Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh
perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh faktor
biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor
yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi
(Mansjoer, 2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai
hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai
dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010
diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab
kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru
obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada bulan
Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien menderita penyakit
paru obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014).

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit
Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena
penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat
memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan
kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami perkembangan
yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat
terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya
hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit paru
obstruksi kronis (Reeves, 2001).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan
Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.

D. Manfaat
1. Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan peningkatan
asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
2. Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memberikan
gambaran pengetahuan mengenai PPOK.
3. Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan
untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik karena adanya hambataan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel yaitu sesak napas yang semakin berat yang tidak bisa
kembali normal atau membaik atau reversibel parsial yaitu membaik sebagian,
serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting. Karena seringkali,
orang mendefinisikan bahwa PPOK dan asma adalah penyakit yang sama. Asma
ditandai oleh adanya sumbatan saluran napas yang bersifat intermitten, artinya
hambatan pada saluran napas bekerja secara tidak terus menerus. Asma
merupakan proses reversibel artinya suatu proses yang berlangsung dan dapat
kembali seperti keadaan awal tanpa merubah keadaan di sekelilingnya.
Sedangkan PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas 10 yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial.
Jika asma dan bronkiitis terjadi bersamaan, obstruksi yang diakibatkan
menjadi gabungan sehingga disebut bronkitis asmatik kronik. Asma
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea
(sesak napas), batuk, dan mengi (bunyi napas ketika udara menglir melalui
saluran napas yang menyempit.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Bronkitis kronik adalah penyakit kelainan saluran napas yang ditandai
oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya
dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema
merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
2.2 Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah :
a. Kebiasaan merokok.
b. Polusi Udara.
c. Paparan Debu, asap.
d. Gas-gas kimiawi akibat kerja.
e. Riwayat infeki saluran nafas.
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kroni yaitu adanya kebiasaan
merokok berat dan terkena polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan.
Mungkin infeksi juga berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan strepto
coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama bagi penderita PPOK atau
kondisi yang secara bersama membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu :
a. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
b. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita.
c. Merokok.
d. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak
dirasakan.
e. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu.
f. Polusi udara.
g. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus.
h. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru
obstuksi kronik.
i. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enz
j. im ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak
merokok.
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :
a. Batuk.
b. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
c. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi PPOK sangatlah kompleks dan komprehensif sehingga
mempengaruhi semua sistem tubuh. Artinya, dapat mempengaruhi gaya hidup
manusia dalam prosesnya. Penyakit ini bisa menimbulkan kerusakan pada
alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernapasan, kemudian mempengaruhi
oksigenasi tubuh secara keseluruhan.
Faktor-faktor risiko baik penjamu, perilaku merokok dan lingkungan akan
menimbulkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada
dinding bronkiolus terminalis. Akibatnya terjadi obstruksi bronkus kecil
(bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat
ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan
segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan pemanjangan fase ekspirasi.
Abnormalitas pertukaran udara pada paru-paru terutama berhubungan dengan
tiga mekanisme berikut ini:
a. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Hal ini menjadi penyebab utama
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal
antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu. Hubungan ventilasi dengan perfusi didefinisikan dalam rasio
ventilasi perfusi (V/Q). Peningkatan rasio V/Q terjadi ketika penyakit yang
semakin berat sehingga menyebabkan kerusakan pada alveoli dan kehilangan
bed kapiler. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap
sama. Rasio (V/Q) yang menurun pada pasien PPOK, karena saluran
pernapasannya terhalang oleh mukus kental atau terjadi bronchospasme yaitu
penyempitan saluran pernapasan pada bronkhus. Disini penurunan ventilasi
akan terjadi, tetapi perfusi akan tetap sama, namun berkurang sedikit.

b. Mengalirnya darah kapiler pulmo. Darah yang tak mengandung oksigen


dipompa dari ventrikel kanan ke paru-paru, beberapa di antaranya melewati
bed kapiler pulmo tanpa mengambil oksigen. Hal ini juga disebabkan oleh
meningkatnya sekret pulmo yang menghambat alveoli.
c. Difusi gas yang terhalang. Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi
sebagai akibat dari satu atau dua sebab berikut ini yaitu berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaaran udara sebagai akibat dari penyakit
empisema atau meningkatnya sekresi, sehingga menyebabkan difusi menjadi
semakin sulit. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang,
yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk
digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus
darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

2.5 Komplikasi
Ada tiga komplikasi pernapasan utama yang biasa terjadi pada PPOK yaitu gagal
nafas akut ( Acute Respiratory Failure), pneumotorak dan giant bullae serta ada
satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
a. Acute RespiratoryFailure (ARF).
Terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh saat tidur. Analisa gas darah arteri bagi pasien PPOK
menunjukkan tekanan oksigen aarterial (PaO2) sebesar 55mmhg atau kurang
dan tekanan kaebondioksida (PaCO2) sebesar 50mmHg atau lebuh besar. Jika
pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien
tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara
mekanik.
b. Cor pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan, merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh ovrloading akibat dari
penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme
kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak bagi penderita PPOK. Cor
pulmonari merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi mafungsi pada satu sisitem organ, maka hal ini
akan merembet ke siisteem organ yang lainnya. Dalam PPOK, hipoksemia
kronis menyebababkan vasokontriksi kapiler paru-paru, yang kemudian akan
meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek dari perubahan fisiologis
ini adalah terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan
ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama kelamaan otot
ventrikel kanan menjadi hipertropi ( ukurannya membesar).
Perawatan penyakit jantung-paru meliputi pemberian oksigen dosis
rendah (dibatasi hingga 2L/MIN), diuretik untuk menurunkan edema perifer,
dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain, karena darah
balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertropi
ventrikel kanan dan peningkatan tekanan ventrikel kanan. Digitalis hanya
digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan komplikasi PPOK serius lainnya. Pneumo
berarti udara sehingga pneumothoraks diartikan sebagai akumulasi udara
dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang
khusus, yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan visceral dan parietal
paru-paru. Funsi cairan pleura adalah untuk membantu gerakan paru-paru
menjadi lancar selama pernapasan berlangsung. Ketika uadara terakumulasi
dalam rongga pleural, maka kapsitas paru-paru untuk pertukaran udara secara
normal menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas
vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae
Pneumothoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOK lainnya
yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumothoraks adalah udara yang
terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara
terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli menjadi tempat
menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benat tidak efektif.
Bullae daoat menyebabkan perubahan fungsi pernapasan dengan cara 2 hal
yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, menggangu belangsungnya
pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas
maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.

2.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah :
a. Mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi
lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai
dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau
pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
Pengobatan simtomatik :
a. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
b. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan
aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi :
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan
yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat
kembali mengerjakan pekerjaan semula.

2.6 Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,
alamat rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir,
nomor registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggung jawab.

b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstriksi Kronik (PPOK) didapatkan keluhan
berupa sesak nafas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat
badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan
keluhan yang sama.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit-penyakit yang sama.
5. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.

c. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1. Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak
nafas.

2. Makan dan Minum


Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan PPOK akan mengalami penurunan nafsu makan akibat
dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan
metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit.
3. Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4. Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
5. Istirahat dan Tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu
akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang
ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir,
berisik dan lain sebagainya.
6. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau
harus dibantu oleh orang lain.
7. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C),
hiperpireksia=40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
8. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan
pasien. Nyeri dada meningkat karena batuk berulang (skala 5)

9. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang
dialaminya
10. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan
keluarga atau temannya.
11. Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan
terganggunya pekerjaan yang dijalaninya.
12. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien
sembahyang, dll.
13. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja
meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik
yang tepat saat depresi.
14. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi sesak yang
dirasakan. Disinilah peran kita untuk memberikan HE yang tepat dan
membantu pasien untuk mengalihkan sesaknya dengan metode pemberian
nafas dalam.

2.7 Diagnosa Keperawatan


a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak,
pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
d. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.

2.8 Intervensi
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas kembali
efektif
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan jalan nafas yang paten
2. Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas
3. Suara nafas bersih, tidah ada sianosis dan dyspneu (mampu bernafas
dengan mudah)
Intervensi :
1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi.
2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik
dan batuk.
Rasional : Mengajarkan cara batuk efektif
3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau
IPPB
Rasional : Mengatasi sesak yang dialami pasien
4. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol,
suhu yang ekstrim, dan asap.
5. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
Rasional : Pemberian tindakan pengobatan selanjutnya
6. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidakefektifan pola nafas
pasien dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1. Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal
2. Bunyi nafas terdengar jelas.
Intervensi :
1. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan,
kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
2. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
ekspansi paru bisa maksimal.
3. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon
pasien).
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
4. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
5. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia.

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak,


pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan istirahat dan
tidur pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Pasien tidak sesak nafas.
2. Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan.
3. Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit.
4. Pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Intervensi :
1. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional :
Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar
peredaran O2dan CO2.
2. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan
kebiasaan pasien sebelum dirawat.
Rasional :
Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan
mengganggu proses tidur.
3. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional :
Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
4. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional :
Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi
pasien.
d. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan asupan nutrisi dapat
terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1. Peningkatan berat badan
2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Intervensi :
1. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional :
Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya,
agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
2. Auskultasi suara bising usus.
Rasional :
Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan
pada fungsi pencernaan.
3. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional :
Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
4. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional :
Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.
5. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional :
Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan
memudahkan reflek.
6. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP.
Rasional :
Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan
antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino
esensial.
7. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya
(zevity, ensure, socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 %
dari kebutuhan.
Rasional :
Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam
lemak dalam tubuh.
2.9 Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
rencana keperawatan diantaranya :
a. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi yaitu
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien
dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
b. Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana
intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien.

BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. B dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Melakukan pengkajian pada Tn. B terkait dengan penyakit paru obstruksi
kronis.
Dalam melakukan pengkajian dengan Tn. B, penulis mengalami kesulitan dalam
melakukan komunikasi dengan Tn. B karena Tn. B kesulitan berbicara. Maka dari itu,
penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien saja, tetapi juga pada anggota
keluarga Tn. B.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3
diagnosa yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas
dan gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk.
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada Tn. B.
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga intervensi
yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dan kerjasama dari Tn.
B dan anggota keluarga Tn. B dalam mengatasi penyakit yang dideritanya. Saat
penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan yang akan
dilakukan selanjutnya, pasien berkenan dan anggota keluarga pasien juga kooperatif.

4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. B terkait penyakit paru obstruksi


kronis yang dialami Tn. B.
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. B sangat kooperatif saat dilakukan injeksi,
fisioterapi dada, diajarkan teknik mengeluarkan sekret dengan batuk efektif dan
pasien juga memperhatikan saran yang diberikan oleh penulis antara lain minum air
hangat matang untuk memudahkan keluarnya sekret.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 3 hari, untuk diagnosa
pertama belum teratasi, sedangkan untuk diagnosa kedua dan ketiga sudah teratasi.
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. B.
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan tindakan
tersebut dalam catatan keperawatan yang penulis buat.
B. Saran
1. Rumah Sakit
Penulis memberikan saran kepada rumah sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah sakit
dapat terjaga.
2. Institusi Pendidikan
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan
penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan karya tulis
ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan pembuatan
asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
3. Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih
ramah lagi terhadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan
sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP.


IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan


Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai