Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua – duanya.
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal. Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe – 2 di berbagai penjuru dunia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang
menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak
2 – 3 kali lipat pada tahun 2035.1 Pada usia lanjut (≥60 – 65 tahun), DM menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan di negara maju, bahkan di negara berkembang
juga. Prevalensi serta tingkat mortalitas lebih tinggi pada usia lanjut dibandingkan dengan usia
muda. Menurut Caspersen et al, 10,9 juta lansia di Amerika Serikat terkena penyakit DM dan
diduga akan mencapa 26.7 juta pada tahun 2050.2
Untuk mengurangi terjadinya peningkatan angka kejadian DM pada lansia, maka
banyak obat – obat yang dikeluarkan untuk mengatasi DM, salah satunya adalah Sodium –
glucose cotransorter 2 (SGLT 2) inhibitor. SGLT 2 inhibitor merupakan salah satu obat anti
diabetes terbaru yang menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan cara menekan reabsorbsi
glukosa renal melalui inhibisi dari SGLT 2 yang berlokasi di tubulus proximal, sehingga pada
akhirnya akan terjadi peningkatan ekskresi glukosa melalui urin. SGLT 2 inhibitor dapat
digunakan sebagai monoterapi ataupun kombinasi dengan obat – obat antidiabetes lainnya.
Diabetes pada pasien usia lanjut memiliki angka mortalitias yang tinggi, dapat menyebabkan
terjadinya penurunan status fungsional, dan peningkatan risiko terjadinya komplikasi
mikrovaskular dan kardiovaskular baik yang akut maupun kronis. Selain itu, usia lanjut
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap efek samping dari berbagai obat mengingat adanya
perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik yang berhubungan dengan bertambahnya usia.
Oleh karena itu, perhatian khusus diperlukan untuk pengobatan DM tipe 2 pada usia lanjut.3
Referat ini akan membahas lebih lanjut mengenai efektifitas dan keamanan SGLT 2
inhibitor pada pasien DM usia lanjut.

1|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua – duanya.
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal.1

2.1.2 Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Menurut WHO, di dunia, pada tahun
2014, terdapat 422 juta orang dewasa yang hidup dengan diabetes. Mortalitas secara langsung
akibat diabetes pada tahun 2012 mencapai angka 1,5 juta dalam setahun. Diabetes menduduki
peringkat kedelapan penyebab kematian terbanyak pada semua gender, dan penyebab kematian
kelima terbanyak pada perempuan.12 Pada tahun 2014, terdapat 96 juta orang dewasa dengan
diabetes di 11 negara anggota di wilayah regional Asia Tenggara, dimana terdapat peningkatan
prevalensi dari 4,1% di tahun 1980 menjadi 8.6% di tahun 2014. Dengan demikian angka
tersebut akan bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Lebih dari 60% laki-
laki dan 40% perempuan dengan DM meninggal sebelum berusia 70 tahun.14 Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2013, dengan estimasi jumlah penduduk Indonesia yang
berusia 15 tahun ke atas sejumlah 176 juta penduduk, didapatkan perkiraan jumlah absolut
penderita DM tipe 2 adalah sekitar 12 juta penduduk dengan proporsi 6,9%, TGT (Test Glukosa
Terganggu) sekiar 52 juta dengan proporsi 29,9% dan GDP (Gula Darah Puasa) terganggu
sekitar 64 juta penduduk dengan proporsi 36,6%.13
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2 – 3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang
DM di Indonesia dari 9.1 juta pada tahun 2014 menjadi 14.1 juta pada tahun 2035.1

2|Page
Pada usia lanjut (≥60 – 65 tahun), DM menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
mengkhawatirkan di negara maju, bahkan di negara berkembang juga. Prevalensi serta tingkat
mortalitas lebih tinggi pada usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. 2

2.1.3 Etiologi dan klasifikasi


DM diklasifikasikan menjadi:1
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe Lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang terkait DM
Diabetes Mellitus Gestasional

Selain itu, DM juga dapat disebabkan karena obat – obatan. Obat yang dapat
menyebabkan peningkatan glukosa darah antara lain diuretik, α adrenergik agonis, β adrenergik
bloker, alkohol, CCB, kafein, clozapine, glukokortikoid, Growth hormone, nikotin, nicotinic
acid, NSAID, female sex steroids (estrogen/progesteron), pentamidine, fenitoin.11

2.1.4 Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Selain otot, liver, dan sel beta, organ
lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglaukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

3|Page
(resistensi insulin), kesemuanya berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi
glukosa pada DM tipe 2, semua hal tersebut disebut sebagai ominous octet:1

Gambar 1. Patofisiologi diabetes mellitus (omnious octet)

Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh 8 hal (omnious octet)
berikut:1
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat antidiabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfunilurea, meglitinid,
GLP 1 agonis, dan DPP 4 inhibitor
2. Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP
= hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin yang menekan proses glukoneogenesis
3. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidindion

4|Page
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = Free Fatty Acid)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin, gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP 1 (glucagon like polypeptide 1) dan GIP (glucose dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP 1 dan resistensi terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP 4
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP 4 adalah kelompok DPP 4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
membunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel alpha pancreas
Sel alpha pancreas berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP 1 agonis, DPP 4
inhibitor dan amylin
7. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT 2 pada bagian convulated tubulus
proximal. Sedang 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT 1 pada tubulus
desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT 2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT 2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT 2 inhibitor contohnya dapaglifozin

5|Page
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah GLP 1 agonis, amylin, dan bromokriptin.

