Anda di halaman 1dari 20

Leptospirosis Sebagai Infeksi Tropik Pada Manusia

Shintia Novotna Katoda


102014094/F3
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta
Email : shintia.2014fk094@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme


Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya. Penyakit ini pertama
sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai
dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang
beratnya dikenal sebagai Weil disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti
mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, cane cutter fever
dan lain-lain.1,2
Leptospira menyebabkan penyakit yang dikarakterisasi oleh stadium klinik yang
disertai remisi dan eksaserbasi. Organisme leptospira merupakan bakteri spirochaeta yang
sangat halus, berlilit padat (ketat) dan bersifat obligat aerob, yang ditandai oleh gerakan
bertipe fleksuosa yang unik. Genus ini dibagi menajdi dua spesies, leptospira interrogans
yang patogenik dan leptospira biflexa yang hidup bebas.1
Serotipe L. interrogans merupakan penyebab penyakit leptospirosis, yang merupakan
penyakit zoonis. Hospes utama penyakit ini adalah mamalia liar maupun mamalia peliharaan,
dan penyakitnya menyebabkan kerugian ekonomis pada industri pengolahan daging dan
beratnya berbeda-beda, mulai dari subklinik hingga fatal.1
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit
yang termasuk the emerging infectious disease.1

Skenario kasus
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poliklinik karena demam tinggi sampai
menggigil sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga merasa nyeri jika betisnya ditekan. KU: lemah,
Suhu: 39C, RR: 18 x/menit, Nadi: 80 x/menit, TD: 120/80 mmHg, congjungtiva anemis,

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 1


sklera ikterik, subconjungtival in jection (+), hepar 2 jari di bawah arcus costa, nyeri
tekan (+). Lingkungan tempat tinggal pasien mengalami banjir satu minggu yang lalu.

Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika,
namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari
L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leprosira
akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal
tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan
musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.1
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai penjamu
dari leptospira, dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak dengannya
misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil
(berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama
tikus merupakan reservoir yang paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis
dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan
bertahun - tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L.
icterohaemoragicae/copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan voles (sejenis
tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. pomona dengan babi.1
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.1
Indonesia merupakan negara dengan insidens leptospirosis tinggi. Indonesia
menempati peringkat ketiga dunia untuk mortalitas akibat leptospirosis menurut International
Leptospirosis Society. Infeksi ini tersebar di berbagai wilayah dari Sumatera, Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat dengan insidens meningkat bersamaan dengan banjir.
Orang yang rentan terkena infeksi ini adalah petani, peternak, pekerja tambang, pekerja
rumah potong hewan, penebang kayu, dan dokter hewan. 2
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB,

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 2


Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian
banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20
kematian.1
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan
diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa
dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urin. Diagnostik pasti ditegakkan dengan
ditemukannya leptospira pada daerah atau urin atau ditemukannya hasil serologi positif.
Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan lingkungan optimal serta
tergantung pada suhu yang lembab, hangat, pH air/tanah yang netral, di mana kondisi ini
ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.1

Anamnesis
Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi.1
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang
tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien
pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan
penyakit adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah
diderita dengan penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan
data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan alat tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.1
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, kebiasaan. Kebiasaan pasien yang
harus ditanyakan adalah kebiasaan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunaan obat
– obat terlarang (narkoba). Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan
tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi
tertentu diperjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksualnya
juga harus ditanyakan. Yang tidak kalah penting adalah anamnesis mengenai lingkungan

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 3


tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat
pembuangan sampah dan sebagainya.1
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien
termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa,
sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati
adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian
frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah.3
Didalam kasus didapati bahwa:
Identitas : Seorang laki-laki berusia 40 tahun.
Keluhan utama : Demam tinggi sejak empat hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh demam terus –menerus sampai mengigil,
Riwayat pribadi : Tempat tinggal pasien mengalami banjir 1 minggu yang lalu

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang penting untuk memperkuat temuan – temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan secara visual atau
pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan melalui perabaan (palpasi), pemeriksaan
dengan ketokan (perkusi) dan pemeriksaan secara auditorik dengan menggunakan stetoskop
(auskultasi). Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien harus
diperhatikan dengan baik oelh pemeriksa. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik dapat
diperhatikan bagaimana keadaan umum pasien melalui ekspresi wajah, gaya berjalan, dan
tanda - tanda spesifik lainnya yang segera tampak begitu melihat pasien.1
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan
otot, ikterik, hepatomegali, limfadenopati, dan lain-lain.3
Pemeriksaan fisik biasa terdiri dari inspeksi, palpasi, dan edema non pitting pada tungkai
kiri. Pemeriksaan fisik ini berguna agar kita dapat lebih mudah mengetahui keadaaan fisik
pasien.4
1. Inspeksi
Pada pemeriksaan ini ditentukan dengan cara melihat dan hal yang dilaporkan adalah
Injeksi konjugtiva, lakrimasi, fotobia, bercak-bercak merah, dan lidah kotor.
2. Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meraba. Khusus pada penderita Dengue Shock
Sindrom (DSS) kulitnya akan terasa lembab, dingin dan sianosis perifer terutama di ujung
jari dan hidung.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 4


3. Edema non pitting
Edem non pitting adalah kedaaan edem dimana apabila dipencet atau ditekan pada bagian
edem, maka dengan segera cekungan itu akan kembali ke seperti semula, bahkan tidak
akan timbul bekas bahwa bagian yang terkena edem sudah ditekan.
4. Kesadaran
1) Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat
tertidur, tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat
diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri. Kita dapat mengetahui macam-macam
tingkat kesadaran, yaitu: 5
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 4

2) Tanda-Tanda Vital
 Suhu: Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Suhu tubuh yang
normal adalah 36º-37ºC.
 Tekanan darah: Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter
(sfigmomanometer). Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
 Denyut nadi: Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali per menit.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 5


 Respiratory rate: Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per
menit.4
Pada kasus, didapatkan hasil pemeriksaan fisik; KU = tampak sakit sedang, kesadaran
= compos mentis, TD = 120/80 mmHg, HR = 80 x/menit, RR = 18 x/menit, S = 39oC.
Extremitas : edema non pitting di kedua betis, nyeri tekan (+).

Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili tropenemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas mikroorganisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung
organisme sering membengkak, membentuk suatu kail. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga tidak dalam
mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat
dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan
gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.1
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L. Interrogans yang
patogen dan yang nonpatogen/saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen sekarang ini
telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi
menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. Interrogans
dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut
komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam
23 serogrup. Beberapa serovar L. Interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya:
L. Icterohaemorrhagie, L. Canicola, L. pomona, L. Grippothyphosa, L. Javanica, L.
Celledeoni, L. Ballum, L. Pyrogenes, L. Automnalis, L. Hebdomadis. L. Bataviae. L.
Tarassovi, L. Panama, L. Andamana, L. Sherinani, L. Ranarum, L. Bufonis, L. Copenhageni,
L. Australis, L. Cynopteri, dan lain-lain.1
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L.
Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservoir anjing dan L.
Pomona dengan reservoir sapi dan babi.1

Patogenesis
Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 6
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap
dari darah setelah terbentunya aglutinin. Setelah fase leptospremia 4-7 hari, mikroorganisme
hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4
minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis: invansi bakteri
berlangsung, faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologi.1

Patologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologis. Pada leptospirosis
lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan ilfiltrasi sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatiseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospirosis juga bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabakan meningitis yang merupakan gangguan neurologi
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptosirosis. Organ - organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah.Kelainan spesifik pada organ ialah:1,2
1. Ginjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 7


2. Hati. Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal
dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat di antara sel-sel
parenkim.
3. Jantung. Epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi
perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrosis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata. Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah. Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CCS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Canicola. 1,2

Manifestasi Klinik
Infeksi leptospirosis bisa tanpa gejala klinis. Oleh karena itu, amatlah penting untuk
menggali dari pasien mengenai riwayat paparan terhadap material yang terkontaminasi oleh
leptospira. Bukti serologi menunjukkan bahwa terdapat 15-40% individu yang pernah
terpapar dengan leptospira, namun tidak menjadi sakit. Pada kasus yang simtomatik,
manifestasi klinis bervariasi dan ringan sampai berat, bahkan fatal. Lebih dari 90% individu
yang simtomatik menunjukkan bahwa leptospirosis yang ringan dan anikterik, dengan atau
tanpa meningitis. Sisanya, sekitar 5-10% dengan bentuk leptospirosis yang berat (sindrom
Weil).6,7

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 8


Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu, tetapi bekisar 2-16 hari. Perjalanan
penyakitnyakhas, terdiri dari 2 fase, yakni fase leptospiremia (5-7 hari) yang kemudian
diikuti oleh faseimun (4-30 hari). Pertama antara fase pertama dan kedua tidaklah selalu jelas.
Pada kasusyang ringan tidak ada selalu fase kedua, sedangkan pada sindrom Weil, kedua fase
penyakit seringkali berkelanjutan dan sulit dibedakan. Fase leptospiremia ditandai oleh
adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, sedangkan fase imun ditandai oleh
peningkatan kadar IgM dalam sirkulasi dan adanya leptospira dalam urin.7
1. Leptospira Anikterik
Leptospirosis tampak sebagai penyakit yang menyerupai influenza akut dengan
demam, menggigil, sakit kepala hebat, mual, muntah, dan mialgia. Nyeri otot terutama pada
betis, punggung dan abdomen, merupakan gejala yang penting pada leptospirosis. Gejala lain
yang kurang sering adalah nyeri menelan dan timbul ruam pada kulit. Pasien biasanya
mengalami sakit kepala berat (frontal atau retroorbital) dan terkadang timbul fotofobia.
Perubahan status mental juga bisa terjadi. Bila paru juga terlibat, maka sebagian besar kasus
terjadi batuk dna nyeri dada, serta tidak jarang juga terlihat hemoptisis.6,8
Temuan yang paling sering dijumpai pada pemeriksaan fisik adalah demam dengan
injeksi silier pada konjungtiva, sedangkan yang jarang ditemukan adalah nyeri tekan otot,
limfadenopati, injeksi faringeal, ruam, hepatomegali dan splenomegali. Ruam pada kulit bisa
berbentuk makular, makulopapular, eritematosa, urtikarial atau hemoragik. Ikterus ringan
juga dapat terjadi.8
Sebagian besar pasien menjadi asimtomatik dalam 1 minggu. Sesudah interval bebas
demam selama 1-3 hari, akan timbul demam kembali dan masuk ke fase kedua (imun) pada
sejumlah kasus. Fase imum dimulai bersamaan dengan terbentuknya antibodi. Gejala
klinisnya lebih bervariasi dibandingkan dengan fase pertama (leptospiremia). Biasanya gejala
berlangsung hanya selama beberapa hari, namun terkadang dapat menetap selama
berminggu-minggu. Demam seringkali kurang jelas (tidak begitu tinggi) dan mialgia lebih
ringan bila dibandingkan pada saat fase leptospiremia. Hal penting yang bisa terjadi pada fase
imun adalah timbulnya meningitis aseptik. Walaupun gejala dan tanda meningitis hanya
dijumpai pada tidak lebih dari 15% pasien, akan tetapi banyak pasien mengalami pleositosis
pada cairan serebrospinalnya. Gejala meningeal biasanya hilang dalam beberapa hari, namun
juga bisa menetap selama bermingggu-minggu. Hal yang salam, pleositosis umumnya
menghilang selama 2 minggu tetapi terkadang menetap sampai berbulan-bulan. Iritis,
iridosiklitis dan korioretinitis merupakan komplikasi lanjut yang bisa menetap selama

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 9


bertahun-tahun. Biasanya timbul minimal sesudah 3 minggu, akan tetapi sering juga setelah
beberpa bulan dari permulaan sakit.8
2. Leptospirosis Berat (sindrom Weil)
Sindrom Weil adalah bentuk yang paling berat dari leptospirosis, yang ditandai oleh ikterus,
disfungsi ginjal dan diathesis hemoragik, serta mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
Sindrom ini seringkali terjadi pada infeksi oleh serovar icterohaemorrhagiae. Pada awal sakit,
klinisnya tidak berbeda dengan leptopsirosis yang ringan, akan tetapi sesudah 4-9 hari
umumnya timbul ikterik disertai disfungsi ginjal dan vaskuler. Walaupun telah dilaporkan
terdapat perbaikan dalam beberapa hal sesudah minggu pertama sakit, namun pola penyakit
yang bifasik, seperti yang terlihat pada leptospirosis anikterik, kurang jelas terlihat. Biasanya
tidak terjadi nekrosis hati berat. Kematian jarang disebabkan oleh kegagalan hati.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas sering dijumpai.
Splenomegali ditemukan pada 20% kasus.2,7,9
Gagal ginjal sering sekali terjadi pada minggu kedua sakit. Hipovolemia dan
penurunan perfusi renal berkontribusi terhadap terjadinya nekrosis tubular akut dengan
oliguria atau anuria. Dialisis terkadang diperlukan, walaupun pada cukup banyak kasus
fungsi kasus fungsi ginjal dapat normal kembali tanpa dialisis. Keterlibatan paru sering
terjadi. Manifestasi klinisnya berupa batuk, dispnu, nyeri dada dan sputum bercak darah, serta
terkadang hemoptisis atau bahkan kegagalan respirasi. Manifestasi perdarahan pada sindrom
Weil umumnya berupa epistaksis, petekie, purpura dan ekimosis, sedangkan perdarahan
gastrointestinal berat serta perdarahan adrenal atau subaraknoid jarang dijumpai.
Rabdomiolisis, hemolisis, disseminated intravascular coagulation (DIC), pankreatitis,
miokarditis, perikarditis, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, acute respiratory distress
syndrom (ARDS), serta kegagalan multiorgan, juga dapat terjadi pada leptospirosis berat.2,6,8

Diagnosis
Diagnosis leptospirosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis
awal leptospirosis karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis,
pneumonia, influenza, sindrom syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis
hemoragik, bahkan pada beberapa kasus datang dengan pankreatitis.11
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien
termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa,
sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 10


adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian
frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat
dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan otot, ikterik, hepatomegali,
limfadenopati, dan lain-lain.11
Laju endap darah (LED) biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah
leukosit darah berkisar antara 3.000-26.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri. Pada sindrom
Weil leukositosis seringkali lebih nyata. Trombositopenia ringan terjadi pada 50% pasien,
dengan jumlah trombosit berkisar antara 80.000-150.000/mm3.11
Ginjal merupakan organ yang selalu terlibat pada leptospirosis. Dapat ditemukan
adanya sedimen urin (leukosit, eritrosit, hialin, dan granular) serta proteinuria ringan pada
leptospirosis anikterik hingga gagal ginjal dan azotemia pada penyakit yang berat.11
Organ hati dapat juga terlibat. Kadar bilirubin darah, alkali fosfatase dan transaminase
dapat meningkat. Namun, berbeda dengan hepatitis akut, peningkatan bilirubin pada pasien
leptospirosis tidak sebanding dengan peningkatan kadar transaminasenya, baik SGOT
maupun SGPT. Pada leptosiposis, transaminase hanya meningkat ringan (sampai 200 U/L).
Pada sindrom Weil , masa protombin dapat memanjang tetapi masih bisa dikoreksi dengan
pemberian vitamin K. Kadar CPK meningkat pada 50% pasien leptospirosis pada minggu
pertama sakit, hal ini juga dapat membantu membedakannya dengan hepatitis viral. Pada
beberapa kasus, amilase dan lipase serum juga meningkat.11,12
Bila terjadi meningitis, maka pada pemeriksaan cairan serebrospinal, leukosit
polimorfonuklear akan mendominasi pada awalnya, sedangkan jumlah sel mononuklear baru
akan meningkat kemudian. Kadar protein dapat meningkat dengan kadar glukosa normal.11
Pada leptospirosis berat, kalainan radiologis paru lebih sering melebihi dari dugaan
kita pada saat pemeriksaan fisik. Kelainan tersebut paling sering terjadi sesudah 3-9 hari
sakit. Temuan radiologis yang paling sering adalah suatu patchy alveolar pattern yang
menandakan adanya perdarahan alveolar yang tersebat. Kelainan ini paling sering dijumpai
pada bagian perifer dari lobus bawah paru. 8,13
Berbagai kelainan EKG juga dapat dijumpai pada pasien leptospirosis, antara lain
aritmia yang bisa berupa atrial fibrillation, atrial flutter, atrial tachycardia dan premature
ventricular contractions. Kelainan lain yang bisa ditemukan adalah perikarditis, efusi
perkardial ringan, heart block dan miokarditis.12
Diagnosis pasti dari leptospirosis dapat diperoleh melalui isolasi leptopsira dari
darah/cairan tubuh dngan kultur, pemeriksaan PCR pada stadium awal penyakit, atau

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 11


pemeriksaan serologi dengan microscopic agglutination test (MAT) maupun enzym linked
immunosorbent (ELISA).12
1.Kriteria Diagnosis
The Informal Expert Consultation on Suveillance, Diagnosis and Risk Reduction of
Leptospirosis (WHO, SEARO, 2009), telah menetapkan kriteria diagnosis baru untuk
leptospirosis yang dapat diaplikasikan dengan mudah, baik pada pelayanan kesehatan primer
maupun pada tingkat yang lebih tinggi, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Suspect Case
Demam akut (> 38,5oC) dan/atau nyeri kepala hebat dengan :
1) Mialgia
2) Kelemahan tubuh (prostration) dan/atau
3) Injeksi konjungtiva (conjungtival suffusion), dan
4) Riwayat paparan terhadap lingkunganyang terkontaminasi oleh leptospira

b. Probable Case
1) Pada pelayanan kesehatan primer, suspect case dengan dua dari berikut ini:
a) Nyeri tekan pada betis
b) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
c) Ikterik
d) Manifestasi perdarahan
e) Iritasi meningeal
f) Anuria/oliguria/proteinuria
g) Sesak napas
h) Aritmia jantung
i) Ruam kulit

2) Pelayanan kesehatan sekunder/tertier


a) berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium maka suatu probable case adalah suatu
suspect case dengan pemeriksaan rapid IgM positif
b) temuan serologik mendukung (misalnya titer MAT sama dengan 200 pada sampel tunggal)
c) temuan urin: proteinuria, sel-sel pus, darah
d) neutropilia relatif (>80%) dengan limfopenia 12
e) trombosit <100.000/mm3

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 12


f) peningkatan bilirubin serum > 2 mg%, enzim-enzim hati (fosfatase alkali serum, amilase
serum, CPK) meningkat moderat.

c. Confirmed Case
Suatu confirmed case dari leptospirosis adalah suspect atau probable case dengan salah satu
dari berikut ini:
1) isolasi leptospira dari spesimen klinik
2) hasil PCR positif
3) serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT
4) titer MAT 400 atau lebih pada sampel tunggal
Pada keadaaan di mana kapasitas laboratorium tidak memadai: hasil positif dari dua
pemeriksaan diagnostik cepat yang berbeda dapat dianggap sebagai confirmed case secara
laboratoris.

2. Diagnosis Banding
Influenza yang sporadik, meningitis aseptik viral, riketsiosis, semua penyakit dengan ikterus
(hepatitis, demam kuning dll), glandular fever, bruselosis, pneumonia atipik, demam berdarah
dengue, penyakit susunan saraf yang akut, dan fever of unknown origin (FUO).2

Komplikasi

Pada leptospirosis, komplikasi yang terjadi ialah miokarditis, meningitis aseptik,


gagal ginjal, infiltrasi pulmonal dengan pendarahan sangat jarang tapi biasanya menyebabkan
kematian. Iriokarditis bisa muncul.10

Pemeriksaan penunjang+ DAPUS BELUM

1. Spesimen/Kultur

Spesimen terdiri dari darah yang diambil secara aseptik dalam tabung heparin, cairan
serebrospinal, atau jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan segera pada awal
gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase
leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin harus dikumpulkan setelah 2-4
minggu onset penyakit dengan sangat hati-hati untuk menghindari kontaminasi. Serum
dikumpulkan untuk uji aglutinasi.1,13

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 13


2. Inokulasi Binatang
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira terdiri dari inokulasi intraperitoneum
hamster muda atau marmot dengan plasma segar atau urin. Dalam waktu beberapa hari,
spiroketa menjadi terlihat dalam rongga peritoneum, pada binatang yang mati (8-14 hari), lesi
hemoragik dengan spiroketa ditemukan pada banyak organ.14

3. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan lapangan gelap atau sediaan apus yang diwarnai dengan teknik Giemsa
kadang-kadang menunjukkan leptospira pada darah segar dari infeksi dini. Pemeriksaan
lapangan gelap pada urin yang disentrifugasi juga dapat memberikan hasil yang positif.
Antibodi konjugasi-fluoresensi atau teknik imunohistokimia lainnya juga dapat digunakan.14

4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun
disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai
proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.14

5. Serologi
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver strain atau fluroscent antibody
strain, dan mikroskop lapangan gelap.1

Tabel 1.2 Jenis Uji Serologi pada Leptospirosis


Microscopic Agglutination Test Macroscopic Slide Agglutination Test
(MAT) (MSAT)
Uji carik celup: Enzym linked immunosorbant assay (ELISA)
 Lepto dipsttick Microcapsule agglutination test
 Leptotek lateral flow Patoc-slide agglutination test (PSAT)
Aglutinasi lateks kering (Leptotek dry dot) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Indirect flourescent antibody test (IFAT) Counter immune electrophoresis (CIE)
Indirect haemagglutination test (IHA)

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 14


Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test (CFT)
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi
ginjal pada umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer.1
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4
hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian penicillin G
amoxicillin, ampisillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin, klorafenikol,
siprofloksasin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin. 1
Sampai saat ini penicillin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun perlu
diingat bahwa antibiotik bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada
pemberian penisillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 57 hari. Dalam 4-6 jam setelah
pemberian intravena dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer yang menunjukkan adanya
aktivitas antileptospira. Tindakan suportif ini diberikan sesuai dengan keparahan penyakit
dan komplikasi yang timbul. Obat-obat ini efektif pada pemberian hari 1-3 namun kurang
manfaat bila diberikan setelah fase imun tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal, daan
meningitis. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asama basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya
dilakukan dialisis.1,2
Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengendalikan leptospirosis pada
hewan liar, penyakit ini pada hewan peliharaan dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan
sel bakteri yang utuh yang dilemahkan atau dengan sediaan membran luar. Bila vaksin tidak
memiliki masa imunogenik yang memadai, respons imun yang timbul akan melindungi
hospes terhadap penyakit klinis, tetapi tidak melindungi terhadap timbulnya pengerluaran
bakteri melalui ginjal (renal shedder state).15
Karena kemungkinan terdapatnya berbagai serotipe pada suatu wilayah gerografik
tertentu, sedangkan perlindungan yang diberikan oleh vaksin bakteri yang dilemahkan
bersifat spesifik untuk serotipe, maka dianjurkan untuk menggunakan vaksin polivalen.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 15


Vaksin untuk digunakan pada manusia belum tersedia di Amerika Serikat. Struktur selular
pada leptospira menyebabkan bakteri ini mudah dimatikan oleh keadaan buruk, misalnya
dehidrasi, pemaparan terhadap detergen, dan suhi di atas 50oC.15
Pencegahan leptospirosis pada manusia sangat sulit karena tidak mungkin
menghilangkan reservoir infeksi yang besar pada hewan. Vaksinasi hewan ternak dan hewan
peliharaan dilakukans ecara luas di Amerika Serikat dan telah banyak mengurangi insidens
infeksi pada beberapa spesies. Infeksi pada ginjal masih tetap dapat terjadi pada anjing yang
divaksinasi, dan manusia dapat terinfeksi dengan anjing yang telah diimunisasi secara
adekuat.15
Tabel 1.1 Pengobatan & Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Obat Dosis
Doksisiklin 2 x 100 mg 2 x 100 mg
Leptospriosis Ampisilin 4 x 500-750 mg 4 x 500-750 mg
Ringan Amoksisilin 4 x 500 mg

Penisillin G 1,5 juta unit/6 jam (IV) 1,5 juta unit/6 jam (IV)
Leptospirosis Ampisillin 1 gram/6 jam (IV) 1 gram/6 jam (IV)
Sedang/Berat Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)

Kemoprfilaksis Doksisiklin 200 mg/ minggu


Sumber : Buku Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI

2. Non-Medikamentosa
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Begi mereka yang mempunyai risiko
tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang
dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih
binatang reservoar.1
Orang yang paling sering berkontak dengan air yang terkontaminasi dengan tikus
(misalnya pekerja pertambangan, tukang jahit, petani, dan nelayan) mempunyai risiko terkena
infeksi yang paling besar. Anak-anak lebih sering terkena infeksi dari anjing daripada orang
dewasa. Tindakan pengendalian terdiri dari pencegahan terhadap pajanan air yang
terkontaminasi dan mengurangi kontaminasi dengan pengendalian binatang pengerat. Pada

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 16


daerah tertentu, pengendalian tikus, disinfeksi daerah kerja yang tercemar, dan larangan
berenang pada perairan tercemar, telah mengurangi insidens penyakit secara efektif.14

Prognosis

Tergantung keadaan umum pasien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya
kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat
seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya pasien mendapat pengobatan. Jika
tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada
umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2,10

Diagnosa banding pada kasus leptospirosis

Malaria
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabakan oleh
protozoa genus plasmodium detandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.2
a. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat berpergian ke daerah
endemik malaria. gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
1) Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi).
Pada malaria tertian, pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya
setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana pematangannya tiap 72 jam dan
peridiositas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Demam khas malarian terdiri atas 3 stadium, yaitu
mengigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringan (2-4 jam).
Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap
parasite dalam tubuh da nada respons imun.2
2) Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,
menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan
jaringan ikat yang bertambah.2
3) Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab yang paling berat adalah
anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh pengancuran eritrosit yang

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 17


berlebih, eritrosit normal tidak dapat hidup lama, gangguan pembentukan eritrosit
karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.2
4) Ikterus
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis dilakukan untuk
melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti tropozoit yang berbentuk
cincin.12

Demam tifoid
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim
dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus,
dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan
tifoid, namun biasanya lebih ringan.2
a. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.2
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif,
lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.2

Hepatitis akut
Penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis
pada hati. Biasanya disebabkan oleh virus yaitu hepatitis A, virus hepatitis B, virushepatitis
C, dan virus lain.2
a. Manifestasi Klinis
1) Stadium praikterik
Berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah,
demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urinmenjadi lebih cokelat.2
2) Stadium Ikterik

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 18


Berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sclera, kemudian pada kulit
seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia, dan
muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.2
3) Stadium Pascaikterik
Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak
lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya
berbeda.2

Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia
dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis yang timbul
mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan.
Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan
penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat
melindungi mereka dari serangan leptospirosis.

Daftar Pustaka

1. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Setiti S dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ke-6. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Interna Publishing: 2014. hal. 129-637.
2. Arifputera, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-4 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014. hal. 76-83.
3. Zulkarnain I. Management of Leptospirosis, Recent Development. Dalam:
Atmakusuma D dkk, penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003.hal. 76-81.
4. Jonathan G. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga
Medical Series; 2007.h.176-7.
5. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45.
6. Spleeman P. Leptospirosis. In: Kasper DL et al, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 16th Edition. New York; Mc Graw Hill: 2005. p. 988-991.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 19


7. Markum HMS. Renal Involvement in Leptospirosis at Dr. Cipto
Mangunkusumo and Persahabatan Hospitals. Indonesia J Intern Med 2004;
36(3): 148-152.
8. Kandel N, Thakur GD, Andjaparidze A. Leptospirosis in Nepal. J Nepal Med Assoc
2012;52(187): 151-153.
9. Pohan HT. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam: Atmakusuma D dkk,
penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2003. hal. 68-75.
10. Philip SS, Jacobs RA. Spirochetal infection. In : McPhee SJ, Papadakis
MA,editors. International Edition Current Medical Diagnosis and Treatment,
47th Edition.New York; Mc Graw Hill:2008.p.1278-1279.
11. Maroun E, Kushawosa A at al. Fulminant Leptospirosis (Weil’s diasease) Man
UrbanSetting as an Overload Cause of Multiorgan Failure Case Report. Jurnal of
Medical CaseReport. 2011. 7: 2-4.
12. Zavitsanou A, Babatsikou F. Leptospirosis, Epidemiology and Preventive Measure.
Vol.2;2008: 75-82.
13. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes Kedokteran Klinis Edisi
Kedokteran.Rahmalia A, penerjemah. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2007. hal.
380-382.
14. Brooks GF, Butel JS, Morse SAM. Mikrobiologi Kedokteran (Jawetz, Melnick,
Adelberg’s Medical Microbiology), Edisi 23. Hartanto H dkk, penerjemah. Jakarta:
EGC; 2008. hal.347-348.
15. Muliawan SY. Seri Mikrobiologi dalam Praktikum Klinik Bakteri Spiral Patogen
(Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2008. hal.
68-72.

Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 20

Anda mungkin juga menyukai