Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan karunia tuhan yang harus di syukuri, dimana seseorang yang sudah
berkeluarga sangat berharap mempunyai anak, jika anak dalam keadaan sehat, orang tuapun
senang, bangga dan bahagia.Suatu perjalanan hidup yang harus dilalui oleh seorang anak
adalah tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik,
sedangkan perkembangan adalah segala perubahan yang terjadi pada anak baik secara fisik,
kognitif, emosi maupun psikososial (Soetjiningsih, 1995)
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada masa ini
pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menetapkan perkembangan anak
selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas,
kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya.pada fase ini juga berada pada fase anal dimana anak mulai
mampu untuk mengontrol buang air besar dan buang air kecil(Soetjiningsih, 1995).
Menurut perkembangan psikoseksual (freud) selama fase kedua, fase anal (1-3 tahun) yaitu
menginjak tahun pertama sampai tahun ke tiga, kehidupan anak berpusat pada kesenangan
anak, yaitu selama perkembangan otot sfingter. Anak senang menahan feses, bahkan
bermain-main dengan fesesnya sesuai dengan keinginannya.Dengan demikian, toilet training
adalah waktu yang tepat dilakukan pada periode ini (Supartini, 2004).
Usiatoddler merupakan usia emas karena perkembangan anak di usia toddler ini yaitu
usia 1-3 tahun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Jika
usiatoddler ini mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya maka akan
berpengaruh besar pada kehidupan anak selanjutnya (Nursalam, Susilaningrum, & Utami
2005).
Menurut Soetjiningsih (1995) tugas perkembangan pada usia 18 sampai 24 bulan meliputi
menunjuk mata dan hidungnya, mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil
dan menaruh minat kepada apa yang diajarkan oleh orang tua.
Toddler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting, khususnya meliputi
deferensiasi diri dari orang lain terutama ibunya, toleransi terhadap perpisahan dengan orang
tua, kemampuan untuk menunda pencapaian kepuasan, pengontrolan fungsi tubuh,
penguasaan perilaku yang dapat diterima sacara sosial, komunikasi memiliki makna verbal,
dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak terlalu egosentris.
Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan mereka siap
meninggalkan ketergantungan menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi (Wong,
2008).
Tugas yang besar pada usia balita adalah toilet training atau pendidikan menjadi
ceria/bersih. Kontrol volunter dari spingter ani dan urethra dicapai pada waktu anak dapat
berjalan dan biasanya terjadi antara usia 18-24 bulan. Namun faktor kesiapan psikologis
sangat berpengaruh pada kesiapan toilet training (Nursalam, Susilaningrum, & Utami 2005).
Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dan
melakukan buang air kecil dan buang air besar.Toilet training ini dapat berlangsung pada
fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan sampai 2 tahun dalam melakukan latihan BAB dan
BAK pada anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis maupun secara
intelektual, melalui persipapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol BAB dan atau
BAK (Hidayat, 2005).
Toilet training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang sudah mulai
memasuki fase kemandirian pada anak. Suksesnya toilet training tergantung pada kesiapan
yang ada pada diri anak dan keluarga seperti fisik, dimana kemampuan anak secara fisik
sudah mampu dan kuat duduk sendiri atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk dilatih
buang air, demikian juga kesiapan psikologi dimana anak membutuhkan suasana yang
nyaman agar mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar
dan buang air kecil. Persiapan intelektual pada anak juga dapat membantu dalam proses
buang air besar atau kecil. Hal ini dapat ditunjukan apabila anak memahami arti buang air
besar atau kecil sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahui
kapan saatnya buang air kecil dan kapan saatnya harus buang air besar, kesiapan tersebut
akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian dalam mengontrol buang air
besar dan buang air kecil (toilet training). Pelaksanaan toilet training dapat dimulai sejak dini
untuk melatih respon terhadap kemampuan untuk buang air kecil dan buang air besar
(Hidayat, 2005).
Choby & George (2008) mengemukakan bahwa di Amerika Serikat usia toilet training
telah meningkat selama empat dekade dari usia rata-rata dimulai antara 21 dan 36 bulan
menjadi 18 bulan. Penguasaan keterampilanyang diperlukan untukperkembangantoilet
trainingterjadisetelah 24bulan.Anak perempuan biasanyamenyelesaikan pelatihanlebih awal
daripadaanak laki-laki. American Academy of Pediatrics menggabungkan komponen dari
pendekatan anak yang berorientasi ke pedoman untuk toilet training.
“Setengah juta anak di Inggris dan antara 5-7 juta anak di Amerika Serikat sering
mengompol yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan orang tua dan keluarga dalam
membantu anak mengontrol kebiasaan buang air kecilnya sehingga akan menyebabkan anak
sering mengompol, celananya sering basah, dan buang air sembarangan” (Gilbert, 2003).
Penelitian Jayanti.D.,& Pratiti. B (2009) menunjukan bahwa adanya hubungan yang lebih
erat antara pola asuh ibu terhadap kemandirian toilet training di desa (PAUD Aisyiyah
cabang Kasihan) dibandingkan dengan pola asuh ibu terhadap kemandirian toilet training di
kota (Playgroup nur Aini) di Yogyakarta.
Penelitian Ustari (2006) menunjukan bahwakategori dengan pola asuh orang tua
autoritatif didapatkan sebanyak 85 % dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet
training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter, pemanja,
ataupun penelantar. Sehingga dari keterangan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa
pola asuh orang tua autoritatif lebih efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak
usia prasekolah(4-6 tahun ) di TK Wahid Hasyim Malang.
Penelitian Syahid (2009) menunjukan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang toilet
training sebagian besar tidak baik sebanyak 63,8%. Penerapan toilet training pada anak usia
toddler (1-3 tahun) sebagaian besar tidak di terapkan sebanyak 56,4%. Ada hubungan tingkat
pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training anak usiatoddler (1-3 tahun). Lebih lanjut
penelitian Syahid (2009) menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat
pengetahuan ibu tentang toilet training dengan penerapan toilet training pada anak
usiatoddler.
Dampak orang tua tidak menerapkan toilet training pada anak diantaranya adalah anak
menjadi keras kepala dan susah untuk diatur. Selain itu anak tidak mandiri dan masih
membawa kebiasaan mengompol hingga besar.Toilet training yang tidak diajarkan sejak dini
akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan pada anak ketika anak bertambah
usianya (Hidayat, 2005).
Berdasarkan survei lapangan yang peneliti lakukan, data di Desa Karangreja Kecamatan
Cimanggu Kabupaten Cilacap, jumlah ibu yang mempunyai balita 1-3 tahun berjumlah 182
ibu. Hasil wawancara menggunakan kuisioner dari 20 ibu yang mempunyai anak toddler usia
1-3 tahun di ketahui bahwa ibu yang menerapkan pola asuh demokratis sebanyak 8 ibu, pola
asuh otoriter 8 ibu, pola asuh permisif sebanyak 4 ibu. Tujuh belasibu menerpakan toilet
training pada anak dengan alasan penting agar anak dapat buang air besar dan buang air kecil
sendiri pada tempatnya dan 3 ibu tidak menerapkan toilet training dengan alasan tidak
penting menerapkan toilet training dan tidak berpengaruh dengan keberhasilan toilet
training. Satu ibu yang menerapkan toilet training dengan pola asuh demokratis dan 2 ibu
dengan pola asuh otoriter mengatakan bahwa anaknya mengompol jika malam hari saja, dua
ibu dengan pola asuh otoriter, dua ibu dengan pola asuh demokratis dan 1 ibu dengan pola
asuh permisif mengatakan bahwa anaknya mengompol antara 1-3 kali pada siang hari dan
selalu mengompol pada malam hari dan 12 ibu mengatakan bahwa anaknya masih
mengompol pada siang maupun malam hari.
Berdasarkan latar belakang di atas dan mengingat pentingnya toilet training pada anak
maka menarik diteliti tentang hubungan antara pola asuh ibu dengan keberhasilan penerapan
toilet training pada anak usiatoddler (1-3 tahun).

Anda mungkin juga menyukai