Anda di halaman 1dari 11

AGAMA DAN EKONOMI

(Analisis Interaktif)
Oleh:
FARMANSYAH AL FAROBYE

A. Latar Belakang Masalah


Agama dan ekonomi sekilas dua kata yang tidak ada keterkaitan diantara keduanya,
tetapi jika merenungi lebih mendalam hal tentunya memiliki relevansi yang sangan erat.
Agama merupakan suatu ajaran yang berasal dari zat yang diyakini memiliki kekuataan
mengatur alam raya beserta isinya, termasuk manusia. Ajaran yang dijadikan sebagai aturan
dalam kehidupan manusia dalam rangka interaksi kepada tuhan yang Maha Esa, dan interaksi
sesama manusian dan interaksi dengan alam.
Manusia dituntut mematuhi rambu-rambu yang ada dalam agama supaya manusia
yang bersangkutan dapat memperoleh kesejahteraan yang orentasinya bukan hanya di dunia
saja, tetapi juga dimensi akhirat. Orang yang beragama niscaya menyakini adanya kekuatan
yang maha dasyat yang bersifat transenden yang mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu
segala tindak tanduk dan perbuatan, ucapanya senantiasa terjaga oleh nilai-nilai agama itu
sendiri. Nilai –nilai agama mengakar sedemikian rupa dalam diri orang yang bersangkutan
sehingga dirinya benar-benar terjaga dari hal-hal yang tercela.
Ekonomi suatu aktifitas kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Secara lebih spesifik ekonomi merupakan studi tentang prilaku orang dan
masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki
beberapa penggunaan alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditi,
kemudian menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada individu dan
kelompok yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain Pada hakikat ilmu ekonomi
berkaitan dengan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai
kemakmuran dengan proses operasional.
Agama dan ekonomi secara khusus memiliki keterkaitan yang sedemikian rupa,
dalam satu sisi agama sebagai seperangkat aturan yang lengkap untuk memandu manusia,
dan disisi yang lain ekonomi sebagai aktifitas manusia dalam memenuhi hajat hidupnya. Jadi,
Jelas sekali “agama dan ekonomi” menjadi pembahasan yang sangat urgen untuk dibahas
mengingat dua kata tersebut sekilas saling kontradiktif, yang satu (agama) orentasinya
akhirat, yang satunya lagi (ekonomi) orentasinya dunia, padahal secara implisit ekonomi
menjadi bagian dari integral agama itu sendiri.
B. Pengertian Agama dan Ekonomi
1. Pengetian Agama
Secara umum kita pernah mendengar istilah Agama, Religi dan al-Din. Secara
etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri dari kata “a” yang berarti
“tidak” , Dan “gama” yang berarti “kacau” atau kocar kacir. Jadi, kata Agama berarti “tidak
kacau, tidak kocar-kacir, dan berarti teratur. Dengan pengertian demikian, Agama merupakan
suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta
mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi manusia.1 Secara terminologis
(istilah), dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, yang dikutip oleh Muhaimin, dkk. memberi
definisi “Agama” adalah aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan
Tuhan dan sesamanya sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi antara
manusia dan Tuhan Yang Maha Pencipta.2

Menurut Soegarda Poerbakawatja H.A.H. Harahap dalam bukunya Ensiklopedi


Pendidikan, agama adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia dalam usahana
mencari hakekat dari hidupnya dan mengajarkan kepadanya tentang hubungannya dengan
Tuhan, tentang hakekat dan maksud dari segala sesuatu yang ada. Inti agama adalah
pengakuan dari suatu asas mutlak yang tunggal dan kepercayaan atas suatu kekuasaan yang
tinggi. Selanjutnya, sesuatu yang disyariatkan Tuhan atas keterangan Nabi utusan-Nya berisi
perintah-perintah, larangan dan petunjuk untuk keselamatan seluruh manusia, baik dalam
urusan-urusan dunia maupun akhirat.3
Kata al-Din, berasal dari bahasa Arab, dari kata “daen”, yang berarti “utang” sesuatu
yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa semit, induknya bahasa Arab, kata “din”
berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata “daen”
dan “din” dalam bahasa Arab menunjukkan kepada pengertian dasar sebagai undang-undang
atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaikannya akan berarti utang

1
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana,
2007, hlm. 33.
2
Ibid, hlm.38
3
Soegarda Poerbakawatja H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta:PT. Gunung Agung, cet.
Ke-3, 1982, hlm. 8.
yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan,
jika tidak ditunakan.4

2. Pengertian Ekonomi
Pengertian Ekonomi Secara etimologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani
“oikonomia” yang terdiri dari kata “oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” berarti aturan.
Kata “oikonomia” yang berarti “manajemen urusan rumah tangga”, khususnya penyediaan
5
dan administrasi pendapatan Namun, sejak perolehan maupun penggunaan kekayaan
sumber daya secara fundamental perlu diadakan efisiensi, termasuk pekerja dan produksinya
maka dalam bahasa modern, istilah ekonomi tersebut menunjuk kepada prinsip usaha maupun
metode untuk mencapai tujuan dengan alat-alat sesedikit mungkin.6 Dalam bahasa Arab
ekonomi sepadan dengan kata “Istishad” yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa
diartikan menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada di sekitar kita. Pengetahuan
ekonomi merupakan usaha untuk mendapatkan dan mengatur harta baik material maupun
nonmaterial untuk memenuhu kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun
kolektif yang menyangkut perolehan, pendistribusian maupun penggunaannya. 7
Pengertian Ekonomi Secara Terminologi Adapun dari sisi pengertian secara istilah
(terminologi), ilmu ekonomi akan dijelaskan sebagai berikut: pertama, menurut Albert L.
Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan
manusia.8 Kata kunci dari definisi ini adalah kebutuhan dan pemuasan kebutuhan.Kebutuhan
adalah suatu keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan jenisnya sangat
bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas.Pemuasan kebutuhan adalah memiliki
ciri- ciri terbatas. Aspek yang kedua ini menimbulkan masalah ekonomi, yaitu adanya suatu
kenyataan yang senjang (gap), karena kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa
jumlahnya tidak terbatas, sedangkan di lain pihak barang dan jasa sebagai alat pemuas

4
Sidi Gazali, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. hlm.
95
5
Zulfi Mubaraq, Sosologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 79. Lihat Komaruddin
Sastradipoera, Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatau Pengantar Teori dan Kebijakan Ekonomi, Bandung: Kappa-
Sigma, 2001, hlm. 4.
6
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 79. Lihat Dadang Supardan,
Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm. 366
7
Ismail Nawawi, Ekonomi Islam, Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS Press,
2007, hlm. 1
8
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang: UIN Malang Press,2010,hlm.79. Lihat Abdullah, Materi
Pokok Pendidikan IPS, Jakarta: Depdikbud, 1992, hlm. 5
kebutuhan, sifatnya langka atau terbatas sehingga masalah yang timbul adalah kekecewaan
atau ketidakpastian. 9
Menurut J.L. Meij mengemukakan bahwa ilmu ekonomi ialah ilmu tentang usaha
manusia mencapai kemakmuran, karena manusia itu termasuk makhluk ekonomi (homo
economicus).10 Samuelson dan Nordhaus berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan studi
tentang prilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang
langka dan memiliki beberapa penggunaan alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi
berbagai komoditi, kemudian menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada
individu dan kelompok yang ada dalam masyarakat.11
Jadi dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa secara konvensional Ekonomi
adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia
secara perorangan atau pribadi, atau kelompok, keluarga, suku bangsa, organisasi, negara
dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya pemuas
yang terbatas.
Adapun pengertian ekonomi Islam menurut Dawam Rahardjo memilih istilah
ekonomi Islam dalam tiga kemungkinan pemaknaan. Pertama, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud
ekonomi Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan
ekonomi dalam suatu kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan
suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga, adalah ekonomi Islam dalam
pengertian perekonomian umat Islam. Berkaitan dengan tulisan ini istilah ekonomi mencakup
ketiganya dengan penekanan pada ekonomi Islam sebagai konsep dan sistem ekonomi.
Ketiga wilayah tersebut, yaitu teori, sistem, dan kegiatan ekonomi umat Islam merupakan
tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.12

C. Ekonomi dan Agama


Pada Zaman Keemasan Islam Pada zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam),
yaitu pada abad ke-7 sampai ke 14, ekonomi dan agama itu bersatu. Sampai akhir tahun

9
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 80. Lihat Richard G. Lipsey
& Peter O. Steiner, Economics, New York: Harper & Row, 1981,hm. 5.
10
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 80. Lihat Abdullah, Materi
Pokok, 6. Lihat Adam Smith, The Wealth Nation, New York: Random House, 1937, hlm. 7
11
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press, 2010, hlm. 80. Lihat Paul A.
Samuelson dan William D. Nordhau, Ekonomi.Terjemahan, Jakarta: Erlangga, 1990, hlm. 5.
12
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 111-112.
1700-an di Barat pun demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah
pendeta. Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan oleh ahli gereja, seperti
Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain. Namun karena adanya revolusi industri dan
produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai memisahkan kajian ekonomi dari agama. Keadaan
ini merupakan gejala awal revolusi menentang kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian
ekonomi yang menjauhkan dari pemikiran ekonomi skolastik. Sejak itu, sejarah berjalan terus
sampai pada keadaan di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang menentang agama mulai
mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka menyadari kembali
betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral, dan human. Ekonom
Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, menyusun kembali ilmu ekonomi yang terkait
dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa. Kemudian
muncul juga kajian ekonomi baru dengan pendekatan humanistis dari Eugene Lovell dalam
bukunya yang terkenal Humanomics dan dari E.F Schumacher yaitu Small is Beautifull,
Economics as if People Material. Keduanya menyadari bahwa menghilangkan hubungan
kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan dan tidak
bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta. Kesadaran ini
tumbuh setelah semua menyaksikan hasil model pembangunan sosial-ekonomi yang
berasaskan model liberal-kapitalistis dan teori pertumbuhan neoklasikal serta model marxist
dan neomarxist yang mengutamakan materialistis hedonisme berupa kemiskinan ditengah
kemakmuran, konsumerisme, budaya permissive, dan rupa-rupa bentuk pop-hedonisme, gaya
hidup yang sekuler dan sinkretis, serta keadaan lainnya yang bertentangan dengan nilai
kemanusian dan nilai agama.
Kajian ekonomi pada abad ini tidak hanya bertolak dari asas kapitalisme dan asas
marxisme, melainkan bertolak juga pada pemikiran ilmu ekonomi yang lebih terandalkan
dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta.Ekonomi yang memiliki
nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis), dan keindahan (estetis).Ekonomi yang dapat
membebaskan manusia dari aksi penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan
segala bentuk keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak
manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan ketimpangan.Ekonomi yang secara historis-
empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau tidak dapat
membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber dari agama (volue
committed), dialah ekonomi Syariah.
Islam adalah agama wahyu yang merupakan sumber dan pedoman tingkah laku bagi
manusia yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s dan disempurnakan
melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir Muhammad saw. Tingkah laku ekonomi
merupakan bagian dari tingkah laku manusia.Oleh karena itu, ilmu dan aktivitas ekonomi
haruslah berada dalam Islam.Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang
mewarnai tingkah laku ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan bagian dari ilmu agama Islam.
Karena itu, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari suprasistemnya yang digali dari Al-
Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ilmu ekonomi harus berasaskan
iman, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: ”Celakalah (siksalah) untuk orang-
orang yang menipu.Bila mereka menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka
sempurnakan (penuhkan).Dan, bila mereka menimbang untuk orang lain, mereka kurangkan.
Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Pada hari yang besar
(kiamat)?Yaitu pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al-
Muthaffifin 1-6)
Dalam tarikh Islam, Nabi Syu’aib a.s disebut sebagai Nabi Ilmu Ekonomi yang
mendasarkan ekonomi kepada iman (tauhid) terhadap adanya Allah dan Hari Pengadilan
sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Telah kami utus ke negeri Madyan seorang saudaranya, Syu’aib, ia berkata, ”hai
kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripada-Nya; dan janganlah
kamu mengurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebaikan
dan aku takut terhadap kamu akan siksaan hari yang meliputi kamu. Hai kaumku,
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan keadilan dan janganlah kamu kurangkan
hak orang sedikit juga dan jangan pula berbuat bencana di muka bumi sebagai
perusak.Rezeki Allah yang tinggal (selain dari yang haram) lebih baik bagimu, jika kamu
orang yang beriman, dan aku bukanlah orang yang memeliharamu. Mereka berkata, ”Hai
Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh supaya kamu meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami, atau supaya kami jangan berbuat pada harta-harta kami apa yang
kami sukai? Sesungguhnya engkau penyantun lagi cerdik.” (QS. Hud: 84-87)

Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan ibadah kepada Allah.Kekayaan


ekonomi adalah suatu alat untuk memenuhi hajat dan kepuasan hidup dalam rangka
meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih baik kepa Allah.Mencari dan
menimba kekayaan atau pendapatan yang lebih baik untuk dinikmatinya tidaklah dikutuk
Allah sepanjang diakui sebagai karunia dan amanat Allah.Adapun yang terkutuk adalah
apabila kekayaan itu dijadikan sesembahan yang utama dalam hidupnya.Iman dan takwa
kepada Allah memberi corak pada dunia ekonomi dengan segala aspeknya. Corak ini
menampilkan arah dan model pembangunan yang menyatukan pembangunan ekonomi
dengan pembangunan agama sebagai sumber nilai (central/core value).
Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, distribusi, dan
konsumsi harus menggunakan pertimbangan nilai agama dan bukan oleh determinisme
mekanistis ekonomi lainnya seperti pada kapitalisme dan marxisme. Islam sejak risalah
Muhammad saw sampai kepada suatu zaman yang disebut the Golden Age of Islam, lalu ke
zaman pembekuan dan kegelapan (the Dark Age) merupakan pengalam empiris dan sebagai
batu ujian bagi pemikir muslim era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang
akan mewarnai abad ekonomi modern dewasa ini, baik di tingkat nasional, regional maupun
global. Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam International Conference for
Islamic Aconomics yang pertama di Mekah tahun 1976 telah mendorong gairah untuk
menggali nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia di tengah-tengah krisis kehidupan akibat
sistem ekonomi kapitalis-individualistis dan marxis-sosialistis. Konsep ekonomi Islam
mampu mengentas kehidupan manusia dari ancaman pertarungan, perpecahan akibat
persaingan, kegelisahan dan kesirnaan akibat kerakusan, dan ancaman-ancaman keselamatan,
13
keamanan serta ketentraman hidup manusia, kepada kehidupan yang damai dan sejahtera.
yang lebih dikenal dengan konsep mashlahah.

D. Hubungan Agama dan Ekonomi


1. Kajian Sosial Agama dan Ekonomi
Kajian sosial tentang agama dan perkembangan ekonomi menggunakan dua
pendekatan: pertama, kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakteristik moral,
serta motivasi yang ditimbulkannya. Kedua, perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang
mempengaruhi suatu kelompok dan gerakan keagamaan yang muncul sebagai reaksi terhadap
perubahan. Walaupun demikian, kedua pendapat tersebut saling menyempurnakan antara satu
sisi dengan sisi yang lain.14
Analisis yang menarik tentang hubungan agama dengan pengembangan ekonomi oleh
H. Palanca, dapat dijadikan kajian dalam upaya mencoba memahami peran yang dijalankan
agama di dalam masyarakat. Dengan cara pandang positivistik, tidak ada cara untuk
memaksakan etika agama agar tidak dipatuhi oleh pemeluknya. Di samping itu di sebagian
besar di dunia, dengan menurunnya peran agama dalam masyarakat dewasa ini, kita tidak
mungkin dapat berharap suatu etika agama memainkan peranan, seperti pada masa
pertengahan dan zaman reformasi.Agama dapat disebut sebagai suatu faktor, bukan penyebab

13
http://hana-torizawa.blogspot.com/2012/01/agama-dan-ekonomi.html (di akses pada 11 november
2013)
14
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010,hlm. 81. Lihat Ishomuddin,
Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press, 2002, hlm. 80
pertumbuhan ekonomi.Hubungan agama dengan pembangunan ekonomi bukanlah hubungan
kuasalitas, namun hubungan timbal balik.Agama merupakan salah satu faktor yang
mendorong pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi dan kemajuan masyarakat.
Di pihak lain, agama juga tidak statis melainkan berubah mengikuti pertukaran waktu dan
perubahan zaman, serta oleh perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi sosial dan
ekonomi ikut mempengaruhi keberadaan agama.15
Di dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia untuk
terlibat dalam peran-peran dan tingkah laku ekonomi, karena agama dapat mengurangi rasa
cemas dan takut.Studi yang dilakukan oleh Malinowski di kalangan masyarakat Trobriand,
ditemukan bahwa masyarakat tersebut selalumengadakan upacara ritual sebelum melakukan
kegiatan mencari ikan di laut.16 Agama juga berfungsi menciptakan norma-norma sosial yang
mempengaruhi ekonomi. Studi yang dilakukan max Weber tentang “Etika Protestan”
menemukan bahwa agama Protestan ternyata memberikan sumbangan tidak kecil terhadap
upaya menciptakan jiwa kewirausahaan (spirit of enterprenuership). Ajaran agama tersebut
menganjurkan kepada pemeluknya agar selalu bekerja keras, tahan cobaan, dan hidup hemat.
Menurt Weber, menjadikan mereka tidak konsumtif, namun selalu berusaha
menginvestasikan sumber dana yang dimilikinya untuk berusaha tiada henti dan putus asa.17
Sedangkan di dalam masyarakat modern, peran agama terhadap kegiatan ekonomi
relative berkurang.Ekonomi umumnya menekankan pentingnya rasionalitas dan sekularisme,
seringkali menyebabkan harus berbenturan kepentingan dengan agama yang menekankan
kepercayaan kepada hal-hal yang supranatural.Dengan demikian, keberadaan (existence)
agama relative terpisah dari ekonomi.18 Perbedaan yang tajam, tampak pada jika agama
dihubungkan dengan lembaga-lembaga yang melaksanakan aktivitas ekonomi.Dalam
tindakan ekonomi (produksi dan pertukaran komoditi), nilai-nilai yang kurang tinggi
dipraktikkan dan hubungan personal yang kurang dikembangkan.Apalagi nilai-nilai yang
dilibatkan bersifat boros (consumatory atau instrumental), mereka hanya berhubungan
dengan benda-benda yang dikonsumsi atau dipergunakan.
Dengan demikian aktivitas ekonomi lebih bersifat secular atau profaneketimbang
sacral. Pada akhirnya, nilai dan tata cara kehidupan ekonomi tampaknya berdasarkan atas
asumsi-asumsi yang lebih mudah diuji dalam pengalaman empiris, lebih siap dijalani dan

15
Ibid, 82-83.
16
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 81. Lihat J. Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 299-300.
17
Ibid, hlm. 299
18
Ibid, 299-300.
lebih mudah dipastikan sekarang atau nanti. Dalam hal ini, ekonomi dapat juga diarahkan
kearah kebenaran karena jika dihubungkan dengan agama maka aktivitas ekonomi juga dapat
menjadi sesuatu hal yang bersifat saktal.19 Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan
sosiologi agama tidak akan menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang
bukan sosiologis harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi,
ekonomi, demigrafi dlsb. Jika yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan wilayah
ekonomi, maka moral ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara kritis agar bisa
menghasilkan moralitas yang bermakna bagi kehidupan. Kalau kita kaitkan dengan konteks
Indonesia dewasa ini yang tengah mengacu pembangunan ekonomi tetapi justru masih
banyak pelanggaran moral yang berakibat merugikan keuangan negara. Anehnya pelanggaran
itu terus berkelanjutan dengan pelaku banyak dari kalangan intelektual dan borokrat yang
seharusnya menjadi uswah bagi masyarakat.20
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana seharusnya implikasi etika dalam ekonomi
agar menjadi perilaku subjek pendukungnya, antara lain bisa kita lihat bagaimana pengaruh
etika protestan terhadap semangat kapitalisme sebagaimana dijelaskan Max Weber dalam
karyanya the protestan Ethic and The Spirit of Capiralism: untuk dapat memahami hubungan
antara ide-ide keagamaan yang bersifat fundamental dan Protestanisme asketis dengan
maksimnya bagi perilaku ekonomi sehari-hari, maka perlu untuk memeriksa dengan teliti
seluruh tulisan-tulisan semacam itu yang secara pasti berasal dari praktik-praktik ministerial
(kependekatan). Max Weber berpendapat bahwasanya para pemimpin bisnis dan pemilik
modal maupun para karyawan perusahaan yang mempunyai kemampuan (skill) tinggi
ataupun para staf terdidik baik secara teknis maupun komersial ternyata kebanyakan adalah
orang Protestan.21Lain lagi dengan etika bisnis jepang yang filosofinya nampaknya banyak
diwarnai ajaran agama mereka (Shinto). Perilaku masyarakat Jepang, tanpa kecuali dalam
hubungannya dengan bisnis terbaca dari pemikiran:
a. Orang-orang jepang percaya bahwa keselarasan di permukaan dipertahankan dengan
segala upaya:
b. Di dalam situasi konflik, orang-orang Jepang berusaha untuk menghindari malu, bagi
mereka sendiri dan seringkali juga bagi lawannya;
c. Orang-orang Jepang enggan menghadapi orang lain dalam konflik terbuka;

19
Zulfi Mubaraq, Sosiologi Agama, Malang: UIN Maliki Press,2010, hlm. 83. Lihat Thomas F. O’Dea,
Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995,hlm. 218.
20
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press, 2007, hlm. 17
21
Ibid,19-25
d. Rasa memiliki kewajiban merupakan pendorong yang kuat bagi tingkah laku orang-
orang jepang;
e. Kesamaan latar belakang dan kebiasaan yang saling dijaga, memungkinkan mereka
saling memahami, hanya dengan melalui sedikit atau tanpa isyarat sekalipun;
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas bisnis dibahas oleh Al- Qur’an. Eksposisi
sintetik ajaran Al- Qur’an diharapkan akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-
prinsip dasar dari etika bisnis Al- Qur’an. Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan
jaminan keadilan dan keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga
aktivitas komersial pada koridor yang benar.
Menurut Qardhawi poros risalah nubuwah Nabi Muhammad SAW. adalah akhlak.
Karena itu Islam telah mengimplikasikan antara mu’amalah dengan akhlak, seperti jujur,
amanah, adil, ihsan, berbuat kebaikan, silaturahmi, dan sayang-menyayangi. Dikaitkan
akhlak pada aspek hidup menyeluruh, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu dengan
akhlak, antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak, dan perang dengan
akhlak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, akhlak menjadi daging dan urat nadi
kehidupan Islam22. Dengan kata lain akhlak yang harus memandu segala aktivitas seorang
Muslim.23 Jika kita berbicara tentang akhlak dalam ekonomi Islam, maka tampak secara jelas
di hadapan kita empat nilai utama, yaitu: rabbaniyyah (ketuhanan),akhlak, kemanusian, dan
pertengahan. Nilai-nilai ini memancarkan keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki
oleh sistem ekonomi manapun di dunia. Nilai-nilai tersebut merupakan karakteristik syariat
Islam yang kaffah, sempurna dalam segala dimensinya. Atas dasar karakteristik itu ekonomi
Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ia adalah sebuah sistem
ekonomi alamiah, ekonomi humanistis, ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat. Makna
dan nilai-nilai pokok yang empat ini mempunyai dampak terhadap seluruh aspek ekonomi,
baik dalam masalah produksi, konsumsi, sirkulasi maupun distribusi. Semua itu terpola oleh
nilai-nilai tersebut, karena jika tidak, niscaya ke-islam-an itu hanya sekedar simbol tanpa
makna.24

22
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Istiqhadil Islami, Kairo, Mesir: Maktabah Wahbah,
1995,hlm. 4.
23
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi,…hlm. 26
24
Ibid, 26-27.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Djakfar, Muhammad. Agama, Etika, dan Ekonomi, Malang: UIN Press.2007
Hendropuspito. 1984, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Mubaraq, Zulfi. Sisiologi Agama. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Nawawi,Ismail. Ekonomi Islam, Perspektif Teori, Sistem, dan Aspek Hukum, Surabaya: ITS
Press, 2010
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Istiqhadil Islami, Kairo: Maktabah Wahbah,
edisi terj. 1995.

Anda mungkin juga menyukai