DISUSUN OLEH :
Pendamping :
2018
0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
1
2.3 Etiologi
Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviridae. Selain virus
dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis
virus (JEV), yellow fever virus (YFV), West Nile virus (WNV), dan tickborne
encephalitis virus (TBEV). Masing-masing virus tersebut mempunyai kemiripan
dalam struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara
serologic. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive
sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung
menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein structural (capsid = C,
pre-membrane = prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NS1,
NS2A, NS2B, NS3, NS4B, dan NS5). Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai
enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu polipeptida tersebut
membentuk menjadi masing-masing protein. Protein prM yang terdapat pada saat
virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi
protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M
bersama dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein
nonstructural tidak ikut membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-
satunya protein nonstructural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia
tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai
antigen NS1. Masing-masing protein mempunyai peran yang berbeda dalam
patogenisitas, replikasi virus, dan aktivasi respon imun, baik humoral maupun
selular.
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue, yaitu
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai
beberapa galur (strain) atau genotype yang berbeda. Serotipe yang dapat
ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu begara atau area geografis
2
tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe dengue tersebut dapat
ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen.
Vektor nyamuk
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai spesies
cosmopolitan yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia antara 45 o lintang
utara dan 35o lintang selatan. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestic yang
mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit manusia (antropofilik) serta dapat
menggigit lebih dari satu individu (multiple-bite) untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya. Pola hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor
yang sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke
individu lain. Hanya nyamuk betina yang menggigit manusia.
Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hri sebelum timbul demam sampai 5-7
hari fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain.
Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentukan oleh
status imun dan faktor genetik pejamu.
Faktor abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan telah diketahui berperan dalam
penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat
nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan
lebih sering menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peraliha
dari musim kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap
peningkatan kasus penyakit dengue.
2.4 Patogenesis
3
Peran system imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut:
Imunopatogenesis
-
Respon imun humoral
Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan
antibody spesifik terhadap virus dengue. Antibody spesifik untuk virus dengue
terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menimbulkan reaksi silang dengan
serotipe lain selama enam bulan. Antibody yang dihasilkan dapat
menguntungkan dalam arti melindungi dari terjadinya penyakit namun
sebaliknya dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui
mekanisme antibody-dependent enhancement (ADE).
Antibody anti dengue yang dibentuk umumnya berupa immunoglobulin (Ig) G
dengan aktivitas yang berbeda. Antibody terhadap protein E dapat berfungsi
4
baik untuk neutralisasi maupun berperan dalam mekanisme ADE. Antibody
terhadap protein NS1 berperan dalam menghancurkan (lisis) sel yang
terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement-dependent lysis).
Diketahui bahwa antibody terhadap protein prM pada virion imatur juga
berperan dalam mekanisme ADE.
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenic berbeda.
Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan
kekebalan yang menetap untuk serotipe yang bersangkutan (antibody
homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang
(cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain (antibody
heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda,
maka antibody heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan
dengan virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang baru membentuk
kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor Fcɣ yang
banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag, sehingga
memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan
selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga
dapat mengaktifkan kaskade system komplemen untuk menghasilkan C3a
dan C5a yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan
permeabilitas vascular.
Gambar
1.
Model
dari antibody-dependent enhancement (ADE)
-
Respon imun selular
Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama dengan
respon imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat
5
menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa
infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan bagi
pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel yang terinfeksi
virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa proliferasi sel T,
menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai
sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T
CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam
menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin
dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue.
Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan
dengan produksi sitokin.
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda, ternyata sel T
memori mempunyai aktivitas yang lebih besar terhadap serotipe yang
sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yag baru. Fenomena ini
disebut sebagai original antigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis terhadap
virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin
yang dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan dalam memacu respon
inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel endotel vascular.
-
Mekanisme autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan
antibody spesifik yaitu protein F, prM dan NS1. Protein yang paling berperan
dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis infeksi virus dengue yaitu
protein NS1. Antibody terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi
silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan
pada kedua sel tersebut serta dapat memacu respons inflamasi. Sel endotel
yang diaktivasi oleh antibody terhadap protein NS1dengue ternyata dapat
mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibody
terhadap protein NS1, ternyata antibody terhadap prM juga dapat
menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi terhadap protein prM tersebut
dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini diduga kuat
karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan prM
dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang
disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan
komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul
6
mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran
sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesar plasma.
-
Peran sitokin dan mediator inflamasi lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat beragam
dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam
lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi
dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis, terjadi keseimbangan
antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah
yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan, akan merugikan pejamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat
penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin
(cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam melakukan fungsinya berbagai
sitokin saling berhubungan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya
berupa suatu kaskade. Dari beberapa penelitian sitokin yang perannya paling
banyak dikemukakan yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan IFN-ɣ. Mediator lain
yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan
derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10 dan CXCL-11 yang
dipicu oleh IFN-ɣ.
-
Peran system komplemen
System komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis infeksi virus
dengue. Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan kadar
komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi system komplemen mempunyai
peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks imun virus
dengue dan antibody pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi system
komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan system
komplemen secara langsung melalui jalur alternative dan apabila berlebihan
dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular.
Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen pada infeksi
virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin. Aktivasi
komplemen menghasilkan peptide yang mempunyai aktivitas biologic sebagai
anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. komplemen C5a menginduksi produksi
beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8) dan
meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada neutrophil maupun sel
7
endotel, sehingga peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vascular
sangat besar.
-
Faktor pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk terkena
infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik, dan
penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan dengan system
imun. Anak-anak umumnya mempunyai perjalan penyakit yang lebih berat
dibandingkan dengan dewasa. Mengenai mekanisme yang mendasarinya
belum jelas, tetapi diduga anak mempunyai system mikrovaskular yang lebih
mudah untuk mengalami peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6-12 bulan
mempunyai risiko lebih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut
diduga melalui mekanisme ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada
pejamu dengan usia lebih dari 1 tahun. Antibody (IgG) antidengue yang
bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. Obesitas
merupakan salah satu faktor risiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetik
sebagai faktor risiko telah banyak diteliti, pada umumnya berhubungan
dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang menjadi faktor risiko
untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal terhadap infeksi virus dengue.
Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan antara faktor
genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain di luar pengkode
HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-ɣ, dan IL-1, serta gen yang
mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannose binding lectin.
2.5 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit
8
Gambar 2. Manifestasi klinis infeksi virus dengue
1. Sindrom virus
Bayi, anak-anak dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan manifestasi klinis
berupa demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dngan
demam akibat infeksi virus lain. Manifestasi klinis tersebut pada umumnya
ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai penyebab demam pada
kelompok masyarakat tertentu (survei demam/fever survey). Ruam
makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat penyembuhan. Gejala
gangguan saluran napas dan pencernaan sering ditemukan.
Perjalanan penyakit
Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namun dikhawatirkan apabila
di kemudian hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis yang di derita
akan lebih berat berupa demam dengue, demam berdarah dengue atau
Expanded dengue syndrome.
2. Demam dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja dan dewasa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari ( rentang 3-14 hari),
timbul gejala berupa: demam, myalgia, sakit punggung dan gejala
konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise), anoreksia
dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi
(39oC-40oC), terus menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya
berlangsung antara 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh
turun, namun masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali, pola
ini disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan myalgia, sakit
9
punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu disebut sebagai
breakbone fever), arthralgia, muntah, fotofobia (mata seperti silau walau
terkena cahaya dengan intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat
mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan
pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok dan depresi.
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis,
ruam ini segera berkurang sehingga sering luput dari perhatian orang tua.
Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaki dan tangan berupa ruam
makulopapular dan petekie disleingi bercak-bercak putih (white islands in the
sea of red), dapat disertai rasa gatal yang disebut sebagai ruam konvalesens.
Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet
yang positif (≥ 10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie
spontan. Pada beberapa kasus demam dengue dapat terjadi perdarahan
massif.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun
pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun
kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan ini
berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit dapat normal atau
menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah trombosit kurang
dari 50,000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin
ditemukan akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan
cairan yang kurang. Pemeriksaan serum bokimia pada umumnya normal,
SGOT dan SGPT dapat meningkat.
Infeksi virus : Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti
campak, campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan ruam; virus
eipstein-barr, enterovirus, influenza, hepatitis A dan hantavirus.
Infeksi bakteri : Meningokokus, leptospirosis, demam tifoid, meiloidosis,
penyakit riketsia, demam skarlet
10
Infeksi parasite : Malaria
11
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi
pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites.
Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral decubitus kanan, efusi pleura
terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai.
Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dipakai untuk menentukan asites dan efusi pleura.
Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului
manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (≥20%
dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum
(>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma.
Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravascular
yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok
dengue (SSD) yang memperburuk prognosis.
Perjalanan penyakit demam berdarah dengue
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, serta
konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase
mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.
1. Fase demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala smebuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya
demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan system sirkulasi akibat
kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat
terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan
hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.
2. Fase kritis (fase syok)
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever
defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga
pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejal yang
mendahului syok (warning signs). Warning signs umunya terjadi menjelang
akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus menerus
dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan
bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok. Pasien tampak
semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala tersebut dapat
12
menetap walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi
postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau
perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi
perdarahan penting. Hepatomegaly dan nyeri perut sering ditemukan.
Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah
100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar merupakan
tanda awal perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh
leukopenia (≥5000 sel/mm3).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu
tanda paling awal yang sensitive dalam mendeteksi pembesaran plasma
yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh
karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin
meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan
volume intravascular bertambah, sehingga penggantian cairan yang
adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien
akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shovk yang menyebabkan asidosis metabolic,
gangguan organ progresif dan koagulasi intravascular diseminata.
Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan
jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons
stress pada pasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke
fase kritis perembesan plasma dan kemudian mengalami syok sebelum
demam turun, pada pasien tersebut peningkatan hematokrit serta
trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu, pada pasien DBD baik
yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya
hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang
dikenal sebagai Expanded dengue syndrome.
3. Fase konvalesens (fase penyembuhan)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48
jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang
intravascular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
13
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul
kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens,
beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan
perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini.
Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi
cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah
penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umunya
lebih lambat. Gangguan pernafasan akibat efusi pleura masif dan ascites,
edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis
dan/atau fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan.
Tabel 2. Diagnosis banding pada fase demam dan fase kritis DBD
14
Penyakit diare : Rotavirus dan infeksi mikroorganisme enteric lain
Penyakit dengan manifestasi neyrologis : Meningoensefalitis, kejang demam
Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD,
yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perembesan
plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh
(fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 (rentang hari ke 3-7), dan sering kali
didahului oleh tanda bahaya (warning signs). Pasien yang tidak mendapat terapi
cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.
Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya
hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui
jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. System
kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi sekuncup
(stroke volume), laju jantung (heart rate), dan vasokonstriksi perifer. Pada fase
ini tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju
jantung. Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai
turun, walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok. Pada beberapa pasien, khususnya
remaja dan dewasa takikardia tidak terjadi.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau
pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan
sirkulasi kea rah organ vital dengan mengurangi sirkulasi ke darah perifer
(vasokonstriksi perifer), secara klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan
lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi bebercak-bercak (mottled), pengisian
waktu kapiler (capillary refill time) memanjang lebih dari dua detik. Dengan
adanya vasokonstriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga
tekanan diastolic meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan
nadi (perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolic) akan menyempit kurang
dari 20 mmHg.
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi berupa quite
tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi
system keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolic namun nilai pH
15
masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan kadar bikarbonat
rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, namun bisa
saja pasien sudah berada dalam keadaan kritis.
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan
prognosis yang baik. Bila keadaan kritis lupt dari pengamatan sehingga
pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan jatuh
ke dalam syok dekompensasi.
Syok dekompensasi
Pada syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan system
kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolic
telah menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat
berobat atau pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound
shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur,
sianosis makin terlihat jelas.
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan
kriteria diagnosis laboratoris.
16
Demam dengue
-
Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
-
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena,
maupun uji tourniquet positif
-
Nyeri kepala, myalgia, artralgia, nyeri retroorbital
-
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah
-
Leukopenia < 4.000/mm3
-
Trombositopenia < 100.000/mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih
tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis DBD.
17
a) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
b) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
c) Muntah yang menetap
d) Letargi, gelisah
e) Perdarahan mukos
f) Pembesaran hati
g) Akumulasi cairan
h) oliguria
-
Laboratorium
a) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat
jumlah trombosit
b) Hematokrit awal tinggi
Demam berdarah dengue dengan syok terkompensasi
- Memenuhi kriteria DBD
- Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi
maupun dekompensasi
- Takikardia
- Takipnea
- Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diatolik) < 20 mmHg
- Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT)> 2 detik
- Kulit dingin
- Produksi urin (urine output) menurun, < 1 ml/kgBB/jam
- Anak gelisah
Demam berdarah dengue dengan syok dekompensasi
-
Memenuhi kriteria DBD
-
Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi
maupun dekompensasi
-
Takikardia
-
Hipotensi (sistolik dan diatolik turun)
-
Nadi cepat dan kecil
-
Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
-
Sianosis
-
Kulit lembab dan dingin
-
Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
Expanded dengue syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi
klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
-
Kelebihan cairan
-
Gangguan elektrolit
-
Ensefalopati
18
-
Ensefalitis
-
Perdarahan hebat
-
Gagal ginjal akut
-
Haemolytic uremic syndrome (HUS)
-
Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, pericarditis
-
Infeksi ganda
b. Kriteria diagnosis laboratoris
Isolasi virus
Deteksi asam nukleat virus
Deteksi serum respons imun / uji serologi serum imun
Analisis parameter hematologi
Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel
nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa laboratorium
besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia
laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari
pertama demam.
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic acid/RNA)
dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa nested-PCR, one-step
multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, danisothermal amplification method.
Pemeriksaan ini hanya tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan biologi
molekuler dan petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila
sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong
mahal.
19
Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dangue yang banyak dilaksanakan pada saat ini adalah
pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen), yaitu suatu
glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang penting bagi kehidupan
dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak
hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2
hari demam dan kemudian makin menurun setelahnya.
Gambar 4. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti dengue pada
infeksi primer dan sekunder
Pemeriksaan respon imun serum berupa Haemaglutination inhibition test (uji HI),
complement fixation test (CFT), neutralization test (uji neutralisasi), pemeriksaan
serologi IgM dan IgG anti dengue.
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini. Uji
H.I. walau sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan sediaan serum akut
dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
dini.
Tidak hanya dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit untuk
dilakukan dan memerlukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.
Uji Neutralisasi
20
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling
sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini
mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di
laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan dari efikasi
vaksin.
Parameter hematologi
Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan peningkatan
neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan neutrofit, yang
mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan jumlah leukosit
21
penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit
ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan hematokrit.
Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Disamping itu
terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung
singkat dan kembali normal selama fase penyembuhan.
Pada awal demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan ringan pada
umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan
hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari diagnosis klinis DBD. Harus
diperhatikan bahwa nilai hematokrit dapat diakibatkan oleh penggantian cairan
adanya pendarahan.
2.7 Tatalaksana
Penggantian cairan
22
Jenis cairan
Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid isotonic. Penggunaan cairan
hipotonik seperti NaCl 0,45% hanya untuk pasien < 6 bulan atas dasar
pertimbangan fungsi fisiologis yang berbeda dengan anak yang lebih besar.
Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya
1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravascular sedangkan caira
isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraselular
dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume
cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi
kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik
(osmolaritas>300 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih
lama vertahan dalam ruang intravascular tetapi memiliki efek samping seperti
alergi, mengganggu fungsi koagulasi dan berpotensi mengganggu fungsi
ginjal.
Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis
dan temuan laboratorium. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat
kebocoran plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan
diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah dengan
perkiraan deficit cairan 5%. Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum
stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian cairan
dihentikan setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil.
Tabel 3. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
Antipiretik
Parasetamol 10-20 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 oC dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama
minum cairan yang mengandung elektrolit.
Pemantauan
Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah,
perdarahan, dan tanda peringatan (warning signs)
Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok
Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan tekanan
darah harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali
Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian
cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4-6 jam
sekali
Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam
Diupayakan jumlah urin ≥1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat
badan ideal)
Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik dan
lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi
Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan system
koagulasi sesuai indikasi
Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi
pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada dengan posisi
lateral kanan decubitus (right lateral decubitus)
Periksa golongan darah
Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG dan
lainnya.
24
Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap
menjadi 7, 5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca
resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan
gula darah untuk menilai kemungkinan adana A-B-C-S (A=asidosis,
B=bleeding, C=calcium, S=sugar) yang memperberat syok hipovolemik.
Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera
lakukan koreksi.
25
umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak
diperlukan.
Apabila syok belum teratasi, periksa ulang hemtokrit, jika hematokrit tinggi
diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau
hipokalsemia.
Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif,
berikan transfuse darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB
atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit
rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus
kedua, apabila tidak membaik pertimbangkan pemberian transfuse darah.
26
4. Produksi urin harus ditampung dan diukur
5. Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau system lain seperti ginjal,
hati, gangguan pembekuan, dan jantung: periksa fungsi ginjal, fungsi hati,
fungsi koagulasi dan EKG
6. Periksa keadaan respirasi (napas cepat, napas cuping hidung, retraksi,
ronki basah tidak nyaring), peninggian tekanan vena jugularis (jugular
venous pressure.JVP), hepatomegaly, asites, efusi pleura. Edema paru jika
tidak diobati akan menimbulkan asidosis, sehingga pasien dapat kembali
jatuh ke dalam syok.
27
-
Mengurangi produksi amoniak dengan laktulosa 5-10 mL setiap 6 jam
-
Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis.
Vitamin K1 IV 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun dan
10 mg untuk umur >5 tahun atau dewasa
-
Antikonvulsi: fenobarbital, Dilantin, atau diazepam IV
-
Fresh red packed cell bila transfuse diperlukan
-
Terapi antibiotic empiris
-
Plasmapheresis, hemodialysis atau renal replacement therapy untuk
pasien dengan gangguan ginjal
Tatalaksana perdarahan masif
-
Hentikan perdarahan, contoh: tampon nasal bila mimisan. Apabila
kadarhematokrit menurun makan dilakukan transfuse darah segera.
Apabila volume darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume
yang sama. Apabila sulit diukur, berikan darah segar 10 mL/kgBB fresh
packed red cell kamudian periksa ulang 3 jam pasca transfuse.
-
Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus perdarahan masif
tanpa gagal organ.
2.8 Pemberantasan
28
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko
penularan DBD, maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-
langkah upaya penanggulangan berupa (1) foging focus, (2) abatisasi selektif.
Tujuan abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule
(SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million), yaitu
10 gram meter 100 liter air, (3) menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja
bakti dalam PSN.
DAFTAR PUSTAKA
29
Hadinegoro, S.R., Moedjito, I., Chairulfatah, A. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Soedarmo, S.S.P., Garna, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2008. Buku Ajar Infeksi
dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
30