I
ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, bangsa yang mempunyai tingkat
heterogenitas tertinggi di dunia, satu bangsa dengan ratusan etnis, ratusan bahasa, dan
bermacam-macam agama serta beranekaragam latar belakang budaya plus adat istiadat,
keberagaman merupakan keniscayaan yang telah ditetapkan oleh yang punya semesta alam ini
atau sunnatullah (ketentuan dari Allah SWT), artinya semua yang terdapat di dunia dengan
sengaja diciptakan dengan penuh keragaman. Kita dapat lihat ciptaan Allah seperti manusia, jin
dan iblis adalah bentuk pluralitas dalam kerangka makhluk Allah, pria dan wanita adalah bentuk
pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia, begitu juga agama Yahudi, Nasrani, Hindu,
Budha, Islam merupakan bentuk pluralitas keyakinan manusia, anggota keluarga adalah
pluralitas dalam kerangka kesatuan keluarga, begitu juga Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan
al-Wasliyah adalah merupakan pluralitas dari kerangka aliran, dan masih banyak lagi pluralitas
yang ditunjukan di alam ini, maka tidak ada alternatif lain kecuali menerima dan memelihara
dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama. Jalaluddin Rahmat mengatakan
pluralitas (keragaman) aliran dalam Islam adalah untuk memberikan keleluasan kepada
masyarakat dalam memilih konsep-konsep terbaik dan peraktek-peraktek yang cocok dengan
perkembangan zaman dan kondisi lingkungan tertentu. Disamping itu pluralisme aliran juga
bertujuan membantu para pencari hukum dan keadilan untuk menemukan hukum yang tepat bagi
permasalahan yang dihadapi. (Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an
Menyikapi Perbedaan, Jakarta, Serambi, 2006:18-19).
Pluralitas (keanekaragaman) itu sendiri mengandung potensi konflik, terutama dikalangan
masyarakat yang kurang bersentuhan dengan ide-ide pluralisme, karena itu perbedaan suku, ras,
bahasa terutama agama menjadi penghalang bagi mareka untuk menjalin kerjasama, bahkan bila
kita membalik lembaran sejarah dunia, tidak sedikit diperoleh catatan tentang rusaknya persatuan
suatu negara yang diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan (pergaulan) antara penganut
agama yang berlainan. Namun keberagaman itu juga merupakan aset yang berharga untuk
meningkatkan kreatifitas bangsa Indonesia, dinamika sosial dengan cara mensyukurinya sebagai
kekayaan bangsa, karena dalam membangun bangsa Indonesia tercinta ini tidak cukup dengan
toleransi saja, karena istilah toleransi hanya sebatas hidup berdampingan secara damai, tetapi
antara satu dan yang lain tidak saling pengertian dan tidak merasakan kebersamaan.
Pluralisme berasal dari kata “Plural” yang artinya beragam, beraneka macam, bermacam rupa
dan beraneka ragam, sedangkan “isme” berarti paham, memahami atau pemahaman, jadi
pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara
hidup beragama dan cara hidup berbudaya yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup,
bergaul dan bekerja bersama serta membangun negara bersama, singkatnya sikap positif
terhadap kemajemukan. Oleh karena itu pluralisme tak lebih hanya sebagai sikap saja bukanlah
Relativisme (semua agama sama) dimana seseorang harus komitmen yang kokoh terhadap
agama yang dianutnya, tetapi jangan sampai terjebak kepada fanatisme sempit.
Bhineka Tunggal Ika bila direnumgkan secara mendalam dapat disimpulkan merupakan
substansi dari pluralisme skala nasional. Bhineka berarti berbagai macam perbedaan-perbedaan
Tunggal Ika berarti bersatu dalam kesatuan, merupakan usaha antisipasi guna mengindari
pertumbuhan fanatisme sempit (yaitu, fanatisme yang tidak dibarengi dengan pemahaman agama
yang mendalam) yang berbuahkan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi dan dilakukan
oleh sejumlah kelompok, untuk itu pluralisme berusaha menetralisir atau meretas konflik sosial
yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), guna menciptakan perdamaian,
kerukunan, kehidupan yang harmonis dan tidak memakai sistem yang hanya baik untuk suatu
kelompok tetapi sistem yang juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat.
Bhineka Tunggal Ika juga berusaha menciptakan legitimasi yang setara kepada semua agama
(semua aliran dan idiologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai,
aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai, serta dengan tanpa adanya perasaan
superioritas dari salah satu agama di atas yang lain, sehingga perbedaan itu tidak menjadi
kendala menjalin kebersamaan dan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Dengan semangat Bhineka Tunggal Ika mendapatkan satu titik temu, yaitu anti kebencian, anti
permusuhan terhadap pihak lain, sehingga melahirkan persatuan dan kesatuan (situasi aman dan
damai) guna memelihara stabilitas, ketahanan nasional atau eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Beranjak dari permasalahan di atas bahwa kita harus menyadari ketegangan agama-agama yang
terjadi akan mengulangi lembaran hitam sejarah, maka penulis berkeinginan untuk membahas
pluralisme yakni tidak lagi mempersoalkan batasan etnis dan agama, yang bertujuan
keberagaman kita menjadi keindahan negara kita jangan sampai menjadi perpecahan diantara
kita. Hal ini sesuai dengan konteks demokrasi, yaitu persamaan hak dan status dari setiap warga
negara di depan hukum, tanpa melihat perbedaan etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa, dalam
mengikat persatuan serta mengedepankan persamaan (sebagai warga bangsa yang satu),
toleransi, keterbukaan, dari pada perbedaan dan perseteruan, karena setiap agama selalu
menekankan toleransi, kasih sayang, tidak memandang suku, ras, dan perbedaan-perbedaan
lainnya
BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM BINGKAI NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA ( Tinjauan Hukum terhadap Hak Masyarakat Adat Indonesia)
A. PENDAHULUAN
a. Latarbelakang
Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu menyadari bahwa
dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi Pancasila dimana memiliki
semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa
meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa
Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi landasan pijak
dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran sempit yang
mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu
Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak
langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa
terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau
pluralisme. Pluralisme sendiri ada sejak Negara ini belum disebut Indonesia, dan atas
perjuangan bangsa Indonesia kemerdekaan yang di capai oleh bangsa ini, diletakan dasar oleh
founding fathers kita dengan melandaskan pada Pancasila, dimana mereka sadar bahwa
pluralisme telah ada dan menjadi bagian dari bangsa dan dengan adanya pluralisme ini ada
kesadaran untuk menjadi satu.
Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik. Dalam
perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran
keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran.
Sedangkan perspektif pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran karena dilenyapkan
oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis, dan di sisi lain menangkal arogansi aliran
keagamaan arus utama yang seringkali tergoda atau secara historis-empiris melakukan pelecehan
dan penindasan aliran atau agama lain. Sementara pluralisme politik dapat menjadi dasar bagi
jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman
kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran keagamaan.(Eli
Susanti :2011).
b. Permasalahan
Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, agama lokal atau kepercayaan asli
masyarakat setempat, budaya dan masyarakat adat yang telah berakar sejak ribuan tahun yang
lalu berkali-kali mengalami ancaman terkait dengan eksistensi kebendaannya baik dalam
pelaksanaan ritual budayanya maupun dalam hal perampasan hak-hak ulayatnya, serta menganut
keyakinannya. Sehingga permasalahannya adalah “ Bagaimana Implementasi Bhineka Tunggal
Ika dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, sesuai dengan
substansi permasalahan hukum yang dikaji maka penelitian ini dirancang sebagai suatu
penelitian yang bersifat ”Normatif”, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-
ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum umum (Philipus M. Hadjon : 1997 : 20).
Selain itu penelitian hukum normative ini, juga digunakan untuk mengindentifikasikan konsep
atau gagasan dan asas-asas hukum dalam menelaah dan mengkaji secara mendalam mengenai
prinsip keadilan dalam penguasaan dan pengeloaan pesisir dan laut masyarakat adat sebagaimana
diamanatkan dalam tujuan Negara hukum Indonesia.
Agar dapat memperoleh kebenaran ilmiah yang di harapkan, maka dalam penelitian ini
dipergunakan beberapa pendekatan, yaitu conceptual approach (pendekatan konseptual) dan
statute approach (pendekatan perundang-undangan) dan Historical Approach (pendekatan
historis).
Pendekatan konseptual terkait dengan konsep atau pengertian hukum. Pendekatan perundang-
undangan adalah kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pokok
masalah penelitian.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terkenal dengan kemajemukannya terdiri dari
berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dibungkus semangat Bhineka Tunggal Ika. Dalam kemajemukan tersebut dikaitkan dengan
modernisasi dan kemajuan jaman, maka menimbulkan dua sisi mata uang yang berbeda dalam
hal mengikuti alur modernisasi dan kemajuan jaman. Disatu sisi terjadi perubahan sosial yang
oleh sebagian masyarakat di Indonesia dapat dimanfaatkan sehingga membawa kemajuan dan
disisi lain menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada kelompok masyarakat lain yang
disebabkan oleh faktor keterikatan kultur/adat, agama maupun lokasi, mereka inilah yang di
sebut masyarakat hukum adat, yang hidup terpencil, dengan budaya dan agama yang mereka
anut. Namun akibat perkembangan, masyarakat adat menjadi tersingkir karena dianggap
primitive dan tertinggal dan butuh sentuhan lain agar mereka menjadi tidak tertinggal. Padahal
Negara kita adalah Negara hukum dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga
masyarakat di lindungi berserta haknya. Pengakuan yang sama juga diberikan kepada masyarakat
hukum adat dimana hak mereka juga di lindungi oleh konstitusi. Jadi kewajiban negaralah untuk
memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat untuk tetap hidup
dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, sepanjang hal tersebut merupakan adat-istiadat yang
dipegang teguh.
Ancaman lain adalah adanya kecenderungan negara untuk tidak mengakui bahwa telah
menghilangkan budaya-budaya atau aliran-aliran kepercayaan lokal, yang dapat dilihat dengan
diakuinya 6 agama-agama yang notabene bukan berasal dari masyarakat Indonesia. Hal lain yang
menjadi anacaman serius bagi keberadaan masyarakat adat adalah kepentingan global yang
didorong oleh korporasi-korporasi raksasa melalui sebuah skenario liberalisasi untuk menguasai
sumberdaya alam Indonesia yang mana sangat meminggirkan hak ulayat masyarakat adat yang
notabene adalah adalah pemilik sah sumber daya alam tersebut jauh sebelum Indonesia
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 (http://bissu-anbti.blogspot.com/2008/08/komunitas-
bissu-di-tengah-kemajemukan.html).
Berbicara mengenai Masyarakat tidak akan terlepas dari Budaya yang dipengaruhi agama yang
mereka anut atau juga sebaliknya agama yang mempengaruhi budaya yang mereka miliki.
Sepanjang perjalanan sejarah peradaban kita Indonesia, kehidupan budaya berbanding terbalik
kehidupan agama masyarakatnya. Misalnya saja kehidupan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
dipengaruhi oleh agama Hindu, sehingga budaya yang berkembangpun budaya Hindu, begitupun
kehidupan kerajaan Islam di Indonesia.
b. Bhineka Tunggal Ika dan Pluralisme dalam Perspektif hukum dan Perundang-
undangan Di Indonesia
Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk
memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok
etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda
namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat
sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu
kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9
dalam Magdalia Alfian : 2010).
Yang menjadi persoalan adalah bagaiman konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek
kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian
“ketunggal-ikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur
kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara.
Pada awal Indonesia merdeka melalui konstitusi (UUD 1945) dinyatakan bahwa Republik
Indonesia adalah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas masyarakat hukum adat,
seperti nagari, dusun, marga dan lain-lain. Ini berarti NKRI pada awal kemerdekaannya
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dengan konsep pengakuan murni. Tetapi pada
perkembangannya konsep pengakuan murni berubah menjadi pengakuan bersyarat-berlapis yang
tercermin dalam produk-produk hukum yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hak-
hak serta wilayahnya yang bersifat tradisional, ini terlihat bahwa rasio pemikiran yang
berkembang di Indonesia adalah kepentingan negara diatas segala-galanya. Dan yang menjadi
titik krisis adalah UUD 1945 Hasil Amandemen Kedua, pada pasal 18B menganut konsep
pengakuan berlapis-bersyarat, yang menurut saya adalah pengakuan setengah hati
yang berakibat bahwa Masyarakat Hukum Adat telah kehilangan pelindung (protector) dalam
norma dasar negara dan produk hukum yang salah menafsirkan konsep pengakuan dalam UUD
1945 sebelum Amandemen menjadi memiliki dasar pembenaran untuk terus berlaku, dan yang
memprihatinkan adalah rasio berfikir bangsa indonesia yang menempatkan posisi Masyarakat
Hukum Adat pada posisi yang di ’terpencilkan“. Padahal kita ketahui bahwa kebijakan yang
dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru tersebut bertujuan untuk memberikan landasan juridis
yang hanya bersifat formalitas bagi setiap tindakan sewenang-wenang pemerintah dengan jalan
penyeragaman dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1979. Hal ini mengakibatkan hilangnya
struktur dan tatanan adat sehingga dengan mudah sumberdaya alam masyarakat adat eksploitasi
hak-hak sosio-kultural Masyarakat Hukum Adat. Yang dilakukan pemerintah saat itu adalah
dengan tujuan merampas hak-hak dan lahan Masyarakat Hukum Adat dengan dalih untuk
kepentingan negara padahal didalamnya terdapat tendensi kepentingan ekonomi individual atau
kelompok penguasa saat itu. Yang secara keseluruhan tindakan-tindakan tersebut merupakan
tindakan yang merupakan pelecehan terhadap HAM Masyarakat Hukum Adat.
Seharusnya pada era reformasi dimana penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi
sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, Penyelenggaraan pembangunan tidak lagi harus
dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kebutuhan, namun harus mempergunakan
pendekatan hak asasi manusia. Tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk mencapai Indonesia
Merdeka, sehingga rakyatnya menjadi adil dan makmur. Namun sudah lebih dari 60 tahun
negara ini merdeka justru rakyat tidak merasa merdeka dan bebas untuk menjalankan segala
haknya meskipun kewajibannya di tuntut untuk dilaksanakan. Negara ini sudah melewati fase
dimana kebutuhan akan sebuah bangunan pasar menjadi hal yang urgen atausekolah merupakan
sebuah hal yang urgen, karena sudah banyak alternatif yang dibangun selama kurun waktu
kemerdekaan. Namun yang penting disini adalah bagaimana masyarakat menjadi sejahtera bukan
cuma sejahtera dalam bidang ekonomi di satu sisi namun sejahtera di semua sisi. Baik itu
ekonomi, politik, bahkan keamanan. Yang diartikan sini juga bukan keamanan fisik saja tetapi
juga kemanan bathin. Proses peneyeragaman adat budaya pada masa orde baru telah
menyebabkan banyak persoalan sehingga hukum tidak lagi memberikan perlindungan lewat
peraturan perundang-undangannya, namun sebaliknya melahirkan konflik. Banyak masyarakat
adat yang tergusur akibat kebijakan pemerintah dengan dalih kepentingan negara. Bagi
masyarakat adat yang merasa memiliki hak, dan mengangap tidak adil tentu akan bereaksi,
sehingga menimbulkan konflik. Kasus kerusuhan di Papua, di Paperu Maluku merupakan sedikit
dari bukti konflik akibat kebijakan pemerintah lewat peraturan perundang-undangannya. Belum
lagi terhadap agama yang dianut oleh masyarakat adat tesebut. Agama Kaharingan di
Kalimantan misalnya merasa terusik dengan kejadian yang menimpa masyarakat Ahmadiah yang
dianggap sesat, akan sangat dilematis apabila hal ini juga menyebar luas bagi agama-agama suku
lainnya yang ada di negara ini dengan justifikasi bahwa hanya 6 agama yang dianut oleh negara
kita Indonesia. Padahal pasal 29 UUD 1945 jelas memberikan jaminan bagi setiap warga negara
untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya. Itu berarti bahwa tidak ada seorangpun boleh
merampas hak orang lain, atau menentukan bahwa apa yang diyakini orang lain adalah salah,
karena yang berhak menilai itu adalah Tuhan sendiri.
Terlepas dari pemikiran tersebut pemerintah diharapkan tegas untuk menegakan hukum dengan
tidak ada standar ganda dalam pelaksanaannya. Dan dalam membuat kebijakan berupa
perundang-undangan pemerintah harus sudah mengintrodusir nilai-nilai HAM yang menjunjung
tinggi pembebasan terhadap pluralisme, kekhasan dan keunikan yang dimiliki oleh Masyarakat
Hukum Adat atau pun masyarakat lain dengan budaya dan kekhasannya..
c. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Negara nilai-
nilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu berupa nilai-
nilai adat istiadat serta nilai-nilai kausa materialis Pancasila. Dengan demikian anatara Pancasila
dengan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila adalah Jati Diri bangsa
Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara maka oleh pembentuk
Negara, Pancasila disahkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan
Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala cita-
cita, gagasab-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila. Maka dalam pengertian inilah Pancasila
berkedudukan sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan sekaligus sebagai Asas
Persatuan dan Kesatuan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar
filsafat Negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri. Pandangan hidup
dan filsafat hidup ini sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap
tingkah laku dan perbuatannya. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan motor
penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai Pancasila ini telah
tercermin dalam khasanah adat istiadat, serta kehidupan keagamaannya. Ketika pendiri Negara
Indonesia menyiapkan berdirinya Negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk
menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, “ diatas dasar apakah negara Indonesia
didirikan”. Dengan jawaban yang mengandung makna hidup bagi bangsa Indonesia sendiri yang
merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini, dihayati
kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan
bangsa sejak lahir.
Nilai-nilai ini sebagai buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar bangsa
Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan tata nilai yang
mendukung tata kehidupan social dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang memberikan
corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
masyarakat atau bangsa lain.
Bangsa Indonesia sejak dahulu kala merupakan bangsa religius dalam pengertian bangsa
yang percaya terhadap Tuhan penciptanya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kepercayaan
dan agama-agama yang ada di Indonesia antara kira-kira Tahun 2000 SM zaman Neoliticum dan
Megaliticum. Antara lain berupa “Menhir” yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu,
punden berundak-undak yang ditemukan di Pasemah pegunungan antara wilayah Palembang dan
Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan Sulawesi. Menhir adalah tiang
batu yang didirikan sebagai ungpan manusia atas dhat yang tertinggi, hyang Tunggal artinya
yang Maha Esa yaitu Tuhan. (Kaelan : 2002 : 46 – 48). Cita-cita kesatuan tercermin dalam
berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa,
seperti pengertian-pengertian atau ungkapan-ungkapan ”tanah air” sebagai ekspresi pengertian
persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara :
“tanah tumpah darah”yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya
antara bumi dan orang disekitarnya : Bhineka tunggal Ika” yang mengungkapkan cita-cita
kemanusiaan dan persatuan sekaligus, yang juga bersumber dari sejarah bangsa Indonesia
dengan adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Berpangkal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa Indonesia, serta
diilhami ole ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang
dimiliki, diyakini, dan di hayati kebenarannya oleh bangsa Indonesia menjadi Pancasila yang
rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi Negara, pandangan hidup bangsa,
Dasar Negara, dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang terkandung dalam Pancasila
tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani moral dan budaya
masyarakat Indonesia sendiri, dan bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil
musyawarah dan konsensus dari masyarakat. Oleh karena itu Pancasila merupakan ideologi
terbuka, karena digali dan ditemukan dalam masyarakat itu sendiri dan tidak diciptakan oleh
Negara. Dan Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia, karena masyarakat Indonesia
menemukan kepribadiannya di dalam Pancasila itu sendiri sebagai ideologinya.
Jadi dalam pelaksanaan ketatanageraan kita Indonesia semua unsur harus melaksanakan
dan melandaskan segala pergerakannya diatas Pancasila tanpa terkecuali. Toleransi atas umat
beragama adalah amanat dari Pancasila. Kebebasan dalam berbudaya adalah amanat dari
Pancasila. Karena kemajemukan dalam Bingaki Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
kristalisasi dari nilai-nilai Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang artinya
berbeda tetapi tetap satu. Dan itu harus di tegakan dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
D. Penutup
Sejarah perjalan Panjang Bangsa Indonesia sehingga menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, bukan sejarah yang mudah. Penuh Pengorbanan darah dan air mata. Kemerdekaan
yang sekarang di raih oleh bangsa ini, haruslah berdasarkan landasan yang paling fundamental
oleh Negara Ini. Penolakan terhadap pluralisme atau keberagaman bangsa dalam bentuk
penindasan dan pelakuan sewenang-wenang terhadap adat dan budaya masyarakat adat serta
agama dan kepercayaan warga Negara adalah perbuatan yang tidak dapat ditolerir oleh siapapun
juga. Perlakuan Negara dengan berbagai perangkat hukumnya dengan tidak tegas berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 pun merupakan masalah. Untuk itu ditegakannya kembali Pancasila
secara murni dan konsekwen seperti sejarah awal lahirnya Pancasila harus di tegakan. Agar
Negara ini tidak seperti uni soviet ataupun sejarah Negara-negara Balkan.
MAKALAH PLURALISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari beraneka ragam masyarakat,
suku bangsa, etnis atau kelompok sosial, kepercayaan, agama, dan kebudayaan yang berbeda-
beda dari daerah satu dengan daerah lain yang mendominasi khasanah budaya Indonesia.
Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-
masing individu masyarakat mempunyai keinginan yang berbeda-beda, Orang-orang dari daerah
yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda, struktur sosial, dan karakter yang berbeda,
memiliki pandangan yang berbeda dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup dan masalah
mereka sendiri. dan hal tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan konflik dan perpecahan
yang hanya berlandaskan emosi diantara individu masyarakat, apalagi kondisi penduduk
Indonesia sangatlah mudah terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam.
Untuk itulah diperlukan paham pluralisme dan multikulturalisme untuk mempersatukan suatu
bangsa.
Apalagi apabila kita melihat pedoman dari bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika,
yang mempunyai pengertian berbeda-beda tetapi tetap menjadi satu, yang mengingatkan kita
betapa pentingnya pluralisme dan multikulturalisme untuk menjaga persatuan dari kebhinekaan
bangsa, Dimana pedoman itu telah tercantum pada lambang Negara kita yang didalamnya telah
terangkum dasar Negara kita juga.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia?
2. Bagaimana membangun rasa pluralism di Negara Indonesia yang memiliki
banyak keberagaman budaya?
3. Bagaimana mewujudkan nilai-nilai pluralism berdasarkan pancasila dan siapa bapak pluralism
Indonesia?
4. Bagaimana perjalanan multikulturalisme di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia adalah:
a. Memahami makna dari pluralisme dan multikulturalisme itu sendiri dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Mewujudkan rasa pluralisme dengan berlandaskan pada pancasila.
c. Menjadikan masyarakat Indonesia menjadi warga Negara yang tidak menggap perbedaan
sebagai penghalang untuk membangun pluralisme dan multikulturalisme bangsa.
d. Menjadikan perbedaan itu sebagai suatu acuan yang menimbulkan rasa saling menghormati dan
menghargai sesama warga Negara untuk memperoleh rasa kebersamaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwa pluralisme adalah suatu penghormatan
dan sikap toleransi terhadap kelompok-kelompok yang lain dan multikulturalisme adalah
keberagaman kebudayaan dan suku bangsa di Indonesia.Pluralisme atau multikulturalisme
keduanya mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda yaitu menghormati orang lain dengan
budaya, agama, ras, dan adat istiadat mereka masing-masing.
Dari makalah ini dapat penulis simpulkan bahwasanya pluralisme dan multikulturalisme
mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda, ialah sikap toleransi terhadap kelompok-kelompok
yang berbeda keyakinan dengan kita. Baik dari segi agama, budaya, suku, ras, adat istiadat
mereka masing-masing