RMK Pertemuan 8
RMK Pertemuan 8
1. Epistemologi sebaiknya dipandang sebagai suatu ilmu yang alami (Quine, 1975, hal. 68).
Apakah demikian?
Jawaban:
Ya, epistemologi secara alami merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dan didukung
dari ilmu pengetahuan secara empiris atau dapat dibuktikan kebenarannya. Selain itu
menurut Quine untuk memperoleh atau membuktikan kebenaran tersebut kita harus
bersikap skeptis. Skeptis ialah cabang ilmu pengetahuan alam, yang di dalamnya memiliki
sifat kehati-hatian atau memandang sesuatu selalu tidak pasti (Quine, 1975, ms. 67-8).
Quine juga mengklaim bahwa bersikap skeptis dapat dikesampingkan dengan
mempertimbangan Teori Darwin yaitu mengenai asal usul manusia, dimana manusia dan
kera berasal dari satu nenek moyang. Oleh karena itu dengan sikap skeptis melalui Teori
Darwin peneliti selanjutnya melakukan penyelidikan lanjut melalui Teori Darwin, dan
akhirnya dapat dibantahkan dengan cara membuktikan asal usul manuasia melalui Tes DNA.
Teori Darwin tersebut tidak sepenuhnya salah karena tanpa adanya Teori Darwin kita tidak
akan memperoleh teori-teori selanjutnya yang dapat menyempurnakan dariteori
sebelumnya.
Gambar 2, di atas menunjukkan ketika seorang turis dengan berambut pirang dan di tangannya memakai cincin, persepsi
pada gambar 1, dapat diragukan kebenarannya (skeptisme), karena dapat membantahkan persepsi 1.
Gambar 3, di atas menunjukkan dengan adanya sikap skeptis untuk memperoleh suatu kebenaran , kita harus melakukan
penyelidikan lebih lanjut, yang artinya pada gambar ke tiga, kita tidak bisa langsung percaya / berpersepsi bahwa bujangan
yang memakai cincin itu menandakan sudah menikah karena kita harus memiliki sikap skeptis dan perlu penyelidikan lebih
lanjut untuk membuktikkan kebenaran tersebut.
Dengan adanaya contoh bujangan tersebut maka Quine mungkin menyangkal penalaran
apriori dari 7 + 5 = 12, dimana selain penjumlahan tersebut juga di dapatkan hasil 12
seperti 3 x 4 =12, 6 +6 = 12, 24-12=12, 24 : 2 = 12.
3. Apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa epistemologi adalah disiplin
bersifat normatif?
Jawaban:
Ya, karena Epistemologi bukan hanya peduli dengan apa yang kita kebetulan percaya, dasar
utamanya adalah apa yang harus kita percaya, atau apa yang kita berhak untuk percaya.
Yang terakhir ini disebut pertanyaan ‘normatif‘, dan Quine tampaknya mengakui bahwa ini
adalah semacam jenis pertanyaan epistemologists yang harus berusaha dijawab.
“Normatif ini dinaturalisasi, bukan untuk dijatuhkan ... Ini adalah ilmu alam yang
memberitahu kita bahwa informasi kita tentang dunia datang hanya melalui dampak
permukaan sensorik kita. Dan itu jelas bersifat normatif, oleh karena itu kita lebih percaya
kepada peramal dan telepati. (Quine di Barrett dan Gibson, 1990, hal. 229)”.
Melalui investigasi untuk menemukan bukti empiris, akhirnya menyimpulkan yaitu bahwa
hanya beberapa metode yang menghasilkan keyakinan yang handal serta ilmu pengetahuan
yang sudah dilakukan penelitian lebih lanjut seperti melakukan eksperimen/ investigasi
memiliki kebenaran yang mutlak dibandingkan dengan melalui peramal untuk memperoleh
bukti.
Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan
ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa
tahapan yang harus dilalui mulai dari awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang
paling terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui
tahapan-tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi. Metode ilmiah pada
dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam
maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini
maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur
berpikir atau aspek metodologisnya. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah
dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan
ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan.
c. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang
diajukan itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta
yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya
sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung
hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini
belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
REFERENSI
O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity Press.