Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Refleks penekanan spinal oleh karena cedera tulang belakang, atau disebut
juga dengan ayok spinal menjadi suatu hal yang menarik dikalangan para dokter
dan peneliti, meskipun etiologi dan arti pentingnya masih menjadi kontroversi
(Ditunno et al., 2004). Secara klinis, syok spinal menyebabkan penekanan
terhadap fungsi medulla spinalis, menghasilkan kehilangan sementara atau depresi
seluruh aktivitas reflek spinal berdasarkan tingkatan cederanya. Syok spinal
biasanya terjadi dengan segera setelah adanya cedera medulla spinalis.

Hipotensi merupakan komplikasi yang mungkin terjadi tergantung tingkat


lesi akibat kehilangan tonus simpatis. Mekanisme cedera yang menyebabkan syok
spinal biasanya berupa trauma murni dan berlangsung segera (Atkinson and
Atkinson, 1996).

Cedera medulla spinalis didefinisikan sebagai cedera akut pada medulla


spinalis yang menyebabkan berbagai tingkatan paralisis dan atau gangguan
sensorik. Salah satu komplikasi yang dapat timbul pasca cedera medulla spinalis
adalah syok spinal. Syok spinal menyebabkan kehilangan seluruh aktivitas
medulla spinalis di bawah tingkatan cedera, termasuk kehilangan fungsi otonom
dan reflek (Hagen, 2015).
I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi
oleh tulang tengkorak serta tulang belakang. Selain itu, SSP juga dilindungi
oleh cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid, CSF) yang diproduksi oleh
ventrikel otak. SSP juga diliputi oleh tiga lapis jaringan yang disebut dengan
meninges (duramater, araknoidea mater, dan pia mater) (Price and
Wilson,2006).
Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang
memanjang dari medulla oblongata melalui foramen magnum dan terus ke
bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbalis pertama
(L1) orang dewasa. Medula spinalis berjalan di dalam kolumna vertebralis,
namun medula spinalis tidak memiliki panjang yang sama dengan kolumna
vertebralis. Panjang rata-rata medulla spinalis pada orang dewasa sekitar 45
cm (18 inch) dengan lebar 14 mm (0,55 inch), atau medulla spinalis berakhir
pada vertebrae lumbalis 1 dan 2. Medula spinalis mempunyai dua struktur
seperti parit yang disebut dengan sulcus mediana posterior dan fissura
mediana anterior (Price and Wilson, 2006; Martini et al., 2012).
Seperti otak, medulla spinalis pun mempunyai dua segmen, yaitu gray
matter di bagian dalam yang mengontrol sensorik dan motorik anggota gerak,
serta white matter disebelah luar (Martini et al., 2012).
Medula spinalis terbagi menjadi 31 segmen yang menjadi tempat asal
dari 31 pasang saraf spinal. Segmen-segmen tersebut diberi nama sesuai
dengan vertebra tempat keluarnya radiks saraf yang bersangkutan, sehingga
medula spinalis dibagi menjadi bagian servikal, torakal, lumbal, dan sakral.
Ujung medulla spinalis meruncing dan membentuk kerucut yang disebut
dengan conus medularis. Di ujung dari conus medularis terdapat helaian-
helaian tipis yang disebut filum terminale (Price and Wilson, 2006; Martini et
al, 2012).

1
Gambar 2.1 Medula Spinalis

Setiap segmen medulla spinalis memiliki sepasang ganglia dorsalis


yang berisi badan sel sensorik yang membawa informasi sensoris untuk
medulla spinalis, serta sepasang ganglia ventral. Yang mengandung akson
motorik yang mampu menyampaikan aliran menuju perifer untuk pengaturan
somatik dan efektor visceral (Martini et al., 2012).

B. Fisiologi
Medula spinalis memiliki lokasi strategis antara otak dan serat aferen
dan eferen susunan saraf tepi; lokasi ini memungkinkan medula spinalis
memenuhi dua fungsi primernya: (1) berfungsi sebagai penghubung untuk
transmisi informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya dan (2)
mengintegrasikan aktivitas refleks antara masukan aferen dan keluaran eferen
tanpa melibatkan otak. Jenis aktivitas refleks ini disebut refleks spinal. Refleks
adalah setiap respons yang terjadi secara otomatis tanpa upaya sadar. Terdapat
dua jenis refleks: (1) refleks sederhana, atau dasar, yaitu respons inheren,

2
tanpa dipelajari, misalnya menarik tangan dari benda panas yang membakar;
dan (2) refleks didapat atau terkondisi, yang terjadi karena latihan dan belajar,
misalnya seorang pemain piano yang menekan tuts tertentu setelah melihat
sebuah lambang nada di buku lagunya. Musisi tersebut membaca musik dan
memainkannya secara otomatis, namun hanya setelah latihan yang cukup
intens (Sherwood, 2011).
Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medula spinalis
melalui akar dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa sinyal
datang dari reseptor perifer masuk ke medula spinalis melalui akar dorsal.
Badan sel untuk neuron aferen di masing-masing level berkumpul menjadi
satu membentuk ganglion akar dorsal (kumpulan badan sel neuron yang
terletak di luar SSP disebut ganglion, sedangkan kumpulan fungsional badan
sel di dalam SSP disebut sebagai pusat atau nukleus). Badan-badan sel untuk
neuron aferen berasal dari substansia grisea dan mengirim akson keluar
melalui akar ventral. Karena itu, serat-serat eferen yang membawa sinyal ke
otot dan kelenjar keluar melalui akar ventral (Sherwood, 2011).
Akar dorsal dan ventral di masing-masing level menyatu untuk
membentuk nervus spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah
nervus spinalis mengandung baik serat aferen dan eferen yang berjalan antara
regio tertentu tubuh dan medula spinalis. Saraf adalah berkas akson-akson
neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh
jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Saraf tidak mengandung sel saraf
lengkap, hanya bagian akson dari banyak neuron. Dengan definisi ini, tidak
ada saraf di SSP, berkas-berkas akson di SSP disebut traktus. Masing-masing
serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh langsung satu
sama lain. Serat-serat tersebut berjalan bersama-sama untuk memudahkan,
seperti banyak sambungan telepon yang terkandung dalam satu kabel telepon,
namun setiap koneksi telepon dapat bersifat privat tanpa mengganggu atau
mempengaruhi sambungan lain di kabel yang sama (Sherwood, 2011).
Ke-31 pasang saraf spinalis, bersama dengan 12 pasang saraf kranialis
yang berasal dari otak, membentuk susunan saraf tepi. Setelah keluar, nervus
spinalis menghasilkan cabang-cabang secara progresif untuk membentuk

3
anyaman luas saraf perifer yang menyarafi jaringan. Setiap segmen medula
spinalis menghasilkan sepasang nervus spinalis yang akhirnya menyarafi regio
tertentu tubuh dengan serat aferen dan eferennya. Karena itu, lokasi dan luas
defisit sensorik dan motorik yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
dapat penting secara klinis untuk menentukan tingkat dan luas cedera medula
tersebut (Sherwood, 2011).
Agar dapat berinteraksi dengan benar dengan lingkungan eksternal
untuk mempertahankan viabilitas tubuh, misalnya mencari makan, dan untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian internal yang diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis, tubuh harus diberi tahu tentang setiap
perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal dan internal serta mengirim
pesan ke berbagai otot dan kelenjar untuk melaksanakan respon yang
diinginkan. Sistem saraf, salah satu dari dua sistem regulatorik utama tubuh,
berperan sentral dalam komunikasi untuk mempertahankan hidup ini. Susunan
saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan medula spinalis, menerima
informasi mengenai lingkungan eksternal dan internal melalui saraf perifer
aferen. Setelah penyortiran, pengolahan, dan pengintegrasian masukan ini,
SSP mengirim petunjuk, melalui saraf perifer eferen, untuk menimbulkan
kontraksi otot atau sekresi kelenjar yang sesuai (Sherwood, 2011).
Dengan sistem pembentukan sinyalnya yang cepat, sistem saraf sangat
penting dalam mengontrol respons-respons cepat tubuh. Banyak aktivitas otot
dan kelenjar yang dikendalikan oleh saraf ditujukan untuk mempertahankan
homeostasis. SSP adalah tempat integrasi utama antara masukan aferen dan
keluaran eferen. SSP mengaitkan respons yang sesuai terhadap masukan
tertentu sehingga kondisi yang sesuai untuk kehidupan dapat dipertahankan
tubuh. Sebagai contoh, ketika diberi tahu oleh sistem saraf aferen bahwa
tekanan darah turun, SSP akan mengirim perintah yang sesuai ke jantung dan
pembuluh darah untuk meningkatkan tekanan darah menjadi normal.
Demikian juga, ketika diberi tahu bahwa panas tubuh meningkat berlebihan
maka SSP mendorong sekresi keringat oleh kelenjar keringat. Penguapan
keringat membantu mendinginkan tubuh ke suhu normal. Tanpa adanya
kemampuan SSP dalam memproses dan mengintegrasikan berbagai masukan

4
ini maka pemeliharaan homeostasis pada suatu organisme sekompleks
manusia menjadi mustahil (Sherwood, 2011).
Di tingkat paling sederhana, medula spinalis mengintegrasikan banyak
refleks protektif dan evakuatif dasar yang tidak memerlukan kesadaran,
misalnya menarik (bagian) tubuh dari rangsangan nyeri dan mengosongkan
kandung kemih. Selain berfungsi sebagai penghubung kompleks antara
masukan aferen dan keluaran eferen, otak juga berperan memulai semua
gerakan volunter, kesadaran perseptual kompleks tentang lingkungan eksternal
dan diri, bahasa, serta fenomena saraf abstrak misalnya berpikir, belajar,
mengingat, kesadaran, emosi, dan kepribadian. Semua aktivitas saraf—dari
pikiran yang paling pribadi hingga perintah untuk aktivitas motorik, dari
menikmati konser hingga mengingat kenangan masa lalu—akhirnya berkaitan
dengan perambatan aksi di sepanjang sel-sel saraf dan transmisi kimiawi di
antara sel-sel (Sherwood, 2011).

C. Definisi
Spinal syok atau syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan
disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk
sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat
berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu, syok ini dapat terjadi
bersamaan dengan syok neurologik dan syok hemoragik (Price and Wilson,
2009).
Syok spinal pertama kali dikemukakan oleh Whytt pada tahun 1750
sebagai suatu kondisi hilangnya sensasi diikuti oleh paralisis yang secara
bertahap akan hilang dengan sendirinya. Syok spinal sering terjadi mengikuti
suatu cedera medula spinalis.

D. Etiologi
Etiologi mengenai terjadinya syok spinal sampai sat ini masih
kontroversial. Namun spinal cord injury (SCI) atau trauma pada medula
spinalis diketahui merupakan salah satu penyebab terjadinya syok spinal
(Ditunno et al., 2004; University of Michigan Health System, 2007).

5
E. Epidemiologi
Insidensi dan prevalensi cedera medula spinalis telah meningkat,
dengan estimasi tingkat insidensi 15 sampai 40 kasus per satu juta di seluruh
dunia, meskipun inisiatif pencegahan cedera telah coba dilakukan untuk
mengurangi kejadian spinal cord injury (SCI). Karakteristik epidemiologi dari
SCI jelas sekali bervariasi pada tiap negara, pada wilayah dengan perbedaan
tingkat ekonomi atau perbedaan periode ekomoni. Usia rata-rata pasien SCI
pada negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang dalam
periode waktu yang sama; alasannya mungkin berkaitan dengan penuaan usia
pada populasi negara maju dan/atau rasio laki-laki dengan perempuan yang
lebih besar pada negara berkembang yang direlasikan dengan negara maju
(Chiu et al., 2010; Jackson et al., 2004).

F. Gejala Klinis
Syok spinal sering terjadi menyertai cedera medulla spinalis, ditandai
dengan kehilangan aktivitas neurologis seperti kehilangan fungsi motorik,
sensorik, reflek, dan otonom. Pada stadium akut, aktivitas reflex di bawah
cedera medulla spinalis hilang sebagian atau seluruhnya. Paralisis flaksid,
hilangnya reflex tendon dalam, hilangnya control suhu dan tonus vasomotor,
serta paralisis usus dan kandung kemih yang menyebabkan retensi urine dan
ileus paralitikus sering terjadi pada pasien-pasien dengan syok spinal (Price
and Wilson, 2006).
Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
di dalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah. Pasien cedera
dengan syok spinal akan mengalami paralisis otot, penurunan tonus otot,
bahkan kehilangan reflek tendon dibawah tingkat cedera (Corwin, 2009;
Hagen, 2015).
Hingga saat ini, masih sedikit konsensus yang menerangkan mengenai
simtomatologi klinis dari syok spinal. Dalam Ditunno et al. (2004) disebutkan
bahwa syok spinal terjadi dalam 4 fase, seperti dalam tabel berikut.

6
Fase 1 (hari ke 0-1) Fase 2 (hari ke 1- Fase 3 (hari ke 1- Fase 4 (1-12
3) 4) bulan)
Areflexia/hyporeflexia Initial reflex Initial hyper- Final
return reflexia hyperreflexia
Depresi reflex Denervasi Perkembangan Perkembangan
supersensitivitas sinaps dengan sinaps dengan
akson soma

G. Patomekanisme
Syok spinal bukan merupakan masalah kardiovaskular; syok ini dapat
terjadi bersamaan dengan syok neurogenik dan syok hemoragik. Syok
neurogenik disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis desendens ke
pembuluh darah yang mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya hipotensi dan bradikardi. Perdarahan sebagai penyebab hipotensi
harus disingkirkan pada penderita cedera medula spinalis (Price and Wilson,
2006).
Pada keadaan normal, akson turun dari bagian supraspinalis sistem
saraf penghantar impuls berfrekuensi rendah ke neuron untuk
mempertahankan neuron dalam keadaan eksitabilitas atau siap siaga. Bila
cedera menghilangkan “tonus latar belakang”, eksitabilitas istirahat medula
spinalis sangat berkurang. Syok spinal juga terjadi pada transeksi parsial
medula spinalis (Price and Wilson, 2006).
Transeksi medula spinalis menyebabkan perubahan yang luas pada
fungsi viseral. Segera setelah transeksi medula spinalis, terjadi atoni lengkap
pada otot polos dinding kandung kemih. Pada waktu yang sama, tonus
konstriktor otot sfingter meningkat, mungkin akibat hilangnya pengaruh
inhibitorik. Dengan pulihnya refleks somatik, yang dapat terjadi 25 hingga 30
hari setelah bagian medula, tonus kembali ke otot kandung kemih dan terjadi
refleks pengosongan kandung kemih. Proses ini dihasilkan oleh kontraksi
simultan pada dinding otot polos dan pada keadaan tertentu terjadi relaksasi
tonus sfingter. Setelah refleks pengosongan kandung kemih, terdapat banyak
volume residual yang tertinggal. Rangsangan kulit ke abdomen, perineum,

7
atau ekstremitas bagian bawah sangat mempermudah refleks pengosongan
(Price and Wilson, 2006).
Pada saluran cerna, proses digesti dan absorpsi seolah-olah normal,
kesulitan besar adalah mengatasi pengosongan feses dari usus bagian bawah
dan rektum. Secara normal, adanya bahan fekal dalam usus bagian bawah dan
rektum (yang secara pasif meregangkan dinding) menyebabkan terjadinya
kontraksi aktif dan peristaltik; hal ini dikombinasikan dengan relaksasi
sfingter sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini ditekan selama syok spinal.
Otot sfingter ani hanya berelaksasi ringan sebagai respons terhadap dilatasi
pasif; oleh karena itu, terjadi retensi bahan fekal. Dengan pulihnya refleks
eksitabilitas, terjadi refleks pengosongan pada usus, yang dipermudah oleh
rangsangan taktil daerah kulit segmen sakral dan oleh dilatasi manual otot
sfingter ani (Price and Wilson, 2006).
Kerja refleks pembuluh darah perifer dan organ-organ yang dipersarafi
oleh susunan saraf autonom sangat dipengaruhi oleh syok spinal. Transeksi
medula spinalis menyebabkan penurunan segera dan nyata pada tekanan
arterial. Penurunan ini terjadi akibat hilangnya mekanisme vasokonstriktor
bulbaris; bila saraf spinal terputus dari pusat-pusat di medula spinalis, maka
hilang pula koordinasi penting antara keadaan pembuluh darah dan pusat-
pusat tambahan di medula spinalis. Pada individu dengan medula spinalis
utuh, pusat medula spinalis dianggap lebih rendah dari pusat vasokonstriktor
yang lebih tinggi di medula oblongata. Hipotensi berlangsung selama
beberapa saat setelah transeksi. Neuron-neuron spinal yang mempersarafi
efektor perifer yang mengurus pengaturan suhu tubuh terputus untuk
selamanya dari pengaruh desendens pusat termoregulator (Price and Wilson,
2006).

H. Terapi
Pengobatan syok spinal berkisar pada mempertahankan parameter
hemodinamik normal dengan penggantian cairan yang agresif, vasopressor,
dan tindakan untuk mempertahankan denyut jantung lebih atau sama dengan
60 kali/menit. Harus dilakukan pemantauan ketat keluaran urine, tekanan

8
aretria paru atau atrium kanan, hemoglobin, dan hematocrit. Dalam beberapa
minggu, fungsi refleks mulai kembali dengan timbulnya refleks tendon cepat;
selain itu, kandung kemih dan usus memperoleh kembali beberapa fungsi
refleks (Price and Wilson, 2006).

9
II. RANGKUMAN

Spinal syok atau syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan
disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk
sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat berlangsung
dari beberapa jam hingga beberapa minggu, syok ini dapat terjadi bersamaan
dengan syok neurologik dan syok hemoragik. Spinal cord injury (SCI) atau
trauma pada medula spinalis diketahui merupakan salah satu penyebab terjadinya
syok spinal. Insidensi dan prevalensi cedera medula spinalis telah meningkat,
dengan estimasi tingkat insidensi 15 sampai 40 kasus per satu juta di seluruh
dunia. Usia rata-rata pasien SCI pada negara maju lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang dalam periode waktu yang sama.
Syok spinal sering terjadi menyertai cedera medulla spinalis, ditandai
dengan kehilangan aktivitas neurologis seperti kehilangan fungsi motorik,
sensorik, reflek, dan otonom. Disebutkan bahwa syok spinal terjadi dalam 4 fase.
Cedera medula spinalis menghilangkan “tonus latar belakang”, eksitabilitas
istirahat medula spinalis sangat berkurang. Syok spinal juga terjadi pada transeksi
parsial medula spinalis. Kerja refleks pembuluh darah perifer dan organ-organ
yang dipersarafi oleh susunan saraf autonom sangat dipengaruhi oleh syok spinal.
Pengobatan syok spinal berkisar pada mempertahankan parameter
hemodinamik normal dengan penggantian cairan yang agresif, vasopressor, dan
tindakan untuk mempertahankan denyut jantung lebih atau sama dengan 60
kali/menit.

10
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, P.P and J.L.D. Atkinson. 1996. Spinal Shock. Mayo Foundation for
Medical Educarion and Research, 71:384-389.
Chiu, W.T. et al. 2010. Review paper: Epidemiology of Traumatic Spinal Cord
Injury: Comparisons Between Developed and Developing Countries. Asia
Pac J Public Health, 22, pp 9-18.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
Ditunno, J.F., J.W. Little, A. Tessler and A.S Burns. 2004. Spinal Shock
Revisited: a Four-Phase Model. International Spinal Cord Society.
Hagen, E.M. 2015. Acute Complications of Spinal Cord Injuries. WorldJournal of
Orthopedics.
Jackson, A.B., Dijkers, M. Devivo, M.J. & Poczatck, R.B. 2004. A Demographic
Profile of New Traumatic Spinal Cord Injury-Changes and Stability over 30
years. Arch Phys Med Rehabil, 85, pp 1740-48.
Martini, F.H., J.L. Nath, and E.F. Bartholomew. 2012. Fundamentals of Anatomy
and Physiology Ninth Edition. San Fransisco: Pearson Education.
Price, S.A. and L.M Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit vol.2. Jakarta: EGC.
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
University of Michigan Health System, 2007. Spinal Shock. Available at:
http://ngbladder.org/concepts/6.asp [Accessed 7 September 2016].
Vincent, J.L. and Backer D. 2013. Circulatory Shock. The New England Journal
of Medicine.
Yang, R. et al., 2014. Epidemiology of spinal cord injuries and risk factors for
complete injuries in Guangdong, China: a retrospective study. PLOS ONE,
9(1), pp.1-10.

11

Anda mungkin juga menyukai