Anda di halaman 1dari 8

Berbagai cara kepemimpinan Jokowi tersebut akan diulas melalui pemaparan berikut ini:

#1 Mendengarkan
Mendengar setiap pendapat dan saran dari orang-orang di sekitar adalah ciri khas dan
pembawaan Jokowi yang mencolok dalam kepemimpinannya. Mendengarkan secara
aktif adalah suatu kemampuan kepemimpinan yang menunjukkan perhatian kepada
berbagai masalah-masalah masyarakat.

#2 Berempati
Berempati terhadap perasaan atau penderitaan dari sesama manusia adalah karakteristik
kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang Jokowi.
Ketika banjir besar yang terjadi di Jakarta pada tahun 2012, beliau ikut membantu warga
masyarakat yang menjadi korban bencana dengan ikut terjun langsung ke area yang
terkena banjir. Dengan demikian beliau pun ikut langsung merasakan penderitaan yang
dialami warga

#3 Kesadaran
Kesadaran adalah salah satu ciri kepemimpinan yang kuat dalam diri Jokowi. Ketika
beliau sedang menyampaikan pidatonya dalam dialek betawi saat perayaan ulang tahun
Jakarta yang ke-64, Jokowi sempat meminta maaf karena beliau kurang fasih melafalkan
dialek Betawi, hal ini dikarenakan beliau adalah seorang dari suku Jawa.
Kesadarannya terhadap budaya lokal juga perlu diacungi jempol ketika beliau
mempelopori untuk mengenakan pakaian khas Betawi selama jam kerja. Robert
Greenleaf menambahkan bahwa tanpa kesadaran, seorang pemimpin dapat kehilangan
berbagai kesempatan yang seharusnya dapat beliau peroleh ketika beliau memimpin

#4 Pengarahan
Jokowi seringkali melakukan “blusukan” dan memberikan pengarahan kepada para
karyawan/pegawai mengenai hal-hal yang harus dilakukan secara profesional dalam
mengemban tugas pemerintahan dan melayani masyarakat.
Ted John (2008) berpendapat bahwa seorang pemimpin membawa orang-orang kepada
hal-hal yang mereka inginkan. Tetapi, seorang pemimpin besar dapat mengarahkan
orang-orang untuk melakukan sesuatu yang bahkan tidak ingin mereka lakukan.

#5 Keefektifan
Salah satu atribut kepemimpinan Jokowi adalah keefektifan yang dimulai dengan
membangun consensus/persetujuan bersama, pembagian tugas secara jelas dan
kemudian memonitor implementasi dari setiap keberhasilan pekerjaan sesuai dengan
yang sudah direncanakan.
Menurut Greenleaf (1970), seorang pemimpin berjiwa pelayan yang efektif dapat
membangun kesepakatan bersama melalui pendekatan dan bujukan yang lemah lembut
serta tidak menggunakan kuasanya sebagai pemimpin untuk memaksakan kehendaknya

#6 Mengambil Risiko
Jokowi lebih memilih untuk menjadi Gubernur Jakarta daripada menduduki jabatan
yang nyaman sebagai Walikota di Solo, hal ini jelas membuktikan bahwa Jokowi adalah
seorang pengambil risiko.
Selain masalah kemacetan dan banjir, berbagai permasalahan yang dihadapi Jakarta
diantaranya seperti kemiskinan, daerah kumuh, minimnya pelayanan publik, dan korupsi
yang merajalela. Namun seperti pendapat John Garner (1990), seorang pemimpin adalah
seorang pengambil risiko

#7 Berjiwa Melayani
Berjiwa melayani dan memberikan kenyamanan kepada orang-orang di sekitar Jokowi
adalah salah satu strateginya untuk mendapatkan kepercayaan dari mereka sehingga
tidak mengherankan apabila Jokowi kemudian mendapatkan julukan-julukan
diantaranya warga Betawi, teman wartawan atau pelindung masyarakat.
Pemimpin yang berjiwa melayani sangat berdampak dan memberikan suatu kepercayaan
pada hubungan relasi dengan masyarakat yang beliau pimpin

#8 Mengobati/Menyembuhkan
Kata mengobati atau menyembuhkan, menurut Greenleaf (1970) adalah kesadaran
seorang pemimpin mengenali dan mengerti serta memenuhi kebutuhan yang sangat
diperlukan dari komunitas. Dengan cara inilah, Jokowi mengimplementasikan strategi
pro rakyatnya dengan jalan merelokasi penduduk yang tinggal di sisi sungai dan tempat
penampungan air.

#9 Berinovasi
Berinovasi, menurut Green, Howells dan Miles (2002) adalah melakukan sesuatu yang
baru seperti memulai sebuah proses, menciptakan produk atau mengadopsi suatu pola
hubungan dan organisasi.
Seleksi terbuka camat dan lurah serta jabatan Eselon II dan III di lingkungan Pemda
DKI pada bulan Juni 2013 yang lalu merupakan bukti inovasi Jokowi untuk
memperbaiki praktik pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik yang terbaik
#10 Bujukan yang Meyakinkan
Persuasi/Bujukan menurut Craig Van Slyke (2013) merupakan kunci dari kepemimpinan
yang dapat mengubah sikap, perilaku dan bahkan keyakinan dari orang lain.
Kemampuan Jokowi dalam melakukan persuasi/bujukan sudah terbukti sejak beliau
menjabat sebagai Walikota Solo, dan ketika beliau membujuk sekitar 7000 kepala
keluarga yang tinggal di Waduk Pluit untuk pindah ke tempat yang lebih layak.
Gaya kepemimpinan tersebut diterapkan Jokowi ketika beliau melakukan penataan PKL
di Pasar Minggu, Jatinegara, Glodok dan Tanah Abang

Karakter Kepemimpinan Jokowi


10 karakter kepemimpinan yang diterapkan oleh Jokowi tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa Jokowi cenderung mengarah kepada gaya kepemimpinan yang
melayani. Robert Kiefner Greenleaf (1904-1990) menyatakan bahwa mengutamakan
pelayanan kepada masyarakat merupakan kerangka kerja yang teoretis sebagai motivasi
kunci seorang pemimpin.
Selain itu, Larry Spears menambahkan bahwa kepemimpinan yang melayani
menerapkan pendekatan holistik yang ditekankan terhadap pekerjaan, kepekaan kepada
kepentingan masyarakat dan pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
Sumber Referensi:
• Awang Anwaruddin. 10 Attributes of Jokowi’s Leadership. Academia.edu –
https://goo.gl/HQNQzf
• Buku Jokoway. 28 Oktober 2016. Enam Gaya Kepemimpinan Jokowi Pimpin
Indonesia. Rmoljabar.com – https://goo.gl/qY9TX0
Analisa kepemimpinan jokowi :
1 . Blusukan yang di lakukan jokowi iya masukkan ke dalam manajemen perencanaan dan
manajemen control
Kita sering mendengar, bagaimana Gubernur Jakarta sekarang, Joko Widodo, sering berkunjung ke
masyarakat untuk memahami masalah-masalah masyarakat. Media memberi nama untuk gaya
memimpin semacam ini, yakni “blusukan”.
Hampir setiap hari, ia berkeliling kota, mengunjungi berbagai tempat, dan berbicara dengan warganya.
Dari tatap muka langsung ini, ia bisa mendapatkan gambaran nyata tentang akar masalah sosial
masyarakatnya, lalu mulai membuat langkah nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Gaya semacam ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan politik yang bermutu lahir dari
data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para pemimpin politik seringkali tidak
akurat, sehingga kebijakan yang dibuat pun akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru
memperbesarnya. Jarak antara data yang biasanya berupa statistik, dengan kenyataan di lapangan
inilah yang bisa diperkecil dengan gaya politik blusukan.
Politik “blusukan” juga memungkinkan para pemimpin politik bertatap muka langsung dengan
warganya. Interaksi ini tentu saja membangun kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting sebagai
pengikat masyarakat, supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama menyelesaikan berbagai
persoalan yang ada.
Dengan politik “blusukan”, para pemimpin politik bisa memeriksa langsung, apakah keputusan yang
telah ia buat dijalankan dengan baik atau tidak. Dari sudut pandangan metode berpikir ilmiah, ini
disebut juga verifikasi. Banyak pemimpin lupa memeriksa lagi, apakah kebijakan yang telah dibuat
sungguh membantu masyarakat atau tidak. Dengan politik blusukan, gaya lama semacam ini bisa
dihindari.
Namun, “blusukan” juga memiliki kelemahannya. Blusukan bisa merosot menjadi politik pencitraan,
ketika pimpinan politik hanya berkeliling di masyarakat, supaya terlihat peduli, namun tak ada
keputusan nyata yang bisa membantu memecahkan pesoalan-persoalan sosial masyarakat.
2. Mendelegasikan wewenang
Jokowi bisa mendelegasikan tidak hanya tugas tetapi juga wewenang atau mandat untuk melakukan
tugas-tugas. Pedelegasian dapat menumbuhkan rasa bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang
harus dikerjakan. Jokowi sadar sebagai pemimpin dia tidak bisa bekerja sendiri. (Contoh: Jokowi
mendelegasikan tugas dan wewenang kepada ahok dan kepala2 dinas dan juga kepada para walikota
serta camat dan lurah, meskipun ini masih belum berjalan dengan baik tetapi dia telah berusaha dengan
lelang jabatan dan rotasi petugas sehingga mempunyai sama visi dan misi untuk nantinya bisa
dipercayakan dengan tugas dan wewenang demi memajukan Jakarta, dan untuk mencapai tujuan yang
sama).
pendelegasikan wewenang mesti dibarengi dengan skala prioritas kerja yang diintruksikan gubernur,
sehingga menjadi acuan bagi setiap pejabat dan pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
Supaya pemerintahan efektif, tidak mungkin ditangani sendiri semuanya, tapi ada pendelegasian
wewenang. Tanggung jawab utama tetap penuh ada di kepala daerah, bukan di wakil.
3. Setiap bekerja selalu ingin mendengar, tahu keluhan rakyat, dan kesulitan rakyat
Pemimpin yang mau langsung turun lapangan dan mendengarkan permasalahan dari warganya, maka
akan mendapatkan laporan yang sebenarnya. Dengan demikian akan bisa langsung diambil tindakan.
Empathy’ atau ikut merasakan perasaan atau penderitaan orang lain adalah karakteristik lain
kepemimpinan Jokowi yang menonjol.
4. Blusukan juga menjaring aspirasi bagi rakyat
Pemimpin dengan mengenali dan memahami kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya sehingga
bantuan yang diberikan sesuai dengan kepentingan mereka.
Strategi ‘blusukan’ ke jantung masyarakat yang dilakukan Jokowi jelas dimaksaudkan untuk ‘healing’
sehingga keluarlah kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, seperti Kartu Jakarta Sehat, Relokasi ke
Rusun, Pesta Rakyat Betawi, dll.
5. Dalam membuat sebuah kebijakan/keputusan harus merencanakan nya terlebih dahulu
berorientasi pada hasil dilakukan Jokowi dengan mengawali dengan membangun konsensus bersama,
kemudian membagi tugas secara jelas, dan selanjutnya memantau pelaksanaan pekerjaan hingga
berhasil sesuai yang direncanakan.

Dari analisa diatas dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan yang dipakai jokowi yaitu :
1. Demokrat
Sebelum membuat suatu keputusan jokowi selalu ingin mendengar, tahu keluhan rakyat, dan kesulitan
rakyatnya, dengan begitu iya bisa memutuskan kebijakan/keputusan yang direncanakannya dan
berunding dengan bawahan nya terlebih dahulu.
2. Non personal
Karena jokowi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta yang di lantik oleh Menteri dalam Negeri
melalui sumpah/janji.
3. Kharismatik
· Jokowi mempunyai daya penarik yang sangat besar, karena itu umumnya
mempunyai pengikut yang jumlahnya juga besar.
· Pengikut jokowi tidak dapat menjelaskan, mengapa mereka tertarik mengikuti
dan menaati pemimpinnya.
· Karisma yang dimiliki tidak bergantung pada umur, kekayaan, kesehatan,
ataupun ketampanan jokowi.

Dari analiasa diatas kita juga bisa menyimpulkan gaya kepemimpinan yang dipakai oleh jokowi:
Gaya kepemimpinan demokratis
Karena jokowi selalu mendelegasikan wewenangnya, dengan pendelegasian wewenang tersebut tiap-
tiap divisi diberi kepercayaan penuh untuk menyelesaikan tugasnya dan secara berkala jokowi akan
memantau/mengontrol pekerjaan yang telah diberikan pada masing-masing divisi
http://rizukaal-fajar.blogspot.com/2014/06/analisa-kepemimpinan-jokowi.html

kekurangan
Pelajaran yang bisa kita tarik dari Jokowi adalah pemimpin yang kurang tegas dari awal. Tidak boleh
ada negeri dipimpin dengan kamuflase,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Siti Zuhro saat menjadi pembicara diskusi berkala Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di
Kantor DPP Perindo Jalan Diponegoro Jakarta semalam.

Gaya kepemimpinan kamuflase menurut dia sangat tidak tepat diterapkan di tingkat nasional. Sebab
yang dibutuhkan ketika sudah berada pada tataran atas adalah melakukan kerja nyata. “Kalau di tingkat
kota, provinsi mungkin, tapi di tingkat nasional tidak bisa (kamuflase),” tuturnya. Dia mencontohkan,
program kartu sakti yang pada waktu kampanye menjadi alat menarik simpati masyarakat justru ketika
pemerintah baru berjalan tidak sukses.

Hal itu karena dalam menjalankan sebuah program tidak hanya membutuhkan rencana yang bagus, tapi
juga komitmen yang kuat di lapangan. “Negara ini memerlukan kerja, rencana program bagus, tapi
harus juga didukung pemimpin yang strong leadership . Bukan berarti harus seorang tentara, tapi tegas
dan konsisten,” jelasnya. Dia menambahkan, gambaran pemimpin dalam konteks Indonesia adalah
yang bisa memberikan inspirasi, mampu memotivasi, dan berjiwa pemimpin.

“Persoalan mendasar negeri ini adalah membangun demokrasi, tapi tidak tahu demokrasi apa yang kita
bangun,” ucapnya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, dalam
100 hari pemerintahan Jokowi mendapat rapor merah dari masyarakat. Sejumlah kebijakan negatif
mengemuka meliputi perjalanan pemerintahan yang awalnya dibentuk untuk kerja tersebut.

“Di dalam pemerintahan ini tidak ada pakem. Semua berjalan atas sikap sendiri atas hasrat dan
keinginan sendiri dengan mengatasnamakan negara,” ucap Rofiq. Menurut Rofiq, Presiden Jokowi
gagal menjalankan proses bernegara dengan landasan hukum yang kuat. Akibatnya semua kebijakan
hanya dilandasi kepentingan dan fundamental yang tidak strategis yang justru tidak langsung
berhubungan dengan rakyat secara keseluruhan.

“Kita tidak menemukan satu bangunan demokrasi yang disusun secara sehat, tapi dibangun
berdasarkan kepentingan kekuatan-kekuatan yang mem-back-up selama ini,” tuturnya. Rofiq
menyarankan agar Jokowi juga mau mengevaluasi kinerja kabinetnya yang gagal menyokong dirinya.
Karena dari setiap kebijakan yang dikeluarkan seorang presiden, menterilah yang nantinya akan
menindaklanjutinya di lapangan.

“Tapi mau bagaimana, menteri yang diangkat berdasarkan kepentingan politik, jadi tidak dihitung
berdasarkan kapasitas orang per orang,” jelasnya. Lebih lanjut Rofiq pun mempertanyakan komitmen
koalisi tanpa syarat yang dikemukakan Presiden dalam janji politiknya. Menurut dia, saat ini justru
ketidaksuksesan 100 hari pemerintah dikarenakan banyaknya tekanan dari partai-partai pengusungnya.

“Jadi publik jangan diombang-ambingkan dengan kekuasaan. Publik harus dibela, didewasakan, dan
disejahterakan atas nama bangsa dan negara,” ucapnya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif
Indobarometer M Qodari menjelaskan, untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya cukup dibutuhkan
niat dan orang yang baik, tetapi juga kekuasaan yang baik. Intinya, seorang presiden harus mampu
mengendalikan kekuasaan.

“Problem Jokowi bukan dalam hal teknis karena dia mengawali dari bawah mulai dari (sebagai) wali
kota Solo, gubernur DKI Jakarta hingga menjadi presiden. Tapi soal konsolidasi power atau kekuasaan,
Jokowi fakir dalam pengalaman dan kekuasaan,” katanya. Memang, menurut Qodari, sebagai presiden
Jokowi tidak memegang penuh kendali partai.

Akibatnya, fraksi dalam meminta arahan bukan lagi ke Jokowi, melainkan ke ketua partai. Karena itu,
yang bersangkutan tidak leluasa dalam mengambil keputusan yang pada akhirnya selalu mengambil
jalan tengah. Di satu sisi langkah tersebut baik, tapi di sisi lain dinilai tidak tegas.
“Kekhawatiran ke Jokowi bukan karena tidak mampu mendengarkan dan memahami rakyat kecil. Tapi,
dalam mengelola kekuasaan, Jokowi harus belajar konsolidasi power kalau mau dia betul-betul ingin
menjadi presiden untuk kedua kalinya,” jelasnya. Menurut Qodari, tantangan yang dihadapi Jokowi
bukan hanya datang dari luar partai pendukungnya, tetapi juga dari dalam, yakni partai pendukung dan
koalisinya yang semestinya tidak terjadi.

“Bila tantangan datang dari oposisi tentu wajar. Partai pendukung semestinya meringankan. Ketika
dianalisis itu memberatkan, Pak Jokowi dalam posisi yang sangat sulit. Artinya, di luar belum bisa
didukung, di dalam juga belum bisa didukung,” ucapnya. Agar Jokowi memiliki kekuasaan yang
penuh, sistem presidensial harus benar-benar dijalankan.

Dalam sistem presidensial, presiden adalah the king dari monarki yang konstitusional di mana semua
persoalan dan permasalahanselesaidanberhentidi presiden. Saat ini sistem politik Indonesia menganut
presidensialyangpadakenyataannyalebih bercita rasa parlementer.

“Menurut saya pertemuan dengan Prabowo mungkin sedang melakukan penjajakan dan kalkulasi
politik yang lain. Ini merupakan satu sinyal bahwa Jokowi mulai menyadari bahwa dia harus
memikirkan juga persoalan pengelolaan kekuasaan,” ujarnya

Untuk memberikan inspirasi kepada pengikutnya, pemimpin karismatik akan menggunakan bahasa
yang penuh variasi dan warna dengan berbagai analogi dan metafora yang memikat. Lagilagi Prabowo
terlihat lebih unggul dibandingkan Jokowi pada area ini.

Ketiga, karakteristik lain dari pemimpin karismatik adalah kemampuannya untuk memberi inspirasi
dan kepercayaan (ability to inspire and trust). Pengikutnya sangat mempercayai integritas pemimpin
karismatik dan mereka berani mempertaruhkan kariernya untuk mencapai visi dari pemimpinnya.

