Pendahuluan
Skenario kasus
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poliklinik karena demam tinggi sampai
menggigil sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga merasa nyeri jika betisnya ditekan. KU: lemah,
Suhu: 39C, RR: 18 x/menit, Nadi: 80 x/menit, TD: 120/80 mmHg, congjungtiva anemis,
Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika,
namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari
L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leprosira
akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal
tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan
musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.1
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai penjamu
dari leptospira, dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak dengannya
misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil
(berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama
tikus merupakan reservoir yang paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis
dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan
bertahun - tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L.
icterohaemoragicae/copenhageni dengan tikus, L. grippotyphosa dengan voles (sejenis
tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. pomona dengan babi.1
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.1
Indonesia merupakan negara dengan insidens leptospirosis tinggi. Indonesia
menempati peringkat ketiga dunia untuk mortalitas akibat leptospirosis menurut International
Leptospirosis Society. Infeksi ini tersebar di berbagai wilayah dari Sumatera, Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat dengan insidens meningkat bersamaan dengan banjir.
Orang yang rentan terkena infeksi ini adalah petani, peternak, pekerja tambang, pekerja
rumah potong hewan, penebang kayu, dan dokter hewan. 2
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB,
Anamnesis
Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi.1
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang
tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien
pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan
penyakit adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah
diderita dengan penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan
data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan alat tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.1
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, kebiasaan. Kebiasaan pasien yang
harus ditanyakan adalah kebiasaan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunaan obat
– obat terlarang (narkoba). Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan
tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi
tertentu diperjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksualnya
juga harus ditanyakan. Yang tidak kalah penting adalah anamnesis mengenai lingkungan
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang penting untuk memperkuat temuan – temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan secara visual atau
pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan melalui perabaan (palpasi), pemeriksaan
dengan ketokan (perkusi) dan pemeriksaan secara auditorik dengan menggunakan stetoskop
(auskultasi). Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien harus
diperhatikan dengan baik oelh pemeriksa. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik dapat
diperhatikan bagaimana keadaan umum pasien melalui ekspresi wajah, gaya berjalan, dan
tanda - tanda spesifik lainnya yang segera tampak begitu melihat pasien.1
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan
otot, ikterik, hepatomegali, limfadenopati, dan lain-lain.3
Pemeriksaan fisik biasa terdiri dari inspeksi, palpasi, dan edema non pitting pada tungkai
kiri. Pemeriksaan fisik ini berguna agar kita dapat lebih mudah mengetahui keadaaan fisik
pasien.4
1. Inspeksi
Pada pemeriksaan ini ditentukan dengan cara melihat dan hal yang dilaporkan adalah
Injeksi konjugtiva, lakrimasi, fotobia, bercak-bercak merah, dan lidah kotor.
2. Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meraba. Khusus pada penderita Dengue Shock
Sindrom (DSS) kulitnya akan terasa lembab, dingin dan sianosis perifer terutama di ujung
jari dan hidung.
2) Tanda-Tanda Vital
Suhu: Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Suhu tubuh yang
normal adalah 36º-37ºC.
Tekanan darah: Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter
(sfigmomanometer). Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
Denyut nadi: Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali per menit.
Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili tropenemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas mikroorganisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung
organisme sering membengkak, membentuk suatu kail. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga tidak dalam
mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat
dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan
gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.1
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L. Interrogans yang
patogen dan yang nonpatogen/saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen sekarang ini
telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi
menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. Interrogans
dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut
komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam
23 serogrup. Beberapa serovar L. Interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya:
L. Icterohaemorrhagie, L. Canicola, L. pomona, L. Grippothyphosa, L. Javanica, L.
Celledeoni, L. Ballum, L. Pyrogenes, L. Automnalis, L. Hebdomadis. L. Bataviae. L.
Tarassovi, L. Panama, L. Andamana, L. Sherinani, L. Ranarum, L. Bufonis, L. Copenhageni,
L. Australis, L. Cynopteri, dan lain-lain.1
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L.
Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservoir anjing dan L.
Pomona dengan reservoir sapi dan babi.1
Patogenesis
Blok 12 – Infeksi dan Imunitas 6
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap
dari darah setelah terbentunya aglutinin. Setelah fase leptospremia 4-7 hari, mikroorganisme
hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4
minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis: invansi bakteri
berlangsung, faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologi.1
Patologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologis. Pada leptospirosis
lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan ilfiltrasi sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatiseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospirosis juga bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabakan meningitis yang merupakan gangguan neurologi
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptosirosis. Organ - organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah.Kelainan spesifik pada organ ialah:1,2
1. Ginjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
Manifestasi Klinik
Infeksi leptospirosis bisa tanpa gejala klinis. Oleh karena itu, amatlah penting untuk
menggali dari pasien mengenai riwayat paparan terhadap material yang terkontaminasi oleh
leptospira. Bukti serologi menunjukkan bahwa terdapat 15-40% individu yang pernah
terpapar dengan leptospira, namun tidak menjadi sakit. Pada kasus yang simtomatik,
manifestasi klinis bervariasi dan ringan sampai berat, bahkan fatal. Lebih dari 90% individu
yang simtomatik menunjukkan bahwa leptospirosis yang ringan dan anikterik, dengan atau
tanpa meningitis. Sisanya, sekitar 5-10% dengan bentuk leptospirosis yang berat (sindrom
Weil).6,7
Diagnosis
Diagnosis leptospirosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis
awal leptospirosis karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis,
pneumonia, influenza, sindrom syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis
hemoragik, bahkan pada beberapa kasus datang dengan pankreatitis.11
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien
termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa,
sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati
b. Probable Case
1) Pada pelayanan kesehatan primer, suspect case dengan dua dari berikut ini:
a) Nyeri tekan pada betis
b) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
c) Ikterik
d) Manifestasi perdarahan
e) Iritasi meningeal
f) Anuria/oliguria/proteinuria
g) Sesak napas
h) Aritmia jantung
i) Ruam kulit
c. Confirmed Case
Suatu confirmed case dari leptospirosis adalah suspect atau probable case dengan salah satu
dari berikut ini:
1) isolasi leptospira dari spesimen klinik
2) hasil PCR positif
3) serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT
4) titer MAT 400 atau lebih pada sampel tunggal
Pada keadaaan di mana kapasitas laboratorium tidak memadai: hasil positif dari dua
pemeriksaan diagnostik cepat yang berbeda dapat dianggap sebagai confirmed case secara
laboratoris.
2. Diagnosis Banding
Influenza yang sporadik, meningitis aseptik viral, riketsiosis, semua penyakit dengan ikterus
(hepatitis, demam kuning dll), glandular fever, bruselosis, pneumonia atipik, demam berdarah
dengue, penyakit susunan saraf yang akut, dan fever of unknown origin (FUO).2
Komplikasi
1. Spesimen/Kultur
Spesimen terdiri dari darah yang diambil secara aseptik dalam tabung heparin, cairan
serebrospinal, atau jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan segera pada awal
gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase
leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin harus dikumpulkan setelah 2-4
minggu onset penyakit dengan sangat hati-hati untuk menghindari kontaminasi. Serum
dikumpulkan untuk uji aglutinasi.1,13
3. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan lapangan gelap atau sediaan apus yang diwarnai dengan teknik Giemsa
kadang-kadang menunjukkan leptospira pada darah segar dari infeksi dini. Pemeriksaan
lapangan gelap pada urin yang disentrifugasi juga dapat memberikan hasil yang positif.
Antibodi konjugasi-fluoresensi atau teknik imunohistokimia lainnya juga dapat digunakan.14
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun
disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai
proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.14
5. Serologi
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver strain atau fluroscent antibody
strain, dan mikroskop lapangan gelap.1
Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi
ginjal pada umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer.1
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4
hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian penicillin G
amoxicillin, ampisillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin, klorafenikol,
siprofloksasin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin. 1
Sampai saat ini penicillin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun perlu
diingat bahwa antibiotik bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada
pemberian penisillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 57 hari. Dalam 4-6 jam setelah
pemberian intravena dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer yang menunjukkan adanya
aktivitas antileptospira. Tindakan suportif ini diberikan sesuai dengan keparahan penyakit
dan komplikasi yang timbul. Obat-obat ini efektif pada pemberian hari 1-3 namun kurang
manfaat bila diberikan setelah fase imun tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal, daan
meningitis. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asama basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya
dilakukan dialisis.1,2
Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengendalikan leptospirosis pada
hewan liar, penyakit ini pada hewan peliharaan dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan
sel bakteri yang utuh yang dilemahkan atau dengan sediaan membran luar. Bila vaksin tidak
memiliki masa imunogenik yang memadai, respons imun yang timbul akan melindungi
hospes terhadap penyakit klinis, tetapi tidak melindungi terhadap timbulnya pengerluaran
bakteri melalui ginjal (renal shedder state).15
Karena kemungkinan terdapatnya berbagai serotipe pada suatu wilayah gerografik
tertentu, sedangkan perlindungan yang diberikan oleh vaksin bakteri yang dilemahkan
bersifat spesifik untuk serotipe, maka dianjurkan untuk menggunakan vaksin polivalen.
Penisillin G 1,5 juta unit/6 jam (IV) 1,5 juta unit/6 jam (IV)
Leptospirosis Ampisillin 1 gram/6 jam (IV) 1 gram/6 jam (IV)
Sedang/Berat Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
2. Non-Medikamentosa
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Begi mereka yang mempunyai risiko
tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang
dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih
binatang reservoar.1
Orang yang paling sering berkontak dengan air yang terkontaminasi dengan tikus
(misalnya pekerja pertambangan, tukang jahit, petani, dan nelayan) mempunyai risiko terkena
infeksi yang paling besar. Anak-anak lebih sering terkena infeksi dari anjing daripada orang
dewasa. Tindakan pengendalian terdiri dari pencegahan terhadap pajanan air yang
terkontaminasi dan mengurangi kontaminasi dengan pengendalian binatang pengerat. Pada
Prognosis
Tergantung keadaan umum pasien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya
kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat
seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya pasien mendapat pengobatan. Jika
tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada
umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2,10
Malaria
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabakan oleh
protozoa genus plasmodium detandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.2
a. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat berpergian ke daerah
endemik malaria. gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
1) Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi).
Pada malaria tertian, pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya
setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana pematangannya tiap 72 jam dan
peridiositas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Demam khas malarian terdiri atas 3 stadium, yaitu
mengigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringan (2-4 jam).
Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap
parasite dalam tubuh da nada respons imun.2
2) Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,
menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan
jaringan ikat yang bertambah.2
3) Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab yang paling berat adalah
anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh pengancuran eritrosit yang
Demam tifoid
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim
dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus,
dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan
tifoid, namun biasanya lebih ringan.2
a. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.2
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif,
lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.2
Hepatitis akut
Penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis
pada hati. Biasanya disebabkan oleh virus yaitu hepatitis A, virus hepatitis B, virushepatitis
C, dan virus lain.2
a. Manifestasi Klinis
1) Stadium praikterik
Berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah,
demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urinmenjadi lebih cokelat.2
2) Stadium Ikterik
Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia
dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis yang timbul
mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan.
Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan
penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat
melindungi mereka dari serangan leptospirosis.
Daftar Pustaka
1. Zein U. Leptospirosis. Dalam: Setiti S dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ke-6. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Interna Publishing: 2014. hal. 129-637.
2. Arifputera, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-4 Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014. hal. 76-83.
3. Zulkarnain I. Management of Leptospirosis, Recent Development. Dalam:
Atmakusuma D dkk, penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003.hal. 76-81.
4. Jonathan G. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga
Medical Series; 2007.h.176-7.
5. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45.
6. Spleeman P. Leptospirosis. In: Kasper DL et al, editors. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 16th Edition. New York; Mc Graw Hill: 2005. p. 988-991.