Anda di halaman 1dari 12

Tenggelam : Sebuah Update

J Matthew, 1 BSc, MB ChB, DipPEC (SA), FAWM; C Robertson, 2 MB ChB,


FCEM; R Hofmeyr, 3 MB ChB, DipPEC (SA), MMed (Anaes), FCA (SA),FAWM
Departemen kegawatdaruratan kedokteran, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas
KwaZulu-Natal, Durban; dan life saving Afrika Selatan, Durban, lembaga
penyelamatan laut nasional Afrika Selatan, Cape Town, Afrika Selatan 3 Departemen
Anestesi dan kedokteran perioperatif, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Cape
Town; dan WildMedix, Cape Town, Afrika Selatan
Koresponden penulis: J Matthew (rapid.sequence@yahoo.com)

Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik pada


kasus submersion atau pun immersion di dalam air. Morbiditas dan mortalitas pada
kasus tenggelam adalah beban kesehatan masyarakat yang belum diakui di Afrika
Selatan. Upaya berkelanjutan yang berkesinambungan sedang dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran di antara pengunjung area rekreasi perairan, tetapi
pencegahan dan penanggulangan kasus tenggelam tetap sulit dicapai karena
pelaporan yang buruk dan sumber daya yang terbatas. Prioritas untuk tatalaksana pra-
rumah sakit dan gawat darurat korban tenggelam termasuk di dalamnya memastikan
patensi jalan napas, ventilasi yang memadai, oksigenasi tambahan dan rewarming
untuk pasien dengan denyut nadi masih teraba, dan resusitasi jantung paru serta
rewarming untuk pasien dengan denyut nadi yang tidak teraba.

S Afr Med J 2017; 107 (7): 562-565. DOI: 10.7196 / SAMJ.2017.v107i7.12609

Skenario
Seorang Matriculan berusia 18 tahun pergi ke pantai bersama teman-teman
untuk merayakan hasil ujian sekolahnya. Pesta yang mereka rayakan termasuk
didalamnya kegiatan mengkonsumsi alkohol. Saat menjelang senja, dia pergi
berenang bersama pacarnya. Tidak lama setelah itu dia terlihat melambai-lambai
dengan panik ke teman-temannya di pantai. Kemudian tidak lama setelah itu, dia
telah menghilang di bawah permukaan air. Teman-temannya berenang, dan setelah 10
menit dia berhasil ditemukan dan di bawa ke tepi pantai. Mereka segera memulai
resusitasi jantung paru (CPR), sambil meminta bantuan.

Latar Belakang
Meskipun penting bagi kehidupan, air, yang terdiri dari > 60% massa tubuh
dan mencakup > 75% permukaan planet, terus menjadi ancaman pada lapangan kerja
dan area wisata rekreasi bagi manusia. Kasus tenggelam pada populasi orang dewasa
muda di Afrika Selatan (SA) sayangnya sangat umum. Kemampuan berenang yang
buruk karena kurangnya akses ke fasilitas, seiring dengan penggunaan alkohol dan
mudahnya akses ke sungai, danau, dan laut merupakan faktor yang berkontribusi. Hal
ini diperparah oleh sumber daya yang relatif terbatas untuk menanggapi insiden kasus
tenggelam di wilayah yang luas dan tidak terpantau, mengakibatkan meningkatnya
beban penyakit yang mempengaruhi kelompok populasi dewasa muda di SA.
Pengenalan tentang kasus tenggelam juga merupakan suatu masalah, karena tidak
setiap korban tenggelam dapat menunjukkan bahwa mereka membutuhkan
pertolongan (Gambar 1). Ulasan ini membahas bukti dan rekomendasi tentang kasus
tenggelam dari perspektif Afrika, dan menciptakan lingkup hidup sehat agar
selangkah lebih dekat untuk mengembangkan pedoman bagi negara Afrika.