Prabowo maupun Jokowi sama- sama unggul di poin ini. Keempat, pemimpin karismatik juga bisa
membuat pengikutnya merasa yakin dan memiliki kemampuan (able to make group member feel
capable). Ini biasanya dilakukan dengan memberikan pengikutnya beberapa proyek yang relatif lebih
mudah bagi pengikutnya untuk meraih keberhasilan. Ini akan membangun rasa percaya diri dan
keinginan pengikutnya untuk mendapatkan tugas yang lebih menantang. Baik Prabowo maupun Jokowi
mempunyai keunggulan di area ini.

Kelima, pemimpin karismatik menunjukkan energi yang luar biasa dan selalu cepat mengambil
tindakan (demonstrate energy and action orientation). Mereka juga menjadi model tentang bagaimana
menyelesaikan hal tepat pada waktunya. Di area ini Jokowi lebih unggul dibandingkan Prabowo.

Banyak contoh yang ditunjukkannya saat menjabat sebagai wali kota Solo maupun gubernur DKI
Jakarta. Keenam, sangat ekspresif dan hangat (emotional expressiveness and warmth) juga menjadi
satu ciri pemimpin karismatik. Mereka begitu mudah meluapkan ekspresi dan perasaannya, mereka
juga sangat hangat dan penuh perhatian.

Terlihat Jokowi juga unggul pada aspek ini dibandingkan Prabowo. Keluwesan dan kesederhanaannya
sangat memudahkan Jokowi dalam berkomunikasi dan meluapkan ekspresi kepada masyarakatnya.
Ketujuh, suka terhadap tantangan dan risiko romanticize risk) juga menjadi salah satu ciri yang
menonjol dari pemimpin karismatik.

Tanpa tantangan dan risiko hidup, mereka terasa hampa dan kosong. Tantangan dan risiko yang
membuat kehidupan pemimpin karismatik menjadi dinamis dan energik. Dengan segala latar belakang
pengalaman dan perjalanan hidupnya, terlihat Prabowo unggul di aspek ini dibandingkan dengan
Jokowi.

Segala risiko sudah pernah dihadapi Prabowo, mulai dari peperangan, krisis politik dan kepemimpinan
tingkat nasional, sampai karier militer yang dipertaruhkan telah dilaluinya. Terbukti Prabowo mampu
melampaui semua masa sulit tersebut hingga saat ini. Kedelapan, pemimpin karismatik juga senang
dengan sesuatu yang tidak biasa.

Segala ide, gagasan, atau strategi yang mereka lontarkan selalu berbeda dari pendapat umum
(unconventional strategies) dan mereka sangat percaya hal tersebut dapat memberikan sukses baginya
dan pengikutnya. Prabowo dan Jokowi mempunyai keunggulan yang sama di aspek ini.

Kesembilan, keinginan untuk menonjolkan dan mempromosikan diri sendiri (self-promoting


personality) juga menjadi ciri dari pemimpin karismatik. Mereka selalu ingin menunjukkan kepada
pengikutnya betapa pentingnya dia bagi pengikutnya. Sebagai seorang charismatic personal , Prabowo
terlihat lebih menonjol di aspek ini.
Kesepuluh, karakteristik lainnya adalah kebiasaan untuk menantang dan menguji rasa percaya diri dari
tim atau pengikutnya (courage your self-confidence) dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang.
Prabowo terlihat lebih unggul atas Jokowi untuk aspek ini. Jadi siapakah yang akan anda pilih pada
tanggal 9 Juli nanti?

Yang jelas, tidak ada pemimpin yang benar-benar ideal, sama dengan ungkapan tidak ada manusia yang
sempurna. Kendati demikian, biasanya ada batas-batas tertentu yang bisa ditoleransi oleh para pemilih
terhadap pemimpin-pemimpin mereka atas sedikit kelemahan yang dimiliki oleh pemimpinnya.

Pada akhirnya apa yang bisa diberikan oleh seorang pemimpin kepada pengikutnya dan manfaat apa
yang dirasakan oleh para pengikutnya atas kepemimpinan dari pimpinannya yang akan menjadi tolok
ukur dan key performance indicator keberhasilan seorang pemimpin.

HANDI SAPTA MUKTI

Praktisi Manajemen dan Teknologi Informasi, Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai