(Analisis Interaktif)
Oleh:
FARMANSYAH AL FAROBYE
1
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana,
2007, hlm. 33.
2
Ibid, hlm.38
3
Soegarda Poerbakawatja H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta:PT. Gunung Agung, cet.
Ke-3, 1982, hlm. 8.
yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan,
jika tidak ditunakan.4
2. Pengertian Ekonomi
Pengertian Ekonomi Secara etimologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani
“oikonomia” yang terdiri dari kata “oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” berarti aturan.
Kata “oikonomia” yang berarti “manajemen urusan rumah tangga”, khususnya penyediaan
5
dan administrasi pendapatan Namun, sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan
sumber daya secara fundamental perlu diadakan efisiensi, termasuk pekerja dan produksinya
maka dalam bahasa modern, istilah ekonomi tersebut menunjuk kepada prinsip usaha maupun
metode untuk mencapai tujuan dengan alat-alat sesedikit mungkin.6 Dalam bahasa Arab
ekonomi sepadan dengan kata “Istishad” yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa
diartikan menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada di sekitar kita. Pengetahuan
ekonomi merupakan usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun
nonmaterial untuk memenuhu kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun
kolektif yang menyangkut perolehan, pendistribusian maupun penggunaannya. 7
Pengertian Ekonomi Secara Terminologi Adapun dari sisi pengertian secara istilah
(terminologi), ilmu ekonomi akan dijelaskan sebagai berikut: pertama, menurut Albert L.
Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan
manusia.8 Kata kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuasan kebutuhan.Kebutuhan
adalah suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya sangat
bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas.Pemuasan kebutuhan adalah memiliki
ciri- ciri terbatas. Aspek yang kedua ini menimbulkan masalah ekonomi, yaitu adanya suatu
kenyataan yang senjang (gap), karena kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa
jumlahnya tidak terbatas, sedangkan di lain pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas
4
Sidi Gazali, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. hlm.
95
5
Zulfi Mubaraq, Sosologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 79. Lihat Komaruddin
Sastradipoera, Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatau Pengantar Teori dan Kebijakan Ekonomi, Bandung: Kappa-
Sigma, 2001, hlm. 4.
6
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 79. Lihat Dadang Supardan,
Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm. 366
7
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam, Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press,
2007, hlm. 1
8
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Malang Press,2010,hlm.79. Lihat Abdullah, Materi
Pokok Pendidikan IPS, Jakarta: Depdikbud, 1992, hlm. 5
kebutuhan, sifatnya langka atau terbatas sehingga masalah yang timbul adalah kekecewaan
atau ketidakpastian. 9
Menurut J.L. Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi ialah ilmu tentang usaha
manusia mencapai kemakmuran, karena manusia itu termasuk makhluk ekonomi (homo
economicus).10 Samuelson dan Nordhaus berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan studi
tentang prilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang
langka dan memiliki beberapa penggunaan alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi
berbagai komoditi, kemudian menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada
individu dan kelompok yang ada dalam masyarakat.11
Jadi dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa secara konvensional Ekonomi
adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia
secara perorangan atau pribadi, atau kelompok, keluarga, suku bangsa, organisasi, negara
dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya pemuas
yang terbatas.
Adapun pengertian ekonomi Islam menurut Dawam Rahardjo memilih istilah
ekonomi Islam dalam tiga kemungkinan pemaknaan. Pertama, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud
ekonomi Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan
suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga, adalah ekonomi Islam dalam
pengertian perekonomian umat Islam. Berkaitan dengan tulisan ini istilah ekonomi mencakup
ketiganya dengan penekanan pada ekonomi Islam sebagai konsep dan sistem ekonomi.
Ketiga wilayah tersebut, yaitu teori, sistem, dan kegiatan ekonomi umat Islam merupakan
tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.12
9
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 80. Lihat Richard G. Lipsey
& Peter O. Steiner, Economics, New York: Harper & Row, 1981,hm. 5.
10
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 80. Lihat Abdullah, Materi
Pokok, 6. Lihat Adam Smith, The Wealth Nation, New York: Random House, 1937, hlm. 7
11
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 80. Lihat Paul A.
Samuelson dan William D. Nordhau, Ekonomi.Terjemahan, Jakarta: Erlangga, 1990, hlm. 5.
12
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 111-112.
1700-an di Barat pun demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah
pendeta. Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan oleh ahli gereja, seperti
Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain. Namun karena adanya revolusi industri dan
produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai memisahkan kajian ekonomi dari agama. Keadaan
ini merupakan gejala awal revolusi menentang kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian
ekonomi yang menjauhkan dari pemikiran ekonomi skolastik. Sejak itu, sejarah berjalan terus
sampai pada keadaan di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang menentang agama mulai
mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali
betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human. Ekonom
Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait
dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian
muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam
bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull,
Economics as if People Material. Keduanya menyadari bahwa menghilangkan hubungan
kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan dan tidak
bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta. Kesadaran ini
tumbuh setelah semua menyaksikan hasil model pembangunan sosial-ekonomi yang
berasaskan model liberal-kapitalistis dan teori pertumbuhan neoklasikal serta model marxist
dan neomarxist yang mengutamakan materialistis hedonisme berupa kemiskinan ditengah
kemakmuran, konsumerisme, budaya permissive, dan rupa-rupa bentuk pop-hedonisme, gaya
hidup yang sekuler dan sinkretis, serta keadaan lainnya yang bertentangan dengan nilai
kemanusian dan nilai agama.
Kajian ekonomi pada abad ini tidak hanya bertolak dari asas kapitalisme dan asas
marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan
dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta.Ekonomi yang memiliki
nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis).Ekonomi yang dapat
membebaskan manusia dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan
segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak
manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan ketimpangan.Ekonomi yang secara historis-
empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat
membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue
committed), dialah ekonomi Syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi
manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan
melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi
merupakan bagian dari tingkah laku manusia.Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi
haruslah berada dalam Islam.Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang
mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam.
Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya yang digali dari Al-
Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan
iman, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: ”Celakalah (siksalah) untuk orang-
orang yang menipu.Bila mereka menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka
sempurnakan (penuhkan).Dan, bila mereka menimbang untuk orang lain, mereka kurangkan.
Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Pada hari yang besar
(kiamat)?Yaitu pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-
Muthaffifin 1-6)
Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang
mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah dan Hari Pengadilan
sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai
kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah
kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan
dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku,
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan
hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai
perusak.Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu
orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai
Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang
kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (QS. Hud: 84-87)
13
http://hana-torizawa.blogspot.com/2012/01/agama-dan-ekonomi.html (di akses pada 11 november
2013)
14
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010,hlm. 81. Lihat Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press, 2002, hlm. 80
pertumbuhan ekonomi.Hubungan agama dengan pembangunan ekonomi bukanlah hubungan
kuasalitas, namun hubungan timbal balik.Agama merupakan salah satu faktor yang
mendorong pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi dan kemajuan masyarakat.
Di pihak lain, agama juga tidak statis melainkan berubah mengikuti pertukaran waktu dan
perubahan zaman, serta oleh perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi sosial dan
ekonomi ikut mempengaruhi keberadaan agama.15
Di dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk
terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat mengurangi rasa
cemas dan takut.Studi yang dilakukan oleh Malinowski di kalangan masyarakat Trobriand,
ditemukan bahwa masyarakat tersebut selalumengadakan upacara ritual sebelum melakukan
kegiatan mencari ikan di laut.16 Agama juga berfungsi menciptakan norma-norma sosial yang
mempengaruhi ekonomi. Studi yang dilakukan max Weber tentang “Etika Protestan”
menemukan bahwa agama Protestan ternyata memberikan sumbangan tidak kecil terhadap
upaya menciptakan jiwa kewirausahaan (spirit of enterprenuership). Ajaran agama tersebut
menganjurkan kepada pemeluknya agar selalu bekerja keras, tahan cobaan, dan hidup hemat.
Menurt Weber, menjadikan mereka tidak konsumtif, namun selalu berusaha
menginvestasikan sumber dana yang dimilikinya untuk berusaha tiada henti dan putus asa.17
Sedangkan di dalam masyarakat modern, peran agama terhadap kegiatan ekonomi
relative berkurang.Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme,
seringkali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang menekankan
kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural.Dengan demikian, keberadaan (existence)
agama relative terpisah dari ekonomi.18 Perbedaan yang tajam, tampak pada jika agama
dihubungkan dengan lembaga-lembaga yang melaksanakan aktivitas ekonomi.Dalam
tindakan ekonomi (produksi dan pertukaran komoditi), nilai-nilai yang kurang tinggi
dipraktikkan dan hubungan personal yang kurang dikembangkan.Apalagi nilai-nilai yang
dilibatkan bersifat boros (consumatory atau instrumental), mereka hanya berhubungan
dengan benda-benda yang dikonsumsi atau dipergunakan.
Dengan demikian aktivitas ekonomi lebih bersifat secular atau profaneketimbang
sacral. Pada akhirnya, nilai dan tata cara kehidupan ekonomi tampaknya berdasarkan atas
asumsi-asumsi yang lebih mudah diuji dalam pengalaman empiris, lebih siap dijalani dan
15
Ibid, 82-83.
16
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 81. Lihat J. Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 299-300.
17
Ibid, hlm. 299
18
Ibid, 299-300.
lebih mudah dipastikan sekarang atau nanti. Dalam hal ini, ekonomi dapat juga diarahkan
kearah kebenaran karena jika dihubungkan dengan agama maka aktivitas ekonomi juga dapat
menjadi sesuatu hal yang bersifat saktal.19 Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan
sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang
bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi,
ekonomi, demigrafi dlsb. Jika yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan wilayah
ekonomi, maka moral ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara kritis agar bisa
menghasilkan moralitas yang bermakna bagi kehidupan. Kalau kita kaitkan dengan konteks
Indonesia dewasa ini yang tengah mengacu pembangunan ekonomi tetapi justru masih
banyak pelanggaran moral yang berakibat merugikan keuangan negara. Anehnya pelanggaran
itu terus berkelanjutan dengan pelaku banyak dari kalangan intelektual dan borokrat yang
seharusnya menjadi uswah bagi masyarakat.20
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana seharusnya implikasi etika dalam ekonomi
agar menjadi perilaku subjek pendukungnya, antara lain bisa kita lihat bagaimana pengaruh
etika protestan terhadap semangat kapitalisme sebagaimana dijelaskan Max Weber dalam
karyanya the protestan Ethic and The Spirit of Capiralism: untuk dapat memahami hubungan
antara ide-ide keagamaan yang bersifat fundamental dan Protestanisme asketis dengan
maksimnya bagi perilaku ekonomi sehari-hari, maka perlu untuk memeriksa dengan teliti
seluruh tulisan-tulisan semacam itu yang secara pasti berasal dari praktik-praktik ministerial
(kependekatan). Max Weber berpendapat bahwasanya para pemimpin bisnis dan pemilik
modal maupun para karyawan perusahaan yang mempunyai kemampuan (skill) tinggi
ataupun para staf terdidik baik secara teknis maupun komersial ternyata kebanyakan adalah
orang Protestan.21Lain lagi dengan etika bisnis jepang yang filosofinya nampaknya banyak
diwarnai ajaran agama mereka (Shinto). Perilaku masyarakat Jepang, tanpa kecuali dalam
hubungannya dengan bisnis terbaca dari pemikiran:
a. Orang-orang jepang percaya bahwa keselarasan di permukaan dipertahankan dengan
segala upaya:
b. Di dalam situasi konflik, orang-orang Jepang berusaha untuk menghindari malu, bagi
mereka sendiri dan seringkali juga bagi lawannya;
c. Orang-orang Jepang enggan menghadapi orang lain dalam konflik terbuka;
19
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 83. Lihat Thomas F. O’Dea,
Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995,hlm. 218.
20
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press, 2007, hlm. 17
21
Ibid,19-25
d. Rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat bagi tingkah laku orang-
orang jepang;
e. Kesamaan latar belakang dan kebiasaan yang saling dijaga, memungkinkan mereka
saling memahami, hanya dengan melalui sedikit atau tanpa isyarat sekalipun;
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas oleh Al- Qur’an. Eksposisi
sintetik ajaran Al- Qur’an diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-
prinsip dasar dari etika bisnis Al- Qur’an. Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan
jaminan keadilan dan keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga
aktivitas komersial pada koridor yang benar.
Menurut Qardhawi poros risalah nubuwah Nabi Muhammad SAW. adalah akhlak.
Karena itu Islam telah mengimplikasikan antara mu’amalah dengan akhlak, seperti jujur,
amanah, adil, ihsan, berbuat kebaikan, silaturahmi, dan sayang-menyayangi. Dikaitkan
akhlak pada aspek hidup menyeluruh, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu dengan
akhlak, antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak, dan perang dengan
akhlak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, akhlak menjadi daging dan urat nadi
kehidupan Islam22. Dengan kata lain akhlak yang harus memandu segala aktivitas seorang
Muslim.23 Jika kita berbicara tentang akhlak dalam ekonomi Islam, maka tampak secara jelas
di hadapan kita empat nilai utama, yaitu: rabbaniyyah (ketuhanan),akhlak, kemanusian, dan
pertengahan. Nilai-nilai ini memancarkan keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki
oleh sistem ekonomi manapun di dunia. Nilai-nilai tersebut merupakan karakteristik syariat
Islam yang kaffah, sempurna dalam segala dimensinya. Atas dasar karakteristik itu ekonomi
Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ia adalah sebuah sistem
ekonomi alamiah, ekonomi humanistis, ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat. Makna
dan nilai-nilai pokok yang empat ini mempunyai dampak terhadap seluruh aspek ekonomi,
baik dalam masalah produksi, konsumsi, sirkulasi maupun distribusi. Semua itu terpola oleh
nilai-nilai tersebut, karena jika tidak, niscaya ke-islam-an itu hanya sekedar simbol tanpa
makna.24
22
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Istiqhadil Islami, Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah,
1995,hlm. 4.
23
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi,…hlm. 26
24
Ibid, 26-27.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Djakfar, Muhammad. Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press.2007
Hendropuspito. 1984, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Mubaraq, Zulfi. Sisiologi Agama. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Nawawi,Ismail. Ekonomi Islam, Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS
Press, 2010
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Istiqhadil Islami, Kairo: Maktabah Wahbah,
edisi terj. 1995.