Anda di halaman 1dari 12

Alasan pertama: sejarah membawa dollar menjadi mata uang internasional.

Dimulai dari perjanjian Bretton Woods setelah Perang Dunia 2 yang efeknya masih terasa
hingga sekarang; perjanjian untuk menggunakan emas sebagai standar global nilai mata
uang. Pada saat itu keadaan ekonomi negara-negara dunia, kecuali Amerika Serikat, hancur
karena perang. Ini menyebabkan mereka bergantung pada pinjaman yang diberikan oleh
Amerika.

Pinjaman ini diberikan dalam bentuk Dollar Amerika. Sebagai jaminan, Amerika menerima
emas yang dimiliki negara-negara ini. Hasilnya, Amerika otomatis menguasai seluruh emas
di dunia dan jadinya hanya Dollar Amerika yang nilainya disokong oleh emas.

Secara praktis, ini berarti Dollar Amerika telah menggantikan emas sebagai sumber
likuiditas perekonomian dunia dan menjadi basis sistem keuangan dunia. Implikasinya,
setiap negara membangun cadangan devisa dalam bentuk Dollar Amerika; cadangan Dollar
diperlukan agar mata uang negara yang bersangkutan dapat ditukarkan dengan Dollar atau
emas. Pada saat ini lah mata uang Amerika itu menjadi mata uang internasional.

Alasan kedua: resiko menjadi mata uang internasional

Tidak selalu menjadi mata uang internasional itu memberikan efek positif pada negara yang
memiliki mata uang itu, dalam hal ini negara Amerika dengan Dollarnya.
Banyak efek negatif yang dapat melanda Amerika saat mata uangnya menjadi mata uang
internasional. Beberapa efek negatif menjadi mata uang internasional antara lain:

Negara itu harus me-maintain trust, yang menyebabkan negara itu memiliki tugas yang
berat untuk dunia.

Apabila negara pemilik mata uang internasional tidak dapat me-maintain trust, maka dapat
menyebabkan mata uang itu drop secara tiba-tiba.

Akan lebih sulit dalam mengontrol likuiditasnya

Quote:
Alasan ketiga: tidak semua mata uang yang kuat dapat menjadi mata uang internasional

Untuk menjadi mata uang internasional dibutuhkan pemilik yang kuat, dalam hal ini negara
yang kuat. Menjadi mata uang yang kuat bukan berarti mampu untuk menjadi mata uang
internasional. Ini disebabkan karena negara yang memiliki mata uang itu belum tentu
memiliki kestabilan ekonomi dan politik yang baik. Padahal untuk menjadi mata uang
internasional, dibutuhkan negara dengan keadaan ekonomi maupun politik yang stabil,
karena sebagai mata uang internasional dibutuhkan kepercayaan dari dunia agar dunia
menggunakannya.

Sebagai contohnya mata uang dari negara Iraq, yaitu Dinar. Walaupun saat ini Dinar sebagai
salah satu mata uang yang terkuat, namun keadaan Iraq tidak stabil, karena perang, konflik
dalam negeri, maupun perekonomiannya. Hal ini menyebabkan dunia tidak ingin
mempercayakan mata uangnya kepada Dinar Iraq sebab walaupun mata uang itu terkuat,
namun belum tentu dalam jangka panjang akan stabil.

Tidak stabil bisa terjadi karena perang yang makin menjadi-jadi atau konflik dalam negeri
yang pada akhirnya dapat menyebabkan negara itu jatuh miskin lalu mata uangnya turun
menjadi mata uang terlemah. Padahal menukarkan mata uang lalu menyimpannya adalah
kegiatan jangka panjang, sehingga dibutuhkan kepercayaan yang besar dari dunia. Inilah
sebab Dollar Amerika menjadi mata uang yang dipercayai dunia karena kondisi negaranya
yang dapat diprediksi akan stabil dalam jangka panjang.

