Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persaingan bisnis yang semakin pesat pada zaman sekarang mengakibatkan

kerasnya usaha perusahaan untuk menunjukkan kinerja keuangan perusahaan

terbaiknya, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Kinerja

keuangan perusahaan akan meningkatkan minat pihak ketiga perusahaan dalam

menanamkan atau menarik investasinya. Kinerja tersebut dapat dilihat dalam

laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh

perusahaan memberikan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan kepada

pembaca laporan keuangan; sedangkan bagi pemilik perusahaan merupakan sarana

pertanggungjawaban manajemen atas pengolahan sumber daya yang dimiliki

perusahaan (Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 2005).

Laporan keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan untuk

menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Salah satu

bagian terpenting dan menjadi perhatian para pembaca laporan keuangan tersebut

adalah informasi mengenai laba perusahaan. Laba akuntansi perusahaan adalah

salah satu aspek paling sering digunakan untuk menarik investor, pemasok,

pelanggan, karyawan, masyarakat, dan regulator serta dijadikan dasar dalam

menilai kinerja perusahaan dalam rangka menunjukkan pertanggungjawaban

kepada pihak investor.

Dengan kenyataan yang ada, perhatian investor sering terpusat pada

informasi laba tersebut tanpa memperhatikan prosedur yang digunakan untuk


menghasilkan informasi laba tersebut. Hal ini mendorong manajer untuk

melakukan manajemen atas laba (earnings management) atau manipulasi laba

(earning manipulation). Salah satu hipotesisnya ialah praktik income smoothing

yang menaksir bahwa tingkat laba ditambah jumlahnya apabila tidak mencapai dan

dikurangi apabila dianggap relatif tinggi sesuai dengan yang diharapkan. Praktik

income smoothing pada dasarnya muncul karena adanya agency conflict (masalah

keagenan) di dalam perusahaan. Menurut Anthony dan Govindrajan (2005) agency

theory adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Hal tersebut

semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan

konflik kepentingan antara principal dan agent. Agency conflict kemudian muncul

ketika terdapat perbedaan kepentingan antara agent (manajemen) dengan principal

(pemegang saham) di mana kedua pihak masing-masing menginginkan laba

perusahaan tinggi dengan tujuan kepentingan masing-masing. Apabila laba

perusahaan tinggi maka kinerja agent dinilai baik terhadap perusahaan, di mana

akan berdampak pada pemberian insentif yang lebih besar terhadapnya. Sedangkan

principal menginginkan laba yang tinggi dengan tujuan ingin mendapatkan dividen

yang tinggi pula. Laporan akuntansi berupa laporan keuangan memang

dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen

perusahaan sendiri. Namun, yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan

sebenarnya adalah para pengguna eksternal (di luar manajemen). Informasi

akuntansi ini penting bagi pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini

berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiaannya. Para pengguna internal

(manajeman) memiliki kontak langsung dengan entitas suatu perusahaan dan


mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat

ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar pengguna eksternal

(Irfan, 2002:88). Sehingga untuk mengurangi konflik keagenan sudah menjadi

kewajiban bagi pihak manajemen untuk melaporkan laporan keuangan secara tepat

waktu.

Ayres (1994) dalam suatu artikelnya berusaha mengungkapkan walaupun

sekilas, tentang praktik-praktik yang dapat dilakukan oleh manajer untuk

memanipulasi laba atau keuntungan demi menunjukkan prestasinya. Menurut

Ayres, ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktik-praktik

tersebut, yaitu manajemen akrual (accruals management), penerapan suatu

kebijaksanaan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting changes),

dan perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes). Faktor

yang pertama biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi

aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para

manajer (managers discretion). Contoh untuk hal ini antara lain adalah dengan

mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan, menganggap sebagai

ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu

biaya (amortize or capitalize of an investment), misalnya biaya perawatan aktiva

tidak lancar, kerugian atau keuntungan atas penjualan aktiva, dan perkiraan-

perkiraan akuntansi lainnya seperti misalnya beban piutang ragu ragu, dan

perubahan perubahan metode akuntansi.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi dan Carina (2008). Dalam

penelitian tersebut digunakan lima variabel yang dianggap mempunyai pengaruh


terhadap praktik perataan laba perusahaan, yaitu ukuran perusahaan, return on

asset, net profit margin, sektor industri, dan financial leverage. Pembaruan yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris bahwa analisis menggunakan ROI,

NPM, EVA, dan cash holding berpengaruh terhadap praktik perataan laba (income

smoothing) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(BEI).

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi identifikasi

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Salah satu bagian terpenting dan menjadi perhatian para pembaca laporan

keuangan tersebut adalah informasi mengenai laba perusahaan.

2. Laba akuntansi perusahaan adalah salah satu aspek paling sering digunakan

untuk menarik investor, pemasok, pelanggan, karyawan, masyarakat, dan

regulator serta dijadikan dasar dalam menilai kinerja perusahaan dalam

rangka menunjukkan pertanggungjawaban kepada pihak investor.

3. Praktik income smoothing pada dasarnya muncul karena adanya agency

conflict (masalah keagenan) di dalam perusahaan.

4. Perhatian investor yang sering terpusat pada informasi laba, mendorong

manajer untuk melakukan manajemen atas laba (earnings management)

atau manipulasi laba (earning manipulation).


1.3 Pembatasan Maslah

Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah

penelitian yaitu untuk melihat bagaimana pengaruh Return on Invesment (ROI),

Net Profit Margin (NPM), Economic Value Added (EVA), dan Economic Value

Added (EVA) terhadap perilaku incomel smoothing. Penelitian ini dilakukan pada

perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

pada periode 2016.

1.4 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di

atas, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh antara penilaian kinerja keuangan dengan Return on

Invesment (ROI) terhadap perilaku income smoothing?

2. Bagaimana pengaruh antara penilaian kinerja keuangan dengan Net Profit

Margin (NPM) terhadap perilaku income smoothing?

3. Bagaimana pengaruh antara penilaian kinerja keuangan dengan Economic

Value Added (EVA) terhadap perilaku income smoothing?

4. Bagaimana pengaruh antara penilaian kinerja keuangan dengan Cash

Holding terhadap perilaku income smoothing?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan di atas, tujuan utama penelitian ini adalah untuk

mengetahui :
1. Hubungan antara penilaian kinerja keuangan dengan Return on

Invesment (ROI) terhadap perilaku income smoothing.

2. Bagaimana hubungan antara penilaian kinerja keuangan dengan

Economic Value Added (EVA) terhadap perilaku income smoothing.

3. Hubungan antara penilaian kinerja keuangan dengan Economic Value

Added (EVA) terhadap perilaku income smoothing.

4. Hubungan antara penilaian kinerja keuangan dengan Cash Holding

terhadap perilaku income smoothing.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pemikiran baru terkait isu perataan laba (income smoothing). Penelitian

diharapkan dapat menambah wawasan terkait pengaruh penilaian kinerja

keuangan dengan ROI, NPM, EVA, dan cash holding terhadap income

smoothing pada perusahaan manufaktur di Indonesia sehingga dapat

menjadi tambahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis di masa

mendatang.

2. Bagi Investor

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi

para investor dalam menilai perusahaan sebelum mengambil keputusan


berinvestasi. Dalam hal ini investor menjadi lebih peka terhadap isu income

smoothing terhadap pelaporan keuangan perusahaan.

3. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan dalam

menganalisis laporan keuangannya agar tidak sampai investor tidak

menanamkan dan/atau menarik investasinya dengan adanya praktik income

smoothing oleh manajerial.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Agency Theory

Konsep Agency theory menurut Anthony dan Govindarajan (1995:569)

adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Principal

mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal,

termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada

agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham

bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent

mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai dengan

kepentingan principal.

Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-

mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan

konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak principal termotivasi

mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas

yang selalu meningkat. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan

kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh

investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan

semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas

CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan

keinginan pemegang saham.


Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent.

Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan

kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan

adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent.

Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi.

Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan

dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi

yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak

diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi

antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang

tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan

dengan pengukuran kinerja agent.