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang kadar glukosa darah.

2.1.5.1 Anamnesis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :1
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, penderita DM tipe II sering tidak ditemukan gambaran khas.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pengukuran tinggi badan dan berat badan,
pengukuran tekanan darah termasuk tekanan darah posisi berdiri dan tidur untuk mengetahui
kemungkinan hipotensi ortostatis. Pemeriksaan palpasi nadi, pemeriksaan kulit apakah
ditemukan acantosis nigricans dan bekas penyuntikan insulin, apakah ditemukan kelainan
neuropati dan kelainan kulit akibat komplikasi mikrovaskular DM tipe II dan perlu dilakukan
pemeriksaan neurologis.10

2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut:1
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP) ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam, atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma (GDS) ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau

6|Page
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik, atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Pada kondisi tertentu seperti anemia (dengan kadar Hb <12mg/dl pada wanita dan
<13mg/dl pada laki-laki, HbA1c dapat menurun dengan berbagai kondisi anemia, namun pada
anemia defisiensi besi dapat menimbulkan adanya peningkatan HbA1c), hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah dua hingga tiga bulan terakhir, berbagai kondisi yang mempengaruhi
umur eritrosit, dan gangguan fungsi ginjal, maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat
diagnosis maupun evaluasi.1,21,22
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes, yang dapat berupa toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan GDP antara 100-125
mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam (GD2PP) <140 mg/dl
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
(GD2PP) setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan GDP <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes meliputi:1
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
puasa/GDP setelah TTGO
(mg/dL) (GD2PP) (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7-6,5 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140

2.1.6 Tatalaksana
Pengobatan DM dapat dilakukan dengan menggunakan obat antidiabetik oral serta obat
anti diabetik suntik. Pada pasien DM yang glukosa darahnya di kontrol secara ketat dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia, yang menyebabkan penurunan kualitas hidup dan
peningkatan risiko kardiovaskular. Ketika pengobatan DM diberikan untuk mencegah adanya
komplikasi mikrovaskular, pengaruh kontrol glukosa terhadap komplikasi renal –

7|Page
kardiovaskular dapat terjadi lebih besar dalam hitungan tahun.4 Berikut ini adalah golongan
obat antidiabetik oral yang ada di Indonesia:1
Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan
Utama HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB meningkat 1,0-2,0%
Hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB meningkat 0,5-1,5%
Hipoglikemia
Metformin Menekan produksi glukosa Dispepsia 1,0-2,0%
hepar dan meningkatkan Diare
sensitivitas terhadap insulin Asidosis laktat
Penghambat alfa- Menghambat absorpsi glukosa Flatulen 0,5-0,8%
glukosidase di saluran cerna Tinja lembek
Tiazolidindion Meningkatkan sensitivitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Penghambat DPP- Meningkatkan sekresi insulin, Sebah 0,5-0,8%
IV menghambat sekresi glukagon Muntah
Penghambat Menghambat penyerapan Dehidrasi 0,8-1,0%
SGLT-2 kembali glukosa di tubulus ISK
proksimal ginjal

Dosis obat hiperglikemik oral1


Golongan Generik Dosis Harian Lama Kerja
(mg) (jam)
Sulfonilurea Glibenklamid 2,5-20 1-2
Glipizid 5-20 12-16
Gliklazid 30-120 10-20
24
Gliquidon 15-120 6-8
Glimepirid 1-8 24
Glinid Repaglinid 1-16 4
Nateglinid 180-360 4

8|Page
Tiazolidindion Pioglitazon 15-45 24
Penghambat alfa- Akarbose 100-300
glukosidase
Biguanide Metformin 500-3.000 6-8
Metformin XR 500-2.000 24
Penghambat DPP- Vildagliptin 50-100 12-24
IV Sitagliptin 25-100 24
Saxagliptin
Linagliptin 5
Penghambat Dapagliflozin 5-10 24
SGLT-2
Obat kombinasi Glibenklamid + Metformin Mengatur dosis 12-24
tetap Glimepirid + Metformin maksimum
Pioglitazon + Metformin masing-masing 18-24
Sitagliptin + Metformin komponen
Vildagliptin + Metformin 12-24
Saxagliptin + Metformin
Linagliptin + Metformin

Yang termasuk dalam obat antidiabetik suntik yaitu insulin, agonis GLP 1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP 1
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c < 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi beasr, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM / Diabetes Melitus Gestasional yang tidak terkendali
dengan perencaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

9|Page
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
 Insulin kerja pendek (short acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
 Insulin kerja panjang (long acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (premixed insulin)
2. Agonis GLP 1 / incretin mimetic
Agonis GLP 1 dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi pelepasan insulin,
mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Obat yang termasuk golongan ini adalah Liraglutide,
Albiglutide, dan Lixisenatide.
3. Terapi kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral mapun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination harus menggunakan 2 macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi 2 macam obat, dapat diberikan kombinasi 2 obat antihiperglikemia
dengan insulin.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian
insulin basal (insulin kerja menengah atau kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat
diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 6 – 10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar GDP
keesokan hariya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaan dimana kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan secara hati – hati.
Berikut adalah algoritme pengelolan DM tipe 2 di Indonesia:1

10 | P a g e
Gambar 2. Algoritme pengelolan DM tipe 2 di Indonesia

Obat yang paling sering digunakan dan menjadi lini pertama dalam pengobatan DM
yaitu metformin. Tetapi obat dari golongan lainnya juga direkomendasikan oleh American
Diabetes Association (ADA) dan European Association for the Study of Diabetes untuk terapi
kombinasi, yang meliputi sodium glucose cotransporter 2 inhibitor (SGLT2is), glucagon like
peptide 1 receptor agonists (GLP-1Ras), dipeptidyl peptidase 4 inhibitors (DPP-4is),
sulfonilurea, tiazolidindion, dan insulin basal. Obat-obat tersebut memiliki cara kerja yang
berbeda – beda. Karena SGLT 2 inhibitor dan GLP-1Ras menunjukkan risiko hipoglikemia
yang rendah serta penurunan risiko kardiovaskular dan mortalitas, kedua obat ini sekarang
menjadi perhatian khusus.4
Berikut ini adalah patofisiologi dan target obat dari antidiabetes:4

11 | P a g e
Gambar 3. Patofisiologi dan target obat dari antidiabetes

2.1.7 Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut


Lansia memiliki definisi yang bervariasi, beberapa studi mengatakan bahwa lansia
yaitu kelompok orang berusia ≥ 60 tahun. Beberapa panduan diagnosis mengelompokkan
lansia dengan usia > 65 tahun. Meskipun tidak ada definisi yang seragam, secara umum
parameter usia yang digunakan adalah berkisar 70 tahun yang biasanya ditandai dengan adanya
penurunan fungsi yang progresif.15 Definisi dan kriteria diagnosis DM pada lansia sama dengan
DM pada dewasa muda.2
International Diabetes Federation (IDF) membagi lansia menjadi 3 grup fungsional,
yaitu:2
1. Pasien yang mandiri secara fungsional
2. Pasien yang secara fungsional bergantung dengan orang lain. Di bagi menjadi 2 sub
kategori, yaitu:
a) Frail / fragile, ditandai dengan adanya fatigue, penurunan berat badan, dan
penurunan mobilitas dan/atau kekuatan yang berat, dimana meningkatkan
resiko jatuh

12 | P a g e
b) Pasien dengan demensia, ditandai dengan adanya penurunan fungsi kognitif dan
tidak memiliki self-care. Kategori ini memikiri risiko yang tinggi menjadi
hipoglikemia maupun hiperglikemia yang tidak terkontrol
3. Pasien pada stadium akhir. Pasien dalam kategori ini dalam kondisi yang berat atau
keganasan.
Karena ambang ginjal untuk glukosa meningkat seiring dengan berjumlahnya usia dan
mekanisme haus yang terganggu pada lansia, gejala khas dari DM biasanya berkurang pada
orang tua. Akibatnya, gejala umum yang mengarah ke diagnosis DM adalah komplikasi seperti
neuropati atau nefropati, masalah jantung dan pembuluh darah, infeksi salurang kemih
berulang atau masalah kulit. Beberapa pasien dapat menimbulkan gejala yang tidak khas seperti
risiko jatuh, inkontinensia urin, fatigue, dan confusion. Tanda – tanda dehidrasi lanjutan seperti
mulut kering, mata kering, dan kulit kering harus diperhatikan, tetapi biasanya pasien lansia
dengan DM terdiagnosis pada tahap lanjut yang disertai dengan agitasi, delirium, dan koma
hiperosmolar. Di sisi lain hipertensi, dislipidemia, penyakit paru dan serebrovaskular kronis
sering menyertai penyakit DM pada lansia.2,11 Lansia dengan diabetes memiliki komplikasi
mikro dan makrovaskular yang nantinya akan membutuhkan terapi yang lebih banyak lagi.
Komplikasi akut seperti hipoglikemi berat, merupakan komplikasi paling banyak dan
berbahaya pada individu dengan usia ≥ 75 tahun. Target terapi pada lansia dengan diabetes
bergantung pada banyak faktor seperti kondisi fungsional pasien, status kognitif, angka harapan
hidup, dan durasi lama mengidap penyakit diabetes serta adanya riwayat penyakit
kardiovaskular dan hipoglikemia berat. Sesuai dengan rekomendasi American Diabetes
Association, lansia dengan diabetes yang memiliki status fungsional dan kognitif yang adekuat
dan angka harapan hidup tinggi dapat dilakukan terapi seperti target yang diharapkan pada
terapi diabetes terhadap usia muda.19
Tabel target gula darah pada lansia19
Baseline /
HbA1C Blood glucose at
preprandial blood
(%) bedtime (mg/dl)
glucose (mg/dl)
Keadaan fungsional dan kognitif baik <7.5 90 – 130 90 – 150
Frail <8.0 90 – 150 100 – 180
Geriatri dengan komorbiditas yang
berat dan angka harapan hidup yang <8.5 100 – 180 110 – 200
rendah

13 | P a g e
Tujuan tatalaksana DM tipe 2 pada lansia mirip dengan pasien-pasien yang lebih muda,
yaitu kontrol hiperglikemia dan faktor-faktor risikonya. Namun, kelompok pasien lansia
merupakan kelompok yang heterogen, beberapa mandiri dan dapat beraktivitas serta tinggal
tanpa dibantu, sedangkan yang lainnya butuh bantuan dan tinggal pada tempat-tempat
perawatan lansia. Untuk alasan ini, penyakit-penyakit komorbid dan keterbatasan fungsi
individual harus dipertimbangkan saat menetapkan target pengobatan. Tatalaksana DM tipe 2
pada lansia harus bersifat individu. 22
Pilihan pengobatan DM pada lansia sama dengan pengobatan pada dewasa muda, yaitu
sulfonilurea (paling sering digunakan pada lansia, aman digunakan namun memiliki efek
samping hipoglikemi yang tinggi, sehingga penggunaannya harus hati – hati), α glukosidase
inhibitor (efektif dan relatif aman diberikan pada lansida dengan DM yang terkontrol, dapat
menurunkan HbA1c 0,5%), biguanide (dapat menurunkan berat badan, tidak boleh diberikan
pada pasien dengan CHF dan gangguan ginjal dengan kreatinin ≥ 1.5 mg/dl pada laki – laki
dan ≥ 1.4 mg/dl pada perempuan), thiazolidindion (memiliki harga yang relatif mahal, dapat
menyebabkan retensi cairan sehingga tidak boleh diberikan pada pasien dengan heart failure),
DPP 4 inhibitor (aman diberikan pada lansia, memiliki efek samping nasofaringitis dan
headache), glinid (tidak terdapat perbedaan farmakokinetik dengan dewasa muda, memiliki
efek hipoglikemi yang minimal, tidak boleh dikombinasi dengan gemfibrozil), GLP 1 analog
(diberikan sebagai terapi tambahan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan
sulfonilurea dan/atau metformin, dan/atau tiazolidindion namun tetap tidak mencapai kadar
glukosa yang normal), dan insulin.11 SGLT 2 inhibitor juga dapat digunakan pada lansia. Hal
ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian SGLT 2 inhibitor.

2.2 SGLT 2 Inhibitor


2.2.1 Definisi
Reabsorbsi glukosa oleh renal di kontrol oleh 2 symporters yang melakukan
cotransport sodium dan glukosa. SGLT 2 terletak pada tubulus proximal, dimana dalam
kondisi normal, SGLT 2 mereabsorbsi 90% glukosa yang sudah terfilter, sedangkan 10%
sisanya diserap kembali oleh SGLT 1. Pada DM tipe 2, terjadi peningkatan kapasitas reabsorbsi
maksimal, yang mana akan mengurangi adanya glikosuria namun dapat menambah
hiperglikemia yang persisten.4 SGLT 2 inhibitors merupakan salah satu obat anti diabetes
terbaru yang menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan cara menekan reabsorbsi glukosa
renal melalui inhibisi dari SGLT 2 yang berlokasi di tubulus proximal, sehingga pada akhirnya
akan terjadi peningkatan ekskresi glukosa melalui urin. SGLT 2 inhibitor dapat digunakan

14 | P a g e
sebagai monoterapi ataupun kombinasi dengan obat – obat antidiabetes lainnya.3 Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.1
Efek samping yang dapat terjadi yaitu infeksi saluran kemih, dehidrasi, poliuria/pollakiuria,
dan peningkatan badan keton. Obat ini juga dapat mengakibatkan adanya perubahan
metabolisme energi yang besar dan volume cairan tubuh pada pasien DM usia lanjut.3
SGLT 2 inhibitor juga dapat menurunkan berat badan. Selain itu, yang lebih penting
ada efek diuretik osmotik dan natriuretik yang menyebabkan kontraksi volume plasma dan
menurunkan tekanan darah sistol maupun diastol. SGLT 2 inhibitor juga memiliki manfaat
pada kardiovaskular.5

2.2.2 Mekanisme kerja SGLT 2 Inhibitor


SGLT 2 inhibitor bekerja dengan menghambat SGLT 2 di tubulus proksimal untuk
mencegah reabsorbsi glukosa dan memfasilitasi ekskresi di urin. Ketika glukosa di
ekskresikan, kadar plasma akan menurun dan mengarahkan ke perbaikan di semua parameter
glikemik. Mekanisme ini tergantung pada kadar glukosa darah, sehingga potensi untuk
terjadinya hipoglikemia minimal dan tidak ada risiko over stimulasi atau kelelahan sel beta.6
Pada konsentrasi glukosa plasma nomal, ginjal akan mereabsorbsi hampir semua
glukosa yang sudah difilter (kurang lebih 180gr/hari), dengan kurang dari 1% di eksresikan ke
urin. Glikosuria timbul apabila konsentrasi glukosa plasma melebihi kapasitas reabsorbsi
glukosa di tubulus proximal. Glukosa adalah molekul hidrofilik yang perlu ditranspor melintasi
membran sel untuk masuk ke dalam sel. Transpor glukosa bisa bersifat fasilitatif atau secara
aktif. Transport fasilitatif dilakukan oleh gradien konsentrasi melintasi membran sel. Transpor
aktif dilakukan oleh sodium co transport. Penyerapan glukosa di usus dan ginjal adalah dengan
transpor aktif yang dimediasi oleh SGLT. SGLT 1 dan SGLT 2 bertugas untuk reabsorbsi
glukosa di tubulus proksimal ginjal.7
SGLT 2 adalah transporter glukosa berafinitas rendah dan berkapasitas tinggi yang
terletak di tubulus proksimal. SGLT 1 adalah transporter glukosa berafinitas tinggi dan
berkapasitas rendah yang sebagian besar ditemukan di enterosit dari usus kecil dimana ia
mengangkut glukosa dan galaktosa dari lumen usus melintasi dinding usus. 7

15 | P a g e
Gambar 4. Lokasi SGLT 1 dan SGLT 2 pada tubulus proksimal ginjal

Gambar 5. Inhibisi SGLT 2 pada tubulus proksimal ginjal

16 | P a g e
2.2.3 Farmakologi Klinis SGLT 2 Inhibitor
Berikut ini adalah tabel mengenai dosis dan farmakologi klinis dari preparat SGLT 2
inhibitor:6
Molekul Rentang dosis Dosis modifikasi
Dapagliflozin 5 – 10 mg 1x/hari Tidak boleh diberikan pada pasien dengan
GFR<60ml/mn/1.73m2
Canagliflozin 100 – 300 mg 1x/hari Dosis maksimal 100mg 1x/hari pada pasien
dengan GFR >45<60 ml/mn/1.73m2
Hentikan pada pasien dengan GFR <45
ml/mn/1.73m2
Empagliflozin 10 – 25 mg 1x/hari Sesuaikan dosis pada pasien dengan GFR <60
ml/mn/1.73m2
Kontraindikasi pada pasien dengan GFR <45
ml/mn/1.73m2
Ipragliflozin 100 – 300 mg 1x/hari Dosis maksimal 100mg 1x/hari pada pasien
dengan GFR >45<60 ml/mn/1.73m2
Hentikan pada pasien dengan GFR <45
ml/mn/1.73m2

2.2.4 Efek samping obat


Mekanisme kerja dari SGLT 2 Inhibitor menyebabkan timbulnya beberapa efek
samping. SGLT 2 inhibitor bekerja dengan cara insulin – independent mechanism, sehingga
risiko hipoglikemia minimal apabila digunakan sebagai monoterapi atau jika dikombinasi
dengan metformin. Namun, risiko hipoglikemia dapat meningkat apabila SGLT 2 inhibitor
dikombinasi dengan insulin atau sulfoniluera. Glukosuria biasanya disertai dengan peningkatan
volume urin sekitar 100 – 500 mL/hari karena adanya diuresis osmotik. Konsekuensi deplesi
intravaskular yaitu adanya penurunan tekanan darah dan dapat menimbulkan hipotensi postural
(namun jarang terjadi). SGLT 2 inhibitor juga dapat menyebabkan infeksi genital dan traktus
urinarius. Hal ini juga dapat merupakan akibat dari glukosuria. Infeksi saluran kemih biasanya
lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Terdapat kekhawatiran
mengenai kemungkinan peningkatan kanker kandung kemih dan payudara. Namun
pengawasan lanjutan untuk kanker payudara dan kandung kemih karena penggunaan
dapagliflozin, canagliflozin, dan SGLT 2 inhibitor lainnya di masa mendatang masih

17 | P a g e
diperlukan. SGLT 2 inhibitor menurunkan reabsorbsi sodium dan memblok reabsorbsi glukosa
dari tubulus proksimal ginjal sehingga menyebabkan adanya efek diuretik ringan. Diuresis
osmotik ini dapat menyebabkan pollakiuria dan deplesi volume. Hal yang bisa terjadi yaitu
adanya dehidrasi dan rasa haus. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu adanya ketoasidosis
serta penurunan fungsi ginjal. Efek samping SGLT 2 inhibitor juga dapat terjadi pada kulit,
berupa pruritus, eczema, rash, erupsi obat, alopesia, dermatitis, eritema general, dan rash
macular.7,8

2.2.5 Efektivitas dan keamanan obat


Beberapa manfaat yang dihasilkan oleh SGLT 2 inhibitor antara lain:4,6
1. Menurunkan berat badan antara 2 – 3 kg yang disebabkan karena adanya diuresis
osmotik akut akibat inhibisi reseptor SGLT 2. Setelah itu berat badan dapat
menurun secara perlahan sehingga masa lemak tubuh juga akan berkurang.
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan mekanisme 1) kontraksi
volume plasma dengan diuresis osmotic; 2) menurunkan aktivitas sistem saraf
simpatis; Pada sebagian besar kasus, penurunan tekanan darah tidak ditandai
dengan takikardia atau gejala hipotensi/sinkop.
3. SGLT 2 inhibitor mampu menurunkan kadar trigliserida dan meningkatkan HDL
kolesterol dan LDL kolesterol.
4. SGLT 2 inhibitor mampu menurunkan risiko terjadinya alcoholic steatohepatitis
(NASH) dan non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
5. SGLT 2 inhibitor menginduksi adanya natriueresis, dimana dapat meningkatkan
keseimbangan volume sodium di dalam tubuh, disertai dengan peningkatan fungsi
endotelial, menurunkan kekakuan vaskular, menurunkan kerusakan pada jaringan
jantung yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel.
6. Menurunkan tekanan intraglomerulus dengan meningkatkan transpor sodium urin
ke macula densa, dengan demikian akan mengaktifkan feedback tubuloglomerular
dan meningkatkan resistensi afferent renal arteriolar.
7. Menurunkan kadar asam urat yang dapat terjadi baik secara langsung (SGLT 2
inhibitor mampu mempengaruhi ekskresi asam urat secara langsung pada sistem
transpornya) ataupun secara tidak langsung
8. Penggunaan SGLT 2 inhibitor juga dapat mengurangi terjadinya kematian karena
penyakit kardiovaskular, miokard infark yang tidak fatal dan stroke yang tidak fatal.
Berikut ini diagram mengenai perbandingan SGLT 2 inhibitor dengan obat

18 | P a g e
antidiabetik lainnya dalam menurunkan resiko penyakit kardiovaskular dan
kematian:9

Gambar 6. Penurunan risiko kematian dan gagal jantung pada penggunaan SGLT 2 inhibitor
dibandingkan dengan obat antidiabetes lainnya

19 | P a g e
Selain memiliki efek proteksi terhadap jantung, SGLT 2 inhibitor juga memiliki efek
proteksi terhadap ginjal5

Gambar 7. Mekanisme kerja SGLT 2 inhibitor pada target organ

20 | P a g e
Gambar 8. Mekanisme SGLT 2 inhibitor dalam proteksi ginjal dan jantung

Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa SGLT 2 inhibitor memiliki


efektifitas dan keamanan yang baik bila digukanan pada lansia dengan diabetes mellitus tipe
2.9 Namun penggunaan SGLT 2 pada pasien dengan sindrom geriatri seperti sarcopenia, dan
gangguan ADL harus hati-hati. 8

2.2.6 SGLT 2 Inhibitor pada Lansia


SGLT 2 inhibitor merupakan obat yang banyak dipilih ketika pengobatan kombinasi
seperti metformin dan sulfonilurea tidak dapat mengkontrol kadar gula darah. Dari hasil
penelitian didapatkan adanya penurunan risiko kejadian kardiovaskular yang signifikan dengan
penggunaan Empagliflozin karena menginduksi adanya natriueresis, dimana dapat
meningkatkan keseimbangan volume sodium di dalam tubuh, disertai dengan peningkatan
fungsi endotelial, menurunkan kekakuan vaskular, dan menurunkan kerusakan pada jaringan
jantung yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel. Pada penelitian yang sama juga
didapatkan bahwa Empagliflozin memiliki efek renoprotective dan menurunkan risiko
terjadinya komplikasi ginjal. Penggunaan SGLT 2 inhibitor pada orang tua harus hati – hati,
karena dapat menyebabkan diuresis osmotik sehingga dapat terjadi dehidrasi pada lansia,

21 | P a g e
ditambah dengan adanya penurunan rasa haus pada lansia yang menyebabkan pasien lansia
menjadi jarang minum sehingga tidak dapat mengganti kehilangan cairan pada tubuh yang
menyebabkan dehidrasi menjadi semakin mudah terjadi. SGLT 2 inhibitor dapat digunakan
sebagai terapi kombinasi dengan DPP-4 inhibitor karena tergolong aman dan tidak
menimbulkan hipoglikemia. Efek samping yang bisa terjadi yaitu risiko infeksi saluran kemih
dan genital meningkat. 6,8,16
Walaupun memiliki efek renoprotective namun pada lansia dengan gangguan fungsi
ginjal harus disesuaikan dosisnya. Karena pada lansia sering terjadi penurunan fungsi ginjal,
sehingga manfaat dari SGLT 2 inhibitor inipun dapat berkurang.16,17 SGLT 2 inhibitor juga
dapat menurunkan kadar asam urat dan albuminuria pada lansia.16
Penelitian pada lansia dengan diabetes mellitus tipe 2 yang menggunakan SGLT 2
inhibitor selama 6 bulan didapatkan adanya penurunan HbA1c yang signifikan, penurunan
berat badan, dan penurunan tekanan darah. Tidak ada perubahan yang signifikan secara statistik
pada perubahan GFR, profil lipid, hematokrit. Tidak ditemukan adanya risiko hipoglikemia,
risiko jatuh, ketoasidosis diabetik, atau infeksi jamur.17 Selain itu juga dapat terjadinya adanya
poliuria / pollakiuria, dan gangguan kulit seperti pruritus, eczema, alopesia, dermatitis, sama
seperti yang terjadi pada dewasa muda.3
Keamanan jangka panjang dari dapagliflozin jika dibandingkan antara pasien lansia dan
dewasa muda adalah sama. Namun kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal lebih
banyak terjadi pada lansia dibandingkan dengan dewasa muda dengan sebagian besar kasus
yang terjadi adalah peningkatan kadar serum kreatinin dan GFR yang sedikit meningkat atau
tidak parah. Efek renoprotective yang dimiliki SGLT 2 inhibitor berkurang pada kondisi ginjal
yang sudah mengalami penurunan fungsi.20
Proses fisiologi masing – masing individu akan mengalami perubahan seiring dengan
bertambahnya usia, sehingga pada lansia pun terjadi beberapa efek penuaan. Dari hasil
pembahasan di atas, SGLT 2 inhibitor juga memiliki efek terhadap beberapa proses penuaan
yang terjadi, seperti misalnya:
a) Sistem saraf pusat
Pada lansia, terjadi peningkatan risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif. Hubungan
antara diabetes dan penurunan fungsi kognitif belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Namun berdasarkan penelitian, individu dengan diabetes 1,5 kali lebih besar
kemungkinan terjadi penurunan fungsi kognitif dibandingkan dengan individu tanpa
diabetes dan juga lansia dengan diabetes apabila diberikan terapi akan memberikan
hasil fungsi kognitif yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak diberikan

22 | P a g e
terapi. Didapatkan data bahwa SGLT 2 inhibitor ketika digunakan pada lansia dengan
diabetes selama 1 tahun dan dilakukan follow up, tidak terjadi perubahan fungsi
kognitif yang signifikan bahkan terjadi peningkatan fungsi kognitif. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penggunaan SGLT 2 inhibitor pada lansia dapat mejadi efek
protektif pada fungsi kognitif lansia, tidak seperti agen antidiabetes lainnya seperti DPP
4 inhibitor yang menurut penelitian dapat memperburuk fungsi kognitif dari lansia
dengan diabetes.23,25

b) Sistem kardiovaskular
Seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan fungsi endotel, kekauan
pada jaringan penghubung dan pembuluh darah, serta miokardium. Selain itu pada
lansia akan cenderung terjadi tekanan darah tinggi. SGLT 2 inhibitor memiliki efek
yang baik terhadap jantung, yaitu mampu menginduksi adanya natriueresis, dimana
dapat meningkatkan keseimbangan volume sodium di dalam tubuh, disertai dengan
peningkatan fungsi endotelial, menurunkan kekakuan vaskular, menurunkan kerusakan
pada jaringan jantung yang dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel. Menurut berbagai
penelitian, SGLT 2 inhibitor juga mampu menurunkan tekanan darah.8,23

c) Sistem gastrointestinal
Seiring dengan bertambahnya usia, maka didapatkan perubahan-perubahan pada sistem
gastrointestinal, seperti misalnya penurunan motilitas esofagus, penurunan sekresi
asam lambung, peningkatan waktu pengosongan lambung, dan penurunan permukaan
usus halus. Menurut penelitian, SGLT 2 inhibitor merupakan obat yang memiliki
selektivitas tinggi dan dapat dikaitkan dengan toleransi gastrointestinal yang lebih baik
dibandingkan dengan SGLT 1 yang memiliki selektivitas rendah yang bekerja dengan
mengurangi penyerapan monosakarida di usus halus sehingga dapat menyebabkan gula
mencapai usus besar dan meningkatkan risiko retensi air di usus dan diare.23,24

d) Sistem renal
Pada lansia akan terjadi penurunan dari GFR yang nantinya dapat menyebabkan
kerusakan ginjal sampai ke tahap end – stage renal failure. Pada penelitian juga
didapatkan bahwa Empagliflozin memiliki efek renoprotective dan menurunkan risiko
terjadinya komplikasi ginjal. Walaupun memiliki efek renoprotective namun pada
lansia dengan gangguan fungsi ginjal harus disesuaikan dosisnya. Manfaat dari SGLT

23 | P a g e
2 inhibitor akan berkurang apabila diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang
menurun.8,17,23
Selain hal tersebut di atas juga sudah dijelaskan bahwa SGLT 2 inhibitor memiliki efek
risiko jatuh yang minimal, sehingga baik untuk lansia dimana pada lansia didapatkan risiko
jatuh yang tinggi.17
Dapat disimpulkan bahwa SGLT 2 inhibitor aman dan efektif digunakan pada lansia
dengan DM yang tidak terkontrol.3,17 SGLT 2 inhibitor juga memiliki efek yang baik terhadap
beberapa proses penuaan seperti tidak menurunkan fungsi kognitif, memiliki toleransi
gastrointestinal yang baik, dan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskular.23-25 Namun
pemberian pada pasien lansia yang frail dan pasien dengan penyakit ginjal kronik harus hati –
hati serta tidak boleh dikombinasi dengan insulin maupun sulfonilurea.18

24 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua – duanya.
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM tipe – 2 di berbagai penjuru dunia. Pada usia lanjut (≥60 – 65
tahun), DM menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan di negara maju,
bahkan di negara berkembang juga.
Prevalensi serta tingkat mortalitas lebih tinggi pada usia lanjut dibandingkan dengan
usia muda. Untuk mengurangi terjadinya peningkatan angka kejadian DM pada lansia, maka
banyak obat – obat yang dikeluarkan untuk mengatasi DM, salah satunya adalah Sodium –
glucose cotransorter 2 (SGLT 2) inhibitors. SGLT 2 inhibitors merupakan salah satu obat anti
diabetes terbaru yang menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan cara menekan reabsorbsi
glukosa renal melalui inhibisi dari SGLT 2 yang berlokasi di tubulus proximal, sehingga pada
akhirnya akan terjadi peningkatan ekskresi glukosa melalui urin.
Menurut beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa SGLT 2 inhibitor aman dan
efektif digunakan pada lansia dengan DM yang tidak terkontrol. SGLT 2 inhibitor juga
memiliki efek yang baik terhadap beberapa proses penuaan seperti tidak menurunkan fungsi
kognitif, memiliki toleransi gastrointestinal yang baik, risiko jatuh minimal dan efek proteksi
terhadap sistem kardiovaskular. Selain itu juga memiliki efek hipoglikemi yang minimal,
menurunkan berat badan, tekanan darah, kadar asam urat, albuminuria dan HbA1c. Keamanan
jangka panjang dari SGLT 2 inhibitor jika dibandingkan antara pasien lansia dan dewasa muda
adalah sama. Namun kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal lebih banyak terjadi pada
lansia dibandingkan dengan dewasa muda dengan sebagian besar kasus yang terjadi adalah
peningkatan kadar serum kreatinin dan GFR yang sedikit meningkat atau tidak parah. Oleh
karena itu penggunaan pada pasien dengan gangguan ginjal harus di pantau dan hati – hati.

25 | P a g e
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto H, et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegah


Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015. Jakarta: PB Perkeni. 1-93.
2. Chentli F, Azzoug S, Magoun S. Diabetes mellitus in elderly. Indian J Endocrinol
Metab. 2015 Nov-Dec; 19(6): 744-752
3. Maki G, Tomoko Y, Kazuyo S, Takumi T, Makoto U. Safety and efficacy of
canagliflozin in elderly patients with type 2 diabetes mellitus: a 1 – year post marketing
surveillance in Japan. Current Medical Research and Opinion, 2018. 34:2, 319-327.
4. Michael JB, Charlotte C, Marcel HA, Liselotte VB, Richard GI, Daniel H. SGLT 2
inhibitors in combination therapy: from mechanism to clinical considerations in type 2
diabetes management. Diabetes Care. 2018; 41:1543-1556
5. Hiddo JL, Bruce AP, David HF, Mansoor H, David ZI. Sodium glucose cotransporter
2 inhibitors in the treatment of diabetes mellitus. Circulation, 2016;134:752-772
6. Kalra S. Sodium glucose co-transporter-2 (SGLT2) inhibitors: a review of their basic
and clinical pharmacology. Diabetes Ther. 2014 Dec; 5(2): 355-366
7. Tilenka T, Matthew D. Sodium-glucose co transporter inhibitors: mechanisms of
action. Experimental and clinical pharmacology. Aust Prescr 2013;37:14-6
8. Kazunori U, Naoki S, Masayuki S, Yuji K, Ryoji G, Shoko F, et al. Safety and
effectiveness of tofogliflozin in elderly Japanese patients with type 2 diabetes mellitus:
A post-marketing study (J-STEP/EL Study). J Diabetes Investig 2017;8:766-775
9. Matthew AC, Anna N, Kare IB, Marid EJ, John PW, Kamlesh K, et al. SGLT 2 inhibitor
and cardiovascular risk. An analysis of CVD-REAL. Journal of the American College
of Cardiology. 2018: 2497 – 506
10. Inzucchi SE. Diagnosis of Diabetes. N Eng J Med. 2012 Aug; 367(6): 542-50.
11. Halter J, Ouslander J, Studenski S, High K, Asthana S, Supiano M et al. Hazzard’s
geriatric medicine and gerontology. 7th ed. New York: McGraw – Hill Professional
Publishing; 2016
12. World Health Organization. Global Report on Diabetes. 2016. Switzerland: WHO
Library. 1-74.
13. Kemenkes RI. Info DATIN. 2013. Jakarta: Kemenkes.
14. World Health Organization. Diabetes: Facts and numbers. 2016

26 | P a g e
15. Meneilly G, Knip A, Miller D, Sherifali D, Tessier D, Zahedi A. Diabetes in older
people. Can J Diabetes 42 (2018) S283 – S295.
16. Yakaryilmaz DF, Ozturk ZA. Treatment of type 2 diabetes mellitus in elderly. World J
Diabetes. 2017 Jun 15; 8(6): 278-285.
17. Trescoli SC, Fajardo CJ, Arazo J, Tarazona SF. Real world safety and efficacy of SGLT
2 Inhibitors in elderly type 2 diabetic patients. Innovation in aging. 2017. Volume
1;148-148.
18. Mikhail N. Use of sodium glucose cotransporter type 2 inhibitors in older adults with
type 2 diabetes mellitus. South Med J. 2015. Feb; 108(2): 91-6
19. Iglesias P, Heras M, Diez J. Diabetes mellitus and kidney disease in the elderly.
Nefrolgia 2014; 34(3): 285 – 92
20. Fioretto P, Mansfield T, Ptaszynska A, Yavin Y, Johnsson E, Parikh S. Long – term
safety of dapagliflozin in older patients with type 2 diabetes mellitus: A pooled analysis
of phase IIb/III studies. Drugs aging. 2016; 33: 511 – 522
21. Naqash A, Bader GN. Influence of iron deficiency anemia on HbA1c: A review. Curre
res diabetes & obes J. January 15, 2018.
22. Mahjoub AR, Patel E, Ali S, Webb K, Kalavar M. The prevalence of anemia in diabetic
patients with normal kidney function. Blood 2015. 126:4545
23. Alvis B, Hughes C. Physiology considerations in the geriatric patient. Anesthesiol Clin.
2015 Sep; 33(3): 447 – 456
24. Trujillo JM, Nuffer WA. Impact of sodium glucose cotransporter 2 inhibitors on
nonglycemic outcomes in patients with type 2 diabetes. Pharmacotherapy. 2017 Apr;
37(4): 481-491
25. Perna S, Mainardi M, Artone P, Gozzer C, Biava A, Bacchio R, et all. 12 month effects
of incretins versus SGLT 2 inhibitors on cognitive perfomance and metabolic profile.
A randomized clinical trial in the elderly with type 2 diabetes mellitus. Clin pharmacol.
2018; 10: 141 – 151

27 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai