Anda di halaman 1dari 10

EFEKTIVITAS BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING) UNTUK

MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA SEKOLAH INKLUSI DI


SMA NEGERI 4 SAMARINDA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan inklusi merupakan suatu pendekatan yang berusaha mentransformasi


sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pelayanan pendidikan
antara anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dididik bersama anak tanpa
berkebutuhan khusus (ATBK) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya serta
berkomunikasi, berinteraksi dengan teman sebayanya agar mengerti dan menghargai
perbedaan orang lain. Pendekatan yang memberantas diskriminasi dengan sistem
pendidikan yang mempersiapkan siswa dengan lingkungan masyarakat bagi semua
anak agar memperoleh pendidikan dan belajar dengan siapapun di pendidikan formal.

Pendidikan inklusi dilaksanakan secara fleksibel membutuhkan pendekatan tim dan


tanggungjawab guru dalam mengkoordinasikan integrasi belajar siswa. Guru kelas
diharapkan memiliki tanggungjawab penuh dalam proses mainstream. Guru khusus
mengkoordinasikan program kinerja tentang siswa dengan hati-hati dan menjaga
komunikasi tentang kinerja siswa. Konselor yang membantu guru dalam penyesuaian
sosial atau koordinasi yang berhubungan dengan orang tua. Kepala sekolah yang
merupakan kunci mengatur, mempertimbangkan kebijakan program yang relevan.
Staf administrasi, konselor, psikolog, pustakawan, dan terapis yang memiliki
tanggungjawab bervariasi di sekolah. Suatu sistem sosial yang esensial membuat
keseluruhan komponen sekolah menyatukan unsur kepedulian untuk keragaman
sosial yang paling bertanggung jawab.

Penyesuaian program pendidikan inklusi dilaksanakan pada saat sekolah


memodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik, secara efektif
mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan di lingkungan
sekolahnya. Semua siswa belajar untuk saling terbuka, belajar peduli, toleransi, dan
menghargai perbedaan dalam kebersamaan untuk meningkatkan kompetensi diri.
Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan
mengurangi keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat
(Septaviana, 2002:39).

Sebagai upaya untuk menghindari perbedaan, Charles dan Malian (dalam Mambela,
2010:301) mengemukakan bahwa diperlukan adanya modifikasi di kelas biasa yang
meliputi, diantaranya: kurikulum, lingkungan/fisik sekolah, proses dan hubungan
sosial di kelas, metode mengajar, sistem evaluasi, dan struktur administrasi sekolah.
Model pendidikan yang diperlukan adalah model integrasi ABK dengan pendidikan
ATBK yang memiliki norma-norma, nilai-nilai, dan pranata-pranata sosial yang
berbeda satu sama lain.

Pendidikan yang membangun paradigma keragaman inklusif, menghargai keragaman


bahasa, membangun sikap gender, membangun pemahaman kritis terhadap
ketidakadilan perbedaan sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai
perbedaan kemampuan, dan menghargai perbedaan umur (Yaqin:2005). Hal ini
membutuhkan penguasaan pengetahuan tentang ABK penggunaan strategi pengajaran
yang efektif, dan kebutuhan untuk kerja sama antara pendidik, profesional lain, orang
tua, dan masyarakat.

Penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus
terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive society), tatanan
masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman
sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP. No 19 tahun 2005
tentang standar Nasional pendidikan, pasal 41 (1) telah mendorong terwujudnya
system pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap pendidikan yang
melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang
mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan
kebutuhan khusus.

Fenomena inklusi secara akademis masih belum terlaksana sesuai dengan kebutuhan
sekolah inklusi. Sekolah menutup diri dengan tidak menerima anak berkebutuhan
khusus, sehingga masih banyak anak berkebutuhan khusus tinggal dekat dengan
sekolah tidak mengenyam pendidikan. Sekolah menerima anak berkebutuhan khusus
tetapi belum memiliki SK dan guru pendamping khusus. Sistem pendidikan tidak
mengacu pada pengajaran keragaman, tetapi mengacu pada pasaran, sehingga apabila
ada anak berkebutuhan khusus yang akan masuk sekolah di tes dan membayar mahal
berdasarkan kekhususannya. Pendidikan inklusi yang seharusnya memahami
kesulitan peserta didik tidak menjamin pelayanan kepada semua siswa yang
maksimal (Dyson:2004; Mambela:2010; Milson:2012)

Banyak pendidikan inklusi yang belum memberikan layanan pendidikan tidak sesuai
dengan kebutuhannya sehingga mengakibatkan peserta didik yang mengalami
hambatan tidak terakomodasi di sekolah. Kemampuan siswa untuk menciptakan
perilaku yang seimbang dalam menjalankan peran kehidupan utamanya belum
mampu meningkatkan kepedulian untuk menghargai dan merespon keterbatasan.
Remaja sering menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada orang lain, berdasarkan
pilihan moral mereka pada keinginan untuk berbagi kebaikan dan memelihara
hubungan harmoni. Seperti yang disampaikan Jackson (dalam Kohlberg, 1995:119)
belajar untuk hidup bersama di dalam kelas berarti belajar untuk hidup bersama
dalam kelompok dan untuk diperlakukan sebagai anggota sebaya dan sama statusnya.

Manusia adalah makhluk yang rapuh dan terikat jaringan-jaringan sosial dengan
membatasi ruang gerak yang mencakup norma sosial memiliki kecenderungan untuk
menentukan kelompoknya sendiri. Kemampuan individu berkomunikasi secara
efektif dengan membina hubungan antar pribadi agar interes, empati, toleransi,
menumbuhkan kebersamaan dengan memberikan rasa aman, rasa memiliki, serta
kasih sayang, pada umumnya mereka mengalami kesulitan berinteraksi.. Penyesuaian
diri dengan lingkungan sekolah yang memiliki keanekaragaman memerlukan
bimbingan untuk melatihkan sikap yang sesuai bagi siswa.

Kepedulian menerima perbedaan, belajar hidup bersama, dan menghargai orang lain
di sekolah inklusi secara efektif masih belum terjadi. Fenomena yang terjadi di
sekolah, anak tanpa berkebutuhan khusus yang kurang memahami karakteristik anak
berkebutuhan khusus masih tidak tahu bagaimana harus bersikap, sehingga interaksi
yang terjadi adalah interaksi sepihak. dan kurang mampu menjalin persahabatan.
Dalam sebuah penelitian yang mengukur dampak dari program pelatihan
keterampilan sosial pada tingkat persahabatan anak-anak dan keterampilan sosialnya,
siswa kelas sumber berpartisipasi dalam program skillstreaming McGinnis &
Goldstein (dalam Sochen). Pre-test langkah-langkah termasuk evaluasi persahabatan
(prosedur penomination) untuk menentukan jumlah teman-teman untuk masing-
masing peserta dan evaluasi keterampilan sosial (Sistem Penilaian Keterampilan
Sosial SSR-TF) diisi oleh guru. Kelompok eksperimen (n = 6) berpartisipasi dalam
pelatihan skillstreaming sementara kelompok lain anak-anak bertindak sebagai
kelompok kontrol daftar tunggu (n = 6). Tiga anak di masing-masing kelompok
memiliki identitas kebutuhan khusus. Tersisa enam anak tanpa kebutuhan khusus,
yang dipilih melalui proses usia dengan dipertimbangkannya gender. Langkah pre-
test diulang dalam post-test. Serangkaian desain invariate ANOVA dicampur AS
digunakan untuk menyelidiki hipotesis. Perubahan signifikan dalam sosial diamati,
penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi model untuk kelas inklusi.

Bila anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan belajar, anak tanpa kebutuhan
khusus hanya melihat saja karena tidak tahu cara berkomunikasi dengan anak
berkebutuhan khusus. Dalam studi lain, York, Vandercook, Macdonald, Heise-Neff,
dan Caughey (1992) disurvei 181 murid sekolah menengah tanpa cacat mengenai
reaksi terhadap mereka yang berada di kelas inklusi dengan siswa penyandang cacat
yang parah. Temuan ini menunjukkan bahwa murid (a) saya merasa bahwa inklusi
adalah ide yang sangat baik, (b) percaya bahwa berada di ruang kelas ‘pendidikan
umum' resulted dalam hasil positif bagi siswa dengan cacat, terutama dalam hal
keterampilan sosial dan interpersonal, dan (c) mengembangkan lebih realistis dan
positif perspektif tentang teman sekelas mereka dengan cacat. Shevlin dan O'Moore
(2000) mempelajari reaksi emosional, perubahan pribadi dan pengalaman dari 30
murid tanpa SEN ketika berinteraksi dengan 16 murid dengan kesulitan belajar berat
dalam program percontohan mainstream. Mereka menemukan bahwa murid tanpa
berkebutuhan khusus melaporkan perubahan secara positif di bentuk dari
keseluruhan, mereka merasa lebih percaya diri, berpengetahuan dan pemahaman
(Tsang . HWH, 2013)

Anak tanpa berkebutuhan khusus merasa terdiskriminasi sehingga dalam menjalin


hubungan dengan anak berkebutuhan khusus cenderung enggan mendekat. Anak
normal memiliki stereotip anak cacat atau bahkan merasa takut, sehingga mereka
menghindar. Dari hal itu muncul sikap negatif pada anak berkebutuhan khusus,
apabila mereka bertemu ada yang mencibir, mencubit, menjegal, menendang, bahkan
mengolok-olok. Seperti dalam penelitian yang menunjukkkan siswa dan guru
memiliki sikap yang agak negatif terhadap siswa penyandang cacat, atau bahwa
mereka melihat orang penyandang cacat sebagai hal yang berbeda dan lebih rendah
daripada individu tanpa cacat Gething et al, 1994 (dalam Milsom. 2012).

Selain itu Mc Dougall, Dewit, Raja, Miller, dan Killip 2004 (dalam Milsom, 2012),
meneliti sikap sembilan siswa kelas terhadap siswa penyandang cacat dan
menemukan bahwa, meskipun sebagian besar memiliki sikap diklasifikasikan sebagai
netral yang positif, sedikit di atas 20% memiliki sikap negatif. Mereka juga
menemukan bahwa perempuan memiliki sikap yang sedikit lebih positif daripada
laki-laki, dan siswa yang memiliki teman atau sekelas dengan anak cacat memiliki
sikap yang lebih positif daripada kontak langsung dengan siswa penyandang cacat.

Lingkungan yang tercipta mendukung siswa belajar berinteraksi spontan dengan


teman-teman sebaya dari aspek sosial dan emosional, belajar sensitif, bersikap hati-
hati, memahami, menghargai, bertanggungjawab, membelajarkan anak menciptakan
belajar yang akrab dengan kemampuan interpersonal sosial. Salah satu faktor.
memelihara hubungan interpersonal, adalah keserasian suasana emosional yang
terjadi ketika berlangsungnya komunikasi dan mengekspresikan perasaan, pikiran,
gagasan, secara simultan. Kemampuan individu berkomunikasi serta keefektifan
hubungan antar pribadi dengan orang lain membutuhkan penyesuaian yang dibangun
agar individu interes, toleransi, dan menumbuhkan kebersamaan dengan orang lain.
Suatu hubungan bukan kedekatan fisik (walaupun itu ikut berperan) melainkan
kedekatan psikologis. Orang-orang yang akrab dengan kita, saling percaya dengan
kita saling simpati dengan kita, adalah matarantai-matarantai yang kuat dalam
jaringan-jaringan kita (Goleman, 1999:335).

Keterampilan sosial merupakan hal yang mendasari bagi individu untuk berinteraksi
dengan individu lain, di mana individu mampu menerima perbedaan, belajar hidup
bersama, dan mampu menghargai orang lain. Keterampilan sosial merupakan tingkah
laku dalam situasi tertentu, memiliki daya prediksi atas hasil interaksi sosial yang
penting bagi individu, yang mengacu pada penemuan teman sebaya, popularitas,
evaluasi dari orang lain (Indreswari, 2004:11). Penemuan sosial melalui teman
sebaya, saling memberi, dan menerima membuat inidvidu percaya diri dan rasa aman,
diharapkan sebagai ego dewasa mampu meningkatkan hubungan dengan lingkungan
sebagai hubungan yang integral dan terpisah. Individu yang memiliki kemampuan
interpersonal tinggi cenderung mendapat penerimaan sosial yang lebih baik daripada
individu yang kurang memiliki kemampuan interpersonal (Handarini, 2000).

Sikap negatif yang ditunjukkan oleh siswa berkebutuhan khusus karena mereka tidak
memiliki pengetahuan atau keterampilan sosial untuk berinteraksi dengan anak
berkebutuhan khusus. Pada pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah
di bidang pribadi sosial dalam membantu siswa menyesuaikan diri dengan
lingkungan secara dinamis dan konstruktif masih kurang terwadahi. Pada umumnya
program bimbingan dan konseling sekolah berfokus pada bimbingan belajar. Pada
dasarnya program bimbingan dan konseling seyogyanya memahami konsep inklusi
agar seluruh kerangka kerja dalam melayani anak berkebutuhan khusus dalam proses
pendidikan bersama atbk secara integral sesuai kebutuhan. Seperti yang disampaikan
Bowen dan Glenn 1988 (dalam Milsom, 2012) menyarankan bahwa konselor sekolah
yang bias terhadap siswa penyandang cacat dapat mengakibatkan konselor sekolah
memiliki harapan yang rendah bagi siswa penyandang cacat.

Konselor bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dalam layanan bimbingan


kepada siswa dengan sikap positif, memberi kenyamanan, sesuai kode etik, dan
kompetensi multikultural. Perlu program yang dirancang untuk mengembangkan
keterampilan sosial untuk menfasilitasi interaksi positif, agar mampu meningkatkan
interaksi interpersonal di antara semua siswa. Pelatihan keterampilan sosial
merupakan salah satu latihan untuk menciptakan pengalaman, karena keterampilan
sosial dengan pemodelan bermain peran memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berlatih ketrampilan baru.

Salah satu cara efektif melatih keterampilan sosial dengan situasi role playing
(bermain peran). Role Playing dirancang untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan interaksi yang sesuai. Seperti yang diungkapkan oleh Bandura yaitu
manusia fleksibel untuk mempelajari beragam perilaku di beragam situasi melalui
pengalaman langsung dengan pembelajaran yang terencana dari mengamati orang
lain. Manusia dapat mentransformasi kejadian-kejadian yang sudah berlalu menjadi
cara-cara relatif konsisten untuk mengevaluasi dan meregulasi lingkungan sosial,
manusia mengatur hubungan mereka melalui faktor eksternal dan internal, serta
mengatur perilaku mereka melalui tindakan moral. Berbagai hasil penelitian di negara
barat menunjukkan role playing merupakan salah satu metode yang efektif untuk
mengembangkan keterampilan sosial siswa berkebutuhan khusus. Tampaknya,
metode ini perlu dicobakan di sekolah-sekolah dasar inklusi di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang dipapakan di atas, maka dirumuskan masalah


penelitian ini adalah “apakan ada pengaruh tingkat keefektifan bermain peran (role
playing) untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa sekolah inklusi di SMA
negeri 4 Samarinda”
C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keefektivitasan


bermain peran (role playing) untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa sekolah
inklusi di SMA Negeri 4 Semarang

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1) Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
perkembangan ilmu bimbingan dan konseling khususnya bimbingan
konseling di sekolah inklusi
2) Kegunaan praktis
a. Untuk anak didik
Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan keterampilan
sosial siswa di sekolah inklusi
b. Untuk pendidik
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
teknik bagi pendidik untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa di sekolah inklusi
E. DEFINISI OPERASIONAL
Keterampilan sosial merupakan hal yang mendasari bagi individu untuk
berinteraksi dengan individu lain, di mana individu mampu menerima
perbedaan, belajar hidup bersama, dan mampu menghargai orang lain.
Keterampilan sosial merupakan tingkah laku dalam situasi tertentu, memiliki
daya prediksi atas hasil interaksi sosial yang penting bagi individu, yang
mengacu pada penemuan teman sebaya, popularitas, evaluasi dari orang lain
(Indreswari, 2004:11)
Bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang
digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nila, dengan
tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandang, cara berpikir orang lain
(Depdikbud, 1964:171)
F. METODE PENELITIAN
1) Desain Penelitian
Desain penilitian ini menggunakan desain penelitian riset experimental
sebab dalam penelitian ini kelompok diukur sebelum dan sesudah
diberikannya teknik bermain peran di sekolah inklusi
2) Polulasi Penelitian/Sampel Penelitian
Populasi siswa di SMA Negeri 4 Samarinda: 1050 siswa
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁𝑒 2
1050
𝑛=
1 + 1050 𝑋 0,052
1050
𝑛=
1 + 2,625
1050
𝑛=
3,625

𝑛 = 289,65 dibulatkan menjadi 290 siswa

Teknik pengambilan sampel yang digunakan penelitian ini adalah


teknik random sampling, dengan cara mengambil acak siswa dari kelas 10-
11 di SMA Negeri 4 Samarinda. Sampel diambil secara acak pada setiap
kelas diperoleh sebanyak 290 siswa.

3) Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik
angket dan observasi. Teknik angket digunakan untuk data variabel
tentang keterampilan sosial siswa sebelum dan sesudah diberikan
treatment bermain peran pada siswa di SMA Negeri 4 Semarinda, dan
teknik observasi digunakan untuk mengamati berbagai keadaan siswa
selama pemberian treatment. Langkah dalam pengumpulan data
melalui teknik observasi adalah mengamati menggunakan lembar
observasi tentang semua aktivitas siswa selama pelaksanaan
penelitian.
4) Teknik analisis data
Analisis data menggunakan ANOVA dengan program SPSS. Karena
memudahkan analisa beberapa kelompok sampel yang satu dengan
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai