Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus
di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana
khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi
yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung
dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan
terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan
seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan
pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan
membawa daampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya.

Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi


baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan
yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat
kepada penguasa setempat.
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah
banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini
sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel
organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif,
eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru,
korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.

1
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang
tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit
social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi
adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara
kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan alih studi banding, THR, uang
pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan
pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal
itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol
adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi
diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus
diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi
sampai pada titik nadi yang paling rendah maka jangan harap negara ini akan mampu
mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara
yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.

2
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi?


1.2.2 Bagaimana Dampak yang Diakibatkan Oleh Tindak Pidana Korupsi?
1.2.3 Bagaimana Asas - Asas Undang-Undang Pemberantas Tindak Pidana
Korupsi?
1.2.4 Apa saja Jenis tindak pidana korupsi?
1.2.5 Bagaimana ruang lingkup berlakunya korupsi
1.2.6 Bagaimana pemidanaan korupsi?
1.2.7 Bagaimana kewenangan komisi pemberantasan korupsi?
1.2.8 Mengapa Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus?
1.2.9 Bagaimana cara atau Upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi?

1.3 Tujuan
1.3.1. Mengetahui Pengertian tentang Tindak Pidana Korupsi
1.3.2. Memahami Dampak yang diakibatkan oleh Tindak Pidana Korupsi
1.3.3. Mengetahui asas-asas UU pemberantasan tindak pidana korupsi
1.3.4. mengetahui jenis tindak pidana korupsi
1.3.5. Mengetahui ruang lingkup berlakunya korupsi
1.3.6. Mengetahui pemidanaan korupsi
1.3.7. Mengetahui kewenangan KPK
1.3.8. Mengetahui tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus
1.3.9. Mengetahui cara atau upaya memberantas tindak pidana korupsi

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio “ atau “ Corruptus “ yang kemudian
muncul dalam bahasa inggris dan Prancis “ Corruption ”, dalam Bahasa Belanda “
Korruptie ”, dan Bahasa Indonesia “ korupsi “ ( Dr. Andi Hamzah, S.H. 1985: 143 ).
Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk ( John M. Echols dan Hassan Shadily,
1977: 149 ), sedangkan A.I.N. Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak
atau dapat disuapi.
Memperhatikan UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001, maka
Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari dua segi, yaitu :1[2]
a. Korupsi Aktif
1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang Korporasi, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 2 UU
No 31 Tahun 1999 )
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
menylahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangna negara atau
perekonomian negara ( Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 )
b. Korupsi Pasif
1) Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannnya yang
bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001
).

4
2) Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang di serahan kepanya untuk diadili atau
untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan
dengan perkaranya yang di serahkan kepada pengadilan untuk diaili ( Pasal
6 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 ).
Unsur tindak pidana korupsi, adalah sebagai berikut:
1. Unsur Objektif :
1) Setiap orang
2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Unsur Objektif :
Dengan melawan hukum.
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan
keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian
Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan Negara ( Pasal 2 UU No 20 Tahun 2001 )
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan
Negara atau perekonomian Negara ( Pasal 3 UU No 20 Tahun 2001 ).
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387,
388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Koruptor (orang yang korupsi), Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David
M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang
ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H.,
2005:9)

5
2.2.Dampak yang Diakibatkan Oleh Tindak Pidana Korupsi

1. Bidang Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia


politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum
dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan, korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.

2. Bidang Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas


pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian
atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan- aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos
niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-

6
perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam
sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang
mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi
juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

3. Bidang Kesejahteraan Negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun
merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.

2.3 Asas - Asas Undang-Undang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi


Menurut UU No 31 Thn 1999 terdapat beberapa asas yang membedakannya
dari UU tindak pidana lain, yaitu :
1. Pelakunya adalah setiap orang, meliputi orang perseorangan dan korporasi (
Badan hukum dan perkumpulan orang ).
2. Pidananya bersifat komulasi dan alternatif
Komulasi berarti, dalam rumusan pasalnya terdapat kata “.... dan .... “
sedangkan alternatif terdapat kata “ .... atau .... “.
3. Adanya pidana minimum dan maksimum
4. Percobaan, pembantuan tindak pidana korupsi dipidana sama dengan pelaku.

7
5. Setiap orang yang di luar wilayah indonesia memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, dan keterangan untuk terjadinya TPK dipidana sama dengan pelaku.
6. Pidana tambahan selain pidana tambahan yang diatur dalam KUHP ( Pasal 18
UU No 31 Tahun 1999 ).
7. Orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar dapat dipidana ( Pasal 22 ).

2.4 Jenis Tindak Pidana Korupsi


Jenis tindak pidana korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001, yaitu :
1. Kerugian keuangan negara ( Pasal 2 dan 3 )
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan ( Pasal 12 huruf I )
7. Gratifikasi ( Pasal 12B jo. Pasal 12C )
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi menurut
UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdiri dari :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi ( Pasal 21 ).
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar ( Pasal
22 jo. Pasal 28 )
3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka ( Pasal 22 jo. Pasal
29 ).
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
( Pasal 22 jo. Pasal 35 ).
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo. Pasal 36 ).
6. Saksi yang membuka identitas pelapor ( Pasal 24 jo. Pasal 31 ).

8
2.5. Ruang Lingkup Berlakunya
Pasal 16 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menjangkau setiap orang yang di luar wilayah Indonesia memberikan bantuan,
kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Untuk itu
pelakunya dapat dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 2, 3, dan 5 sampai
dengan pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999.

2.6. Pemidanaan korupsi


A. Hukuman Pokok
Pasal 10 KUHP mengatur pidana pokok sebagai berikut :
1. Pidana Mati
2. Pidana penjara
3. Kurungan; dan
4. Denda.
Sedangkan, menurut UU No. 31 tahun 1999 hukuman pokok dibagi menjadi :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Hukuman Denda

9
PASAL HUKUMAN BADAN HUKUMAN DENDA Rp.
MIN MAKS MIN MAKS
2 4Th 20Th 200 juta 1 miliar
3 1Th 20Th 50 juta 1 miliar
5 1Th 5Th 50 juta 250 juta
6 3Th 15Th 150 juta 750 juta
7 2Th 7Th 100 juta 350 juta
8 3Th 15Th 150 juta 750 juta
9 1Th 5Th 50 juta 250 juta
10 2Th 7Th 100 juta 350 juta
11 1Th 5Th 50 juta 250 juta
12 4Th 20Th 200 juta 1 miliar
13 - 3Th - 150 juta
21 3Th 12Th 150 juta 600 juta
22 3Th 12Th 150 juta 600 juta
23 1Th 6Th 150 juta 300 juta
24 - 3Th - 150 juta

B. Pidana Tambahan menurut UU No. 31 tahun 1999


1. Perampasan barang bergerak berwujud atau tidak berwujud;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut;
3. Penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan untuk paling lama 1 tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagaian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana;
Sedangkan, menurut Pasal 10 huruf b KUHP mengenai Pidana tambahan terdiri
dari pencabutan hak-hak tertentu ( Pasal 35 KUHP ).

10
C. Perampasan barang pihak ke tiga
Dalam perkara TPK, perampasan barang pihak ke tiga atau yang bukan milik atau
kepunyaan terdakwa dapat dijatuhkan. Untuk itu hak – hak pihak ketiga yang beritikad
baik tidak dirugikan, akan tetapi ( Pasal 19 ayat (1) ) apabila merugikan hak-hak pihak
ketiga yang beritikad baik, maka putusan pengadilan mengenai perampasn barang-
barang yang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan.

2.7 Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )


Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang 31 Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan
supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana yang :
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hokum atau
penyelenggara Negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
3. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar
) ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada :
a. Kepastian hukum
b. Keterbukaan
c. Akuntabilitas
d. Kepentingan umum
e. Proporsionalitas

11
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi :
1. Mengkoordinasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK.
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan TPK kepada instansi
terkait.
4. Melaksanakan dengar pendapat atau penemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan TPK.
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan TPK ( Pasal 7 UU
No 30 Tahun 2002 ).
6. Wewenang lain ( Pasal 12, 13, 14 UU No 30 Tahun 2002 ).

2.8 Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus


Kekhususan peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus, dari aspek
norma, jelas mengatur hal-hal yang belum diatur dalam KUHP. Dikatakan khusus,
karena dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat asas atau hal – hal yang
menyimpang dari ketentuan umum dalam Buku I KUHP.
Contohnya perbedaan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil pada tindak
pidana umum dengan UU tindak pidana korupsi pada tindak pidana khusus:

No Perbedaan KUHP UU Tindak pidana korupsi


1 Penyadapan Tidak dibolehkan Dibolehkan dilakukan
penyadapan
2 Aparat Polisi sebagai penyidik dan Penyidik dan penyelidik selain
penegak penyelidik polisi juga bisa jaksa penuntut
hukum umum dan penyidik KPK

12
3 Sistem Bersifat konvensional Secara ad hoc
peradilannya

4 Hukuman - Pidana Mati - Pidana mati;


Pokok - Pidana penjara - Pidana penjara
- Kurungan; dan - Hukuman denda
- Denda.

5 Hukuman Percobaan, pembantuan Percobaan, pembantuan tindak


Percobaan, tindak pidana hukumannya pidana korupsi dipidana sama
pembantuan dikurangi 1/3 dari ancaman dengan pelaku
hukuman.
6. Ancaman Ancaman pidana maksimum Adanya pidana minimum dan
pidana maksimum

7 Subjek Orang perorangan Orang dan Korporasi ( Badan


Hukum hukum / bukan badan hukum ).

2.9. Cara atau Upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi
di Indone-sia, antara lain sebagai berikut :

a. Upaya pencegahan (preventif).

b. Upaya penindakan (kuratif).

c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.

d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

13
1. Strategi Preventif

a. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus
dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.
Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tanggung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis
tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jabatan di bawahnya.

2. Strategi Deduktif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat
diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga
dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem- sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan

14
yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini
sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi
maupun ilmu politik dan sosial.

Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :

a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).

b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melakukan

pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.

c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).

d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan

Negara Rp 10 milyar lebih (2004).

e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito


dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).

f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).

g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).

h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.

i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus


korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan Negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).

15
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

3. Strategi Represif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi
sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan
perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses
penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya
harus dilakukan secara terintregasi.

Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah
korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan
korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain :

1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang
keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah
pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan
standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya,
sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”.
Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi,
maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk
melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.

2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat


ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini

16
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan
rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.

3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (KPK, Kepolisian,


Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta
memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan
prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.

4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi


adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat
manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial
masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan
akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara
lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh
lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai


dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka
yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti
melanggar harkat dan martabat kehidupan.

17
Pemerintah setiap negara pada umumnya pasti telah melakukan langkah-langkah untuk
memberantas korupsi dengan membuat undang-undang. Indonesia juga membuat
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami
perubahan yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

18
BAB III

KESIMPULAN

3.1.Kesimpulan
Perbuatan korupsi tidak mungkin dihapus dari muka bumi ini hanya dengan
mengeluarkan sebuah peraturan, bahkan dengan ancaman pidana yang cukup
berat, yaitu pidana mati pun. Usaha pembentuk undang-undang melalui pembuatan
paraturan tersebut terbatas, apabila tidak dibarengi dengan pemberantasan korupsi
ini dengan tindakan-tindakan lain, seperti bidang politik, ekonomi, pendidikan,
dan lainnya. Gejala yang dialami oleh Indonesia tersebut juga muncul di negara-
negara berkembang yang lain di dunia.
Dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi di segala bidang
membuat Indonesia semakin terpuruk karena banyak sekali terjadi kasus korupsi
di Indonesia yang merugikan baik pemerintah maupun masyarakat. Tindak pidana
korupsi ini yang membuat Indonesia semakin miskin.
Cara atau upaya memberantas tindak pidana korupsi yang paling utama adalah
gerakan “moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi
adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat
manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial
masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi
dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah
ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat
terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langkah
yang efektif membangun peradaban bangsa.

19

Anda mungkin juga menyukai