Definisi
Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik
pada kasus perendaman atau pencelupan dalam air. [1] Kasus tenggelam
diklasifikasikan sebagai tenggelam dengan kematian, tenggelam dengan morbiditas,
atau tenggelam tanpa morbiditas. [1] Istilah lama lainnya (seperti wet, dry atau near
drowning) dianggap tidak membantu, dan telah ditinggalkan.
Epidemiologi
Secara dramatis, epidemiologi kasus tenggelam bervariasi di seluruh dunia,
tetapi lebih parah di negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Data AS
melaporkan ~ 4 000 kematian tenggelam, 8.000 dirawat inap dan 31.000 kunjungan
di unit gawat darurat (ED) pertahun untuk anak-anak berusia <19 tahun. [2]
Sayangnya, tidak ada data yang diterbitkan secara konsisten untuk SA, tetapi
informasi awal dari Lifesaving South Africa (LSA) menunjukkan kecenderungan
serupa dalam demografi usia, meskipun angka yang sebenarnya sebagian besar tidak
diketahui. [3] Ekstrapolasi dari data patologi forensik di Western Cape memberikan
perkiraan 4/100.000 kasus tenggelam yang fatal tiap tahun, yang serupa dengan
estimasi WHO untuk negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika. Meskipun
hanya diperkirakan 1 dari 4 kasus yang dilaporkan, Afrika memiliki tingkat kasus
tenggelam tertinggi di dunia.

Gambar 1. Bertolak belakang dengan kepercayaan umum, korban yang tenggelam


sering kali tidak dapat memberi sinyal butuh pertolongan, dan sering tidak
diperhatikan.

Pengembangan panduan terbaru


Pedoman yang baru-baru ini diperbarui untuk pencegahan, tatalaksana pra-
rumah sakit dan tatalaksana saat di ruang gawat darurat pada kasus tenggelam telah
diterbitkan oleh Wilderness Medical Society (WMS). [5] Namun, penerapan
pedoman internasional dalam kondisi sumber daya yang terbatas harus
dipertimbangkan dengan hati-hati. Di SA, pedoman WMS sedang menjalani
peninjauan oleh Wilderness dan Expedition Medicine Society of Southern Africa
untuk memastikan relevansinya terhadap keadaan di SA. Meskipun demikian, mereka
telah mengajukan standar praktik berbasis bukti, di mana artikel utama dan penelitian
penting lainnya di lapangan sedang diintegrasikan dengan Strategi Pencegahan
Western Cape yang saat ini tengah dikembangkan oleh LSA, the National Sea
Rescue Institute (NSRI) of SA, Western Cape Provincial Disaster Management, dan
the SA Medical Research Council. Tujuan utamanya adalah memperluas studi ini
untuk mengembangkan strategi nasional.

Pencegahan Tenggelam
Kasus tenggelam dikaitkan dengan prognosis yang umumnya buruk, dan oleh
karena itu fokus awalnya harus selalu pada strategi pencegahan yang pasti dan
berulang. Siapa pun yang terlibat dalam pekerjaan dan aktivitas yang berhubungan
dengan area rekreasi perairan harus menjalani pemeriksaan medis dasar untuk
menyingkirkan penyakit medis yang memungkinkan mereka rentan kehilangan
kemampuan bertahan di dalam air. Secara khusus, anak-anak dengan riwayat kejang
dan sindrom QT berkepanjangan harus diperhatikan karena dianggap berisiko. [6,7]

Upaya terpadu harus dilakukan untuk mendidik anak-anak dan remaja tentang
cara bertahan hidup saat berenang (mengapung), yang harus diintegrasikan ke dalam
program kecakapan hidup di sekolah. [8] Pelampung pribadi harus disediakan,
terlepas dari kemampuan berenang, terutama pada anak-anak. Pengawasan orang
dewasa -khususnya di lingkungan rumah- sangat penting untuk mencegah terjadinya
tenggelam. [9] Penutup kolam renang dan penghalang untuk mencegah akses ke
kolam oleh anak-anak kecil sangat penting, tetapi sayangnya masih tidak ditetapkan
di SA.

Di masyarakat pedesaan dengan pendapatan yang lebih rendah di mana kasus


tenggelam biasanya terjadi di lingkungan air tawar (bendungan, sungai, danau,
ember, pemandian, parit, saluran pembuangan atau sumur), pencegahan sangatlah
menantang. Konsumsi alkohol sebelum dan selama berenang harus dicegah. [7]
Berenang di area di mana ada penjaga pantai yang berjaga juga harus dianjurkan dan
diberlakukan.

