Anda di halaman 1dari 6

BISMILLAH

AKSIOMA SENJA
Kebenarannya adalah niscaya
(Bukan) sebuah perjalanan (r)asa. Ia tak lain adalah ci(n)ta
NOVEL PERTAMA KHAAIFA YENI

Setiap CI(N)TA akan bertemu muaranya


Setiap CINTA akan menarik sukma
Setiap CITA akan memadu warna
Dan pada “CINTA & CITA” yang mulia
Surga-Nya lebih dekat terasa
Semoga ...... (aamiin)
Seutas Pengharapan

Sungai Siring, 7 April 2017

Ketika skenario-Nya menggelitikku


(mungkin) juga kamu
Diam-diam termangu dan merindu
Adakah kau disana tengadahkan tanganmu?
Sebab disini, ku habiskan pengharapanku
Menunggu dan menunggu langkahmu
Lantas ku kembalikan kepada-Nya dalam istikharahku
Di batas waktu, ku harap: kau dan aku menjadi satu
Yang disebut dengan kita
Bersama membangun CI(N)TA: Cinta & Cita
berikat mitsaqan galidan karena dan untuk-Nya

Hari ini adalah hari pertama, aku sampai di kampung halamanku. Belum juga selesai
memindahkan isi koper ke dalam lemari, Mamak memanggilku. Di ruang tamu itu, Mamak
memintaku duduk di sampingnya untuk sekadar meneguk secangkir teh hangat dan mencicipi
sanggar (pisang goreng khas orang Samarinda). Ku ambil 1 buah sanggar bertabur keju dan
susu coklat di atasnya, disusul teh hangat yang manis (dibuat dengan rasa cinta untuk
mencairkan rindu yang lama membeku). Mamak menatapku penuh harap, entah apa yang
sedang ia bayangkan dan pikirkan. Aku yang tak berdosa atau memang tak mengerti
isyaratnya, sibuk menikmati kelezatan hidangan buatan Mamak. Lagi-lagi Mamak menatapku
penuh harap, kali ini aroma senyumnya berbeda, bahkan aku tak pernah mencium aroma
senyuman seperti ini sebelumnya. Entahlah aku tak benar-benar tahu aroma apa? Pelan-pelan
ku coba menerka, seperti aroma syukur atas kelulusanku (mungkin), atau kepulanganku
setelah 4,5 tahun menyelami ilmu di kampus (mungkin), atau ...... ?. Hampir benar aku
menebaknya, Mamak memulai candaan yang setengah atau penuh serius.
“Alhamdulillah, sebentar lagi Mamak punya menantu yang akan menjaga anak
perempuan Mamak satu-satunya,” goda Mamak bertabur harap sembari mengelus-elus jilbab
biruku.
Sentuhan tangannya lebih lembut dari biasanya. Matanya berbinar-binar, layaknya
purnama yang memancarkan sinar putihnya. Sedang ucapannya tulus dan penuh pengharapan
tunggal yang murni, tak terkontaminasi oleh sebab duniawi: pangkat, harta, dan nasab. Sebab
aku mengerti keinginan hatinya yang tak diucapkan sekaligus kala itu. Cukup agama yang
menjadi pandangan prioritas untuk memantapkan hatinya bahwa lelaki berumur 33 tahun itu
adalah lelaki pilihan Allah yang akan mendampingi anak perempuannya kelak. Iya, aku
tengah menjalani proses ta’aruf bersama lelaki dewasa itu.
“Aamiin... Doanya Mak..,” timpaku (memeluk Mamak penuh cinta)
“In syaa Allah. Mamak selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nak.”
Kucium pipi kanan dan kirinya. Kembali kutatap wajahnya yang teduh itu penuh
sayang.
“Apa sudah ada kabar tentang kelanjutan proses ta’arufmu dan dia, Nak?,” tanya
Mamak seolah ingin memastikan bahwa proses ta’arufku berjalan lancar.
“Belum ada Mak. Kabar terakhir yang Aisyah dapatkan dari tante Rahma, mas
Ghibran masih berjuang mengumpulkan uang untuk kelangsungan akad dan walimah.
Keluarga mas Ghibran juga memintanya untuk tidak terburu-buru, paling tidak enam bulan
lagi..,” (belum selesai aku bicara, Mamak tersontak kaget dan memotong pemaparanku).
“Enam bulan lagi nikahannya atau lamarannya?,” (tiba-tiba raut wajahnya yang
semula bersinar berubah menjadi redup, hampir-hampir tenggelam).
“Kurang tahu Mak. Aisyah belum tanya ke Tante lagi karena kemarin kan Aisyah
terburu-buru pulang kesini”
“Lah..gimana to Ikam ini, Nduk...? Kan ya bisa ditanyakan lewat Whats App atau
telp..!,” (keluarlah bahasa campuran Bugis dan Jawanya yang menandakan emosi Mamak
meluap).
“Iya Mak. Maafkan Aisyah, tidak bertanya ke Tante. Tante juga lagi sibuk dengan
pekerjaannya di Surabaya”
“Ya sudah.. Sekarang coba kamu tanya sendiri ke Ghibran, kapan mau datang ke
rumah. Ndak harus kesini, toh Bapakmu sudah meninggal. Sekarang walimu berpindah ke
Om di Surabaya. Jadi tanyakan, kapan bisa datang menemui Om-mu?”
“Baik Mak. Aisyah akan menghubungi mas Ghibran,” terangku dengan sedikit gusar.
***
Ku ambil HP yang ada di dalam tasku. Ku kirim pesan singkat kepada mas Ghibran
agar semua tercerahkan paling tidak ada kepastian tanggal lamaran. Toh, aku dan keluargaku
tak pernah menginginkan mahar yang menjulang dan kemegahan untuk walimahan.
Cukuplah apa yang menjadi rukun nikah itu tertunaikan. Mulailah, ku susun kata demi kata
secara santun agar tidak menyinggung dan terkesan mendesak mas Ghibran.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Apa kabar mas Ghibran?. Keluarga sehat?. Mohon
maaf, Aisyah hendak menanyakan tentang kelanjutan proses ta’aruf kita. Keluarga Aisyah
berkali-kali menanyakan kapan mas Ghibran menemui om Ja’far? Aisyah tahu, mas Ghibran
tengah berjuang mengais rezeki. Namun, Aisyah dan keluarga juga butuh kepastian. Kabari
Aisyah jika sudah siap ya Mas?. Aisyah juga akan balik ke Surabaya untuk mengatur segala
persiapan pernikahan kita nanti. Sekali lagi mohon maaf dan terima kasih.” –Sending-
Di wall WA, terlihat centang dua dan berwarna biru, tandanya chat WA ku sudah
terbaca oleh mas Ghibran. Ku tunggu balasan darinya kala itu juga. Sepuluh menit berlalu
aku menunggu, tetap tak ada balasan. Ku sibukkan dengan menata kembali bajuku di lemari
yang tertunda sedari tadi karena panggilan Mamak. Setelah semua rapi, kurebahkan badanku
di tempat tidur setelah perjalanan panjang naik pesawat Bandara Juanda Surabaya ke Bandara
Sultan Agung Muhammad Saleh Balikpapan, lanjut perjalanan naik travel ke kampung
halaman (Balikpapan – Samarinda yang ditempuh kurang lebih 4 jam). Iya, rumah
kelahiranku adalah di Samarinda tepian tepatnya di kelurahan Sungai Siring Samarinda
Utara. Perjalanan panjang yang melelahkan namun terbayarkan dengan sambutan kasih
sayang Mamak yang tak terduakan.
Dua jam aku tertidur pulas di atas dipan, HP ku berdering tanda ada chat masuk tepat
pada pukul 14.50 WIT (mendekati waktu shalat Ashar). Setengah jam lagi azan Ashar
berkumandang, aku terbangun dan segera menyegarkan diri dan mengambil air wudhu untuk
shalat Ashar. Tak sempat aku mengecek chat masuk di HPku. Mencoba memprioritaskan apa
yang harus diprioritaskan. Sebab hanya dengan begitu, hidup menjadi lebih tenang bukan?
Kegusaranku atas balasan mas Ghibran juga akan sirna. Allah adalah jawaban adalah segala
doa dan kepada-Nya lah semua akan kembali bermuara. Cinta dan segala rasa yang menjelma
di hati sudah seharusnya terkelola agar benar-benar hanya Dia yang pertama dicinta.
Bukankah menetapkan pengharapan pada selain-Nya hanya akan membuat kecewa?
Kali ini, kembali kuhidupkan shalat berjamaah di rumah. Mamak sebagai imam shalat
Ashar dan aku sebagai makmumnya. Berdua, terang saja sepi. Hanya ada aku, anak semata
wayang dan Mamak yang telah ditinggal Bapak satu setengah tahun lalu. Aku tak benar-
benar punya hati dan Mamak yang begitu mengalah. Ia beri aku kebebasan untuk menentukan
arah masa depanku sendiri. Tak pernah memaksaku untuk tinggal bersamanya asal aku
bahagia. Tak pernah memintaku untuk membawanya kemana akan ku langkahkan kaki
bersama keluarga baruku nantinya. Ia adalah sosok yang qona’ah dan ridha terhadap takdir
Allah. Walau pada nyatanya aku tak menginginkan ada jarak lagi antara aku dan Mamak.
Dulu aku harus terpisah karena keinginanku menempuh studi di UNESA. Sekarang aku
sudah sarjana, aku tak mau berlama-lama meninggal Mamak di Samarinda. Aku sudah punya
rencana, jika aku dan mas Ghibran jadi menikah nanti dan kami berdua belum bisa menetap
di Sungai Siring karena pekerjaan mas Ghibran maka akan ku bawa Mamak tinggal bersama
kami berdua di Sidoarjo (tempat dimana aku dan mas Ghibran dipertemukan-Nya).
Mengontrak atau membeli rumah baru disana, bisa saja.
***
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh (2x). Ucapan salam di rakaat
terakhir. Lantas kami berdua berdoa dengan khusyuk. Apa-apa yang telah menjadi
kebahagianku pastilah tak terlepas dari doa yang dilantunkan Mamak setiap harinya dan atas
ke-Mahakuasaan Allah tentunya. Maka tak ada alasan untukku tidak mendoakan yang terbaik
untuk Mamak. Dua puluh tiga tahun sudah aku membersamai Mamak di dunia, diiringi pula
perjuangan serta pengorbanan Mamak yang tak biasa untuk melihat anaknya bahagia.
Sesekali aku membayangkan bagaimana menjadi orang tua, ada kalanya lelah dan berkeringat
darah namun itu tak pernah seinci-pun terkeluhkan oleh Mamak. Aku malu padanya, jika aku
menjadi dirinya, aku tak benar-benar kuat menjalaninya. Sungguh cinta yang tulus, ia tak
termakan usia bahkan luntur karena tak terbalaskan. Mungkin seringkali bertepuk sebelah
tangan saat kenakalan dan keegoisanku menjelma. Ya, itulah orang tua. Walau kasih dan
cintanya tak berbalas, ia akan tetap mengalir dan menumbuhkan cinta yang lebih besar dan
dahsyat. Benar saja kalimat kasih sayang Ibu sepanjang untaian DNA, ia takkan terputus oleh
jarak, takkan terbakar oleh amarah, dan ah... aku tak pernah habis menggambarkan megahnya
kasih sayang seorang Ibu yang sering kupanggil Mamak.
Setelah berdoa, kucium tangan, pipi kanan dan kiri Mamak. Aroma harapan itu
kembali tercium dan rasa penasaran atas jawaban mas Ghibran pun menggelembung.
“Apakah sudah ada jawaban dari Ghibran, Nak?,” tanya Mamak.
“Sepertinya sudah Mak. Aisyah cek HP dulu ya Mak” jawabku.
Ku ambil HP di atas dipan dekat bantal dan guling tempat ku rebahkan diri tadi siang.
Ku buka chat WA balasan dari mas Ghibran.
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Alhamdulillah, saya dan keluarga sehat. Maaf ya Aisyah
baru balas chat WA nya. Aisyah sudah tahu posisi saya kan? Saat ini, saya tengah
mempersiapkan segalanya untuk kelancaran proses ta’aruf hingga pernikahan kita nantinya.
Aisyah tahu kan semenjak Bapak saya meninggal 4 tahun lalu, saya yang menjadi tulang
punggung keluarga. Saya anak pertama dan saat ini adik perempuan saya yang kembar
masuk semester akhir. Saya harus membiayai biaya penelitian skripsi dan wisudanya. Saya
juga bingung kalau ditanya kapan siap ke rumah bang Ja’far (*panggilan bang karena usia
mas Ghibran dan Om Ja’far selisih 5 tahun. Mereka berdua berteman semenjak tergabung di
Komunitas Pencinta Literasi). In syaa Allah nanti saya kabari lagi ya?.”
Ku baca balasan mas Ghibran sedikit keras karena Mamak juga ingin mendengarnya.
Tiba-tiba perasaan menyesal memenuhi dada. Aku tahu dari tante Rahma tentang posisi mas
Ghibran sebagai tulang punggung keluarga dan adiknya yang memang masih kuliah. Tapi,
tentang adik kembarnya yang tengah menempuh skripsi, aku baru mengetahuinya hari ini.
Ah, aku memang tak pandai memahami kondisi dan situasi. Aku harus sadar bahwa saat ini
yang harus kulakukan adalah bersabar menunggunya. Yakin saja bahwa mas Ghibran akan
datang melamar dan pernikahan akan terselenggarakan. Aku menyesal mengiriminya pesan
dan menanyakan sebuah kejelasan. Dibalik penyesalan itu, tak dipungkiri bahwa hatiku juga
tak bisa berbohong bahwa aku tengah merasakan kekhawatiran. Kekhawatiran seorang
perempuan yang baru belajar untuk menjadi dewasa. Selisih umur diantaraku dan mas
Ghibran yang terpaut 10 tahun, membuat siapapun penasaran dengan keseriusan hubungan
kami. Namun aku bersyukur, tak ada yang benar-benar tahu selain keluarga kami berdua.
Inilah indahnya ta’aruf, semua terjaga untuk meminimalisir kemudharatan nantinya.
Mamak yang mendengarnya, mencoba menghiburku dengan berbagai cara. Entah
dengan memelukku dan menenangkanku yang meneteskan air mata setelah membaca balasan
WA. Aku tak tahu butiran mata yang membasahi pipiku ini karena sebuah penyesalan,
ketidakberdayaan, kepolosan, atau kekhawatiran bahkan takut kehilangan. Entah semua
tercampur jadi satu hingga aku tak tahu harus membalas chat WA itu seperti apa?. Ya, semua
bisa saja terjadi. Aku tak benar-benar tahu apakah nanti kita akan bersatu dalam mahligai
rumah tangga atau bahkan gugur sebelumnya. Tapi, setelah ku ingat betul purnama di bola
matanya kala pertemuan yang lugu, pertemuan dimana aku dan mas Ghibran bisa duduk
berseberangan di ruang tamu kediaman Om Ja’far. Ya, kala itu bahkan Mamak juga ada
disana untuk sekadar menyalurkan rasa penasarannya. Ya, aku harus yakin bahwa ia benar-
benar membawa cinta dan cita yang mulia. Bahwa proses ta’aruf ini akan berjalan lancar
nantinya. Mungkin saat ini memang harus seperti ini jalannya. Kita perlu untuk memantaskan
dan mempersiapkan diri masing-masing sebelum kami dipersatukan oleh-Nya.
“Fasbir sabran jamiila,” Mamak mencoba menenangkan hatiku yang tak karuan.
Aku tak berkata apapun selain tetap menangis dalam pelukan Mamak. Hatiku yakin
bahwa ia takkan khianat tapi aku takut godaan demi godaan yang tak kita harapkan akan
melayukan cinta dan cita kita. Meski pada hakikatnya kita tak boleh mencinta lebih dahulu
sebab cinta sebelum halal adalah kedzaliman. Ia bisa menjelma menjadi nafsu saat iman
turun. Bukankah lebih baik membangun cintanya setelah akad karena keberkahan akan
dilimpahkan-Nya. Astaghfirullah... Ampuni aku Ya Rabb.

Anda mungkin juga menyukai