Selain itu, dolar AS dapat diterima secara luas di negara-negara lain, bertindak sebagai bentuk
alternatif informal pembayaran, sementara negara-negara tersebut memelihara mata uang
resmi lokal mereka.Dolar juga merupakan faktor penting dalam pasar nilai tukar asing untuk
mata uang lainnya, di mana ia dapat bertindak sebagai benchmark atau target suku bunga
bagi negara-negara yang memilih untuk memperbaiki atau mematok mata uang mereka
terhadap nilai USD. Sebagai contoh, pada 2011, Cina mempunyai mata uangnya sendiri,
renminbi, masih dipatok ke dolar, banyak ketidaksepakatan dari banyak ekonom dan bankir
sentral. Cukup sering negara akan memperbaiki nilai tukar untuk USD untuk menstabilkan
nilai tukar mereka, daripada membiarkan pasar (forex) bebas berfluktuasi nilai
relatifnya.Salah satu fitur lain dari USD yang penting bagi para pemula di forex untuk dipahami
adalah bahwa dolar yang digunakan sebagai mata uang standar untuk kebanyakan komoditas,
seperti minyak mentah dan logam mulia. Jadi hal penting yang harus dipahami adalah bahwa
komoditas tersebut tunduk untuk tidak berfluktuasi hanya pada nilai karena prinsip-prinsip
ekonomi dasar dari penawaran dan permintaan tetapi juga nilai relatif terhadap dolar AS,
dengan harga yang sangat sensitif terhadap inflasi dan suku bunga AS, yang secara langsung
mempengaruhi nilai dolar.
3. Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate)
Kurs mengambang bebas merupakan suatu sistem ekonomi yang ditujukan bagi suatu negara
yang sistem perekonomiannya sudah mapan. Sistim nilai tukar ini akan menyerahkan
sleuruhnya kepada pasar untuk mencapai kondisi equilibrium yang sesuai dengan kondisi
internal dan eksternal. Jadi dalam sistem nilai tukar ini hampir tidak ada campur tangan
pemerintah.

Keunggulan :
Cadangan devisa lebih aman.
Persaingan pasar ekspor-impor sesuai dengan mekanisme pasar.
Kondisi ekonomi negara lain tidak akan berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi dalam
negeri.
Masalah neraca pembayaran dapat diminimalisir.
Tidak ada batasan valas.
Equilibrium pasar uang.
Kelemahan :

Praktik spekulasi semakin bebas.


Penerapan sistem ini terbatas pada negara yang sistim perekonomiannya mapan, masih
kurang teapt untuk negara berkembang.
Tidak adanya intervensi pemerintah untuk menjaga harga.
Penerapannya di Indonesia

Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga
sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan
semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh
adanya currency turmoil yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN
termasuk Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan
intervensi baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate
(kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk
selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada
tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi
sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.
Dampak krisis Asia terhadap Amerika Serikat
Krisis finansial Asia secara tidak langsung membawa Amerika Serikat untuk turut campur di
dalamnya. Kepentingan Amerika Serikat atas krisis finansial dikarenakan beberapa alasan
dasar. Namun hal yang paling mendasar adalah dampak krisis yang mempengaruhi
perekonomian Amerika Serikat, diantaranya[11] :
 Pasar finansial merupakan sebuah kesatuan yang saling berkaitan, sehingga apa yang
terjadi dalam pasar finansial Asia, kemudian akan mempengaruhi pasar finansial Amerika
Serikat.
 Bank dan perusahaan milik Amerika Serikat merupakan investor dan kreditor yang
signifikan di dalam kawasan ASIA di mana hal ini berpengaruh pada perusahaan Amerika
Serikat.
 Berusaha memperbaiki dan memberikan solusi terhadap kerugian yang diakibatkan oleh
program restrukturisasi IMF.
 Kekacauan krisis finansial mempengaruhi impor dan ekspor Amerika Serikat yang ditandai
dengan arus modal dan nilai dari Dollar Amerika Serikat.
 Krisis finansial menunjukkan kelemahan dari banyak institusi finansial di Asia.
Dalam hal ini, efek dari krisis ekonomi Asia mempengaruhi perekonomian Amerika baik
dalam sektor makroekonomi maupun sektor mikroekonomi. Sektor makroekonomi
mencakup pertumbuhan suku bunga dan perdagangan. Jika terjadi depresiasi pada mata uang
Bath, Dollar Singapura, Rupiah, Yen, Peso serta hambatan dalam pertumbuhan bank dapat
menyebabkan kerugian pada perdagangan Amerika Serikat. Dalam sektor mikroekonomi,
krisis berdampak pada industri yang spesifik, secara khusus yang berkaitan dengan modal
yang ditanamkan oleh para investor. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, maka
mayoritas para investor akan mencabut modal yang dimiliki dari negara tersebut dan hal ini
akan menyebabkan perekonomian menjadi lebih lambat.

Karena beberapa alasan di atas, maka Amerika Serikat mulai terlibat dalam krisis finansial Asia
dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Namun seluruh usaha tersebut malah bukan
memperkuat posisi Amerika Serikat dalam Asia tetapi memperlemah posisi perdagangan di
dalam Asia. Negara-negara Asia merasa bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil Amerika
Serikat bersifat merugikan negara – negara tersebut.

Dampak yang dialami oleh Amerika Serikat sebelum dan sesudah krisis tentu tidak lepas dari
hal-hal dan kebijakan yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Pada bagian selanjutnya,
akan diuraikan mengenai kebijakan yang diterapkan oleh Amerika Serikat berkenaan dengan
krisis finansial Asia.

Kebijakan Amerika
Krisis finansial yang menerpa sebagian negara-negara Asia seperti Thailand, Indonesia, Korea
Selatan, Filipina, maupun Malaysia, tak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap
Amerika Serikat. Hal ini terjadi mengingat bahwa Amerika Serikat memiliki hubungan dagang
yang cukup besar dengan sebagian negara-negara Asia tersebut.

Pengaruh krisis finansial Asia ini pada Amerika Serikat terlihat dari melonjaknya nilai Dow
Jones Industrial sebesar 554 basis point atau 7,2% akibat kekhawatiran terhadap krisis Asia,
bursa New York Stock Exchange juga segera ditutup dalam waktu singkat untuk menghindari
dampak perluasan krisis.[12]
Menghadapi hal ini yang secara tidak langsung berpengaruh pada pasar Amerika Serikat,
maka Amerika Serikat melakukan beberapa kebijakan atas dasar beberapa alasan, yaitu:

 Berusaha memperbaiki permasalahan finansial ini dengan melakukan kebijakan-kebijakan


yang dikepalai oleh badan moneter internasional IMF yang bekerja sama dengan World
Bank dan Asian Development Bank dan akan menstabilkan nilai tukar kredit Exchange
Stabilization Fund Amerika Serikat.
 Pasar finansial memiliki keterkaitan yang kuat, sehingga apa yang terjadi di Asia juga akan
mempengaruhi pasar Amerika Serikat.
 Amerika merupakan investor terbesar di kawasan Asia, lonjakan nilai mata uang
berpengaruh pada faktor ekspor dan impor Amerika Serikat sehingga Amerika Serikat
mengalami defisit dalam nilai perdagangannya.
 Krisis ini menyebabkan lonjakan ekonomi yang mengakibatkan melemahnya institusi
finansial di Asia, bahkan beberapa mengalami kebangkrutan. Permasalahan ekonomi ini
sangat berpengaruh kepada Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lainnya.[13]
Karena alasan tersebut, maka Amerika Serikat melakukan berbagai tindakan untuk
membantu negara Asia yang terkena dampak krisis. Salah satunya dengan mengeluarkan
kebijakan “Market reform in developing Asian countries” dan “US firm penetration”. “Market
reform in developing Asian countries” adalah Kebijakan dimana kebijakan yang dilakukan
dengan cara mengadakan perubahan yang memfasilitasi masuknya bisnis internasional ke
pasar Asia dan mencangkup liberalisasi ekonomi, perdagangan dan investasi, deregulasi dan
hukum perdagangan serta privatisasi dan memperbaharui peraturan tentang kebangkrutan
kompetisi.

Kebijakan lainnya adalah “US firm penetration” yang berarti pemasukan dari FDI (Foreign
Direct Investment) oleh perusahaan multinasional Amerika Serikat. Foreign Direct Investment
itu sendiri dapat diartikan sebagai investasi ketika seseorang dari sebuah negara
mendapatkan keuntungan jangka panjang dan tingkat pengaruh yang lebih tinggi dari
manajemen sebuah perusahaan di negara lain.

Selain kebijakan langsung, Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan melalui IMF
(International Monetary Fund) yaitu organisasi PBB yang bergerak dalam bidang keuangan.
Amerika Serikat bergerak bersama IMF dengan mengambil kebijakan memberikan bantuan
dana kepada negara-negara yang terkena krisis seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan
Korea Selatan. Bantuan sebesar USD 120 miliar merupakan bantuan dana paling tinggi yang
pernah diberikan.[14]
Dengan berpegang pada prinsip Washington Consensus yaitu kebijakan ekspansi dari
liberalisasi perdagangan dan pasar modal, melalui kebijakan memperbesar perusahaan dan
bank serta menolak kontrol atas aliran modal sebagai satu-satunya jalan menuju
kemakmuran ekonomi[15], maka Amerika Serikat bersama dengan IMF melakukan upaya
penanggulangan krisis yaitu pemberian bantuan dana likuiditas sebagai upaya self-help.
Dalam upayanya, IMF melakukan beberapa kebijakan dengan 4 arahan utama, yaitu :

 Memperkuat pengawasan IMF atas kebijakan negara-negara anggotanya.


 Membantu memperkuat kinerja pasar finansial dengan menjadi technical assistance.
 Secepatnya menyediakan policy advice dan finansial assistance pada saat krisis muncul.
 Membantu untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang termarginalisasi dari
perdagangan global.
Dalam pertemuan tahunan IMF pada tahun 1997 di HongKong, Board of Governors IMF
menyepakati untuk mengamandemen perjanjian IMF untuk upaya liberalisasi pasar dan
liberalisasi arus modal internasional sebagai tujuan dari bantuan dana ini.[16]
Lalu atas dasar arahan kebijakan ini, maka pada tanggal 31 Oktober 1997 diadakan perjanjian
IMF dengan negara-negara yang terkena dampak krisis seperti Indonesia, Korea Selatan, dan
Thailand. IMF dalam perjanjiannya ini memiliki suatu program saran reformasi ekonomi,
dengan mencakup 4 bidang yaitu[17]:
 Penyehatan sektor keuangan.
 Kebijakan fiskal.
 Kebijakan moneter.
 Penyesuaian struktural.
Dalam proses penerapan kebijakannya ini, IMF melakukan pengucuran bantuan dana kepada
Indonesia dan mengalokasikan kredit sekitar USD 11,3 milyar selama 3 hingga 5 tahun masa
program. USD 3,04 milyar dicairkan segera tanggal 15 Maret 1998 dengan syarat bahwa
program rehabilitasi ekonomi telah dijalankan. Sedangkan sisa bantuan dana akan diberikan
jika program yang disepakati berjalan dengan lancar. Dalam hal bantuan dana, tidak hanya
Indonesia yang mendapatkannya, Korea Selatan pun mendapat bantuan dana sebesar USD
21 milyar dan Thailand mendapat bantuan sebesar USD 17,2 milyar.[18]
Dengan melihat beberapa program bantuan yang diberikan, terlihat bahwa Amerika Serikat
menjalankan kepentingannya yaitu dengan mengisyaratkan bahwa negara-negara yang
terkena krisis harus meliberalisasi perekonomian. Dengan liberalisasi ekonomi, diharapkan
akan membuka peluang kegiatan-kegiatan ekonomi yang diharapkan mampu untuk menarik
kembali investasi-investasi dari pihak asing sehingga menghidupkan kembali perekonomian
baik Amerika Serikat maupun negara yang terkena krisis.

Amerika Serikat sendiri memandang krisis moneter Asia sebagai sebuah permasalahan
struktural yang disebut oleh Amerika Serikat disebabkan oleh crony capitalism yaitu
kemunculan suatu sentralisasi koordinasi, dimana pemerintah memainkan peranan yang
cukup dominan dalam bidang ekonomi. Negara memiliki hubungan yang dekat dengan
beberapa konglomerat dan pelaku bisnis yang bercokol di negara tersebut. Seperti contoh
pemerintah Indonesia sangat dekat dengan para cukong. Karena kedekatan tersebut para
pelaku bisnis dapat mempengaruhi pemerintahan negara. Pola kebijakan yang diterapkan
oleh pemerintah yang ternyata telah ada sejak Perang Dunia II disebut mendekati pola
strategi export-led economy yang menerapkan pengurangan modal di pasar pada tahun
1990.[19]
Pola ekonomi tersebut tidak sesuai dengan pandangan Amerika Serikat. Amerika Serikat
menginginkan suatu perekonomian yang terbuka tanpa adanya campur tangan dari
pemerintah sesuai dengan konsep liberalisasi perdagangan. Amerika Serikat juga menentang
adanya hambatan perdagangan, karena dengan tidak adanya hambatan perdagangan akan
mempercepat perkembangan pasar internasional. Hal tersebut menguntungkan Amerika
Serikat, selain membuat Amerika Serikat bertambah kaya juga menyediakan konsumen bagi
barang-barang buatan Amerika Serikat.[20]
Dalam rangka untuk menjaga kepentingannya di Asia khususnya di Asia Tenggara, Amerika
Serikat memilki tujuan untuk membentuk kawasan yang berbentuk anglo-saxon yang bersifat
liberal. Disini jelas bahwa Amerika Serikat berharap dengan terbentuknya model ini maka
perekonomian yang telah diliberalisasi akan berimbas kepada liberalisasi dalam lembaga-
lembaga lainnya dimana tujuannya liberalisme juga masuk ke dalam pemerintahan negara-
negara tersebut sehingga memudahkan Amerika Serikat untuk memperkuat pengaruh dan
posisinya.[21]
Namun meliberalisasi ekonomi bukanlah jalan keluar bagi krisis moneter yang dialami oleh
negara-negara di Asia. Selain tidak sesuai, terdapat fakta bahwa negara-negara Asia belum
siap untuk ikut serta dalam sistem internasional yang dipromosikan oleh Amerika Serikat ini.
Dampaknya adalah bahwa negara-negara yang terkena krisis moneter semakin
terpuruk. [22] Dari beberapa negara di Asia yang mengalami krisis moneter, Indonesia yang
paling terkena imbas yang buruk. Indonesia belum mampu keluar dari jeratan keterpurukan
dan masih sangat jauh dari kondisi stabil seperti pada masa sebelum krisis.
Mempraktekkan Kasus Manajemen Internasional Pengaruh Krisis Asia terhadap Korporasi
Asia Tenggara Pada musim panas 1997, setelah beberapa bulan berjuang untuk
mempertahankan nilai baht, dipatok terhadap dolar AS, pemerintah Thailand memutuskan
untuk meninggalkan bertarung dan biarkan mata uangnya mengalir bebas. Langkah ini
menandai awal dari apa yang sekarang dikenal sebagai Krisis Keuangan Asia, yang sangat
mempengaruhi ekonomi kawasan seperti Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan. Sampai hari
ini, ada perdebatan yang sedang berlangsung tentang dinamika krisis keuangan Asia.
Serangkaian penyebab telah ditunjuk sebagai relevan. Di antara mereka adalah tingkat hutang
perusahaan yang tinggi dari beberapa perusahaan lokal (yang disebabkan oleh akses ke kredit
murah yang mereka nikmati pada 1990-an), memiliki kebijakan pemerintah, dampak turunan
dan spekulasi keuangan, dan meningkatnya persaingan dari Cina. Beberapa ekonom juga
menyebutkan faktor lain yang lebih tidak langsung, seperti devaluasi mata uang Cina pada
tahun 1994, dan penyerahan Hong Kong ke China pada tahun 1997. Sementara negara-negara
yang terkena dampak mencoba mengatasi krisis dengan serangkaian langkah-langkah
kekakuan fiskal, masyarakat internasional memutuskan untuk bertindak untuk mencegah
penularan di seluruh dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) campur tangan, dan
menuangkan dalam tahap pertama program senilai $ 40 miliar untuk membantu
menstabilkan mata uang lokal yang paling terpengaruh oleh penurunan ekonomi di Thailand,
Indonesia, dan Korea Selatan. Upaya-upaya ini, yang sangat dikritik di kawasan ini, memiliki
efek campuran dan, setidaknya dalam kasus Indonesia, tidak berhasil dalam tujuan mereka.
Krisis ekonomi yang meluas dan kerusuhan meluas di Indonesia menyebabkan runtuhnya
pemerintah Suharto. Nilai rupiah Indonesia turun drastis, dari 1 USD = 2,600 INR sebelum
krisis menjadi 1 USD = 14.000 INR selama krisis. Pada tahun 2012, 15 tahun setelah dimulainya
krisis, negara ini telah pulih dari resesi, namun nilai tukar masih di bawah tingkat pra-krisis
(pada 1 USD = 9.200 INR). Negara-negara lain, seperti Malaysia, memutuskan untuk
menggulingkan IMF dan menutup pasar keuangan mereka untuk menghindari tekanan
modal. Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Mohamad, mengadopsi serangkaian pembatasan
dan memimpin oposisi regional terhadap intervensi lembaga asing. Tindakannya terbukti
berhasil dalam keadaan itu, dan Malaysia berhasil pulih lebih cepat daripada negara-negara
lain dari krisis. Namun, konsekuensinya dirasakan di seluruh dunia, dan selama bertahun-
tahun ekonomi ini tidak pulih ke tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Beberapa perusahaan
besar, seperti Daewoo Korea, yang sebelum krisis dianggap terlalu besar untuk gagal,
dibongkar oleh pemerintah mereka dalam krisis setelahnya. Sekarang, lebih dari 15 tahun
setelah peristiwa-peristiwa itu, negara-negara yang terlibat tampak seperti mereka telah
benar-benar pulih dari resesi. Harga yang dibayar dalam beberapa kasus cukup tinggi, dan
hampir tidak ada ekonomi di wilayah itu yang telah keluar tanpa cedera, dengan pengecualian
Cina dan ekonomi sangat terkait dengannya (misalnya Hong Kong dan Taiwan). Bisa dibilang,
pelajaran yang dapat dipelajari negara-negara ini dari ini adalah: berinvestasi dalam kualitas,
memperkuat fundamental ekonomi, dan mencoba mengurangi ketergantungan pada
investasi langsung asing (FDI). Namun, krisis tersebut memiliki beberapa konsekuensi
makroekonomi yang penting dan abadi, yang paling relevan adalah pergeseran bobot
ekonomi di kawasan tersebut. Sedangkan pada tahun 1990-an, "harimau Asia" dan negara-
negara yang secara umum dikenal sebagai NIEs dan Jepang adalah fokus dari FDI, pada tahun
2000an peran ini jelas diteruskan ke negara adidaya baru yang muncul, seperti China dan
India, yang sekarang adalah Asia Timur baru. ekonomi terkemuka.

Anda mungkin juga menyukai