Tatalaksana Pra-rumah sakit


Penyelamatan korban tenggelam membutuhkan keterampilan khusus,
kemampuan fisik, dan pelatihan bersertifikat. Penyelamatan yang dilakukan oleh
orang yang tidak memenuhi kriteria ini dapat memberikan ancaman berisiko terhadap
para tenaga penyelamat. [5] Seseorang tanpa pelatihan yang sesuai harus berusaha
menjangkau korban, sambil memastikan bahwa mereka telah mengamankan diri ke
satu titik aman. Jika ini tidak berhasil, alternative lain yang dapat dilakukan adalah
melemparkan perangkat apung (pelampung) ke korban. Berdasarkan skenario, ini
mungkin saja merupakan respons pertama sembari mencari atau meminta bantuan.
Jika ada, perahu dapat digunakan untuk menjangkau korban. Tidak satu pun dari
upaya ini yang dapat memberikan ancaman berisiko terhadap para tenaga penyelamat.

Penyelamat terlatih bekerja sesuai tingkat pengalaman, keterampilan, dan


kemampuan fisik mereka, dan menggunakan peralatan yang tersedia. Resusitasi
dalam air sulit dilakukan, dan seharusnya hanya boleh dilakukan jika korban tidak
dapat dikeluarkan dari dalam air dengan cepat dan aman, dan hanya oleh penyelamat
terlatih. Hanya sedikit keterangan yang menunjukkan bahwa apa pun selain ventilasi
bermanfaat bagi korban tenggelam yang masih berada di dalam air. [5]

Begitu keluar dari dalam air, dan sesegera mungkin setelah mengatasi kondisi
yang dapat mengancam nyawa, korban harus dihangatkan secara aktif maupun pasif,
tergantung pada sarana yang tersedia. Setelah dipaastikan bahwa pasien masih
memiliki denyut nadi, prioritas utama pada resusitasi adalah manajemen jalan napas,
oksigenasi dan ventilasi. [10] Untuk orang yang telah tidak memiliki denyut nadi,
CPR harus dimulai dengan kompresi dada, dengan memperhatikan patensi jalan
napas, ventilasi dan suplai oksigen tambahan. Manuver Heimlich tidak dianjurkan
pada kondisi di mana air dengan kandungan partikulat tetap menjadi penyebab
obstruksi jalan napas. [11] CPR harus mengikuti prinsip-prinsip bantuan hidup dasar.
[12] Defibrilasi mungkin tidak efektif terhadap pasien dengan hipotermia berat, di
mana estimasi waktu terendamnya lebih lama. Fokus di sini adalah kompresi dada
yang efektif disertai dengan rewarming. [13,14]

Insiden terkait cedera tulang belakang leher pada kasus tenggelam adalah
˂5%, dan biasanya dikaitkan dengan menyelam dari ketinggian. [5] Oleh karena itu,
perlindungan tulang belakang tidak menjadi perhatian pada kasus tenggelam kecuali
ditemukan adanya mekanisme signifikan yang dapat menyebabkan cedera tulang
belakang leher, cedera lain yang parah, defisit neurologis fokal, gangguan anatomis,
kelainan pada tulang belakang leher yang menyebabkan perubahan status mental. [15]

Jika hanya terdapat kondisi yang mengancam jiwa korban atau tengah
melakukan CPR, korban tenggelam harus segera di bawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut tanpa penundaan sedikit pun.
Akses vaskular biasanya tidak begitu diindikasiakan, dan waktu yang ada seharusnya
tidak dihabiskan di tempat hanya untuk mencari akses.
Tatalaksanan di bagian kegawatdaruratan medis
Prioritas awal untuk korban tenggelam adalah sama, baik dalam penanganan
pra-rumah sakit maupun setelah tiba di ruang gawat darurat. Jika pasien tetap tidak
memiliki denyut nadi, fokusnya adalah pada tindakan CPR yang efektif disertai
rewarming, mengacu pada panduan bantuan hidup kardiovaskular yang terbaru. [12]
Jika pasien memiliki denyut nadi, rewarming dan pemantauan harus dilakukan
sembari memusatkan perhatian pada patensi jalan napas, oksigenasi untuk mencapai
saturasi arteri perifer yang ditargetkan minimal 95%, dan ventilasi yang adekuat. [16]
Jika ventilasi mekanis digunakan, sesuai indikasi, strategi perlindungan paru harus
digunakan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) and FiO2 untuk
mempertahankan kadar PaO2 yang adekuat. Ventilasi non-invasif dapat
dipertimbangkan jika tidak terdapat kontraindikasi pada pasien hipoksia dengan
gejala gangguan pernapasan ringan sampai sedang. Literatur yang membahas tentang
manajemen hipotermia terapeutik pada korban tenggelam masih tidak jelas. [17]
Mungkin saja terdapat efek terapi hipotermia pada pasien dengan sirkulasi spontan
yang kembali setelah mengalami henti jantung setelah tenggelam.

Kecuali jika diindikasikan, rontgen dada tidak begitu bermakna, karena tidak
berhubungan dengan prognosis atau pun pemeriksaan lainnya. Pengukuran gas darah
arteri mungkin berguna untuk menentukan titrasi oksigenasi dan kebutuhan untuk
dilakukannya ventilasi. [18] Meskipun pernah dilakukan penelitian yang
menggambarkan perbedaan patofisiologi tenggelam di air garam dan air tawar pada
binatang, namun hal ini belum dijelaskan dan dibuktikan secara pasti terhadap
manusia. [19] Kelainan elektrolit dan perubahan osmolaritas hanya terjadi ketika
korban mengaspirasi air dengan dalam jumlah > 11 - 22 mL / kg, sementara
penelitian menunjukkan bahwa pada manusia yang tenggelam jumlah air yang
diaspirasi ~ 3 - 4 mL / kg. [18] Oleh karena itu, peran pemeriksaan elektrolit rutin
masih dipertanyakan.
Diagnosis alternatif harus dipertimbangkan jika pasien terus memiliki
perubahan mental status yang menetap meskipun terapi medis optimal telah
diberikan. Cedera atau penyakit penyerta lainnya mungkin merupakan faktor
pencetus hingga terjadinya submersion atau immersion.

Penggunaan antibiotik lebih awal dalam tatalaksana korban tenggelam di ED


tidak diindikasikan. [20] Sulit untuk membedakan antara respon stres akibat
tenggelam dan penyebab infeksi yang sebenarnya berdasarkan pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium, dan bahkan bedside diagnostic juga tidak sensitif.
Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien dengan demam tinggi yang
terus menerus dan menglami peningkatan produksi sputum. Tes procalcitonin
mungkin bermanfaat untuk membantu penarikan kesimpulan klinis kapan akan
memulai terapi antibiotik. Penggunaan steroid secara rutin juga tidak diindikasikan.
[20]

Tabel 1. Klasifikasi korban tenggelam berdasarkan temuan klinis pada


tampakan awal dan mortalitas yang terkait.
Tanda
Grade Tanda Pernapasan kardiovaskular Mortalitas, %

Normal auskultasi dan tidak


0 ada batuk Nadi radial teraba 0
Normal auskultasi dan batuk
1 ringan Nadi radial teraba 0
Suara gemeretuk, busa kecil
2 di mulut Nadi radial teraba 0.6
3 Edema paru akut Nadi radial teraba 5.2
4 Edema paru akut Hipotensi 19
5 Henti napas Hipotensi 44
6 Henti jantung Tidak teraba nadi 93
Dikutip dari Schmidt et al [5]

Tabel 2. Prediksi mortalitas pada kasus anak tenggelam: skor Orlowski


Faktor Prognostik Skor Orlowski
Umur <3 tahun 1 poin diberikan untuk tiap faktor
prognostik yang tidak baik
Estimasi maksimal waktu submersi Skor ≤2 = kemungkinan pulih 90%, skor
selama >5 menit ≥3 = kemungkinan pulih 5%
Tidak ada upaya resusitasi selama >10
menit setelah penyelamatan
Keadaan koma saat tiba di ED
pH gas darah arteri ≤7.10
Dikutip dari Anderson et al [22]

Korban tenggelam di ED dapat diobservasi selama 4 - 6 jam dan boleh


dipulangkan jika menunjukkan gejala batuk ringan atau tidak sama sekali, tidak ada
kelainan pada suara paru atau perubahan status mental, dan kondisi membaik atau
tidak memburuk selama periode observasi. [5] Kriteria untuk perawatan termasuk
gejala batuk yang berat, suara paru abnormal, sputum berbuih atau material berbusa
di saluran napas, hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan arteri
rata-rata <60 mmHg) dan perubahan status mental. [5]

Beberapa sarana prognostik telah diusulkan untuk membantu memperkirakan


prognosis dari kasus tenggelam. Waktu lamanya submersi memiliki hubungan negatif
dengan kelangsungan hidup. Hipoksia tetap menjadi prediktor utama dari prognosis.
[21] Jika pasien bertahan hingga tiba di ED, mortalitas tetap bisa mencapai ≥93%,
tergantung pada kondisi awal korban. [5] Tabel 1 menggambarkan kondisi temuan
klinis korban saat awal ditemukan beserta tingkat mortalitas yang terkait. Hipotensi
sendiri menyumbang prediksi mortalitas mencapai ≥19%.

Skor Orlowski (Tabel 2) digunakan pada kasus anak tenggelam untuk


menentukan prognosis. [22]

Ketika pasien tiba di ED dalam kondisi mengalami cardiac arrest dengan


upaya resusitasi aktif, harus ditarik kesimpulan apakah akan melanjutkan resusitasi
atau tidak. Hal ini sering kali sulit dilakukan dan secara emosional menjadi beban
bagi para staf ED. Indikator yang mengarah pada prognostic yang buruk dalam
penelitian kasus tenggelam adalah lama submersi selama >30 menit, dengan suhu air
>6°C; lama submersi >90 menit, dengan suhu air ˂6°C; dan setidaknya dilakukan
CPR berkualitas tinggi setidaknya selama 25 menit tanpa adanya pengembalian
sirkulasi spontan. [5,23] Di wilayah dengan sumber daya yang lengkap tersedia,
melakukan tindakan oksigenasi membran ekstrakorporeal mungkin tepat, terutama
pada kasus tenggelam yang disertai dengan hipotermia.

Resolusi skenario
Korban tenggelam pada kasus ini menerima CPR langsung dari teman
sekolahnya yang telah memperlajari pertolongan pertama di kelas tambahan
kemampuan kecakapan hidup mereka. Respon cepat penanganan pra-rumah sakit
memberikan bantuan dalam mempertahankan sistem kardiovaskular dan transportasi
udara adekuat higga dapat tiba ke rumah sakit terdekat yang mampu menangani
korban tenggelam, di mana ia dengan cepat dihangatkan di ruang Gawat Darurat dan
dirawat di unit perawatan intensif selama 2 minggu. Dengan manajemen yang ideal,
dia pulih dengan baik, dan dapat kembali memulai pendidikannya di universitas
setelah liburan usai, tanpa adanya kelainan neurologis.
Kesimpulan
Manajemen dan pencegahan kasus tenggelam memiliki hubungan yang rumit
di antara tanggung jawab pribadi dan keluarga, kecakapan penyelamat awal, penyedia
pelatihan pra-rumah sakit, manajemen ED yang efektif berbasis bukti dan dukungan
perawatan dengan prognostikasi yang tepat.

Ini juga melibatkan advokasi sosial dan pemerintah untuk melakukan promosi
mengenai pencegahan yang dimulai di rumah dan diintegrasikan ke dalam program
sekolah. Diperlukan pedoman dari badan ahli seperti LSA dan NSRI, serta kolaborasi
dari dari berbagai lembaga multidisiplin untuk memastikan bahwa masalah ini
ditangani secara nasional dan terus menerus.

Poin pembelajaran
Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik
pada kasus submersion atau pun immersion di dalam air.

Prioritas utama dalam penanganan korban tenggelam pada tatalaksanan pra-


rumah sakit dan ED meliputi, memastikan patensi jalan napas, ventilasi yang
memadai, oksigenasi tambahan dan rewarming untuk pasien dengan denyut nadi
yang masih teraba, dan CPR disertai rewarming untuk pasien dengan denyut nadi
yang tidak teraba.
Prioritas awal pada korban tenggelam adalah sama, baik dalam lingkup pra-rumah
sakit atau pun ED.

Referensi :
1. Van Beeck EF, Branche CM, Szpilman D, Modell JH, Bierens JJLM. A new definition of drowning:
Towards documentation and prevention of a global public health problem. Bull World Health Organ
2005;83(11):853-856. https://doi.org//S0042-96862005001100015
2. Hwang V, Shofer FS, Durbin DR, Baren JM. Prevalence of traumatic injuries in drowning and near
drowning in children and adolescents. Arch Pediatr Adolesc Med 2003;157(1):50-53. https://doi.
org/10.1001/archpedi.157.1.50
3. Donson H, van Niekerk A. Unintentional drowning in urban South Africa: A retrospective investigation,
2001 - 2005. Int J Inj Contr Saf Promot 2013;20(3):218-226. https://doi.org/10.1080/1
7457300.2012.686041 World Health Organization. Facts about injuries: Drowning. In: Injuries and
Violence Prevention.
4. Geneva: WHO, 2014.
5. Schmidt AC, Sempsrott JR, Hawkins SC, Arastu AS, Cushing TA, Auerbach PS. Wilderness Medical
Society Practice Guidelines for the Prevention and Treatment of Drowning. Wilderness Environ Med
2016;27(2):236-251. https://doi.org/10.1016/j.wem.2015.12.019
6. Bell GS, Gaitatzis A, Bell CL, Johnson AL, Sander JW. Drowning in people with epilepsy: How great is
the risk? Neurology 2008;71(8):578-582. https://doi.org/10.1212/01.wnl.0000323813.36193.4d
7. Papadodima SA, Athanaselis SA, Skliros E, Spiliopoulou CA. Forensic investigation of submersion
deaths. Int J Clin Pract 2010;64(1):75-83. https://doi.org/10.1111/j.1742-1241.2008.01890.x
8. Weiss J, Gardner HG, Baum CR, et al. Policy statement – prevention of drowning. Pediatrics
2010;126(1):178-185. https://doi.org/10.1542/peds.2010-1264
9. Franklin RC, Scarr JP, Pearn JH. Reducing drowning deaths: The continued challenge of immersion
fatalities in Australia. Med J Aust 2010;192(3):123-126.
10. Szpilman D, Bierens JJLM, Handley AJ, Orlowski JP. Drowning. N Engl J Med 2012;366(22):2102-
2110. https://doi.org/10.1056/NEJMra1013317
11. Layon AJ, Modell JH. Drowning: Update 2009. Anesthesiology 2009;110(6):1390-1401. https://doi.
org/10.1097/ALN.0b013e3181a4c3b8
12. Soar J, Perkins GD, Abbas G, et al. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010.
Section 8. Cardiac arrest in special circumstances: Electrolyte abnormalities, poisoning, drowning,
accidental hypothermia, hyperthermia, asthma, anaphylaxis, cardiac surgery, trauma, pregnancy,
electrocution. Resuscitation 2010;81(10):1400-1433. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2010.08.015
Harries M. Near drowning. BMJ 2003;327(7427):1336-1338.
https://doi.org/10.1136/bmj.327.7427.1336
13. Salomez F, Vincent JL. Drowning: A review of epidemiology, pathophysiology, treatment and
prevention. Resuscitation 2004;63(3):261-268. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2004.06.007
14. Watson RS, Cummings P, Quan L, Bratton S, Weiss NS. Cervical spine injuries among submersion
victims. J Trauma 2001;51(4):658-662. https://doi.org/10.1097/00005373-200110000-00006
15. Wang TL. Management of victims with submersion injury. Ann Disaster Med 2004;2(Suppl 2):S89-
S96.
16. Choi SP, Youn CS, Park KN, et al. Therapeutic hypothermia in adult cardiac arrest because of
drowning. Acta Anaesthesiol Scand 2012;56(1):116-123. https://doi.org/10.1111/j.1399-
6576.2011.02562.x
17. Topjian AA, Berg RA, Biernes JJLM, et al. Brain resuscitation in the drowning victim. Neurocrit Care
2012;17(3):441-467. https://doi.org/10.1007/s12028-012-9747-4
18. Cushing TA, Hawkins SC, Sempsrott J, Schoene RB. Submersion injuries and drowning. In: Auerbach
PS.
19. Wilderness Medicine. Philadelphia: Elsevier, 2012: 1494-1513.
20. Gregorakos L, Markou N, Psalida V, et al. Near-drowning: Clinical course of lung injury in adults. Lung
2009;187(2):93-97. https://doi.org/10.1007/s00408-008-9132-4
21. Ballesteros MA, Gutierrez-Cuadra M, Munoz P, Minambres E. Prognostic factors and outcome after
drowning in an adult population. Acta Anaesthesiol Scand 2009;53(7):935-940. https://doi.
org/10.1111/j.1399-6576.2009.02020.x
22. Anderson KC, Roy TM, Danzl DF. Submersion incidents: A review of 39 cases and development of the
submersion outcome score. J Wilderness Med 1991;2(1):27-36. https://doi.org/10.1580/0953-9859-
2.1.27
23. Tipton MJ, Golden FS. A proposed decision-making guide for the search, rescue and resuscitation of
submersion (head under) victims based on expert opinion. Resuscitation 2011;82(7):819-824. https://
doi.org/10.1016/j.resuscitation.2011.02.021

Anda mungkin juga menyukai