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak


imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar obat-
obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat molekul rendah,
biasanya kurang dari 1000 Dalton, sehingga merupakan imunogen lemah atau
bahkan tidak imunogenik.2,5,14 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat
menjadi imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier
makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks hapten-
karier, sehingga pengolahan antigen menjadi efektif.2,5 Untungnya, sebagian besar
obat merupakan molekul yang stabil15 dan memiliki sedikit kemampuan atau tidak
mampu (tidak cukup reaktif) membentuk ikatan kovalen dengan komponen
jaringan.14,15 Hal ini menerangkan rendahnya insidens alergi obat.2 Ternyata
terdapat beberapa obat dengan BM rendah (misalnya polimiksin), yang bersifat
irnunogenik tanpa konjugasi dengan jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum
diketahui, imunogenesitas suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan
obat membentuk polimer rantai panjang.16 Sedangkan obat-obatan dengan berat
molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun
dan memicu reaksi hipersensitivitas.2 Kecenderungan obat tertentu untuk
menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung
membentuk metabolit yang sangat reaktif.2 Pemahaman baru tentang pengenalan
obat oleh sistem imun berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi
alergenik sangat bergantung pada struktur kimia obat.2,5 Peningkatan ukuran
molekul dan kompleksitas berhubungan dengan peningkatan kemampuan untuk
memicu respons imun.2,15 Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas harus mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk
kimia yang reaktif.3 βlaktam ; yang secara spontan terbuka membentuk kelompok
penisiloil yang mengikat protein secara kovalen, membentuk kompleks hapten -
karier. Kesiapan β - laktam untuk mengikat protein secara kovalen inilah yang
merupakan alasan seringnya kejadian alergi yang diinduksi obat- obatan dari
kelompok ini.5,6 Penelitian lain pada IgE dan IgG manusia terhadap sulfonamid
menunjukkan bahwa determinan sulfamidoil merupakan determinan sulfonamid
yang utama.2 Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi,
obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik
sehingga mudah dieksresi.3,7,8 Jika metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang
adekuat, dapat menyebabkan toksisitas langsung pada sel atau hipersensitivitas
yang diperantarai imun.3,7 Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi
fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis,
dan reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan
senyawa inaktif yang mudah dliekskresi.3,7 Reaksi oksidasi membutuhkan berbagai
isoezim sitokrom P450, monooksigenase yang mengandung flavin, prostaglandin
sintetase, dan bermacammacam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai
oleh berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (ST),
dan NAT.7,8 Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali
mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat. Metabolit reaktif obat yang
tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat, sehingga
menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi
tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif
sulfonamid. Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten
yang terikat secara kovalen dengan makromolekul yaitu protein, atau membran
permukaan sel. Pengikatan tersebut membentuk imunogen besar dan multivalen
yang dapat menginisiasi respon imun.3 Respon imun dapat langsung terhadap obat
atau rnetabolitnya, tapi juga terhadap determinan antigen baru (neoantigen) yang
terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein misalnya trombositopenia karena
kuinin, terbcntuk antibodi IgG yang spcsifik untuk kuinin yang terikat pada
permukaan trombosit. Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan
(komponen jaringan lain) dapat mengubah temat pengikatan obat pada molekul
protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada protein
jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun.
Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity. Contoh yang baik untuk
fenomenai ni adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi
hidralazin.16 Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga
dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul
antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau
metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul membentuk hapten-karier yang
multivalen penting untuk insiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas.
Ligan yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat
menghambat respon imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada
reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, beratnya
dan angka kejadian ROA.2 Kulit merupakan organ yang aktif bermetaboisme, m
engandung enzim untuk memetabolisme obat baik fase I dan II. Isoenzim sitokrom
P 450 multipl berada dikulit.8 Netrofil, monosit, dan keratinosit memiliki enzim
yang potensial dapat mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif. Kulit juga
merupakan organ imunologis yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik
pada patogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik dan mungkin dapat
menerangkan mengapa kulit merupakan organ tersering mengalami ROA.7,8

B. Pengenolan Obat Oleh Sel T

Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui
molekul major histocornpatibitityc ontpelx( MHC). Seagai contoh, antigen eksogen
misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui
perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh
molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen
endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CDB8+. Sel T tidak
hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau
sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat obatan yang
dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.5 Mekanisme
imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh APC, yaitu sel
dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan
interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada
APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk
sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.8
Beberapa kemungkinan presentasi Kebanyakan obat didetoksifikasi itraseluler
melalui isoenzim sitokrom P450.

A. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat


protein secara langsung. Jalan ini dialami sufametoksasol, dimana metabolit reaktif
yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein
secara kovalen.

B. Aktivasi ekstraseluler Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan


atau melalui metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate
dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat protein
ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi
peptida - obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.

C. Tidak ada aktivasi Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung,
dan agak labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC,
peptida atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya,
ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.5
Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan
faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4 menyebabkan
polarisasi kuat kearah fenotipe Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-
γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel
mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5
untuk eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast.
Sedangkan sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarari respons imun yang
berbeda- beda. Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1, tetapi bukan Th2, juga
mempreantarai respons imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai
hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek
sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan
meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada
antigen dan patogen yang spesifik. Zanni melaporkan adanya klon sel T spesifik
obat. Mayoritas klon sel T tersebut mengekspresikan reseptor sel T tipe αβ,
sebagian kecil mengekpresikan reseptor tipe γδ, seperti ada sel T yang mengenali
lidokain. Pola produksi sitokin oleh klon sel T yang spesifik untuk obat adalah
bermacam - macam. Klon yang spesifik untuk benzil penisilin terutama
menghasilkan pola menyerupai Th1 dengan produksi IL-2 dan IFN-γ yang tinggi.
Klon yang spesifik untuk sulfametoksasool dan lidokain memperlihatkan campuran
fenotip ThO dan Th2.5 Aktiviasi Thl menyebabkan produksi sitokin sepertiI L-2
dan IFN-γ, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi
seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi
Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang
mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.8

C. Klasifikasi Realesi Alergik

Reaksi Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan
Gell yaitu tipe I, reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I), reaksi sitotoksik (tipe II),
reaksi komplek imun (tipe III), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).
Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV
oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan
salah satu dari keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk
mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme
yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.3,7

Tipe I

Tipe I terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2


molekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil12,15, mengakibatkan
degranulasi serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal leukotrien
dan prostaglandin) dari sel.15 Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria
dengan atau tanpa angioederma. Penisilin merupakan penyebab utama erupsi obat
yang IgE dependent.15
Tipe II

Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan
sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantarai komplemen.15 reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme
pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian
mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks
obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi
komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel
menginduksi respons imun yang mengikat langsung antigen spesifik jaringan
(misalnya α-methyl-dopa).14 Antibodi yang tebentuk mengaktifkan sel K yang
mempunyai reseptor Fc sebagai efektor antibody dependent cellular cytotoxicity
(ADCC). Selanjutnya ikatan antigen antibodi mengaktifkan komplemen melalui
reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Sedormid
(sedatif) dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya
akan menghancurkan trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura.
Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih, mengakibatkan agranulositosis.
Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah
merah, mengakibatkan anemia hemalitik. Kerusakan sel dapat terjadi oleh karena
sitolisis melalui komplemen atau fagositosis melalui reseptor untuk Fc atau C3b.

Tipe III

Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi


IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen
teraktivasi melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ketempat
tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul.
Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di
jaringan. Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi
urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada
awal reaksi semm sickness diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia. Reaksi ini
berhubungan dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan
obat, yang mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan
anafilatoksin (C3a, C5a). Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain
dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan
penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi disangka disebabkan oleh
deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang
menyebabkan peradangan yang diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme,
peradangan yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme
yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase
lambat.17
Tipe IV

Imunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. APC (misal sel
Langerhans), mempresentasikam antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah
tersensitisasi mengenali antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian
limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation
factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.15
Contoh klasik adalah dermatitis kontak alergik. Erupsi eksematosa, eritrodermik,
dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit
efaktor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa,
likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-
sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug emption, dan eritema
nodosum. Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun
dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan
antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel,
misalnya ADCC.15

PENGOBATAN

Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena


kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya

Pengobatan dibagi dalam:

1). Pengobatan kausal,

2). Pengobatan simtomatik.

1. Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka


(apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari
obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan).
2. Pengobatan simtomatik : Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe
reaksi yang mendasarinya : a. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi
syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau
intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan
pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit,
meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah
komplikasi. b. Pada reaksi tipe yang lain : Penghentian penggunaan obat tersangka
umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya
reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan antihistamin
dapat dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FKUI , Jakarta ; 1995
: 3 – 6.

2. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic diseases,
5th Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.

3. Gruchalla RS. Understanding drug allergies. J. Alergy Clin Immunol 2000 ; 105 : S637
– 5644.

4. DeShazo RD, Kemp S. Allergic reactions to drug and biologic agents. JAMA 1997 ; 278
: 1895 – 1906.

5. Zanni MP, et al. Involement of T cells in drug-induced allergies. TIPS 1998 ; 19 : 308 –
310.

6. Coleman JW , Blanca M. Mechanistuis of drug allergy. Trend immunglogy today 1998


; 191 : 96 – 198.

7. Gruchalla RS, Beltrani VS. Drug – induced cutaneus reactions. Dalam : Leung DYM,
Greaves MW. Allergic skin disease, Marcel Dekker, Inc : New York – Basel, 2000 : 307 –
335.

8. Sitakalin C. Drug eruption. Dalam : Sitakalin C. Cutaneous drug reactions. Institute of


dermatology : Bangkok - T hailand ; ………… : 1 – 13.

9. Edwards IR, Aronson JK. Advrese drug reactions : definitions, diagnosis, and
management. LANCET 2000 ; 356 : 1255 – 2259.

10. Gruchalla RS. Clinical assessment of drug-induced disease. Lancet 2000 ; 356 : 1506
– 1511.

11. Knowles SR. et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite syndrome.
Lancet 2000 ; 356 : l587 – 1591.
12. Merk HF. Clinical aspects ; drug allergy. Dalan : Brujinzeel CAFM, Knol EF.
Immunology and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser Verlag Basel /
Switzeland ; 2000 : 157 – 172.

13. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N.Egl J Medn 1994
;19 : 1272 – 1285.

14. Wintroub BU, Stem RS. Drug reactions. Dalam : Jordon RE. Immunologic diseases of
the skin. Appleton & Lange : Houston Texas ; 1991 : 489 – 498.

15. Alanko K, Hannuksela M. Mechanisms of drug reactions. Dalam : Kauppinen K, et al.


Skin reactions to drugs. CRC Press : Boca Raton – New York ; l998 : 18 23.

16. Wedner H.J. Drug Allergy. Dalam : Danile P. Stites et al. Medical Immunology, 4th.
Appleton & Lange : Houston – Texas 1997 : 433 – 443.

17. Dietrich A, et al. Low N-accetilating capacity in patients with Steven-Jhonson


syndrome and toxic epidermal necrolysis. Exp. Dermatol 1995 ; 4 : 313 – 316.

Anda mungkin juga menyukai