Anda di halaman 1dari 18

EKONOMI KELEMBAGAAN

Iddle Money dan Fraud pada Belanja Daerah:


Aplikasi Model Prinsipal-Agen

T. MUHAMMAD SYUKRAN
NPM : 1406512575

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
Iddle Money dan Fraud pada Belanja Daerah:
Aplikasi Model Prinsipal-Agen 1
T. MUHAMMAD SYUKRAN

Abstrak

Pelaksanaan desentralisasi fiskal menunjukkan fakta bahwa dana alokasi pusat ke daerah
yang menjadi sumber utama pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terus
meningkat. Jumlah dana alokasi (transfer) bahkan mencapai 30 % dari belanja
pemerintah pusat. Oleh karenanya pemerintah pusat berupaya untuk memaksimalkan
outcome dari adanya pengeluaran tersebut sebagai strategi mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Dan menjadi tantangan utama bagi pemerintah daerah dalam
memanfaatkan sumber dana yang ada secara efektif dalam menghasilkan
output/pelayanan publik yang optimal.
Dalam kenyataannya, akibat adanya asimetris informasi, aktivitas pemerintah daerah
tidak dapat diobservasi oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah berpotensi
melakukan moral hazard yang akan menciptakan inefisiensi penyerapan belanja.
Sehingga perlu dan menarik untuk dianalisis mengenai fenomena rendahnya serapan
belanja daerah. Dalam makalah ini model analisis menggunakan pendekatan model
prinsipal agen. Dimana pemerintah pusat bertindak sebagai prinsipal, memberikan
kewenangan fiskal kepada pemerintah daerah (provinsi / kab/kota/desa) selaku agen.
Indikator yang digunakan dalam makalah ini adalah iddle money (dana menganggur)
pemerintah daerah dengan studi kasus pada provinsi Riau dan Sumatera Barat. Makalah
ini juga akan membahas prinsipal-agen dari sisi akuntabilitas penggunaaan belanja daerah
untuk mendeteksi potensi terjadinya fraud oleh agen pelaksana di tingkat desa.
Hasil dan kesimpulan dari makalah ini adalah pemerintah provinsi (agen) dengan APBD
besar seperti Riau memiliki iddle money yang juga besar yang menunjukkan serapan
anggaran yang rendah tidak sesuai dengan keinginan pemerintah pusat (prinsipal).
Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat (prinsipal) untuk mendorong dan
mempercepat serapan belanja daerah malah membuka potensi dan peluang terjadinya
korupsi/fraud akibat asimetris informasi dari sisi akuntabilitas oleh pelaksana di daerah
(agen).
Kata kunci : Iddle money, fraud, asimetris informasi, belanja daerah, transfer ke daerah
dan dana desa, prinsipal-agen

1. Latar Belakang
Semangat otonomi dan desentralisasi menempatkan pemerintah daerah
sebagai front office dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 2, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah

1
Tulisan ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester (UAS) dari mata kuliah Ekonomi
Kelembagaan di MPKP FEB UI
2
Undang – Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang – Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah

1
dalam pelayanan publik dilakukan dengan asas desentralisasi (urusan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah) dan tugas pembantuan
(pelaksanaan urusan yang menjadi tanggung jawab pusat).
Dalam hal desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan oleh
pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan publik didaerah adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran belanja daerah
yang tercermin dalam APBD mencerminkan potret kebijakan daerah dalam
menentukan skala prioritas pemenuhan kebutuhan publik dalam 1 tahun
anggaran. APBD pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber pendapatan
daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pusat
ke daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. 3
Semenjak tahun 2001, pelaksanaan desentralisasi fiskal menunjukkan
fakta bahwa dana alokasi (transfer) pusat ke daerah terus meningkat dan bahkan
pada tahun 2015 mencapai 30 % dari belanja pemerintah pusat dengan nilai
mencapai Rp. 664,6 triliun. Hal ini juga mengkonfirmasi bahwasanya rasio
ketergantungan daerah yang masih tinggi. Trend 2010-2014, menunjukkan
secara nasional ketergantungan terhadap dana perimbangan masih dominan
hingga mencapai 70 % dari pendapatan daerah.

Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian RI

Gambar 1. Alokasi Dana (Transfer) Pemerintah Pusat ke Daerah Tahun 2015


dan Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010-2014

3
Kementerian Keuangan RI. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2015. Deskripsi dan
Analisis APBD 2014

2
Oleh karenanya pemerintah pusat berupaya untuk memaksimalkan
outcome dari adanya pengeluaran tersebut sebagai strategi mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan fiskal
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dan disisi lain, menjadi tantangan
utama bagi pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumber dana yang ada secara
efektif dalam menghasilkan output/pelayanan publik yang optimal serta ikut
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut dapat berjalan dengan
asumsi model neo klasik, dimana tersedianya informasi yang sempurna dan biaya
transaksi nol.
Dalam kenyataannya, akibat adanya asimetris informasi, aktivitas
pemerintah daerah tidak dapat diobservasi oleh pemerintah pusat sehingga
pemerintah daerah berpotensi melakukan moral hazard yang akan menciptakan
inefisiensi penyerapan belanja. Pemerintah daerah dengan menggunakan
informasi kebutuhan fiskal yang tinggi cenderung mengajukan dana transfer yang
besar dan mengurangi upaya menghimpun pendapatan asli daerah. Adanya self
interest pemerintah pusat menyebabkan terbukanya prilaku opurtunistik.4 Namun,
besarnya transfer dana tersebut tidak diikuti dengan realisasi serapan belanja yang
optimal. Asimetris informasi inilah yang mendorong timbulnya fenomena
prinsipal-agen dalam serapan belanja daerah. Dimana pemerintah pusat bertindak
sebagai prinsipal, memberikan kewenangan fiskal dan transfer dana kepada
pemerintah daerah (provinsi / kab/kota/desa) selaku agen.
Dalam konteks ekonomi makro, rendahnya penyerapan konsumsi
pemerintah akan berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi
nasional. Hal inilah yang terus diwanti-wanti oleh pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah. Bahkan diera pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan
intruksi presiden agar daerah mempercepat realisasi penyerapan anggaran dalam
menggerakan perekonomian nasional . (www.republika.co.id, 25/11/2015)
Data Kementerian Dalam Negeri, menunjukkan bahwasanya realisasi belanja
pemerintah daerah pada pada Agustus 2015, rata rata realisasi belanja APBD di
tingkat provinsi hanya mencapai 39,4 persen. Sedangkan ditingkat kabupaten

4
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta dan Luiz De Mello. 2006. Fiscal Desentralization and
Sub National Expenditure Police. IMF Working Paper

3
hanya sebesar 37,6 persen. Jauh dari target pencapaian yang diharapkan
pemerintah pusat sebesar 60-70 %.
Rendahnya serapan belanja daerah dapat terlihat dari iddle money (dana
menganggur) pemerintah daerah di Bank Indonesia. Dana iddle APBD
menunjukkan trend yang terus membesar dimana dana iddle yang terlalu besar
akan menghambat kegiatan pelayanan masyarakat.

Pemerintah Kabupaten 14,000


12,000
Pemerintah Provinsi
10,000
66,905 66,881 8,000
6,000
51,927
4,000
38,743 2,000
-
32,336

Riau

Jabar
Banten
NTB
Bengkulu

Sulsel

Sumut

Jateng
Kalteng
DI Yogyakarta

Sumbar

Jatim
28,519 27,432
23,345

2010 2011 2012 2013

Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian RI, diolah


Gambar 2. Iddle Money Pemda di Perbankan (Des 2010-2013)
dan Agregat Pemeritah Kab/Kota/Provinsi terpilih

Secara sekilas, sebagaimana ditunjukkan gambar 2, urutan tersebut berkaitan


dengan besaran nilai APBD daerah bersangkutan artinya semakin besar nilai
APBD suatu daerah maka semakin besar pula iddle money daerah tersebut.
Korelasi ini menurut kajian kementerian keuangan mencapai 87 %. Dalam
makalah ini studi kasus pada Provinsi Riau dan Sumatera Barat, provinsi yang
bertetangga di Pulau Sumatera yang mewakili besaran APBD yang berbeda dan
iddle money yang berbeda pula.
Model prinsipal-agen yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah juga dapat dilihat dari sisi akuntabilitas penggunaaan belanja daerah untuk
mendeteksi potensi terjadinya fraud oleh agen pelaksana di tingkat daerah
sebagaimana temuan Luc Leruth dan Elisabeth Paul (2006)5. Dengan kewenangan
yang diberikan oleh pemerintah pusat menimbulkan insentif/motivasi pada agen

5
A Principal Agent Theory Approach to Public Expenditure Management Systems in Developing
Countries. IMF Working Paper

4
didaerah untuk melakukan korupsi sehingga berpengaruh terhadap efektifitas
penyerapan belanja daerah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, tentunya menarik untuk dikaji (1)
Bagaimana aplikasi model prinsipal-agen pada fenomena rendahnya serapan
belanja daerah dengan indikator iddle money pada provinsi Riau dan Sumatera
Barat? (2) Bagaimana aplikasi model prinsipal-agen dilihat dari sisi akuntabilitas
penggunaaan belanja daerah untuk mendeteksi potensi terjadinya fraud / korupsi?.

2. Konsep Teori Prinsipal – Agen


Konsep Dasar
Bergman dan J. E. Lane (1990)6 menjelaskan bahwa kerangka hubungan
prinsipal dan agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk
menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan
kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi
yang asimetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.
Sedangkan Jensen dan Meckling (1976) dalam Eisenhardt (1989)7 menjelaskan
Agency Theory sebagai hubungan kontraktual antara prinsipal (pihak yang
memberi mandat) kepada agen (pihak yang diberikan mandat) untuk melakukan
semua kegiatan atas nama prinsipal, yang mencakup pendelegasian wewenang
dalam pengambilan keputusan.
Agency theory fokus pada dua masalah yang dapat terjadi dalam hubungan
keagenan. Yang pertama terjadinya antara tujuan dan keinginan prinsipal dengan
agen, kedua adalah adanya kesulitan atau memerlukan biaya yang mahal untuk
melakukan verifikasi mengenai apa yang sebenarnya agen lakukan akibat
keterbatasan informasi. Asymmetric information dapat mengakibatkan
permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan
melakukan kontrol terhadap tindakan – tindakan agen. Diutarakan oleh Akerlof
dan Spence, Stiglitz dalam Rachbini (2015)8, menekankan bahwa model-model

6
Bergman. M. & J.E. Lane. 1990. Public Policy in a Principal- Agent Framework . Journal of
Theoritical Politics 2(3). Pp.339-352
7
Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Agency theory: An Assessment and Review. The Academy of
Management Review, Vol. 14, No 1 (Jan., 1989), pp. 57-74.
8
Rachbini, Didik J. 2015. Ekonomi Kelembagaan. Indef, Jakarta.

5
ekonomi akan menjadi salah kaprah (misleading) jika substansi informasi diantara
keduanya yang berbeda satusama lain tidak dimasukkan sebagai faktor internal.

Konsep Prinsipal – Agen dalam Belanja Publik

Model prinsipal agen hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah


dalam belanja publik merupakan bentuk hubungan antara pemerintah pusat
sebagai pemberi kewenangan yang memegang anggaran (pejabat eksekutif tingkat
pusat) kepada pengguna anggara didaerah (pemberi pelayanan). Hal ini mengacu
kepada Moe (1984) dan Strom (2000) dalam Latifah (2010), hubungan keagenan
dalam penganggaran publik adalah antara (1) Pemilih - Legislatif, (2) Legislatif -
Eksekutif, (3) Menteri Keuangan – Pengguna Anggaran, (4) Perdana Menteri -
Birokrat, dan (5) Pejabat - Pemberi Pelayanan.
Adanya asimetris informasi diantara pemerintah daerah-pemerintah pusat
menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku opurtunistik dalam
proses penyusunan anggaran yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang
memiliki automatic checks berupa persaingan (De Mello,2006).

Konsep Moral Hazard Pemerintah Daerah dalam Belanja Publik

Stiglitz (1999) pada Maimanah menyatakan bahwa sumber dana


mempengaruhi kehati-hatian seorang agen dalam membuat kebijakan
penggunaannya. Dalam hubungan antar pemerintah, perilaku ini disebut flypaper
effect yakni adanya perbedaan respon belanja atas sumber pendapatan atau
penerimaan pemerintah.
Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat
digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah
tanpa diimbangi dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
De Mello (2006) memberikan opini dan temuan bahwasanya pemerintah
daerah di negara desentralisasi menggunakan informasi kebutuhan fiskal yang
tinggi untuk mengajukan dana transfer yang besar dan mengurangi upaya
menghimpun pendapatan asli daerah. Adanya self interest pemerintah pusat
menyebabkan terbukanya prilaku opurtunistik. Namun, besarnya transfer dana
tersebut tidak diikuti dengan realisasi serapan belanja yang optimal. Terkait

6
dengan hal ini, Kuncoro (2004) menjelaskan dengan menggunakan teori konsumsi
yaitu masyarakat dianggap berperilaku rasional yang memaksimumkan utilitas
dengan kendala pendapatannya. Hal ini dapat diartikan meskipun pemerintah
daerah memiliki keterbatasan pendapatan (PAD) , akan tetapi pemerintah tetap
menganggarkan pengeluaran diluar batas pendapatan.
Ekaristi (2007) menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris terjadi
karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai
kemampuan dan potensi daerah yang dimiliki untuk memaksimalkan
pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan
kesempatan yang ada yang di kemudian hari berdampak pada menurunnya
kemandirian daerah.
Susanto dan Sri Rahayu (2011) mengemukakan bahwasanya ada bebrapa
faktor penyebab rendahnya serapan anggaran : proses pelaksanaan pengadaan,
perubahan anggaran, administrasi proyek, kehati-hatian dan masalah hukum dan
politis
Arthur O Sullivan dalam bukunya Urban Economics (2007) menyatakan
bahwasanya konsep intergovernmental grants berupa lumpsum grants (gambar
3.a) berupa dana transfer pusat ke daerah yang ditentukan oleh pemerintah pusat
peruntukan dan mengikat cenderung menimbulkan moral hazard penggunaannya
oleh pemerintah daerah (flypaper effects). Sedangkan dengan pola matching
grants dimana pemerintah pusat mengalokasikan dana sesuai besaran alokasi oleh
pemerintah daerah cenderung efektif.(gambar 3.b)

Sumber : Urban Economics 8th chapter, e-book


Gambar 3. a. Intergovernmental Lumpsum grants
dan b. Agregat Intergovernmental Matching grants

7
Prilaku Fraud Pemerintah Daerah dalam Belanja Publik
Luc Leruth dan Elisabeth Paul (2006) memberikan argumen tentang
motivasi/ insentif dan peluang korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah di
negara berkembang (developing country). Insentif korupsi adalah kurangnya
standar etika dan moral, kemungkinan terdeteksi yang rendah, pengawasan dan
sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan insentif lainnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (2015)9 menemukan bahwasanya potensi
terjadinya fraud oleh agen pelaksana di tingkat daerah karena lemahnya
akuntabilitas penggunaaan belanja daerah.

3. Metodologi
Dengan mengacu kepada konsep teori diatas, maka penyusunan makalah
ini dibangun dengan asumsi :
1. Informasi asimetris menyebabkan moral hazard pemerintah daerah dengan
mengajukan dana transfer yang besar dan mengurangi upaya menghimpun
pendapatan asli daerah. Adanya self interest pemerintah pusat
menyebabkan terbukanya prilaku opurtunistik. Namun, besarnya transfer
dana tersebut tidak diikuti dengan realisasi serapan belanja yang optimal.
Daerah dengan APBD besar berkorelasi dengan iddle money yang besar
pula.
2. Informasi asimetris menimbulkan motivasi dan insentif munculnya prilaku
fraud/korupsi bagi pemerintah daerah
3. Iddle money yang besar dan prilaku fraud dari agen akan mempengaruhi
serapan belanja daerah yang berkorelasi terhadap perlambatan
pertumbuhan ekonomi.

Asumsi diatas menjadi dasar pengembangan metodologi pada makalah ini dengan
menggunakan data realisasi belanja dan iddle money Provinsi Riau dan Provinsi
Sumatera Barat. Berdasarkan pada konsep teori dan asumsi tersebut maka
kerangka berfikir makalah ini dibangun sebagaimana dijelaskan pada gambar 4
berikut.

9
Deputi Bidang Pencegahan KPK. 2015. Kajian Pengelolaan Keuangan Desa

8
Alokasi
Kualitas
Dana
Pelayanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Publik dan
(prinsipal) Daerah (agen) pertumbuhan
ekonomi

Informasi
Asimetris
Korelasi (+)
Moral Hazard :
Self Interest atau (-)
Iddle Money
dan Fraud
Solusi : Signalling,
Screening dan
Bundling

Gambar 4. Kerangka Berfikir

4. Iddle money dalam Belanja Daerah


Moral Hazard Ketergantungan Fiskal yang tinggi
Provinsi Riau dan provinsi Sumatera Barat secara geografis bertetangga
namun memiliki kemampuan keuangan daerah yang berbeda. Secara agregat,
pada 2014 belanja APBD Provinsi Riau mencapai 25 triliun berbanding 15 triliun
pada belanja APBD Provinsi Sumatera Barat.

APBD Prov. Riau (Aggregat Kab/Kota/Prov) APBD Prov. Sumatera Barat


2010-2014 (Agregat Kab./Kota/Prov) 2010-2014

30,000.00 18,000.00
16,000.00
25,000.00 14,000.00
20,000.00 12,000.00
miliar Rp

miliar Rp

10,000.00
15,000.00
8,000.00
10,000.00 6,000.00
4,000.00
5,000.00
2,000.00
- -
2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014
Pendapatan 17,805 13,077 17,767 21,995 21,070 Pendapatan 9,608. 10,268 10,785 12,785 14,177
Belanja 16,593 17,098 16,373 18,762 25,190 Belanja 9,464. 10,205 11,342 12,396 15,347

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah


Gambar 5. Perbandingan APBD Provinsi Riau-Sumatera Barat
(Agregat Kab./Kota/Prov.) 2010-2014

9
Ditinjau dari kemandirian fiskal, Pemerintah Provinsi Riau dan provinsi
Sumatera Barat masih bergantung kepada dana transfer (alokasi) dari pusat.
Persentasenya secara rata-rata pada 2010-2014, rasio ketergantungan provinsi
Riau mencapai 80 % dan Sumatera Barat 74 %. Tingginya rasio ini menunjukkan
bahwasanya dalam melaksanakan pelayanan publik, kedua pemerintah daerah
tidak mengandalkan Pendapatan Asli Daerah.
Jika dilihat dari framework prinsipal agen, fenomena yang terjadi sesuai
dengan asumsi yang ada bahwasanya Informasi asimetris menyebabkan moral
hazard pemerintah daerah dengan mengajukan dana transfer yang besar dan
mengurangi upaya menghimpun pendapatan asli daerah. Adanya self interest
pemerintah pusat serta amanah dari regulasi menyebabkan terbukanya prilaku
opurtunistik pemerintah daerah. Dengan metode perhitungan dana transfer daerah
yang secara garis besar tetap berdasarkan komposisi wilayah dan penduduk serta
share eksploitasi SDA maka pemerintah darah akan tetap mempertahankan pola
yang sama dalam memanfaatkan sumber pendapatan.

Komposisi Pendapatan APBD Prov. Riau Komposisi Pendapatan APBD


Prov. Sumatera Barat
miliar Rp

miliar Rp

2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014
PAD 2,832. 2,403. 2,634. 3,319. 2,969. PAD 1,302. 1,275. 1,541. 1,939. 2,092.
Daper 14,744 10,504 14,645 17,548 16,995 Daper 7,906. 8,153. 8,244. 9,222. 10,608
L2PYS 228.05 169.50 487.60 1,091. 1,106. L2PYS 398.392 839.902 999.213 1,623. 1,477.

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah


Gambar 6. Komposisi Pendapatan APBD Provinsi Riau-Sumatera Barat
(Agregat Kab./Kota/Prov.) 2010-2014

Jika dianalisa lebih mendalam, secara nasional menunjukkan provinsi


yang mampu mengoptimalkan PAD nya sebagai sumber pendapatan adalah
provinsi yang telah mampu bergeser kepada pemanfaatan sektor jasa dan industri
manufaktur seperti DKI, Bali dan Jawa Barat, seperti ditunjukkan gambar 7.

10
Sumber : Kementerian Keuangan, 2014
Gambar 7. Rasio Ketergantungan Fiskal
(Agregat Kab./Kota/Prov.) 2013

Dari data diatas ditemukan bahwasanya secara nasional, pemerintah


daerah masih bergantung kepada dana transfer hingga mencapai rataan 80 % dari
jumlah pendapatan pemerintah daerah.

Moral Hazard :Serapan Rendah, Iddle Money menumpuk


Prilaku mengajukan transfer dana dengan alasan kebutuhan fiskal yang
tinggi berbanding terbalik dengan realisasi serapan anggaran yang rendah dan
cenderung digenjot pada akhir tahun anggaran. Hal ini berkontribusi negatif pada
tingkat pertumbuhan dan pelayanan publik di provinsi tersebut.
Pada kasus pemerintah Provinsi Riau dan Sumatera Barat didapatkan
fenomena yang sesuai asumsi dan teori sebelumnya bahwa pemerintah provinsi
dengan APBD yang lebih besar memiliki tingkat kemampuan serapan yang lebih
rendah (83 % : 95 %) sehingga menyebabkan besarnya iddle money di perbankan.
Iddle money provinsi Riau dalam 2011-2013 menunjukkan persentase diatas iddle
money nasional. Sedangkan disisi lain tingkat serapan belanja daerah yang lebih
baik pada pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyebabkan iddle money yang
ada masih dibawah rata-rata nasioanal walaupun menunjukkan kenaikan pada
tahun 2013.

11
Trend % Iddle Money Prov. Riau Trend % Iddle Money Prov. Sumatera
2011-2013 Barat 2011-2013
60 25 16.5
50 20 16
40 15 15.5
15
30 10 14.5
20 5 14
10 0 13.5
0 2011 2012 2013
2011 2012 2013
% Iddle
% Iddle Riau Sumbar 21.67 13.97 15.2
19.39 25.73 34.6
% Iddle Nas 15.35 14.65 16.16 % Iddle Nas 15.35 14.65 16.16

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah


Gambar 8. Trend % Iddle Money Provinsi Riau-Sumatera Barat
(Agregat Kab./Kota/Prov.) 2011-2013

Dana iddle money yang menumpuk, secara nasioanl tergambar dari data
rasio SILPA berikut. Provinsi dengan APBD besar terbukti berkorelasi dengan
Rasio SILPA yang makin besar pula begitu juga sebaliknya. Provinsi Riau pada
2013 memiliki Sisa Lebih Pelaksanaan Anggaran mencapai 17.8 % secara belanja
agregat. Berbanding hanya 5,2 % SILPA Provinsi Sumatera Barat terhadap
belanja agregat.

Sumber : Kementerian Keuangan, 2014


Gambar 9. Rasio SILPA terhadap Belanja
(Agregat Kab./Kota/Prov.) 2013

Dari data iddle money diatas, jika ditarik hubungannya dengan


pertumbuhan ekonomi, secara statistik sederhana ditemukan korelasi negatif,
bahwasanya iddle money yang besar memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini
terlihat perlambatan ekonomi provinsi Riau pada 2011-2014 yang berada dibawah

12
rata-rata nasional. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat mampu tetap
stabil dikisaran 6 %.

Pertumbuhan Ekonomi Prov. Riau, Sumbar dan Nasional


(2011-2014)
6.4 14
6.3 12
6.2 10
6.1
8
persen
6
6
5.9
5.8 4
5.7 2
5.6 0
2011 2012 2013 2014
SUMATERA BARAT 6.34 6.31 6.02 5.85
INDONESIA 6.16 6.16 5.74 5.21
RIAU 5.57 3.76 2.49 2.62
Sumber : Kementerian Keuangan, diolah
Gambar 8. Trend % Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau-Sumatera Barat
Dan Nasional. 2011-2014

Dari data dan temuan diatas dapat disarikan bahwasanya prilaku


pemerintah daerah dalam mengajukan kebutuhan fiskal yang besar ternyata
disikapi oleh pemerintah pusat dengan regulasi dan perhitungan yang cenderung
akan memelihara “moral hazard” pemerintah daerah yang lebih prefer pembiayaan
bersumber pada dana perimbangan dibandingkan pendapatan asli daerah (flypaper
effect). Dan ketika pemerintah pusat memperkuat monitoring dan pengawasan
pemerintah daerah cenderung tidak membelanjakan anggarannya sehingga akan
menganggu kulaitas pelayanan masyarakat.

Potensi Fraud dan Lemahnya Akuntabilitas


Selain moral hazard yang disebutkan dan dibahas sebelumnya, model
prinsipal agent antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akibat asimetris
informasi juga dapat terjadi dari fraud karena lemahnya sisi akuntabilitas
kelembagaan. Temuan Deputi Bidang Pencegahan KPK menemukan pola tersebut
terutamanya dilakukan oleh pemegang kewenangan / pelaksana kegiatan
dilapangan yang dilakukan melalui:

13
1. Potensi Fraud telah dimulai dari hulu melalui pintu masuk
penyusunan Dokumen Perencanaan. (RPJM/RKP) baik dipicu oleh
self intersest prinsipal maupun agen.
2. Terjadinya adverse selection dimana pemerintah daerah cenderung
mengajukan data yang fiktif dalam pemenuhan syarat kebutuhan
fiskal yang tinggi. Oleh pemerintah pusat lemahnya proses seleksi
menyebabkan daerah yang memperoleh dana transfer sering kali
tidak tepat.
3. Adanya kegiatan usulan yang berasal dari legislatif dengan
mengatasnamakn kebutuhan konstituen yang menimbulkan potensi
fraud baik dari sisi eksekutif maupun legislatif. Hal ini juga
menciptakan adverse selection karena bentuk kegiatan atau pihak
penerima manfaat dari kegiatan sering kali sudah ditentukan.
4. Berkolusi dengan penyedia barang/jasa melalui mark-up untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain
5. Ikut serta secara langsung dalam proses pnyediaan barang dan jasa

Kesimpulan dan Saran

 Jika dilihat dari framework prinsipal agen, fenomena yang terjadi sesuai
dengan asumsi yang ada bahwasanya Informasi asimetris menyebabkan
moral hazard pemerintah daerah dengan mengajukan dana transfer yang besar
dan mengurangi upaya menghimpun pendapatan asli daerah.
 Pemerintah daerah cenderung memanfaatkan dana transfer dari pusat
dibandingkan optimalisasi PAD (fly paper effect). Kecendrungan tersebut
berkorelasi negatif terhadap kemadirian fiskal daerah. 80 % secara rata-rata
pendapatan APBD berasal dari dana transfer.
 Dengan menggunakan indikator Iddle money, pada kasus APBD Provinsi
Riau dan Sumatera Barat (2010-2013) , pemerintah provinsi dengan APBD
yang lebih besar memiliki tingkat kemampuan serapan yang lebih rendah
sehingga menyebabkan besarnya iddle money di perbankan.

14
 Iddle money yang besar berkontribusi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Ini terlihat perlambatan ekonomi provinsi Riau pada 2011-2014 yang berada
dibawah rata-rata nasional. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat
mampu tetap stabil dikisaran 6 %.
 Potensi fraud yang terjadi karena asimetris informasi dan lemahnya
kuntabilitas dalam belanja APBD dapat terjadi self interest prinsipal maupun
moral hazard agen.

Saran

Solusi dalam mengatasi asimetris informasi yang menimbulkan moral hazard dan
potensi fraud pada belanja APBD, yakni :
1. Signaling
Pemerintah pusat selaku prinsipal memberlakukan mekanisme punishment
dan reward pada indikator serapan anggaran. Selama ini indikator tinggi
rendahnya serapan anggaran tidak dijadikan tolok ukur perhitungan dalam
penetapan alokasi dana pusat ke daerah. Pemberlakuan transfer non cash
berupa Surat Berharga Negara bagi daerah yang memiliki iddle money
tinggi.
2. Screening
Penentuan daerah penerima dan besaran dana transfer dilakukan dengan
melibatkan perhitungan daerah. Selama ini banyak keluhan daerah hanya
menerima besaran dana transfer.
Perkuat monitoring dan pengendalian terutama dalam mencegah adverse
selection.

3. Bundling
Dalam intergovernmental transfer pemerintah mulai memperbanyak porsi
model matching grants dibandingkan lumpsum grants. Hal ini akan
mendorong tingkat partisipasi lebih tinggi dari pemerintah daerah dan
meminimalisisr moral hazard .

15
Daftar Pustaka
BPS. 2015. Laju Pertumbuhan PDB tanpa Migas atas dasar harga konstan (2010) 2011 -
2014

Bergman. M. & J.E. Lane. 1990. Public Policy in a Principal- Agent Framework . Journal
of Theoritical Politics 2(3). Pp.339-352

Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Agency theory: An Assessment and Review. The Academy
of Management Review, Vol. 14, No 1 (Jan., 1989), pp. 57-74.

Kementerian Keuangan RI. 2015. Deskripsi dan Analisis APBD 2014. Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan. Jakarta.

Kementerian Keuangan RI. 2015. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi
Riau. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Kementerian Keuangan RI. 2015. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Daerah Provinsi
Sumatera Barat. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2015. Kajian Pengelolaan Keuangan Desa. Deputi


Bidang Pencegahan.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,


Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Luc Leruth dan Elisabeth Paul. 2006. A Principal Agent Theory Approach to Public
Expenditure Management Systems in Developing Countries. IMF Working
Paper.

Luiz De Mello. 2006. Fiscal Desentralization and Sub National Expenditure Police. IMF
Working Paper.

Maimunnah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di
Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi IX Padang.

Rachbini, Didik J. 2015. Ekonomi Kelembagaan. Indef, Jakarta.

Sullivan, O.Arthur. 2007. Urban Economics 6th Edition. McGraw Hill. New York.

Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah.

Undang – Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

16
STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa tugas


terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada
pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan
sumbernya”.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan


untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami
menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan
menggunakannya.

Saya memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini


dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan
mendeteksi adanya plagiarisme”.

Nama : T. Muhammad Syukran


NPM : 1406512575
Mata Ajar : Ekonomi Kelembagaan
Tanggal : 30 Desember 2015
Dosen : 1. Prof. Dr. Didik J.Rachbini
2. Padang Wicaksono, Ph.d

Jakarta, 30 Desember 2015

( T. Muhd. Syukran )

17

Anda mungkin juga menyukai