Anda di halaman 1dari 25

TUGAS UJIAN LIKARDO

1. Sindrom Ovarian Polikistik

Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik yang diterima secara luas adalah suatu
kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme dengan anovulasi
kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan pada kelenjar adrenal
maupun kelenjar hipofisis. Hiperandrogenisme merupakan suatu keadaan di mana secara klinis
didapatkan adanya hirsutisme, jerawat dan kebotakan dengan disertai peningkatan konsentrasi
androgen terutama testosteron dan androstenedion. Obesitas juga dijumpai pada 50-60%
penderita sindrom ini. Pengukuran obesitas dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT),
yaitu berat badan/(tinggi badan) >25 kg/m2. Ciri-ciri ini berhubungan dengan hipersekresi dari
luteinizing hormone (LH) dan androgen dengan konsentrasi serum follicle stimulating
hormone (FSH) yang rendah atau normal. Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan tetapi
terdapat bukti adanya kelainan genetik yang kemungkinan diwariskan oleh ibu atau ayah, atau
mungkin keduanya. Gen tersebut bertanggung jawab atas terjadinya resistensi insulin dan
hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Gambaran klinis sindrom
ovarium polikistik sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat dijumpai gangguan menstruasi
dan gejala hiperandrogenisme. Akantosis nigrikans juga merupakan keadaan klinis pada kulit
yang menandakan adanya hyperinsulinemia Secara makroskopis, ovarium pasien dengan
sindrom ini 2-5 kali lebih besar dari ukuran normal. Permukaan ovarium tampak putih,
korteksnya menebal dengan kista multipel yang diameternya kurang dari 1 cm. Secara
mikroskopis, bagian superfisial dari korteks fibrotik dan hiposeluler, mengandung pembuluh
darah yang jelas.

Diagnosis sindrom ovarium polikistik dilakukan dengan 3 cara yang merupakan kombinasi
dari kelainan klinis, keadaan hormonal dan gambaran ultrasonografi. Keadaan klinis yang
dijumpai adalah gangguan menstruasi di mana siklus menstruasi tidak teratur atau tidak
menstruasi sama sekali, terkadang dengan disertai terjadinya perdarahan uterus disfungsional.
Sedangkan gejala hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan seboroik pada kulit dan
rambut serta kebotakan dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes laboratorium yang
dilakukan berupa tes hormonal, tidak saja penting untuk diagnosis tetapi juga sangat penting
untuk melihat kelainan secara keseluruhan. Kelainan endokrin yang ditemukan adalah

1
peningkatan konsentrasi LH dan peningkatan aktivitas androgen yaitu testosteron dan
androstenedion. Hiperinsulinemia juga ditemukan akibat adanya resistensi insulin. Resistensi
insulin dapat ditentukan dengan mengetahui nisbah gula darah puasa/insulin puasa. Dari
pemeriksaan ultrasonografi transvaginal didapatkan gambaran lebih dari 10 kista pada salah
satu ovarium dengan besar kurang dari 1 cm, disertai besar ovarium 1,5 - 3 kali dari ukuran
normal. Hasil pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran pasti jika secara klinis terdapat
dugaan sindrom ovarium polikistik. National Institute of Health - National Institute of Child
Health and Human Development (NIH-NICHD) menyatakan diagnosis sindrom ovarium
polikistik ditegakkan bila paling sedikit ditemukan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Kriteria mayor terdiri dari anovulasi dan hiperandrogenisme, sedangkan kriteria minor berupa
resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, LH/FSH >2,5 dan pada USG terdapat gambaran
ovarium polikistik. Gejala klasik yang ada pada sindrom ini adalah gangguan siklus
menstruasi, hirsutisme dan obesitas. Biasanya pasien mencari bantuan karena adanya siklus
menstruasi yang tidak teratur, infertilitas dan masalah penampilan akibat obesitas dan
hirsutisme. Sindrom ovarium polikistik sangat mungkin menjadi faktor risiko untuk menderita
hipertensi dan penyakit jantung koroner karena hiperkolesterolemia, diabetes serta kanker
endometrial. Karena itu diagnosis yang tepat disertai pemilihan penatalaksanaan yang efektif
sangat penting untuk mencegah komplikasi di masa mendatang.

PATOFISIOLOGI

Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas
dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat
(hipotalamushipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan
tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat. Fisiologi ovulasi harus
dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat
menyebabkan infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat
seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH
mulai meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung ovum.
Folikel yang matang memproduksi hormone androgen seperti testosteron dan androstenedione
yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari hormon androgen tersebut akan
berikatan di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak memberikan efek

2
pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi hormon estrogen
di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen meningkat, yang
mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus meningkat
akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi
ovulasi. Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar progesteron
yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan mencapai puncak pada
hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi menstruasi berikutnya. Pada
sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu. Karena adanya peningkatan aktivitas sitokrom
p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga
peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone (GnRH)
yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah
karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan folikel sehingga
tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen
yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi.
Selain itu adanya resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah
pada keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat
sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus diikuti dengan
tanda klinis akantosis nigricans dan obesitas tipe android.

DAMPAK KLINIS

Infertilitas

Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan dengan dua hal. Pertama karena
adanya oligoovulasi/anovulasi. Keadaan ini berkaitan dengan hiperinsulinemia di mana
terdapat resistensi insulin karena sel-sel jaringan perifer khususnya otot sehingga banyak
dijumpai pada sirkulasi darah. Makin tinggi kadar insulin seorang wanita, makin jarang wanita
tersebut mengalami menstruasi. Penyebab yang kedua adalah adanya kadar LH yang tinggi
sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron menekan sekresi SHBG oleh hati sehingga
kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan
balik positif terhadap LH sehingga kadar LH makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH tetap

3
rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.

Hipertensi dan penyakit jantung koroner

Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh pasien sindrom ovarium polikistik. Lemak
tubuh yang berlebihan ini memberi konsekuensi terjadinya resistensi insulin. Obesitas dan
resistensi insulin mengarah pada perubahan respons sel-sel lemak terhadap insulin, di mana
terjadi gangguan supresi pengeluaran lemak bebas dari jaringan lemak. Peningkatan lemak
bebas yang masuk ke dalam sirkulasi portal meningkatkan produksi trigliserida, selain itu juga
terdapat peningkatan aktivitas enzim lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein yang
besar menjadi lebih kecil. Akibatnya ditemukan penurunan konsentrasi kolesterol high density
lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang
bersifat aterogenik sehingga mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah dengan akibat
berkurangnya kelenturan yang berhubungan dengan terjadinya hipertensi. Kombinasi
trigliserida yang tinggi dan kolesterol HDL yang rendah berkaitan erat dengan penyakit
kardiovaskuler, yang pada pasien sindrom ovarium polikistik muncul di usia yang relatif lebih
muda.

Diabetes melitus

Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat dengan masalah insulin. Adanya resistensi sel-
sel tubuh terhadap insulin menyebabkan organ tubuh tidak dapat menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen sehingga kadarnya meningkat di dalam darah.

Masalah kulit dan hirsutisme

Keadaan ini berkaitan dengan hiperandrogenisme. Kadar androgen yang tinggi


menyebabkan pengeluaran sebum yang berlebihan sehingga menyebabkan masalah pada kulit
dan rambut. Pasien mengeluhkan seringnya terjadi peradangan pada kulit akibat penyumbatan
pori serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul
adalah dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis nigrikans dan kebotakan.

4
Akantosis nigrikans selain berhubungan dengan keadaan hiperandrogen juga terkait dengan
adanya hiperinsulinemia.

Obesitas

Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan sebagai obesitas sentripetal, di


mana distribusi lemak ada di bagian sentral tubuh terutama di punggung dan paha. Wanita
dengan sindrom ini sangat mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas tipe ini berkaitan
dengan peningkatan risiko menderita hipertensi dan diabetes.

Kanker endometrium

Risiko lain yang dihadapi wanita dengan sindrom ini adalah meningkatnya insiden kejadian
kanker endometrium. Hal ini berhubungan dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga
endometrium selalu terpapar oleh estrogen ditambah adanya defisiensi progesteron. Kanker ini
biasanya berdiferensiasi baik, angka kesembuhan lesi tingkat I mencapai angka >90%. Kadar
estrogen yang tinggi kemungkinan juga meningkatkan terjadinya kanker payudara.

PENATALAKSANAAN

Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi terganggu sehingga
terjadi infertilitas. Antiestrogen – dalam hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai -
merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi. Strukturnya yang mirip dengan
estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor estrogen dan
mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga meskipun kadar estrogen dalam darah
meningkat, tetapi karena kapasitas reseptor estrogen menurun maka sekresi GnRH meningkat.
Rangsangan GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise
lebih peka terurama dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertile dengan sindrom ini
(63%-95%) mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi ini tergantung
pada penggunaan dosis progresif sampai terjadinya ovulasi. Jangka waktu pemberiannya tidak
boleh lebih dari 6 bulan karena berpotensi meningkatkan risiko kanker ovarium. Walaupun
pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan
terjadinya konsepsi. Sehingga apabila pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi
dengan menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau human follicle
stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan. Hormon-hormon ini merangsang ovarium

5
untuk menghasilkan ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang intensif
untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium.
Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan
akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya 36% setiap siklus.

Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan fungsi reproduksi pada wanita ini
juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan
produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan pada 75% pasien dengan angka
kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di
sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien, sehingga sekarang dilakukan dengan Teknik
elektrokauter secara laparoskopik yang tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu
regulasi menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus dipertimbangkan
karena kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di samping efek dari prosedur ini hanya
jangka pendek.

Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan pil kontrasepsi kombinasi untuk
mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen progesteron
yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga berkurangnya produksi androgen dari
ovarium dan komponen estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga konsentrasi
testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga memperbaiki hirsutisme dan masalah
kulit yang disebabkan oleh hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan
dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian penyakit radang panggul
serta menurunkan kemungkinan terkena kanker endometrium dan kanker ovarium. Meskipun
demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin dan
meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler
dan diabetes.

Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah yang sering dikeluhkan


oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi, maka dapat lebih mudah dihilangkan
secara mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi antiandrogen.
Yang banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin sintetik. Jika
dikombinasikan dengan etinilestradiol dapat dipakai sebagai kontrasepsi dan memperbaiki
siklus mestruasi. Alternatif lain adalah spironolakton dengan mekanisme kerja meningkatkan

6
katabolisme androgen di mana testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi spironolakton
sering menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur sehingga harus dikombinasi dengan
kontrasepsi oral dosis rendah. Semua terapi untuk hirsutisme membutuhkan waktu 8-18 bulan
sebelum responnya dapat terlihat, yaitu pertumbuhan rambut menjadi labih lambat. Saat ini
dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat dihilangkan secara permanen.
Untuk kelainan kulit seperti dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif dan peradangan kulit
lain dapat diobati dengan antibiotika spektrum luas atau dengan kombinasi antiandrogen dan
derivat asam retinoid.

Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom ovarium polikistik yang
sebagian besar memang mengalami obesitas. Faktor obesitas ini menjadi penyebab kegagalan
pemicuan ovulasi dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan penderita maka diperlukan
dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan maka siklus menstruasi
menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian resistensi
insulin. Cara yang dipakai biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian obat-obat yang
memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin seperti metformin dan troglitazon. Jadi
sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain karena dapat memperbaiki
kelainan metabolik pada sindrom ini. Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan
untuk sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin
dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat,
sehingga dapat memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain
itu juga dapat menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer,
meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak. Pada
percobaan, diberikan metformin dan plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada pasien sindrom
ovarium polikistik dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian
metformin, pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin pada pasien
yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron bebas menurun sebagai akibat
berkurangnya produksi testosteron dan meningkatnya SHBG. Metformin paling sering
digunakan pada pasien non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak
menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat badan dan perbaikan
tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain itu pasien dapat menstruasi dan menjadi
hamil pada saat menggunakannya. Efek samping yang paling sering adalah keluhan

7
gastrointestinal. Obat lain yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi pemakaiannya harus
diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati.
Keunggulan dari terapi ini adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat
menyerang penderita seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit jantung koroner.

Laksmi Maharani, Raditya Wratsangka. Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan


penatalaksanaannya. Jakarta:Bagian Obstetri – Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti; 2013.

2. Sindrom Antibodi Antifosfolipid

Sindrom antibodi antifosfolipid (Antiphospholipid antibody syndrom) disingkat APS


adalah gangguan pada sistem pembekuan darah yang dapat menyebabkan thrombosis pada
arteri dan vena serta dapat menyebabkan gangguan pada kehamilan yang berujung pada
keguguran. Disebabkan karena produksi antibodi sistem kekebalan tubuh terhadap membran
sel, sering disebut juga sebagai sindrom Hughes. Anti Phospholipid Syndrome (APS),
merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya antibody antiphospholipid dan
mengalami gejala trombosis (darah di pembuluh darah vena/arteri mudah membeku) atau
mengalami keguguran berulang. Sindrom antibodi antifosfolipid (APS) didefinisikan
terjadinya antifosfolipid antibodi secara berulang terjadinya tromboemboli pada vena atau
arteri selama kehamilan.

Sindrom antibodi antifosfolipid merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan


antibodi dalam sirkulasi yang melawan fosfolipid membran dan setidaknya memperlihatkan
satu sindrom klinis spesifik (keguguran berulang, thrombosis yang tidak dapat dijelaskan,
kematian janin). Dalam keadaan normal, antibody berfungsi baik untuk melawan kuman dan
infeksi yang disebabkan virus, akan tetapi kadang-kadang sistem kekebalan tubuh mengalami
kerusakan sehingga menyerang tubuh sendiri. Antibodi APS ini dapat dideteksi dengan tes
darah tertentu. Apabila seseorang dideteksi memiliki antibodi ini, dapat dipastikan orang
tersebut dapat mengalami masalah-masalah tertentu.

8
Etiologi

APS merupakan kelainan otoimun yang belum diketahui penyebabnya. Pencarian sejumlah
pemicu yang mungkin telah membuka spektrum lebar (a wide array) yang berhubungan
dengan penyakit-penyakit rematik atau otoimun, infeksi, dan obat-obatan yang berhubungan
dengan lupus anticoagulant (la) atau acl antibodies. Hubungan ini pada akhirnya dapat
memberikan petunjuk tentang etiologi APS, sebagian orang dengan otoimun tertentu atau
penyakit rematik juga memiliki aPL (antiphospholipid) antibodies. Perhatikanlah bahwa hal
ini lebih mewakili persentase pasien dengan aPL antibodies, dibandingkan dengan sindrom
klinis APS.

Dibawah ini merupakan penyebab terjadinya APS yang berakibat pada kehamilan:

a) Infeksi, antara lain disebabkan oleh Sifilis, infeksi hepatitis C, infeksi HIV, infeksi virus
human T-Cell Lymphotrophic tipe 1, malaria dan bacterial septicemia.

b) Obat-obatan, antara lain Jantung (seperti: procainamide, quinidine, propranolol,


hydralazine) dan neuroleptic atau psychiatric (phenytoin, chlorpromazine, interferon alfa,
quinine, amoxicillin).

c) Genetik, antara lain hubungan keluarga (keluarga penderita APS lebih mungkin
memiliki aPL antibodies suatu studi menunjukkan frekuensi sebesar 33%) dan hubungan
human leucocyte antigen (studi terkini telah mengungkapkan hubungan antara acl
antibodies dan sekelompok individu yang membawa gen-gen HLA tertentu, termasuk
drw53, DR7 (sebagian besar masyarakat Hispanic), dan DR4 (sebagian besar orang
berkulit putih)).

d) Jenis kelamin, dominasi wanita telah terdokumentasikan, terutama sekali pada kasus
APS sekunder. Hubungan paralel APS dengan sle dan penyakit connective-tissue lainnya
juga memiliki predominance wanita.

e) Usia, APS lebih umum terjadi pada usia dewasa muda hingga pertengahan;
bagaimanapun juga, APS juga dialami oleh anak-anak dan orangtua, onset penyakit telah
dilaporkan terjadi pada anak-anak berusia 8 bulan.

9
Diagnosis

Diagnosis APS didasarkan pada kriteria klinis pada kehamilan adanya tromboemboli, dan
hasil pemeriksan laboratorium ditemukan tingginya antifosfolipid antibod Titeries yang terdapat
pada dua kali atau lebih hasil pemeriksaan dengan interval 12 minggu. Klasifikasi APS tidak boleh
dilakukan apabila jarak antara hasil aPL yang positif dan manifestasi klinis kurang dari 12 minggu
atau lebih dari 5 tahun. Diagnosis APS ditegakkan apabila memenuhi minimal 1 kriteria klinis dan
1 kriteria laboratorium. Adanya aPL (LA /ACA/ anti β2-GPI) yang menetap sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Pada kriteria Sapporo dianjurkan rentang waktu minimal adalah 6 minggu
di antara 2 pemeriksaan dengan hasil positif, pada kenyataannya tidak ada data yang mendukung
validitas rentang tersebut. Oleh karena itu pada revisi kriteria klasifikasi yang baru rentang waktu
minimal antara 2 hasil positif adalah 12 minggu hal tersebut untuk memastikan aPL bersifat
persisten karena aPL yang berada sementara dapat menyebabkan kesalahan klasifikasi.
Berdasarkan revisi kriteria klasifikasi APS maka pasien APS dibedakan menjadi 2 kategori sebagai
berikut:

Kategori I : apabila terdapat lebih dari satu pemeriksaan aPL positif

Kategori II : IIa. Hanya LA saja yang positif

IIb. Hanya ACA saja yang positif

IIc. Hanya anti β2-GPI saja yang positif

Terapi

Anti-thrombotic terapi adalah pengobatan utama mengingat risiko tinggi berulang


tromboemboli yang menjadi ciri kondisi ini. Uji klinis telah menunjukkan bahwa pasien dengan
antibodi antifosfolipid dan tromboemboli vena harus ditangani dengan antagonis vitamin K
(warfarin), wanita dengan keguguran berulang harus menerima profilaksis dosis heparin dan
aspirin. Pada studi prospec-tively menunjukkan bahwa pada pasien setelah pemberian
antikoagulan dihentikan didapati bahwa risiko kekambuhan pada pasien tersebut adalah antara
50% hingga 67% per tahun. Hasil Studi retrospektif pada pasien yang tidak menerima terapi
antithrombotic didapatkan kasus berulang terjadi 52% hingga 69% pasien selama 5 hingga 6 tahun
follow up tanpa terapi antitrombotik. Antithrombotic Selama Kehamilan untuk pasien obstetrik

10
dengan APS, standar terapinya adalah dengan subcutaneous LMWH (Low-Molecular-Weight
Heparin) dan aspirin dosis rendah. Pada wanita dengan lipid ¬antiphospho antibodi dan keguguran
berulang tanpa sejarah trombosis, disarankan aspirin dosis rendah dalam kombinasi dengan
profilaksis unfractionated heparin dosis sedang atau profilaksis dosis heparin berat molekul
rendah, yang didapatkan selama masa kehamilan.

Pengobatan Pendarahan pada Pasien dengan APS Perdarahan adalah komplikasi yang
jarang daripada trombosis pada pasien dengan APS. Trombositopenia yang berat dapat
mengakibatkan perdarahan, keadaan umum pasien lemah, pasien dengan antibodi APS mungkin
diberikan prothrombin. Secara umum, jika pendarahan hasil dari antithrom-botic terapi, jenis
antithrombotic perlu dihentrikan, diberikan obat penawar tertentu (protamine sulfat untuk
heparins, vitamin K untuk warfarin) dan dukungan yang diberikan transfusional (plasma beku
untuk heparins atau warfarin, prothrombin kompleks konsentrat untuk warfarin dan pertimbangan
untuk transfusi sel darah merah untuk gejala anemia).

Prognosis

Wanita dengan aPL antibodies yang mengalami aborsi berulang memiliki prognosis baik
saat kehamilan jika dirawat dengan aspirin dan heparin.

Pencegahan

Stop dan hindari merokok, hindari kontrasepsi oral atau terapi pengganti estrogen, lakukan
gerakan secara teratur, hindari terlalu lama berdiam diri di tempat tidur.

Siti Yulaikah. EVIDENCE BASED OF ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME (APS)


TERHADAP KEHAMILAN. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;
2012.

3. Mekanisme Hormon Estrogen, Progesteron dan Kombinasi Sebagai Kontrasepsi

Efek pil kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan merupakan kerja aktif dari
komponen-komponen yang terdapat dalam pil tersebut, yaitu komponen estrogen dan
komponen progesteron. Komponen estrogen memiliki dominasi untuk menekan Follicle
Stimulating Hormon (FSH) untuk menghalangi maturasi folikel dalam ovarium, sehingga

11
pengaruh estrogen dari ovarium terhadap hipofisis tidak ada, maka tidak terdapat pengeluaran
Luteinizing Hormon (LH). Akibatnya ditengah-tengah siklus haid menjadi kurang terdapat
FSH dan tidak ada peningkatan kadar LH sehingga menyebabkan ovulasi menjadi terganggu.
Kemudian pengaruh dari hormon progesteron sendiri dalam pil kombinasi memperkuat kerja
estrogen untuk mencegah terjadinya ovulasi. Selanjutnya, estrogen dalam dosis tinggi dapat
mempercepat perjalanan ovum dan hal ini akan memengaruhi sulitnya terjadi implantasi dalam
endometrium dari ovum yang sudah dibuahi. Komponen progestogen dalam pil kombinasi
seperti disebutkan diatas memperkuat kerja estrogen untuk mencegah ovulasi, tetapi tidak
dalam dosis rendah. Selanjutnya progestogen mempunyai khasiat kerja sebagai pertama, lendir
serviks uteri menjadi lebih kental, sehingga menghalangi penetrasi spermatozoa masuk dalam
uterus, kedua kapasitas spermatozoa yang perlu untuk memasuki ovum terganggu dan
beberapa progestagen tertentu, seperti noretinodrel, mempunyai efek antiestrogenik terhadap
endometrium sehingga mempersulit implantasi ovum yang telah dibuahi.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sawono


Prawirohardjo: Jakarta; 2016.

4. Strain HPV Ca Cervix di Indonesia


Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat
ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat
ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang
menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko
tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi
pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko
tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45,
51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain.
Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan karsinoma serviks di beberapa rumah sakit
di Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV tipe 16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar
39% dan tipe 52 sebesar 14%. Sisanya sebesar 14%terdeteksi infeksi HPV multipel. Kejadian
HPV tipe 16, 18, 45, 52, dan 35 adalah berturut-turut 50%, 40%, 10%, 2% dan 1%. HPV tipe
16 dan 18 ditemukan pada sejumlah 70% kanker serviks, sedangkan tipe 16, 18, 33, 45, 31, 58,
52, dan 35 ditemukan pada sejumlah 90% kanker serviks.

12
Timothy PC, Nipa RD. Cervical Cancer. Am Fam Physician 2000 Mar 1;61 (5):1369-1376.
Bosch FX, Lorinez A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. The causal relation between
papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol 2002; 55: 244-65.
Southern SA, Herrington CS. Disruption of cell cycle control by humanpapillomaviruses
with special reference to cervical carcinoma. Int J Gynecol Cancer 2000; 10: 263-74.

5. Dosis Oxytocin dan Methergyn pada PPH


Pada perdarahan postpartum dapat diberikan Oxytocin sebesar 10 IU (IM) dengan dosis
maksimal 40 IU yang dapat diberikan dalam cairan infus (IV). Sedangkan Methergyn diberikan
sebesar 0,2 mg IV/IM dan dapat diulang sampai 5 dosis (1 mg). Methergyn dapat dilanjukan
PO sebesar 0,2-0,4 mg (6-8 jam/hari) selama 2-7 hari (bila perlu).
Medscape Reference. Dose of Oxytocin and Methergyn. Medscape Copyright 2016 WebMD.
2016
6. Endometriosis

Definisi

Endometriosis uteri adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih
berfungsi terdapat diluar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan
stroma yang terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan endometrium
terdapat didalam miometrium disebut adenomiosis. Endometriosis paling sering ditemukan
pada perempuan yang melahirkan di atas usia 30 tahun disertai dengan gejala menoragia dan
dismenorea yang progresif.
Kejadian endometriosis 10-20% mengenai pada usia perempuan yang produktif, jarang
sekali terjadi pada perempuan pre-menarche ataupun menopause. Faktor resiko terutama yang
terjadi pada perempuan yang haidnya banyak dan lama, perempuan yang menarkenya pada
usia dini, dan perempuan dengan kelainan saluran Mulleri.

Patofisiologi

Pertumbuhan endometrium yang menembus sampai membrana basalis. Seiring dengan


berkembangnya adenomiosis, uterus membesar secara difus dan terjadi hipertrofi otot polos.
Kadang-kadang elemen kelenjar berada dalam lingkup tumor otot polos yang menyerupai
mioma, biasa disebut dengan adenomioma. Selain itu beberapa teori yang menjelaskan seperti:

13
 Teori refluks haid dan implantasi sel endometrium di dalam rongga peritoneum. Teori ini
dibuktikan dengan ditemukan adanya darah haid dalam rongga peritoneum pada waktu
haid dengan laparoskopi, dan sel endometrium yang ada dalam haid itu dapat dikultur dan
dapat hidup menempel serta berkembang pada sel mesotel peritoneum.
 Teori koelemik metaplasia, yang mana akibat stimulus tertentu terutama hormon, sel
mesotel dapat mengalami perubahan menjadi sel endometrium ektopik. Teori ini terbukti
dengan ditemukannya endometriosis pada perempuan pre-menarke dan pada daerah yang
tidak berhubungan langsung dengan refluks haid seperti di rongga paru.
 Penyebaran melalui aliran darah (hematogen) dan limfogen.
 Pengaruh genetik, pola keturunan penyakit endometriosis terlihat berperan secara genetik,
yang mana resiko menjadi 7 kali lebih besar bila ditemukan endometriosis pada ibu atau
saudara kandung.
 Patoimunologi. Reaksi abnormal imunologi yang tidak berusaha membersihkan refluks
haid dalam rongga periteoneum malah memfasilitasi terjadinya endometriosis. Apoptosis
sel-sel endometrium ektopik menurun. Pada endometriosis ditemukan adanya peningkatan
jumlah makrofag dan monosit dalam cairan peritoneum, yang teraktivasi menghasilkan
faktor pertumbuhan dan sitokin yang merangsang tumbuhnya endometriosis ektopik.
Dijumpai adanya peningkatan aktivitas aromatase intrinsic pada sel endometrium ektopik
yang menghasilkan estrogen lokal yang berlebihan, sedangkan respons sel endometrium
ektopik terhadap progesterone menurun. Peningkatan sekresi molekul neurogenic seperti nerve
growth factor dan reseptornya yang merangsang tumbuhnya saraf sensoris pada endometrium.
Peningkatan interleukin-1 (IL-1) dapat meningkatkan perkembangan endometriosis dan
merangsang pelepasan faktor angiogenik (VEGH), interleukin-6, interleukin-8, dan
merangsang pelepasan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang membantu sel
endometrium yang refluks ke dalam rongga peritoneum terlepas dari pengawasan imunologis.
Interleukin-8 merupakan suatu sitokin angiogenik yang kuat yang dapat merangsang
perlengketan sel stroma endometrium ke protein matrix extracellular, meningkatkan aktvitas
matrix metalloproteinase yang membantu implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik.

Manifestasi Klinis

Dismenorea

14
Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin dalam rongga
peritoneum, akibat perdarahan lokal pada sarang endometriosis dan oleh adanya infiltrasi
endometriosis ke dalam saraf pada rongga panggul.

Nyeri pelvik

Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik yang kronis. Rasa nyeri
bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung, dan paha dan bahkan menjalar sampai ke
rektum dan diare. Duapertiga perempuan dengan endometriosis mengalami rasa nyeri
intermenstrual.

Dyspareunia

Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di sekitar kavum douglas
dan ligamentum sakrouterina dan terjadi perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi.

Diskezia

Keluhan sakit buang air besar bila endometriosis sudah tumbuh dalam dinding rektosigmoid
dan terjadi hematokezia pada saat siklus haid.

Subfertilitas

Perlengketan pada ruang pelvis yang diakibatkan oleh endometriosis dapat mengganggu
pelepasan oosit dari ovarium atau menghambat perjalanan ovum untuk bertemu dengan
sperma. Endometriosis juga akan meningkatkan volume cairan peritoneal, peningkatan
konsentrasi makrofag yang teraktivasi, prostaglandin, interleukin-1, tumor nekrosis faktor, dan
protease. Cairan peritoneum mengandung inhibitor penangkap ovum yang menghambat
interaksi normal fimbrial cumulus. Perubahan ini dapat memberikan efek buruk bagi oosit,
sperma, embrio, dan fungsi tuba. Kadar tinggi dari nitric oxidase akan memperburuk motilitas
sperma, implantasi, dan fungsi tuba. Pada penderita endometriosis juga terdapat gangguan
hormonal (hiperprolaktinemia) dan ovulasi, termasuk sindroma Luteinized Unruptured
Follicle (LUF), defek fase luteal, pertumbuhan folikel abnormal, dan lonjakan LH dini.

15
Diagnosis

Ultrasonografi (USG)

USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista endometriosis) > 1
cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bitnik-bintik endometriosis ataupun adanya
perlengketan. Dengan menggunakan USG transvaginal kita dapat melihat gambaran
karakteristik kista endometriosis dengan bentuk kistik dan adanya interval eko di dalam kista.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI tidak menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan dengan USG. MRI
dapat digunakan untuk melihat kista, massa ekstraperitoenal, adanya invasi ke usus dan septum
rektovagina.

Pemeriksaan Serum CA 125

Serum CA 125 merupakan petanda tumor yang sering digunakan pada kanker ovarium.
Pada endometriosis juga terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun, pemeriksaan ini
mempunyai nilai sensitifitas yang rendah. Kadar CA 125 juga meningkat pada keadaan infeksi
radang panggul, mioma, dan trimester awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai
monitor prognostic pasca operatif endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostik
kekambuhannya tinggi. Apabila didapati CA 125 > 65 mIU/ml praoperatif menunjukkan
derajat beratnya endometriosis.

Bedah Laparoskopi

Laparoskopi merupakan alat diagnostic baku emas untuk mendiagnosis endometriosis.


Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi aktif yang sudah lama berwarna
merah kehitaman. Lesi non aktif terlihat berwarna putih dengan jaringan parut.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sawono


Prawirohardjo: Jakarta; 2016.

7. Mioma Uteri

16
Secara umum uterus mempunyai 3 lapisan jaringan yaitu lapisan terluar perimetrium,
lapisan tengah miometrium dan yang paling dalam adalah endometrium. Miometrium adalah
yang paling tebal dan merupakan otot polos berlapis tiga; yang sebelah luar longitudinal, yang
sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam
keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi. Tumor jinak yang berasal dari sel otot
polos dari miometrium dipanggil leiomioma. Tetapi karena tumor ini berbatas tegas maka
sering dipanggil sebagai fibroid. Mioma uteri bentuknya bulat, berbatas tegas, warna putih
hingga merah jambu pucat, bersifat jinak dan terdiri dari otot polos dengan kuantiti jaringan
penghubung fibrosa yang berbeda-beda. Sebanyak 95% mioma uteri berasal dari corpus uteri
dan lagi 5% berasal dari serviks. Mioma uteri juga adalah tumor pelvis yang sering terjadi dan
diperkirakan sebanyak 10% kasus ginekologi umumnya. Neoplasma jinak ini mempunyai
banyak nama sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma,
fibroid atau pun mioma uteri.

Menurut letaknya, mioma dibagi menjadi:


a. Mioma submukosa
Mioma submukosa menempati lapisan dibawah endometrium dan menonjol
kedalam rongga uterus (kavum uteri) dapat bertangkai maupun tidak. Tumor ini
memperluas permukaan ruangan rahim, area permukaan endometrium yang meluas
menyebabkan peningkatan perdarahan menstruasi dan dapat menyebabkan infertilitas dan
abortus spontan. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler.
b. Mioma intramural
Mioma yang berkembang di antara miometrium, disebut juga mioma intraepithelial
biasanya multiple apabila masih kecil tidak menambah bentuk uterus tetapi bila besar akan
menyebabkan uterus berbenjol-benjol.
c. Mioma subserosa
Terjadi apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus yang diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat tumbuh bertangkai
menjadi polip yang kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myom geburt). Mioma
subserosum dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma

17
ligamenter. Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dan dapat tumbuh ke arah
luar dan juga bertungkai.

Pengaruh Mioma pada Kehamilan dan Persalinan

 Mengurangi kemungkinan hamil, terutama pada mioma submukosum


 Kemungkinan abortus bertambah
 Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yang besar dan letak
subserosum
 Menghalangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya di servik
 Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya dalam dinding Rahim
atau apabila terdapat banyak mioma
 Mempersulit lepasnya plasenta, terutama mioma submukosum dan intramural

Pengaruh Kehamilan dan Persalinan pada Mioma Uteri

 Tumor tumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan edema, terutama
dalam bulan-bulan pertama, diduga karena hormonal. Setelah kehamilan 4 bulan tumor
tidak bertambah besar lagi
 Tumor menjadi lebih lunak, dapat berubah bentuk dan mudah mengalami gangguan
sirkulasi, sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis, terutama di tengah tumor. Tumor
tampak merah atau seperti daging (degenerasi karnosa). Perubahan ini menyebabkan
rasa nyeri di perut yang disertai gejala rangsangan peritoneum dan gejala peradangan.
 Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran tangkai akibat
desakan uterus yang semakin membesar. Torsi menyebabkan gangguan sirkulasi dan
nekrosis yang menimbulkan akut abdomen.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sawono


Prawirohardjo: Jakarta; 2016.

8. Kontrasepsi Darurat
Yang dimaksud Kontrasepsi Darurat adalah kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan
bila digunakan setelah hubungan seksual. Atau sering juga disebut "Kontrasepsi Pasca
senggama" atau "Morning after pills" atau "Morning after treatment". Pada awalnya istilah
"Kontrasepsi sekunder atau Kontrasepsi darurat" adalah untuk menepis anggapan bahwa obat

18
tersebut harus segera dipakai/digunakan setelah melakukan hubungan seksual atau harus
menunggu hingga keesokan harinya, dan bila tidak, berarti sudah terlambat sehingga pasangan
tersebut tidak dapat berbuat apa apa lagi.
Sebutan kontrasepsi darurat untuk menekankan bahwa jenis kontrasepsi ini digunakan pada
keadaan dan masa yang tidak boleh ditunda, juga mengisyaratkan bahwa cara KB ini lebih baik
daripada tidak memakai metode KB sama sekali. Tetapi sebenarnya cara ini tetap kurang
efektif dibandingkan dengan cara KB lain yang sudah ada.

Jenis Kontrasepsi Darurat


Mekanik
Satu-satunya Kondar mekanik adalah IUD yang mengandung tembaga (misalnya: CuT
380A). Jika dipasang dalam waktu "kurang dari 7 hari" setelah senggama, cara ini mampu
mencegah kehamilan.dan selanjutnya dapat dipakai terus untuk mencegah kehamilan hingga
10 tahun lamanya, atau sesuai waktu yang dikehendakinya.
Cara kerja:
- Mencegah fertilisasi (pertemuan sel sperma dan sel telur)
- Mencegah tertanamnya hasil pembuahan pada endometrium (selaput dinding rahim)
-
Medik
Paling sedikit ada 5 cara pemberian Kondar yang telah diteliti secara luas. Masing-masing
bersifat hormonal dan saat ini diterapkan secara oral. Sekalipun pemberian pervaginal dalam
tahap penelitian, namun kepustakaan yang telah dipublikasikan masih terbatas pada pemberian
per oral.
Lima cara tersebut adalah: Pil KB Kombinasi (mis: Microgynon), Pil Progestin (misalnya:
Postinor-2), Pil Estrogen (mis: Premarin), Mifepristone (mis: RU-486), Danazol (mis :
Danocrine)

Cara kerja:
- Merubah endometrium sehingga tidak memungkinkan implantasi hasil pembuahan
- Mencegah ovulasi / menunda ovulasi
- Mengganggu pergerakan saluran telur (tuba fallopi)

19
Cara pemberian:
- Pil kombinasi: 2×4 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis pertama 1×4 tablet
diulang 1×4 tablet 12 jam kemudian setelah dosis Pertama
- Pil Progestin: 2×1 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis pertama 1 tablet,
diulang 1 tablet kedua 12 jam sesudah tablet pertama)
- Pil Estrogen: 2×10 mg dalam waktu 3 hari pasca senggama selama 5 hari
- Mifepristone: 1×600 mg dalam waktu 3 hari pasca seenggama
- Pil Danazol: 2×4 tablet dalam waktu 3 hari pasca senggama, (dosis pertama 1×4 tablet
diulang 1×4 tablet 12 jam kemudian setelah dosis Pertama).

Andi Mardiah T. Kontrasepsi Darurat (KONDAR). Divisi Ilmu Kandungan. Makasar;


Universitas Hasanuddin. 2017

9. Kondom Kateter (Metode Sayeba) pada Penanganan Post Partum

Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor Sayeba Akhter, ahli
kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik intrauterin untuk
penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan kondom, blood set (set transfusi)
atau infuse set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk untuk mengikat dan
beberapa tampon bola untuk fiksasi. Kateter Folley steril dimasukkan ke dalam kondom, dan
diiikat dengan pangkal kondom menggunakan benang silk dan ujung luar dari kateter dihubungkan
dengan infus set yang berisi cairan salin. Setelah kateter dimasukkan ke dalam uterus, kondom
digembungkan dengan 250 – 500 ml cairan salin tergantung kebutuhan dan pada ujung luar kateter
diikat dan set infus/set transfusi dikunci begitu perdarahan berhenti. Bahkan di literatur lain,
disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir, kondom dapat digembungkan mencapai 2000 cc.
Intervensi ini dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat dan tidak membutuhkan petugas
kesehatan yang terlatih. Harga bahan yang digunakan juga terjangkau. Isu tentang kekuatan kondom
ini sendiri kadang menjadi pertanyaan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika
Serikat, kondom yang terjual di pasaran sudah melewati quality control, dan memenuhi syarat
karakteristik fisik yang ditentukan.

20
Teknik pemasangan kondom hidrostatik intrauterin
1) Penderita tidur diatas meja ginekologi dalam posisi lithotomi.
2) Alat-alat telah disiapkan.
3) Aseptik dan antiseptik genitalia eksterna dan sekitarnya.
4) Kandung kemih dikosongkan.
5) Telah dipersiapkan sebelumnya, set infus/set transfusi yang sudah disambungkan dengan
cairan NaCl/RL, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian kondom diikat pada ujung
set infus/set transfusi dengan benang chromic/silk atau benang tali pusat.
6) Introduksi kondom ke dalam kavum uteri bisa dilakukan dengan 2 cara, yang pertama dengan
menggunakan spekulum sims / L, bibir serviks bagian anterior dan posterior dijepit dengan
ring forsep, dan kondom yang sudah diikat pada ujung set infus/set transfusi dimasukkan intra
kavum uteri dengan menggunakan tampon tang. Cara yang kedua, kondom yang sudah diikat
pada ujung set infus/set transfusi dimasukkan secara digital menggunakan jari, cara yang sama
dipakai untuk memasukkan kateter folley untuk induksi.
7) Kemudian kondom digembungkan dengan mengalirkan cairan dari selang infus, sampai ada
tahanan atau perdarahan berhenti, kemudian cairan infus ditutup kembali. Cairan yang
dimasukkan antara 250 – 2000 cc.
8) Dimasukkan tampon bola untuk memfiksasi kondom supaya tidak terlepas
9) Dilakukan observasi tanda vital dan perdarahan pervaginam. Bila tanda vital stabil dan
perdarahan pervaginam berhenti, berarti pemasangan kondom hidrostatik intrauterin berhasil.
10) Pasien dapat dilakukan observasi atau segera dirujuk atau bila tindakan dilakukan di Rumah
Sakit, dapat dilakukan persiapan kamar operasi untuk laparatomi sebagai rencana cadangan.
11) Apabila pasien stabil dan perdarahan per vaginam berhenti, kondom hidrostatik intrauterin
menjadi tatalaksana utama, dan dapat dipertahankan selama 24-48 jam, jika perlu cairan dalam
kondom dikeluarkan secara bertahap.

M. Nurhadi Rahman, Ali Sungkar. Kondom Hidrostatik Tamponade Intrauterin sebagai


Alternatif Penanganan Perdarahan Pasca Persalinan pada Persalinan Pervaginam.
Departemen Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2015

21
10. Metode Lendir Serviks/Metode Ovulasi Billings (MOB)
Dasar metode billing adalah pengenalan ovulasi dengan memperhatikan perubahan pada
jumlah dan konsistensi mukus serviks sebagai reaksi terhadap perubahan kadar hormon-
hormon ovarium yang ada di dalam darah. Wanita yang ingin menghindari kehamilan harus
menghindari hubungan seksual sejak saat dia menyadari akan terjadinya ovulasi sampai tiga
hari setelah ovulasi. Mukus atau lendir serviks sangat penting artinya dalam membantu sperma
untuk bergerak naik lewat serviks dan uterus. Pada saat ovulasi, mukus serviks dipersiapkan
oleh kadar estrogen yang tinggi sehingga pada saat ini mukus menjadi encer, jernih, mudah
mulur, dan dapat ditembus sperma.

Cara Mengamati Lendir


1) Sensasi. Lendir menimbulkan sensasi pada kulit luar vagina. Sensasi inilah yang lebih
penting diperhatikan. Ketika melakukan kegiatan sehari-hari, mungkin merasa basah,
lengket, atau sama sekali tidak merasakan apa-apa (kering). Sedikit apapun jumlahnya,
bahkan mungkin sampai tidak terlihat, lendir bisa mengubah sensasi dari kering menjadi
tidak begitu kering, lengket, lembab, licin, atau basah.
2) Tampilan. Kapanpun merasa ada lendir yang muncul, bisa melihat tampilannya. Setiap
perempuan punya cara sendiri untuk melakukannya. Semua perempuan berusaha
memahami hasil pengamatannya sendiri yang sangat pribadi. Karena itu dianjurkan
mencatat hasil pengamatan secara rutin.

Farrer, Helen. Fisiologi dan Patologi Persalinan edisi 3. Jakarta: EGC. 2003.
Hartanto, H., Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.
2009

11. Persalinan Normal

Definisi

Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke dalam jalan
lahir. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir.

22
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.

Persalinan adalah rangkaian peristiwa mulai dari kenceng-kenceng teratur sampai


dikeluarkannya produk konsepsi (janin, plesenta, ketuban, dan cairan ketuban) dari uterus ke
dunia luar melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau dengan kekuatan
sendiri.

Tanda dan Gejala Persalinan

 Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan serviks (frekuensi minimal dua kali
dalam sepuluh menit).

 Pada pemeriksaan dalam, dijumpai perubahan serviks (perlunakan serviks, pendataran


serviks, terjadi pembukaan serviks).

 Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena robekan-robekan serviks.

 Dapat disertai ketuban pecah.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sawono


Prawirohardjo: Jakarta; 2016.

12. Cairan Amnion

Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan difusi dari pembuluh
darah korion di permukaan. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm rata-rata ialah 800 ml,
cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,008. Setelah 20 minggu produksi cairan
berasal dari urin janin. Janin juga meminum cairan amnion (diperkirakan 500 ml/hari). Secara
klinik cairan amnion dapat bermanfaat untuk deteksi dini kelainan kromosom dan DNA dari 12
minggu sampai 20 minggu. Cairan amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion (>2 L)
yang berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya cairan yang kurang disebut
oligohidramnion bila <500 ml yang berkaitan dengan kelainan ginjal janin, trisomy 21 atau
hipoksia janin.

23
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka Sawono
Prawirohardjo: Jakarta; 2016.

13. Taksiran Berat Janin

Penentuan berat janin dengan Rumus Johnson Thousack, dilakukan dengan;

BB = (TFU-N) x 155

Dengan ; TFU=tinggi fundus uteri, N= 11 (bila masuk PAP), 12 (belum masuk PAP) dan 155
adalah suatu konstanta. Bila Ketuban telah pecah ditambahkan 10%.

Khani S, Marjan A S. Comparison of abdominal palpation, Johnson’s technique and USG in the
estimation of fetal weight. Midwifery; an international journal; 2010

14. PEMERIKSAAN CAIRAN KETUBAN


1. Nitrazine.
pH vagina normal adalah 4,5 – 5,5 sedangkan air ketuban mempunyai pH 7,0 – 7,5,
sehingga kertas nitrasin akan cepat berubah warna menjadi biru bila terkena air ketuban.
2. Fern. Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang didapatkan pada air ketuban
pada pemeriksaan secara mikroskopis.
3. IGFBP-1. Kerusakan jaringan pada segmen bawah uterus, oleh karena kontraksi uterus
atau karena proteolisis yang diinduksi oleh infeksi, dapat menyebabkan bocornya produk
koriodesidua seperti IGFBP-1 ke serviks. Keberadaan protein ini pada sekret serviks bisa
menjadi petanda persalinan preterm dan persalinan cukup bulan. Peningkatan kadar
IGFBP-1 di sekret serviks dapat memprediksikan pematangan serviks pada kondisi term
(cukup bulan). Kadar 10 mcg/l dijadikan kadar ambang antara hasil positif dan negatif.
4. Fetal Fibronectin. Fetal Fibronectin (fFN) adalah matriks glikoprotein ekstraselular yang
terlokalisasi pada pertemuan dari maternal-fetal dari membran amnion, antara korion dan
desidua dimana matriks ini terkonsentrasi pada daerah antara desidua dan trofoblas.. Pada
kondisi normal, fFN ditemukan dalam kadar yang rendah dalam sekresi cervico-vaginal.
fFN dihasilkan akibat terjadinya kerusakan mekanikal atau inflamasi pada membran atau

24
plasenta sebelum kelahiran. Keberadaan fFN pada specimen ini ditentukan secara
spektrofotometri dengan panjang gelombang 550nm.

The American College of Obstetricians and Gynecologists. Preterm Premature Rupture of


the Membranes. Technical Bulletin Vol 101 No.1, January 2003

Honest H, Bachmann LM, Gupta JK, Kleijnen J, Khan KS. Accuracy of cervicovaginal fetal
fibronectin test in predicting risk of spontaneous preterm birth: systematic
review. BMJ 2002

25

Anda mungkin juga menyukai