Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Paradigma merupakan konsepsi, model atau pola pemikiran yang sifatnya umum dan mendasar.
Paradigma bukan teori, tetapi merupakan pemikiran yang teoritis yang menuju kepada pengembangan
teori tentang sesuatu, dan pemikiran teoritis ini menjadi dasar fundamental bagi paraktek.

Paradigma pendidikan merupakan pemikiran teoritis yang sifatnya mendasar yang dipakai sebagai latar
belakang bagi disusunnya suatu framework untuk pelaksanaan pendidikan. Biasanya paradigma itu
dinyatakan dalam bentuk skema, yang memperlihatkan hubungan – hubungan antara unsur – unsur yang
terlibat didalamnya. Paradigma bukanlah sistem, tetapi dalam suatu sistem terdapat sejumlah
paradigma, yang merupakan konsep dasar dalam pelaksanaan sistem itu. Namun sebuah paradigma
dapat berkembang menjadi sebuah sistem.

Sebuah paradigma dapat berubah tergantung sejauhmana kebenaran paradigma itu masih dapat
diterima. Proses pengembangan sains menurut Thomas Kuhn mengikuti paradigma yang dimulai dengan
tahap “pra sains”, diikuti tahap “sains normal” lalu periode “sains luar biasa”, lalu tahap “sains normal”
kembali dst.[1] Dimana proses itu merupakan lingkaran kegiatan dan demikian terjadi struktur revolusi
ilmu pengetahuan menurut Kuhn. Karena itu sebuah paradigma dapat berubah menjadi paradigma baru
apabila paradigma lama itu mendapatkan dikritik terhadap kelemahannya.

Seperti telah dimaklumi bahwa salah satu perubahan penting dalam sistem pemerintahan di Indonesia di
era reformasi adalah perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi yang ketat menjadi
sentralisasi terbatas yang dikenal dengan otonomi pemerintah daerah, yang bermakna bahwa
pemerintah daerah memiliki otonomi daerah yang luas untuk membangun daerahnya dalam berbagai
bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, dimana sistem pendidikan nasional yang selama ini
dilaksanakan secara sentralistis, dengan paradigma pemerintahan otonomi daerah masing – masing.

Dalam konteks kehidupan bangsa dan bernegara, Indonesia hanya memiliki sistem pendidikan yaitu
sistem pendidikan nasional, yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa dan mewujudkan tujuan
nasional.[2]
Dikarenakan paradigma pendidikan merupakan pemikiran yang mendasar tentang pendidikan, untuk itu
penulis tertarik membahas tema ini yang berjudul Paradigma Pendidikan .

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian paradigma pendidikan dan perkembangan dalam pendidikan ?

2. Bagaimanakah paradigma teori behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam pendidikan ?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian paradigma pendidikan dan perkembangan dalam pendidikan

2. Untuk mengetahui paradigma teori behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam
pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma dan Perkembangan dalam Pendidikan

Kata Paradigma dalam bahasa Inggris adalah "paradigm" yang berarti “model”.[3] Sedangkan Barker
menyatakan bahwa kata "paradigma" berasal dari bahasa Yunani yaitu "Paradeigma", yang juga berarti
model, pola, dan contoh.[4] Menurut istilah, Adam Smith mendefinisikan paradigma sebagai cara kita
memahami kehidupan, seperti air bagi ikan.
William Harmon menulis bahwa paradigma adalah cara yang mendasar dalam memahami, berfikir,
menilai, dan cara mengerjakan sesuatu yang digabungkan dengan visi tentang kehidupan tertentu.

Sedangkan Barker sendiri mendifinisikan paradigma sebagai seperangkat peraturan dan ketentuan
(tertulis maupun tidak) yang melakukan dua hal: (1) ia menciptakan atau menentukan batas-batas; dan
(2) ia menjelaskan kepada anda cara untuk berperilaku di dalam batas-batas tersebut agar menjadi orang
yang berhasil.[5]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, tampaklah bahwa paradigma adalah cara dan pola yang
mendasari pemahaman, penilaian, peraturan, dan pedoman dalam mengerjakan sesuatu. Jadi,
"paradigma baru" berarti cara atau pola baru dalam melakukan sesuatu.

Paradigma ilmu dirumuskan oleh Kuhn sebagai kerangka teoritis, atau suatu cara memandang dan
memahami alam, yang telah digunakan oleh komunitas ilmuwan sebagai pandangan dunianya.
Paradigma ilmu ini berfungsi sebagai lensa, sehingga melalui lensa ini para ilmuwan dapat mengamati
dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah
terhadap masalah-masalah tersebut.[6]

Paradigma diartikan sebagai alam disiplin intelektual, yaitu cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah
laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang
diterapkan dalam memandang realitas kepada sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin
intelektual.[7]

Sehingga paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari
sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan
mencari cara mengatasi permasalahan tersebut.

Dalam ilmu sosial, menurut Ritzer dan tiga paradigma. Pertama, paradigma fakta sosial yang berakar
pada pemikiran Emile Durkheim sehingga juga populer disubut dengan Perspektif Durkheimian.
Paradigma ini mendasar kan pada filsafat positime dari Auguste Comte yang menyatakan segala seauatu
serba terukur dan berkembang mengikuti hukum sebab akibat. Kehidupan ini lalu di bangun
menggunakan hukum dan logika ‘jika-maka’. Tidak ada gejala yang tidak bisa di jelaskan. Gejala yang
tidak bisa di ukur dan tidak bisa di jelaskan, diartikan sebagai tidak ada.[8]

Dalam pradigma fakta sosial, tindakan seseorang di asumsikan merupakan fungsi dari sistem atau
struktur dalam masyarakat. Mereka lalu mempertanyakan fungsi elemen-elemen dalm sistem atau
struktur tersebut. Elemen tersebut harus memiliki fungsi dan harus memiliki dan memberi sumbangan
bagi upaya membangun harmoni. Pendidikan sebagai elemen dalam masayrakat misalnya, harus
memiliki sumbangn terhadap pemacahan masalah yang di hadapi masyarakat, dan membantu
menciptakan keseimbangan.

Mereka yang berfikir sistemik seperti ini disebut Ritzer sebagai penganut paradigma fakta sosial. Fakta
sosial yang di maksud tiada lain adalah suatu yang bersifat eksternal di luar individu dan bersifat
memaksa individu, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tradisi aturan, hukum, sebagai
kesepakatan, struktur sosial, kesemua itu berada di luar dan memaksa individu untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.[9]

Kedua, paradigma definisi sosial. Dalam paradigma yang berakar dari gagsan Max Weber ini berangkat
dari asumsi dasar yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar, melainkan
datang dari dorongan diri sendiri. Tradisi atau budaya yang berkembang di lingkungannya bukan sebagai
pendorong seseorang melakukan tindakan. Tindakan seseorang merupakan hasil dari keinginan,
motivasi, harapan,nilai-nilai serta berbagai bentuk penafsiran manusia sebagai individu terhadap dunia
dimana ia hidup. Pemikiran inilah yang disubut Ritzer sebagai paradigma definisi sosial. Individu
bertindak atas dasar devinisi atau pemaknaan yang diberikn atas sesuatu. Oleh karena itu tidak seperti
penganut paradigma fakta sosial yang mengatakan individu produk masyarakat, maka dalam paradigama
definisi sosial justru masyarakat dipandan sebagai hasil dari tindakan dan penafsiran individu atas
dunianya. Pertanyaan yang di anjurkan biasanya adalah bagaimana seseorang menafsirkan dan
memahami sebuah fenomena.

Ketiga, paradigma pertukaran sosial. Paradigma ini muncul dari gagasan skinner. Dalam hal ini seperti
paradigma fakta sosial, individu bertindak berdasarkan stimulus dari luar. Namun tidak seperti
paradigma fakta sosial yang memendang faktor struktual atau system yang menjadi acuan tindakan
seseorang, maka menurut paradigma memandang siapa mendapat apa. Mereka berasumsi bahwa
stimulus yang bagus akan menghasilkan respon yang bagus pula. Sebaliknya stimulus yang buruk kan
menghasilkan respon yang buruk pula.

Paradigma sosial yang di gagas Ritzer tersebut juga berkembang dalam pemikiran tentang
pengembangan model pendidikan. Model pengembangan pendidikan itu termasuk berimplikasi
terhadap pola pengembangan kurukulium dan silabi, kepemimpinan, menejemen sumber daya,
pengelolaan kelas dan tentu juga strategi pembelajaran, disamping cara-cara melakukan evaluasi
pendidikan. Paradigma prilaku sosial mendasarkan pada perspektif pertukaran dalam pendidikan
kemudian melahirkan model behavioristik. Sementara itu paradigma perilaku sosial melahirkan model
konstruktivistik dalam pendidikan.[10]

B. Paradigma Behavioristik, Kontruktivistik Dan Sosial Kognitif Dalam Pendidikan

1. Paradigma Behavioristik Dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal paradigma klasik yang disebut paradigma behavioristik.
Paradigma ini muncul terutama pada tahun 1930-an. Paradigma ini dipelopori oleh Pavlov (1849-1936),
Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949).[11]

Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan sampai pada tahun 1960-1970-an di barat
dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma behavioristik atau perilaku sosial ini dapat dilihat
dalam berbagai bentuk pengembangan menejemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran
positivisme, empirisme, teknokrasi dan manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model
pmbelajaran sebelumnya yang menganut perspektif gcstalt yang memfokuskan pada cara kerja
pemikiran kognitif.

Perspektif yang dikembangkam oleh Piaget dan Vygotsky ini dianggap oleh penganut paradigma
behavioristik memiliki kelemahan karena tidak memfokuskan langsung kepada gerakan-gerakan tubuh
dan gejala internal tubuh yang bisa diamati.[12]

Pavlov menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran untuk
membentuk perilaku organisme.

Sementara itu Watson (1878-1958) yang memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan


gagasannya berdasarkan apa yang di rintis Pavlov. Ia mengembangkan pemikiran bahwa bentuk
substitusi satu stimulus terhadap yang lain. Hal ini di lakukan dengan asumsi bahwa cara berfikir manusia
mekanistik, dan bukan merupakan proses kerja mental.

Thorndike (1913-1931) banyak memberi sumbangan pengembangan paradigma behavioris dengan


mengeksplorasi dampak perilaku tertentu terhadap perilaku tetentu lainnya. Temuannya menghasilkan
rumus yang berlaku secara umum yang disebut dengan hukum pengarih (law of effect). Dalam hukum
pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan tetapi
respon lemah jika situasi tidak menyenanglan. Implikasinya tindakan yang menghasilkan hal yang
menyenangkan akan cenderung diulang dengan menggunakan lingkungan dan cara yang sama. Hukum
pengaruh inilah yang dijadikan sebagai batu pijakan dalam tindakan.

Menurut teori ini lingkungan pembelajaran merupakan faktor yang amat menentukan. Pembelajaran
dilihat sebagai pembentukan respon berdasarkan stimulus dari luar. Hadiah dan sangsi merupakan cara-
cara yang diaggap sangat efektif untuk membentuk dan mengembangkan bakat.

Paradigma ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai bentuk rasa
perorangan yang tak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Mereka berpandangan ‘tidak
ada hantu dalam sebuah mesin.’ Meskipun mereka mengakui adanya kesadaran dan pemikiran manusia.
Namun hal itu bukan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam menyusun strategi
pembelajaran. Dalam hal menyusun pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala sesuatu yang
dapat diamati (observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi pembelajaran sering diartikan sebagai
akumulasi dari berbagai skill, pembuatan memori terhadap berbagai fakta dalam wilayah dan kerangka
pengetahuan tertentu. Kesemua itu kemudian membentuk kebiasaan yang memungkinkan dapat
menampilkan hasil dengan cepat.[13]

Pemikiran seperti tergambar diatas, lalu menimbulkan implikasi terhadap berbagai faktor pemblajaran.
Implikasi terhadap peran guru dalam pembelajaran, misalnya, guru harus bisa melatih skill siswa dengan
tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Implikasinya terhadap pengembangan kurikulum, siswa harus
diperkenalkan mulai dari skill dasar terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang
lebih rumit dan kompleks. Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit, melainkan dari yang sederhana.
Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus dan respon. Pembetulan sebuah kesalahan dilakukan
dengan membangun hubungan antara stimulus dan respon.

Implikasinya terhadap peran siswa antara lain dalam pengorganisasian pembelajaran. Guna mencapai
hasil yang optimal, siswa harus diorganisasikan dalam kelompok yang homogen dilihat dari latar
belakang kemampuan dan tingkat skill yang dimiliki. Disamping pemberian instruksi dan program
pembelajaran diatur secara hirarkis dengan memperhatikan tingkat kemajuan pemilihan, kemampuan
dan skill siswa.[14]

Implikasi terhadap cara penilain, disini paradigma behavioristiik mengajarkan agar kemajuan
pembelajaran diukur ,melalui test dengan berbagai item yang ditentukan berdasarkan level atau tingkat
hirarki skill siswa. Hasil belajar biasany dilihat dari sudut benar atau tidak benar, dan bagi mereka yang
hasilnya kurang diberi kesempatan untuk mengulang lebih intensif lagi pada bagian yang di anggap
kurang tersebut. Kalau tidak melakukan latihan ulang secara lebih intensif, bisa juga dilakukan dengan
cara mulai kembali belajar dari skill dasar.[15]

Guna menerapkan paradigma behaviouristic yang juga sering disebut sebagai perspektif Skinnerian ini
guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam karangan pembelajaran behaviouristic.
Selanjutnya guna menyusun tahapan-tahapan pembelajaran tersebut secara hirarkis sehingga pada
akhirnya sampai pada tujuan tersebut. Sementara itu siswa ditempatkan pada situasi yang kondusif
untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu.

Lingkungan, situasi atau operant merupakan alat melakukan reinforcement. Alat itu bisa berupa materi,
mainan, perlombaan, kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang bersifat eksternal lainnya. Oleh
karena itu guru harus pandai memilih alat yang tepat sebagi operant atau pendorong. Hal itu harus
dilakukan karena menurut Skinner pendorong yang baik (positif reinforcement) akan menghasilkan
respon yang baik atau efektif. Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement) akan menghasilkan
respon yang jelek oleh karena itu tidak efektif.

Untuk menjalankan paradigma Skinnerian ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi yang harus
dikuasai. Kopetensi itu meliputi :

a. Mengetahui perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.

b. Menggunakan pendekatan yang dapat memecahkan perilku yang tidak diinginkan.

c. Menggunakan berbagai bentuk strategi mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi,


penggunaan sanksi yang efektif. Mengembangkan keiatan rutin yang jelas dalam mengelola perilaku
siswa konsisten dengan peraturan sekolah. Melakukan tindakan yang tepat, tegas, adil dan konsisten.[16]

Guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu, melalui progam, sasaran tahapan aktifitas, menyediakan contoh, mengkoreksi praktik agar
sesuai dengan rencana, dan tidak melepas siswa belajar sendiri. Untuk itu guru harus melakukan upaya
antara lain :

a. Menghubungkan progam pembelajaran dengan tujuan dan sasaran pendidikan.

b. Menyusun tujuan yang jelas dalam progam pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran siswa sebagai mana telah yang di sepakati sebelumnya.

c. Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah di rencanakan.

d. Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian yang telah di raih oleh siswa sebelumnya.

e. Susunan strategi pembelajaran behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran,


tahap demi tahap, serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada praktek
yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendri secara langsung, melainkan bimbing dan
kalau hendak melepaskan lakukan sevara bertahap.

f. Hubungan proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.[17]

2. Paradigma Kontruktivistik Dalam Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai