Anda di halaman 1dari 25

BAB V

GEOLOGI DAERAH TELITIAN

V.1. Geomorfologi Daerah Telitian

Pembagian geomorfologi dibedakan berdasarkan pada aspek-aspek dibawah


ini (Van Zuidam, 1983):

1. Morfologi, yaitu susunan dari obyek alami yang mempelajari relief secara
umum yang meliputi morfografi dan morfometri.
Dalam morfologi aspek yang merupakan obyek alami yang ada dipermukaan
bumi, yang bersifat deskriptif suatu bentuk lahan disebut sebagai morfografi,
antara lain meliputi: lembah, bukit, perbukitan, dataran, pegunungan, teras
sungai, dan lain-lain. Sedangkan aspek kuantitatif dari suatu bentuk lahan
seperti kelerengan, bentuk lereng, ketinggian, beda tinggi, pola pengaliran
disebut sebagai morfometri.
2. Morfogenesa, yaitu asal usul pembentukan dan perkembangan dari
suatu bentuk lahan serta proses geomorfologi yang terjadi, meliputi
morfostruktur aktif, morfostruktur pasif, serta morfodinamik.
Morfostruktur aktif adalah meliputi pola struktur-struktur geologi (lipatan,
kekar, dan sesar), vulkanisme, dan gempa bumi berupa konfigurasi dari gaya-
gaya endogen/tektonik. Morfostruktur Pasif adalah berupa batuan dan tanah
(material penyusun), sedangkan Morfodinamik adalah meliputi pelapukan,
erosi, gerakan massa tanah dan batuanserta kaitan fisik dengan aktifitas biotik
termasuk manusia, merupakan konfigurasi dari gaya-gaya eksogen.

3. Morfokonservasi, yaitu hubungan antara bentuk lahan dengan


lingkungan berdasarkan parameter bentuk lahan, meliputi tanah air, vegetasi,
dan lain-lain.

48
Tabel 5. 1. Klasifikasi Lereng menurut Van Zuidam (1983)

Klasifikasi Deskripsi % Lereng Beda Tinggi (m)


Datar/hampir datar 0–2 <5
Landai 3–7 5 – 50
Miring 8 – 13 12 – 78
Agak Curam 14 – 20 50 – 200
Curam 21 – 55 200 – 500
Sangat Curam 56 – 140 500 – 1000
Tegak >140 >1000

Tabel 5.2. Klasifikasi bentang alam menurut Van Zuidam (1983)

Kode Satuan bentang alam

S Satuan bentang alam struktural

V Satuan bentang alam volkanik

D Satuan bentang alam denudasional

M Satuan bentang alam marine/pantai

F Satuan bentang alam fluvial

G Satuan bentang alam glasial

K Satuan bentang alam karst

E Satuan bentang alam eolian

Berdasarkan klasifikasi dari R. A. van Zuidam, 1983 serta ditunjang dengan


interpretasi peta topografi, maka untuk morfologi daerah telitian dapat
diklasifikasikan antara lain adalah :

V.1.1. Bentukan Asal Struktural


V.1.1.1. Bentuk Lahan Perbukitan Bergelombang Lemah

49
Satuan ini menempati sekitar 80,4 % yang terletak hampir
menyeluruh pada daerah penelitian. Satuan ini memiliki relief bergelombang dengan
beda tinggi 45 m, dengan kemiringan lereng berkisar 3 – 5 % Ketinggian satuan
geomorfologi ini berkisar antara 10 – 60 meter di atas permukaan air laut, sebagian
besar berupa hutan. Satuan ini ditempati oleh litologi dengan tingkat kekerasan
lemah sampai sedang, yaitu batupasir kuarsa, batulempung, batubara.

Foto. 5.1. Bentuk lahan Perbukitan Bergelombang Lemah

V.1.2. Bentukan Asal Fluvial


V.1.2.1. Bentuk Lahan Dataran Alluvial
Satuan ini menempati sekitar 10% pada daerah telitian dan pada
peta topografi tampak dengan beda tinggi 5 m. Ketinggian satuan geomorfologi ini
berkisar antara 40 – 50 meter di atas permukaan air laut. Satuan ini ditempati oleh
litologi dengan tingkat kekerasan lemah. Satuan ini terdiri dari material lepas
berukuran pasir halus, pasir sedang,pasir kasar, lempung, kerikil.berwarna merah
kecoklatan.

50
ENDAPAN ALUVIAL

Foto. 5.2. Bentuk lahan Dataran Aluvial (kamera menghadap Utara)

V.1.1.3. Bentuk Lahan Tubuh Sungai

Bentuk Lahan Tubuh Sungai pada daerah telitian berbentuk U yang


merupakan material lepas berukuran pasir sampai lempung, tingkat pelapukan
dan erosi tinggi

Foto. 5.3. Bentuk lahan Tubuh Sungai (kamera menghadap Utara)

V.1.3. Pola Pengaliran

51
Pola pengaliran adalah semua yang menyangkut sistem aliran yang
terpolakan akibat erosi yang bekerja pada suatu daerah yang bersangkutan. Pola
pengaliran sangat erat hubunganya dengan resistensi batuan, jenis litologi, struktur
geologi, dan stadia geomorfologinya.Untuk membantu dalam penafsiran jenis pola
penyaluran, maka penulis mengklasifikasikan berdasarkan jenis pola aliran yang
dibuat oleh A.D. Howard, 1967.
Jenis pola aliran yang terdapat pada daerah penelitian, setelah disesuaikan
dengan klasifikasi pola sungai yang ditulis oleh A.D. Howard, 1967 maka dapat
diklasifikasikan kedalam pola pengaliran dendritik, dimana pada pola pengaliran
dendritik ini salah satunya dicirikan dengan lapisan sedimen horisontal atau miring
landai dan kontrol struktur tidak begitu tampak..

Gambar.5.1. Klasifikasi pola pengaliran dasar oleh A.D. Howard, (1967)

52
Gambar.5.2. Peta Pola Pengaliran pada Daerah Telitian

V.1.4. Stadia Geomorfologi

Penentuan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat erat hubungannya


dengan proses pelarutan, denudasional, dan stadia sungai yang telah terbentuk. Stadia
erosi juga akan menentukan stadia geomorfologi suatu daerah. Hal ini semua dapat
ditafsirkan dari ciri-ciri morfologi, sub satuan geomorfologi, pola aliran sungai dan
ciri-ciri yang lainnya.

Menurut Lobeck (1939), stadia daerah ada 3 dan mempunyai ciri tersendiri
yaitu stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai
yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan dan kondisi geologi masih
origin. Stadia dewasa dicirikan oleh adanya bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih
dominan, sungai bermeander dengan point bar, pola pengaliran berkembang baik,
kondisi geologi mengalami pembalikan topografi seperti punggungan sinklin atau

53
lembah antiklin. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak
berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai dan litologi
relatif seragam. (Gambar. 5.3.)

Gambar. 5.3. Klasifikasi stadia geomorfologi, Lobeck (1939)


1. stadia muda, 2. stadia dewasa, 3. stadia tua

Atas dasar keterangan tersebut di atas, pada daerah telitian yang dicirikan dengan
adanya erosi lateral lebih dominan dan kemiringan lapisan pada daerah telitian relatif
masih kecil. Selain itu sungai-sungai pada daerah telitian masih berupa alur-alur liar.
Hal ini menunjukkan bahwa stadia pada darah telitian masih digolongkan pada stadia
tua (Lobeck, 1939) dimana pada Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran
sungai tidak berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai
dan litologi relatif seragam

V.2. Stratigrafi Daerah Telitian


- Dasar Pembagian Satuan Batuan

54
Stratigrafi daerah telitian disusun berdasarkan pengelompokan litologi
dominan yang dapat diamati di lapangan. Kondisi stratigrafi daerah telitian dapat
dibagi menjadi beberapa satuan, dimana setelah dilakukan suatu pemetaan
penyebaran satuan batuan dan studi literatur yang terdahulu serta dengan pendekatan
Litologi bawah permukaan. Dan dalam Pembahasannya stratigrafi daerah penelitian
menggunakan penamaan satuan stratigrafi dengan sistem penamaan litostratigrafi tak
resmi, yaitu pembagian satuan stratigrafi berdasarkan ciri – ciri litologi yang meliputi
jenis batuan, asosiasi litologi, dan keseragaman gejala litologi batuan (Sandi
Stratigrafi Indonesia, 1996).

maka peneliti dapat membagi daerah telitian menjadi tiga satuan batuan,
berdasarkan urutan dari tua ke muda adalah :

1. Satuan batupasir Muaraenim


2. Satuan batulempung Muaraenim
3. Satuan Endapan Alluvial

V.2.1. Satuan Batupasir Muaraenim


V.2.1.1 Penyebaran, morfologi dan ketebalan

Satuan batupasir menempati sekitar 12 % dari total luas daerah


telitian. Satuan ini terletak di timurlaut daerah telitian, penyebarannya ke arah barat
daya – timur laut, arah kemiringan lapisan relatif ke arah barat daya, dengan
mofologi perbukitan bergelombang lemah Satuan batupasir Muara Enim dicirikan
oleh dominasi batupasir sangat halus – batupasir halus berwarna abu-abu sampai
coklat yang memiliki semen silika dan oksidabesi. Batupasir ini berselingan dengan
batupasir kuarsa, dan batulanau yang kadang-kadang muncul dalam bentuk sisipan.
Terdapat juga batubara para satuan batupasir Muara Enim. Struktur sedimen yang
berkembang di satuan batupasir antara lain masif, laminasi sejajar, dan laminasi
bergelombang.

Penyebaran satuan ini peneliti mengintepretasi berdasarkan data permukaan


dengan melihat hasil dari pembuatan peta geologi dan di dukung dengan data bawah

55
permukaan didapatkan ketebalan yang bervariasi kurang lebih 20m, kemungkinan
masih menerus ke arah timurlaut daerah telitian. Karena daerah telitian tidak meliputi
seluruhnya satuan ini, sehingga ketebalan satuan batuan tidak dapat dipastikan secara
akurat.

V.2.1.2 Ciri Litologi

Diskripsi Megaskopis

 Batupasir, warna abu-abu kecoklatan, laminasi bergelombang, ukuran butir


pasir sangat halus – pasir halus (1/16 - 1/4 mm), terpilah baik, dan terdapat
kuarsa sebagai fragmen atau matriks

 Batupasir, warna abu-abu cerah, masif, ukuran butir pasir sangat halus – pasir
halus (1/16 – 1/4 mm)dengan sisipan oksidabesi, terdapat kuarsa sebagai
fragmen atau matriks, semen silika

 Batulanau, warna abu-abu kehitaman, masif, ukuran butir lempung – lanau


(<1/256 – 1/16 mm), semen silika.
Pada satuan batuan ini di dominasi dengan batupasir, dengan perselang
selingan batulanau dan sebagian tempat terdapat sisipan oksidabesi. Komposisi
mineral berupa fragmen kuarsa, matriks kuarsa, semen silika

56
O OOKSIDABESI

Oksidabesi

Foto. 5.4. Singkapan batupasir struktur masif dengan sisipan oksidabesi pada LP 6(Foto
menghadap ke arah Barat Laut)

Foto. 5.5. Singkapan batupasir dengan struktur laminasi bergelombang pada LP5 (Foto
menghadap ke arah Barat Laut)

57
Foto. 5.6. Singkapan batupasir sisipan batulanau dengan struktur perlapisan Pada LP 9
(Foto menghadap ke arah Timur Laut)

V.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Dari analisa profil (Lampiran 6 tidak terjilid) berdasakan data singkapan


batuan dilapangan dan penampang korelasi bawah permukaan terdapat litologi
berupa batupasir kuarsa yang berukuran halus sampai sedang dengan struktur masif ,
perlapisan, laminasi bergelombang, serta batupasir kuarsa yang mengandung oksida
besi mengindikasikan terjadi pasang surut setelah pengendapan. Dari hasil analisa
tersebut maka disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan satuan batupasir
muaraenim pada daerah penelitian sesuai ciri-ciri endapan delta yang dikemukakan
Allen (1998) adalah distributary channels pada delta plain.

58
Gambar 5.3.Skema morfologi dari delta, yang menggambarkan tiga lingkungan
pengendapan utama (Allen, 1998),dimana daerah telitian masuk dalam Delta Plain pada
Distrybutary channel

V.2.2. Satuan Batulempung Muaraenim


V.2.2.1 Penyebaran, morfologi dan ketebalan

Satuan batulempung silikaan menempati sekitar 80 % dari total luas daerah


telitian. Satuan ini terletak di sebelah selatan daerah telitian, penyebarannya lateral
ke arah timur laut – tenggara arah kemiringan lapisan relatif ke arah barat daya,
dengan mofologi perbukitan bergelombang lemah. Pada satuan batuan ini dicirikan
dengan adanya sisipan batulanau dan batubara.

V.2.2.2 Ciri Litologi

Diskripsi Megaskopis :
Batulempung : batulempung, warna abu-abu sampai kehitaman, ukuran butir
lempung,masif dan laminasi (<1/256 mm), memiliki
kandungan silika.
Batubara : Batubara, dengan warna segar hitam sampai coklat, warna lapuk
hitam kecoklatan, terang, gores hitam sampai coklat, tidak teratur,
mengandung sedikit serat kayu.

Pada satuan batuan ini di dominasi dengan batulempung dengan struktur


masif dan laminasi bergelombang..

Singkapan batupasir sisipan batulanau pada LP 10


(Foto menghadap ke arah selatan

59
Foto. 5.7. Singkapan batulempung dengan struktur masif pada LP 15
(Foto menghadap ke arah Utara

Foto. 5.8. Singkapan batulempung dengan struktur massif Pada LP 18 Foto menghadap
kearah barat daya

60
Foto. 5.9. Singkapan batulempung dengan struktur masif pada LP 10
(Foto menghadap ke arah selatan

Foto. 5.10. Singkapan batulempung dengan struktur laminasi pada LP 19


(Foto menghadap ke arah selatan

61
Foto. 5.11. Singkapan batubara seam Y pada Lp 15, kamera menghadap ke Utara

Foto. 5.12. Singkapan batubara seam X pada LP 2, kamera menghadap ke selatan

V.2.2.3. Batubara

Batubara pada satuan batulempung Muaraenim tersingkap pada lokasi


pengamatan lapangan, dimana pada satuan lempung Muara Enim terdapat 4
(empat) titik lokasi pengamatan batubara. Titik pengamatan tersebut masuk
kedalam seam X dan seam Y.

Seam X : Lapisan Batubara Seam X, berwarna coklat kehitaman, gores :


coklat, kilap : tanah, kekerasan : lunak hitam, pecahan: brittle,
mengandung sedikit serat kayu

62
Seam Y : Lapisan Batubara Seam Y, dengan warna segar hitam sampai
coklat, warna lapuk
hitam kecoklatan, terang, gores hitam sampai coklat, tidak teratur,

mengandung sedikit serat kayu

V.2.2.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan batulempung didasarkan pada hasil analisis fosil


mikropaleontologi pada daerah telitian. terdapat fosil plankton yang dapat dijumpai
adalah Globorotalia plesiodumida,Globoquadrina obesa, Globoquadrina attispira,
Globigerinoides immaturus, Orbulina universa, Globorotalia menardii yang
menunjukan umur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal (N17 – N18)

Mengacu pada stratigrafi regional menurut S.Gafoer (1999), berdasarkan


kesamaan ciri fisik litologi penyusun satuan batuan, dan pengamatan fosil satuan ini
termasuk dalam Formasi Muaraenim yang memiliki umur Miosen Akhir – Ploosen
Awal dan Lingkungan pengendapan pada daerah telitian adalah Delta Front (Allen,
1998).

Gambar 5.4. Model Lingkungan Pengendapan Delta (Allen, 1998)

63
V.2.2.5.Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir Muaraenim dengan


batulempung Muaraenim yang berada di atasnya adalah selaras. Berdasarkan
Stratigrafi Regional Sumatra Selatan oleh Gafoer, 2004 menunjukkan bahwa daerah
telitian masuk kedalam Formasi Muara Enim.. Formasi ini tersusun dari Batupasir,
perselang-selingan batupasir tufan dan batulempung dengan sisipan batubara, dan
mempunyai umur Miosen Akhir – Pliosen.
.

V.2.3. Satuan Endapan Alluvial

Tersusun atas material lepas berukuran pasir kasar-kerikil dimana satuan


batuan ini terdapat pada bagian Tenggara dalam daerah telitian. Satuan endapan
alluvial ini berumur Kuarter.

Foto. 5.13. Satuan Endapan Alluvial terendapkan


(Foto menghadap ke arah Selatan)

V.2.3.1. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Satuan ini berumur holosen dan diendapkan di lingkungan darat dan masih
berlangsung hingga saat ini.

64
V.2.3.2. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi endapan alluvial adalah tidak selaras terhadap batuan


yang lebih tua atau yang ada di bawahnya (Foto 5.13)

Tabel 5.3. Kolom stratigrafi daerah telitian

V.2.4. Analisa Petrografi Batubara


Analisa petrografi batubara dilaksanakan di laboratorium pengujian
TEKMIRA, dimana langkah-langkah analisanya sebagai berikut :

 Preparasi Contoh
Contoh yang akan dianalisis digerus sampai lolos saringan 1 mm dan
dilakukan pembagian sehingga diperoleh 15 g contoh yang mewakili untuk anlisis
petrografi dan untuk analisis proksimat atau ultimat. Contoh yang berukuran 1 mm
dicampur dengan resin epoxy/transsoptik powder, dicetak dengan cetakan segi empat
atau bulat. Setelah keras kemudian permukaannya digosok dengan kertas ampelas
nomor 600, 800 dan 1200, selanjutnya dipoles sehingga diperoleh permukaan
batubara yang halus untuk analisis petrografi.

65
Gambar 5.5. Pelet kilap (pholished block) batubara, hasil preparasi

Untuk mendapatkan sayatan pelet kilap, maka dilakukan cara sebagai berikut

1. Contoh batubara tersebut terlebih dahulu direduksi ukurannya hingga berukuran


<1mm pada mesh 18, kemudian sebagian kecilnya dicampurkan dengan
transoptic powder (rasio 1:1) dan selanjutnya dicetak dengan menggunakan
cetakan besi silinder berdiameter 3 cm.
2. Cetakan tersebut kemudian dipanaskan hingga 160°C dan setelah mencapai suhu
tersebut ditekan dengan alat penekan hingga mampat.
3. Hasil cetakan kemudian dipotong dan untuk menghilangkan goresan pada
permukaan pelet kilap dilakukan penggosokan menggunakan amplas serbuk
korundum (240 mesh dan 600 mesh ) serta pemolesan alpha polishing alumina
(0,1 mikron, 0,05 mikron dan 0,03 mikron)
4. hingga permukaanya mengkilap dan terlihat kilap maseral batubaranya.

Permukaan contoh hasil pemolesan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

 Bebas dari relief;


 Tidak berlubang dan tidak ada goresan-goresan;
 Semua mineral yang terdapat dalam contoh batubara harus tetap seperti asalnya;
 Maseral batubara diusahakan agar tidak rusak atau tergores akibat pemolesan
yang berlebihan; dan
 Senyawa-senyawa dalam alat pemolesan dan pengerusan tidak menempel pada
permukaan contoh yang siap untuk dianalisis.

66
 Metode Analisis Maceral
Penelitian mikroskopik secara konvensional telah dilakukan dengan
menggunakan sinar pantul pada pembesaran antara 250 sampai 500. Peralatan-
peralatan yang dapat digunakan dalam analisis petrografi adalah mikroskop batuan
dengan photo multiplier, hasil pengamatan dapat dihitung secara manual atau
dihubungkan dengan komputer.

Tipe batubara ditentukan secara petrografi dengan analisis grup maseral atau
analisis microlithotype. Peringkat batubara diukur dengan refleksi rata-rata maseral
vitrinit. Cara ini berdasarkan International Committee for Coal Petrografy.

Dari hasil analisa maseral didapatkan hasil peringkat batubara sebagai


berikut:

a) Lapisan Batubara seam Y : Sub Bituminous


b) Lapisan Batubara seam X : Sub Bituminous

Tabel 5.4. Klasifikasi batubara menurut ASTM (Wood et al, 1983)

Fixed Volatile Calorivic


carbon matter value
Class Group

(adb %) (adb %) (kkal/kg)

Meta Anthracite > 98 < 14

Anthracite Anthracite 92  98 14 – 16

Semi Anthracite 86  92 16 – 20

Low Volatile 78  86 20 – 26

Medium Volatile 69  78 26 – 32
Bituminous
High Volatile A < 69 > 32 >7.775
Coal
High Volatile B 7.222  7.775

High Volatile C 6.389  7.222

Subbituminous
Subbituminous A 5.833  6.389
coal

Lignite Subbituminous B 5.278  5.833

67
Subbituminous C 4.611  5.278

Lignite 3.500  4.611

Brown coal < 3.500

Tabel 5.5. Klasifikasi maceral menurut standar Australia Sumber : mining.itb.ac.id)

 Indikator Fasies Batubara


Dari hasil analisa maceral kita dapat mengetahui lingkungan pengendapan
batubara dengan cara menghitung TPI dan GI, berikut ini adalah cara penentuan
lingkungan pengendapan :

• Pengawetan Struktur Jaringan (Tissue Preservation Index, TPI) (Diessel, 1986)

• Derajat Gelifikasi (Gelification Index, GI) (Diessel,1986)

68
I.

II. LP 2 ( 6295 )

69
Gambar 5.6. Diagram TPI – GI (Diessel 1986)

Dari hasil perhitungan TPI dan GI yang dimasukkan ke dalam diagram


Diessel didapatkan hasil sebagai berikut :

 LP 15 = Limno-Telmatic
 LP 2 = Limno-Telmatic
Berdasarkan analisa maceral (Lampiran 1 terjilid) yang dimasukkan ke dalam
diagram Diessel maka dapat di simpulkan bahwa pada lingkungan batubara daerah
telitiam yaitu Limnic – Telmatic dimana istilah yang digunakan untuk endapan
batubara yang terbentuk didarat dicekungan air tawar atau dirawa gambut. Lembah
cekungan batubara limnic terbentuk dari darat. pada model lingkungan pengendapan
menurut Mukapadhay, limic diartikan sebagai daerah yang selalu digenangi oleh air,
sedangkan Telmatic yaitu daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut dan dapat di
simpulkan juga bahwa pada lingkungan telmatic ini merupakan salah satu dari
penciri di temukannya fosil pada satuan batulempung di daerah telitian.

70
V.3. Sejarah Geologi

V.3.1. Sejarah Geologi Daerah Telitian


Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada awal kala Miosen Akhir
ketika terjadi pengendapan satuan batuan Muaraenim. Pada Formasi Muaraenim
dengan sistem sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alurnya yang relatif
dangkal dan berjalin-jemalin. Akibatnya endapan banjir berkembang sangat ekstensif
terutama di dataran limpah banjir dan cekungan limpah banjir. Endapan batubara di
desa Talang Lambaitampui penyebarannya hampir merata dan terbatas kalau dilihat
dari penampang korelasi data bawah permukaan. Satuan batuan yang pertama yang
diendapkan adalah satuan batulempung yang tersusun oleh batulempung, batupasir dan
batubara sebagai sisipan, dengan struktur sedimen yang berkembang pada satuan ini
pada umumnya masif. Dari kenampakan struktur yang ada dan pendekatan penampang
korelasi data bawah permukaan menunjukkan bahwa satuan ini diendapkan pada
lingkungan Delta front . Satuan ini merupakan satuan pembawa batubara dimana pada
satuan ini terdapat 2 seam.

Seam X : Batubara, batuan sedimen organik, hitam, perlapisan, kilap cerah,


gores: hitam sampai coklat, brittle, mengandung sedikit serat kayu

Seam Y : Batubara, dengan warna segar hitam sampai coklat, warna lapuk
hitam kecoklatan, terang, gores hitam sampai coklat, tidak teratur,
mengandung sedikit serat kayu.

Gambar 5.7. Sketsa terbentuknya satuan batulempung

71
Kemudian diendapkan secara selaras satuan batupasir, batulanau sebagai sisipan,
dengan struktur sedimen yang berkembang pada daerah ini umumnya masif, perlapisan
dan laminasi bergelombang.

Gambar 5.8 Sketsa terbentuknya satuan batupasir

72

Anda mungkin juga menyukai