Berdasarkan penelitian sebelumnya (Watts dan Zimmerman 1986) secara

empiris membuktikan bahwa hubungan principal dan agent sering ditentukan

oleh angka akuntansi. Hal ini memacu agent untuk memikirkan bagaimana

angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk

memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut

adalah yang disebut sebagai income smoothing.

2.1.2 Income Smoothing

Perataan laba (income smoothing) dapat didefinisikan sebagai suatu sarana

yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan target

yang terlihat karena adanya manipulasi variabel-variabel (akuntansi) semu atau

(transakasi) riil (Kock,1981 ; Salno dan Baridwan, 2000).


Menurut Prasetio, dkk (2002) praktik perataan laba meliputi usaha untuk

memperkecil jumlah laba yang dilaporkan jika laba aktual lebih besar dari laba

normal, dan usaha untuk memperbesar jumlah laba yang dilaporkan jika laba

aktual lebih kecil dari laba normal. Selain itu, perataan laba didefinisikan

sebagai pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level

laba supaya dianggap normal bagi perusahaan.

Dye (1988) yang dikutip dari Dwimulyani dan Abraham (2006)

menyatakan bahwa pemilik perusahaan mendukung dilakukannya perataan

laba karena adanya motivasi eksternal, internal dan posisi serta bonus yang

diterima manajer. Motivasi eksternal ditunjukkan oleh usaha pemilik saat ini

untuk mengubah presepsi investor yang potensial terhadap nilai perusahaan,

sedangkan motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk

meminimalisasi biaya kontrak manajer. Tanpa mempertimbangkan prosedur

akuntansi yang dipilih oleh para manajer, mereka berupaya melakukan saving

earnings untuk periode akuntansi berikutnya agar mereka tetap terlihat

memiliki kinerja yang baik sehingga bonus yang mereka harap dapat mereka

terima.

2.1.3 Pemerataan Laba

2.1.3.1 Jenis Perataan Laba

Menurut Eckel (1981), jenis perataan laba dibagi menjadi dua, yaitu real

smoothing dan artificial smoothing. Tindakan perataan laba mempunyai dua


tipe yaitu perataan laba yang dilakukan secara sengaja oleh manajemen dan

perataan laba yang terjadi secara alami.

Real smoothing adalah perataan laba yang dilakukan melalui transaksi

ekonomi dengan melakukan perubahan kebijakan operasi beserta waktunya.

Beberapa perusahaan terbukti melakukan perataan laba dengan menggunakan

cara ini (Koch, 1981 dan Holthausen et. al., 1995). Misalnya, seorang manajer

memutuskan mengeluarkan sejumlah biaya riset dan pengembangan hanya

pada suatu tahun tertentu.

Artificial smoothing atau yang sering juga disebut accounting smoothing,

yaitu praktik perataan laba yang dilakukan secara sengaja dengan perubahan

prosedur dan kebijakan akuntansi yang telah diterapkan untuk memindahkan

biaya dan atau pendapatan dari suatu periode ke periode yang lain yang

dianggap memerlukan tambahan atau pengurangan jumlah laba sehingga dapat

terlihat lebih rata dari tahun ke tahun.

2.1.3.2 Sasaran Perataan Laba

Sasaran perataan laba dapat dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas yang

dapat digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau

informasi. Dalam PSAK tidak dijelaskan bahwa tindakan perataan laba

diperbolehkan namun pada pembukaan PSAK paragraf 09 menyebutkan secara

implisit bahwa penyajian laporan keuangan dilakukan berbeda untuk setiap

pemakainya, yaitu “pemakain laporan keuangan meliputi investor, pemberi

pinjaman, pemerintah, serta lembaga-lembaganya dan masyarakat. Mereka


menggunakan laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang

berbeda.”

Foster (1986) mengklasifikasikan unsur-unsur laporan keuangan yang

seringkali dijadikan sasaran untuk melakukan perataan laba adalah:

1. Unsur penjualan

a. Saat pembuatan faktur. Sebagai contoh, penjualan yang sebenarnya untuk

periode yang akan datang pembuatan fakturnya dilakukan pada periode ini

dan dilaporkan sebagai penjualan periode ini.

b. Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif.

c. Downgrading (penurunan) produk, sebagai contoh, dengan cara

mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke dalam kelompok produk

rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harg yang lebih

rendah dari harga yang sebenarnya.

2. Unsur biaya

a. Memecah-mecah faktur, misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau

pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya

dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda kemudian

dilaporkan dalam beberapa periode akuntansi.

b. Mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai biaya. Misalnya

melaporkan biaya advertensi dibayar dimuka untuk tahun depan sebagai

biaya advertensi tahun ini.

2.1.4 Return on Investment (ROI)

2.1.4.1 Pengertian ROI


Return on Investment (ROI) merupakan rasio yang digunakan untuk

mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (tingkat

pengembalian), yang akan digunakan untuk menutupi investasi yang

dikeluarkan (Sutrisno 2000). Laba yang digunakan untuk mengukur rasio ini

adalah laba bersih setelah pajak (EAT = Earnings After Tax).

Menurut Munawir (2000) analisis ROI dalam analisis rasio keuangan

memiliki arti yang penting sebagai salah satu teknik analisis rasio keuangan yang

bersifat menyeluruh (komprehensif). Analisis ROI lazim digunakan oleh pihak

manajemen untuk mengukur efektivitas operasi perusahaan secara menyeluruh.

ROI merupakan salah satu bentuk rasio profitabilitas yang digunakan untuk

mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan

dibandingkan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang

digunakan untuk operasional perusahaan. Dengan demikian, rasio ini

membandingkan keuntungan yang diperoleh dari sebuah kegiatan operasi

perusahaan (net operating income) dengan jumlah investasi atau aktiva (net

operating assets) yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut.

Sebutan lain untuk rasio ini adalah net operating profit rate of return atau

operating earnings power.

2.1.5 Economic Value Added (EVA)

Stewart & Stern seorang analis keuangan dari perusahaan Stern Stewart &

Co pada tahun 1993 mengembangkan suatu konsep baru yaitu EVA (Economic

Value Added). EVA atau nilai tambah ekonomis merupakan pendekatan baru

dalam menilai kinerja perusahaan dengan memperhatikan secara adil ekspektasi


penyandang dana. Tidak seperti ukuran kinerja konvensional, konsep EVA dapat

berdiri sendiri tanpa perlu analisa perbandingan dengan perusahaan sejenis

ataupun membuat analisa kecenderungan (Trend).

EVA adalah suatu estimasi laba ekonomis yang sesungguhnya dari

perusahaan dalam tahun berjalan, dan hal ini sangat berbeda dengan laba

akuntansi. EVA yang mencoba mengukur nilai tambah (value creation) yang

dihasilkan suatu perusahaan dengan cara mengurangi beban biaya modal (cost

of capital) yang timbul sebagai akibat investasi yang dilakukan. EVA berusaha

mengukur nilai tambah yang dihasilkan perusahaan dengan memperhatikan

biaya modal yang meningkat, karena biaya modal menggambarkan risiko

perusahaan (Mirza dan Imbuh 1999).

Metode EVA akan sesuai dengan kepentingan para investor. EVA

merupakan indikator tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi.

Memaksimumkan nilai perusahaan tidak identik dengan memaksimumkan laba,

apabila laba tersebut diartikan sebagai laba akuntansi. Sebaliknya

memaksimumkan nilai perusahaan akan identik dengan memaksimumkan laba

dalam pengertian ekonomi. Hal ini disebabkan karena laba ekonomi diartikan

sebagai jumlah kekayaan yang bisa dikonsumsikan tanpa mengurangi modal

pemilik perusahaan (Husnan 1994).

Economic Value Added (EVA) yang positif menandakan perusahaan

berhasil menciptakan nilai bagi pemilik modal karena perusahaan mampu

menghasilkan tingkat pengembalian yang melebihi tingkat modalnya. Hal ini

sejalan dengan tujuan untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Sebaliknya


Economic Value Added (EVA) yang negatif menunjukkan bahwa nilai

perusahaan menurun karena tingkat pengembalian lebih rendah dari biaya modal

(Utama 1997).

Suatu sistem pengukuran kinerja dalam perusahaan harus dapat

membedakan aktivitas yang value added dari aktivitas yang non-value added.

Pembagian ini diperlukan sehingga manajemen organisasi dapat berfokus untuk

mengurangi biaya-biaya yang timbul akibat aktivitas yang tidak menambah nilai.

Pengurangan biaya-biaya akibat aktivitas non-value added ditujukan untuk

peningkatan efisiensi organisasi (Hansen dan Mowen 1994).

2.1.6 Net Profit Margin (NPM)

Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio yang dipakai dalam mengukur

margin laba atas penjualan, rasio ini akan melukiskan penghasilan bersih

perusahaan berdasarkan pada total penjualan. Pengukuran rasio bisa dilakukan

dengan cara membandingkan laba bersih setelah pajak dengan penjualan bersih

(Kasmir, 2008:200). Net Profit Margin merupakan suatu pengukuran dari setiap

satuan nilai penjualan yang tersisa setelah dikurangi oleh seluruh biaya,

termasuk bunga dan pajak.

Net Profit Margin merupakan suatu pengukuran dari setiap satuan nilai

penjualan yang tersisa setelah dikurangi oleh seluruh biaya, termasuk bunga dan

pajak. Diduga net profit margin berpengaruh terhadap income smoothing karena

margin ini terkait dengan objek perataan penghasilan (Suwito dan Herawaty,

2005:138). Secara logis margin ini terhubung langsung dengan objek income

smoothing (Salno dan Baridwan, 2000


2.1.7 Cash Holding

Cash holding merupakan jumlah kas yang dipegang perusahaan untuk

menjalankan berbagai kegiatan perusahaan (Ginglinger dan Saddour, 2007).

Teori agensi menyatakan bahwa adanya konflik yang terjadi antara manajemen

dan pemegang saham membuat masing – masing pihak berkeinginan untuk

memegang kas yang ada di perusahaan (cash holding). Perusahaan yang

memiliki free cash flow yang tinggi akan menghadapi agency problem yang

tinggi sehingga mengakibatkan manajer semakin termotivasi untuk melakukan

tindakan opportunistik yang salah satunya yaitu income smoothing. Tindakan

manajer yang mengendalikan kebijakan cash holding dengan motif penggelapan

dana akan berusaha memperkaya dirinya dengan cara mempertahankan jumlah

kas di perusahaan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Dechow, Sloan & Sweeney (dalam Priyo, 2002) melaporkan bahwa

perusahaan yang tertangkap basah oleh SEC karena melakukan perataan laba,

pada saat pertama kali diumumkan, rata-rata harga sahamnya akan turun sebesar

9%. Sloan (1993) dan Holthausen, Larcker & Sloan (1995), dalam Priyo (2002),

menemukan bukti bahwa return saham masa depan akan menurun pada

perusahaan yang dalam item laporan laba-rugi saat ini hanya mengandung

banyak akrual, dan akan meningkat pada perusahaan yang item pelaporan laba-

ruginya saat ini hanya mengandung sedikit komponen akrual.

Hasil penelitian Nasser dan Parulian (2006) menunjukkan bahwa

profitabilitas dapat digunakan sebagai indikator yang dikaitkan dengan tindakan


perusahaan yang melakukan perataan laba. Budhijono (2006) dan By (2007)

juga menyimpulkan bahwa profitabilitas perusahaan signifikan mempengaruhi

perataan laba. Sari (2010) menyimpulkan bahwa profitabilitas yang diukur

dengan Net Profit Margin (NPM), berpengaruh terhadap praktik perataan laba.

Budiasih (2007) menyimpulkan bahwa perusahaan yang semakin tinggi justru

akan lebih mungkin melakukan perataan laba. Hal ini disebabkan karena

manajemen perusahaan tahu akan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan

laba pada masa yang akan datang sehingga memudahkan dalam menunda atau

mempercepat laba.

Talebnia dan Darvis (2012) menyatakan bahwa cash holdings berpengaruh

pada perataan laba, semakin tinggi cash holding maka perataan laba yang

dilakukan perusahaan juga akan semakin tinggi. Sifat cash holding yang sangat

likuid membuat kas sangat mudah dicairkan dan mudah untuk dipindah.

Sedangkan probabilitas perusahaan juga mempunyai pengaruh yang signifikan

dengan perilaku perataan laba.

Sari dan Widyatimi (2010) menyimpulkan bahwa perusahaan dengan

kinerja perusahaan menggunakan profitabilitas (EVA) yang tinggi akan

mempengaruhi praktik perataan laba. Hal ini mungkin disebabkan karena

perusahaan yang selama ini melaporkan laba yang tinggi akan berusaha agar laba

yang dilaporkan di laporan keuangan pada tahun-tahun berikutnya tidak

mengalami penurunan drastis yang akan memberikan kesan negatif di mata

pemegang saham sehingga perusahaan cenderung melakukan praktik income

smoothing.
2.3 Kerangka Berpikir

Perataan laba (income smoothing) dapat didefinisikan sebagai suatu sarana

yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan target

yang terlihat karena adanya manipulasi variabel-variabel (akuntansi) semu atau

(transakasi) riil.

Praktik perataan laba meliputi usaha untuk memperkecil jumlah laba yang

dilaporkan jika laba aktual lebih besar dari laba normal, dan usaha untuk

memperbesar jumlah laba yang dilaporkan jika laba aktual lebih kecil dari laba

normal. Selain itu, perataan laba didefinisikan sebagai pengurangan yang

disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level laba supaya dianggap normal

bagi perusahaan.

Return on Investment (ROI) merupakan rasio yang digunakan untuk

mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (tingkat

pengembalian), yang akan digunakan untuk menutupi investasi yang

dikeluarkan.

ROI merupakan salah satu bentuk rasio profitabilitas yang digunakan untuk

mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan

dibandingkan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang

digunakan untuk operasional perusahaan. Dengan demikian, rasio ini

membandingkan keuntungan yang diperoleh dari sebuah kegiatan operasi

perusahaan (net operating income) dengan jumlah investasi atau aktiva (net

operating assets) yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut.


Sebutan lain untuk rasio ini adalah net operating profit rate of return atau

operating earnings power.

Terdapat banyak hal yang mempengaruhi praktik Income Smooting dalam

suatu perusahaan, misalnya investor yang terlalu berpusat keapda laba sebuah

perusahaan. dalam hal ini, penilaian kinerja keuangan dengan ROI, NPM, EVA

dan Cash Holding juga berpengaruh terhadap praktik Income Smooting dalam

sebuah perusahaan.

Kerangka pemikiran yang diajukan untuk penelitian ini adalah berdasarkan

pada hasil telaah teoritis seperti yang telah diuraikan di atas. Untuk lebih

memudahkan pemahaman tentang kerangka pemikiran penelitian ini, maka

dapat dilihat hubungan antar variabel melalui kerangka pemikiran berikut:

Variabel Independen

ROI (Return On
Investment )

Variabel Dependen
NPM (Net Profit Margin) Income Smooting

EVA (Economic Value


Added)

Cash Holding
Gambar 2.1

Kerangka Teoritis
2.4 Hipotesis

Penelitian terkait praktik income smoothing telah beberapa kali dilakukan.

Bagian ini akan menjelaskan tentang hipotesis pengaruh penilaian kinerja keuangan

dengan ROI, NPM, EVA, dan cash holding terhadap income smoothing pada

perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2010-2016 berdasarkan

landasan teori yang sudah dijelaskan. Sehingga dikemukakan hipotesis sebagai

berikut:

H1 : Return on Investment (ROI) berpengaruh positif terhadap praktik

income smoothing.

H2 : Net Profit Margin (NPM) berpengaruh positif terhadap praktik

income smoothing.

H3 : Profitabilitas (EVA) berpengaruh positif terhadap praktik income

smoothing.

H4 : Cash Holding berpengaruh positif terhadap praktik income

smoothing.

Anda mungkin juga menyukai