Anda di halaman 1dari 35

PERUBAHAN PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH AKIBAT

INFEKSI Babesia sp. DI LEMBANG, BANDUNG

MUHAMMAD RIZQI

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Profil


Eritrosit Sapi Perah Akibat Infeksi Babesia Sp. di Lembang, Bandung adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Muhammad Rizqi
NIM B04120046
ABSTRAK
MUHAMMAD RIZQI. Perubahan Profil Eritrosit Sapi Perah Akibat Infeksi
Babesia Sp. di Lembang, Bandung. Dibimbing oleh AGUS WIJAYA dan LENI
MAYLINA.

Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Babesia sp. yang


penyebarannya meluas di dunia. Babesia sp. diklasifikasikan sebagai parasit
intraeritrosit sehingga menyebabkan kerusakan pada eritrosit. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat Perubahan Profil Eritrosit Sapi Perah Akibat Infeksi
Babesia Sp. di Lembang, Bandung. Pengambilan sampel darah dilakukan melalui
vena coccygea pada pangkal ekor sapi. Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi
perah yang dibagi menjadi dua kelompok: 6 ekor sapi sebagai kontrol negatif dan
6 lainnya sebagai sampel positif dengan Babesiosis. Hasil dari kontrol positif
menunjukkan persentase rata-rata parasitemia adalah 0.37%, jumlah rata-rata total
nilai eritrosit (positif 6.12 ± 0.54 x 106/µl sedangkan negatif 6.83 ± 0.24 x 106/µl),
konsentrasi hemoglobin (positif 9.30 ± 0.49 g/dl sedangkan negatif 10.75 ± 0.33
g/dl) dan hematokrit (positif 28.67 ± 1.75% sedangkan negatif 33.33 ± 1.37%).
Adapun nilai indeks adalah MCV eritrosit (positif 46.0 ± 3.6 fl sedangkan negatif
48.83 ± 2.64 fl), MCH (positif 14.50 ± 1.52 pg sedangkan negatif 15.83 ± 0.41 pg),
dan MCHC (positif 32.5 ± 0.55 gr/dl sedangkan negatif 32.33 ± 0.55 gr/dl).
berdasarkan persentase parasitemia menunjukkann bahwa parasitemia pada sapi
perah berada di dalam kategori ringan, jenis anemia dalam penelitian ini
berdasarkan pada nilai MCV dan MCHC pada sapi perah yang terinfeksi Babesia
sp. menunjukkan anemia normositik hipokromik.

Kata kunci: Babesia sp., Profil Eritrosit, Sapi Perah.


ABSTRACT
MUHAMMAD RIZQI. Changes in Dairy Cattle Erythrocytes Profile as a Result of
Babesia sp. Infection in Lembang, Bandung. Supervised by AGUS WIJAYA and
LENI MAYLINA.

Babesiosis is a disease that caused by Babesia sp. which spread across the
world. Babesia sp. classified as an intraerythrocyte parasite causing damage to the
erythrocytes. This study aim is to get a Changes in Dairy Cattle Erythrocytes Profile
as a Result of Babesia sp. Infection in Lembang, Bandung. Sampling was taken
from the coccygea venous at the base of the tail from dairy cattle. This study used
12 dairy cattle that divided into two groups: 6 cattle as a negative control and the
other 6 as a positive samples with Babesiosis. The result of the positive control
shows that the average percentage of parasitemia is 0.37%, the average amount of
the total value of erythrocytes (positive 6.12 ± 0.54 x 106/µl while for negative 6.83
± 0.24 x 106/µl), hemoglobin concentration (positive 9.30 ± 0.49 g/dl while for
negative 10.75 ± 0.33 g/dl) and hematocrit (positive 28.67 ± 1.75 % while for
negative 33.33 ± 1.37 %). As for the value of the index is the erythrocyte MCV
(positive 46.0 ± 3.6 fl while for negative 48.83 ± 2.64 fl) , MCH (positive 14.50 ±
1.52 pg while for negative 15.83 ± 0.41 pg) , and MCHC (positive 32.5 ± 0.55 gr/dl
while for negative 32.33 ± 0.55 gr/dl). Based on the parasitemia percentage from
the dairy cattle can be classification as mild, type of anemia in this study based on
MCV and MCHC values in dairy cattle infected with Babesia sp. showed
hypochromic normositic anemia.

Keywords: Babesia sp., Dairy Cattle, Erythocyte Profile


PERUBAHAN PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH AKIBAT
INFEKSI Babesia sp. DI LEMBANG, BANDUNG

MUHAMMAD RIZQI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang
dipilih adalah Perubahan Profil Eritrosit Sapi Perah Akibat Infeksi Babesia Sp. Di
Lembang, Bandung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Agus Wijaya, MSc PhD dan Drh
Leni Maylina, MSi selaku pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan ilmu yang
diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. terima
kasih. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Drh Aryani
Sismin Satyaningtijas, MSc atas dukungan dan nasehat-nasehatnya dan
Laboratorium patologi klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
yang telah mebantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada
Bapak Agus Suryadi , Ibu Ainun, adek serta seluruh keluarga, atas doa-doa, nasuhat
dan kasih sayangnya serta perhatiannya. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada teman-teman CKMY, Andi Noer Aeni M, Etok, Meyki, James,
A. Eko Bhakti, Bintang, Dliyaul Haq, Alif Rahman serta teman-teman yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu atas segala bantuan, saran, nasehat, pengalaman,
dan motivasi selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritikan dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016

Muhammad Rizqi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PRAKATA ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Karakteristik Sapi Friesian Holstein 2
Fisiologi Eritrosit 3
Babesiosis 4
Anemia 5
METODE 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Alat dan Bahan 6
Prosedur Penelitian 6
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Persentase Eritrosit Berparasit 7
Parameter Hematologi 8
Jumlah Eritrosit 9
Konsentarasi Hemoglobin 10
Nilai Hematokrit 11
Nilai Retikulosit 12
Indeks Eritrosit 13
Mean Corpuscular Volume (MCV) 14
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) 14
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) 15
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, jumlah retikulosit dan


nilai hematokrit sapi perah akibat infeksi Babesia sp. di Lembang,
Bandung 9
Tabel 2 Nilai rataan MCV, MCH, dan MCHC pada sapi perah akibat infeksi
Babesia sp. 13

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Persentase eritrosit berparasit pada sapi perah akibat infeksi
Babesia sp. 8
Gambar 2 Jumlah total eritrosit sapi perah di KPSBU Lembang 10
Gambar 3 Konsentrasi hemoglobin sapi perah di KPSBU Lembang 11
Gambar 4 Kelompok hematokrit sapi perah di KPSBU Lembang 12
Gambar 5 Kelompok retikulosit sapi perah di Lembang, Bandung 13
Gambar 6 Kelompok MCV sapi perah di Lembang, Bandung 14
Gambar 7 Kelompok MCH sapi perah di Lembang, Bandung 15
Gambar 8 Kelompok MCHC sapi perah di Lembang, Bandung 15
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai


peranan penting dalam hal memenuhi kebutuhan protein asal hewan. Salah satu
protein asal hewan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah susu. Produksi susu
dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Populasi
sapi perah di dalam negeri saat ini kurang dari satu juta ekor, yaitu sekitar 525 ribu
ekor. Jumlah kebutuhan susu nasional mencapai 1 306 juta ton pertahun, sementara
produksi dalam negeri hanya mencapai 805 ribu ton pertahun (Ditjennak 2015). Hal
tersebut menjadikan perlunya diperhatikan masalah penyakit yang dapat
menyebabkan kurangnya produksi susu asal hewan.
Beberapa masalah yang perlu diketahui peternak adalah sistem pemeliharaan
dan kesehatan hewan. Salah satu masalah kesehatan hewan yang perlu diperhatikan
adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi ektoparasit. Penyakit akibat
infestasi ektoparasit dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Infestasi
ektoparasit bisa juga sebagai vektor penyakit lain, seperti Babesiosis. Babesiosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh Babesia sp. dan merupakan protozoa yang
hidup intraeritrosit. Penyakit ini menyebabkan anemia hemolitik yang berkembang
selama infeksi Babesia sp. (Cox 2004).
Pemeriksaan terhadap Babesia sp. dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan darah yaitu pemeriksaan hematologi dengan menggunakan preparat
ulas darah (Vaden 2016). Pemeriksaan hematologi sangat penting karena darah
mempunyai fungsi yang sangat vital bagi seluruh makhluk hidup. Selain itu fungsi
lain adalah untuk memantau kejadian penyakit atau terjadinya gangguan pada
hewan, dan mengevaluasi serta membantu menegakkan diagnosa penyakit infeksius
(klinis dan subklinis) (Sreedhar et al. 2013). Pemeriksaan profil eritrosit dilakukan
pada sapi perah di Lembang yang merupakan salah satu daerah penghasil susu di
Indonesia (Rusdiana 2009).
Lembang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah
kabupaten bandung dengan geografis berbukit-bukit, ketinggian tempat 1 200-1
257 m diatas permukaan laut (Prihatin 2008). Iklim di daerah ini berhawa sejuk
dengan temperatur kisaran antara 15,6-16,8 °C pada musim hujan dan 30,5-32,7 °C
pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 17-25 °C). Curah hujan rata-rata 1500-
1600 mm pertahun dan kelembapan udara rata-rata 65%. Menurut Rusdiana (2009),
Lembang merupakan daerah berpotensi untuk dikembangkan menjadi sentra
peternakan sapi perah melalui pengembangan usaha peternakan sapi perah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan profil eritrosit sapi


perah akibat infeksi Babesia sp. di Lembang, Bandung.
2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan


profil eritrosit sapi perah akibat infeksi Babesia sp., serta dapat menjadi dasar dalam
pengendalian dan pencegahan infeksi Babesia sp. di Lembang, Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein (FH) adalah salah satu jenis sapi perah yang umumnya
banyak dipelihara di Indonesia. Sapi ini berasal dari negara Belanda, sedangkan
sapi FH di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau Holstein dan di Eropa
disebut Friesian. Jenis sapi perah lainnya yang banyak dikembangkan seperti
Ayshire, Brown Swiss, Guernsey, dan Jersey (Rustamaji 2004). Rata-rata produksi
susu sapi FH di Amerika Serikat adalah 7 245 kg/laktasi dengan kadar lemak
3,65%, sedangkan rata-rata produksi susu di Indonesia adalah 10 liter/ekor/hari atau
kurang lebih 3 050 kg/laktasi (Atabany et al. 2008). Produksi susu sapi khususnya
di lembang mencapai 17, 25 liter/hari dengan total produksi pertahun sebesar 4 789
liter (Rusdiana 2009).
Ciri khas Sapi FH bisa dikenali dengan beberapa ciri antara lain, warna
tubuhnya, yaitu belang hitam putih dengan pembatas yang jelas dan tidak ada warna
bayangan serta umumnya mempunyai tubuh yang besar (Rustamaji 2004). Selain
hitam putih ada juga sapi FH yang berwarna merah bercak putih yang disebut
Brown Holstein. Sapi Friesian-Holstein merupakan sapi perah yang produksi
susunya tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan kadar
lemak susu yang rendah (Sudono et al. 2003).
Sapi FH termasuk bangsa sapi yang mempunyai daya tahan terhadap panas
paling rendah, sehingga iklim di daerah pemeliharaan perlu dipertimbangkan.
Cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme, sehingga dapat
menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak (Sudono et al.
2003). Produksi maksimal dapat dicapai apabila sapi berada pada lingkungan yang
mendukung dan penerapan manajemen yang baik serta pemberian pakan yang
sesuai dengan kebutuhan ternak akan meningkatkan produksi susu.
Tingat kepekaan sapi perah FH terhadap penyakit lebih baik dari sapi perah
lainnya, hal ini disebakan karena sapi perah FH lebih mudah beradaptasi dengan
lingkungan dibanding dengan sapi perah lainnya seperti sapi perah jenis jersey. Sapi
jersey mudah sekali mengalami stress akibat kurang mampu beradaptasi dengan
perubahan lingkungan. Keadaan stress salah satu pemicu terjadinya atau masuk
suatu penyakit (Rahmat et al. 2009). Kesehatan sapi perah sangat dipengaruhi oleh
kebersihan kandang. Bila kandangnya selalu dijaga kebersihannya maka sapi
tersebut tidak mudah terkena penyakit. Penyakit yang sering ada pada peternakan
sapi perah berupa, mastitis, brucellosis, dan laminitis. Menurut Rahmat et al. (2009)
berdasarkan tingkat prevalensi kejadian mastitis sapi FH menjadi sapi perah yang
3

sangat peka terhadap penyakit mastitis. Setelah itu diikuti oleh sapi perah jenis
lainnya seperti Sahiwal, Jersey dan sapi zebu (Rahmat et al. 2009).

Fisiologi Eritrosit

Eritrosit merupakan nama lain dari sel darah merah dan merupakan salah satu
komponen dari butir darah (Schalm et al. 2010). Menurut Schalm et al. (2010)
diameter eritrosit berkisar antara 4-9 𝜇 m. Eritrosit memiliki hemoglobin yang
menyumbangkan sepertiga dari berat sel eritrosit dan memberi warna merah serta
membawa gas pada eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki inti sel dan semua
komplemen organel yang ditemukan pada kebanyakan sel lainnya. Oleh karena itu,
eritrosit membutuhkan glukosa sebagai sumber nutrisi untuk mengatur pompa ion
di dalam membran plasma, sitoskeleton dan hemoglobin fungsional.
Menurut Sonjaya (2012) pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang
merah. Pada fetus, eritrosit dibentuk juga di dalam hati dan limfa. Eritropoiesis
merupakan suatu proses yang kontinu dan sebanding dengan tingkat perusakan
eritrosit. Eritropoiesis diatur oleh mekanisme umpan balik dimana prosesnya
dihambat oleh peningkatan level eritrosit yang bersirkulasi dan dirangsang oleh
anemia (Schalm et al. 2010). Jumlah darah dalam tubuh dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor endogen yang meliputi pertambahan umur, status kesehatan, gizi, stres,
suhu tubuh, dan siklus estrus serta faktor eksogen yang meliputi hadirnya agen
penyebab infeksi dan perubahan lingkungan. Pembentukan eritrosit sangat
dipengaruhi oleh eritropoietin yang diproduksi dalam ginjal. Eritropoietin akan
merangsang produksi eritrosit sebagai respon hipoksia pada jaringan tubuh.
Eritrosit berasal dari proeritroblas kemudian terbentuk basofil eritroblas,
dilanjutkan polikromatofil eritroblas, ortokromatik eritroblas, dan kemudian
berkembang menjadi retikulosit sampai terbentuk eritrosit (Schalm et al. 2010).
Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa dan
menukar oksigen dan karbondioksida dalam eritrosit (Schalm et al. 2010). Menurut
Sonjaya (2012) hemoglobin terbentuk dari gabungan dua komponen yaitu heme dan
globin. Heme merupakan pigmen yang diproduksi oleh mitokondria, sedangkan
globin merupakan protein yang diproduksi oleh ribosom. Hematokrit atau PCV
(Packed Cell Volume) adalah suatu ukuran yang mewakili volume eritrosit di dalam
100 ml darah yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Dalam pengukuran nilai
hematokrit, darah dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu eritrosit di bagian dasar,
leukosit dan trombosit berupa lapisan berwarna putih (buffy coat) serta plasma
darah di lapisan teratas.
Beberapa komponen eritrosit dapat digunakan sebagai indikator yang baik
untuk status kecukupan nutrien. Seperti Fe berperan untuk pembentukan Hb di
sumsum tulang. Kadar Hb di bawah normal menunjukkan ternak mengalami
anemia karena kekurangan Fe. Menurut Thrall et al. (2012) sapi perah normal
mempunyai eritrosit 5.00-10.00 x 106/µl, PCV 24-46 %, dan Hb 8.00-15.00 g/dl.
Nilai indeks eritrosit sapi perah adalah MCV 44.0-54.00 fl, MCH 14.0-20.0 pg dan
MCHC 33.0-38.0 gr/dl.
4

Babesiosis

Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp. yang
penyebarannya meluas di dunia (Lubis 2006). Parasit ini ditularkan melalui vektor
yaitu caplak, berbagai jenis caplak dapat menjadi vektor pada Babesiosis. Salah
satu jenis caplak yang menjadi vektor primer penyebaran parasit Babesia sp. yaitu
jenis caplak Boophilus microplus. Sapi yang terkena babesiosis dapat menyebabkan
abortus pada sapi betina bunting. Banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan
sapi terhadap Babesiosis, secara umum disebutkan bahwa sapi muda kurang rentan
dibandingkan sapi dewasa terhadap infeksi Babesia sp. (Benavides dan Sacco
2007). Umur adalah faktor penting yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakit
Babesiosis, anak sapi yang berumur kurang dari dua bulan dan lahir dari induk yang
tidak terinfeksi maka anak sapi tersebut akan tahan terhadap infeksi Babesiosis,
baik oleh Babesia bigemina maupun oleh Babesia bovis. Sapi muda yang memiliki
antibodi pasif dari induknya seperti kolostrum akan lebih tahan terhadap infeksi
babesiosis (Benavides dan Sacco 2007).
Babesia sp. merupakan parasit di dalam eritrosit (intraeritrosit). Parasit
Babesia sp. berbiak secara aseksual, dengan tumbuh di dalam eritrosit, biasanya
menjadi 2-4 tunas. Bila eritrosit yang terinfeksi pecah, parasit menginfeksi eritrosit
lain dan memulai siklus baru. Faktor yang penting dalam babesiosis adalah invasi
dan kerusakan eritrosit oleh parasit. Kerusakan eritrosit tersebut akan menyebabkan
gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria dan jaundice. Babesiosis pada
hewan berlangsung menahun setelah terjadi gejala akut karena parasit mampu
mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya
terhadap antibodi (Lubis 2006).
Secara umum ada 3 tahap reproduksi pada Babesia sp. yaitu (i) Gamogoni
(formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak) (ii) Sporogoni (reproduksi aseksual
dalam kelenjar ludah) (iii) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata)
(Homer et al. 2000). Caplak yang mengandung Babesia sp. akan menggigit
mamalia, sporozoit akan masuk melalui kelenjar ludah caplak dengan cepat
penetrasi ke dalam eritrosit mamalia. Parasit akan tumbuh di dalam eritrosit
berubah menjadi bentuk tropozoit. Tropozoit berdiferensiasi dan bertunas dua atau
empat membentuk merozoit. Merozoit yang sudah tumbuh penuh dengan ukuran
panjang 1-5 µm parasit tersebut akan merusak eritrosit pindah ke eritrosit yang baru
(Uilenberg 2006). Siklus ini terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak
terkontrol lagi dan mamalianya mati. Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit
induk semang (sapi) akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan
berhenti tumbuh. Waktu yang diperlukan Babesia sp. dari mulai menginfeksi
sampai terlihat diperedaran darah adalah 7-10 hari (Schuster 2002).
Gejala klinis yang ditimbulkan dari infeksi babesiosis anatara lain anoreksia,
depresi, peningkatan pernafasan terutama setelah beraktifitas, tremor otot, suhu
tubuh meningkat bersamaan dengan parasitemia hingga mencapai 41–42oC dalam
2–3 hari, haemoglobinemia dan haemoglobinuria akan terjadi diikuti jaundice dan
anemia (Sevinc et al. 2001). Babesia sp. adalah parasit yang mudah menyesuaikan
diri dan beradaptasi pada inang vertebrata. Hampir di setiap kasus yang diuji,
hewan-hewan akan membentuk respons imun setelah terjadinya infeksi atau pada
tahap penyembuhan dan imunisasi. Respon imun tersebut tidak dapat mencegah
5

infeksi berulang, tetapi dapat menurunkan derajat parasitemia, morbiditas, dan


mortalitas ketika terjadi paparan berulang oleh parasit (Homer et al. 2000).

Anemia

Anemia adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh penurunan jumlah


eritrosit sehingga terjadi penurunan kapasitas oksigen yang dibawa oleh darah
(Găvan et al. 2010). Anemia dapat dipengaruhi oleh umur, spesies, ras, gen, nutrisi,
dan lokasi geografis (Cockcroft 2015). Anemia bukan merupakan suatu penyakit
melainkan suatu gejala klinis dari penyakit yang muncul sebagai suatu respon
sekunder. Gejala klinis anemia akan terlihat karena organ-organ dalam tubuh tidak
mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Adapun penyebab anemia adalah
sedikitnya oksigen yang bersirkulasi, penyusutan eritrosit, penurunan produksi
eritrosit, perdarahan, infeksi parasit, dan jumlah hemoglobin yang sedikit pada
jumlah eritrosit yang normal (Cockcroft 2015). Penyebab lain anemia adalah
difisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12, pemecahan sel-sel darah, defisiensi
steam cell sumsum tulang, dan kondisi imunosupresif. Anemia yang di sebabkan
oleh difisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12, pemecahan sel-sel darah akan
menngangu sintesis DNA hingga terjadi gangguan maturasi inti sel (Tong 2001).
Anemia yang secara umum digolongkan menjadi tiga pada sapi menurut
Cockcroft (2015), tipe pertama yaitu anemia karena perdarahan, disebabkan oleh
adanya eritrosit yang hilang, yang sering terjadi secara perlahan dengan jangka
waktu yang lama dan dapat terjadi tanpa terdeteksi. Perdarahan biasanya terjadi
karena ulcus, hemorhoids, gastritis, dan kanker pada gastrointestinal, penggunaan
NSAID yang dapat menyebabkan ulcus dan gastritis, serta menstruasi dan
kehamilan pada wanita. Tipe kedua ialah anemia karena gangguan produksi sel
darah. Anemia karena gangguan pada produksi sel darah dapat disebabkan oleh
herediter (anemia sel bulan sabit) dan kurangnya gizi penting seperti zat besi, asam
folat, vitamin B12, protein kobalt, asam pantotenat, dan tiamin serta adanya
gangguan sumsum tulang (Tong 2001). Anemia sel bulan sabit adalah kelainan
herediter yang menyebabkan bentuk eritrosit berubah menjadi seperti bulan sabit
sehingga sel mudah rusak karena itu oksigen tidak dapat diantarkan ke organ dan
mengakibatkan anemia. Anemia karena defisiensi zat besi terjadi karena kurangnya
zat besi dalam tubuh sehingga pembentukan hemoglobin di sumsum tulang
terganggu dan oksigen tidak bisa berikatan dengan eritrosit. Anemia karena
defisiensi vitamin, terjadi saat kekurangan vitamin B12 dan vitamin B9 yang
mengakibatkan pembentukan eritrosit terganggu. Anemia karena gangguan
sumsung tulang dapat menyebabkan produksi eritrosit secara langsung terganggu
(Salasia dan Hariono 2010).
Tipe anemia ketiga ialah anemia karena adanya eritrosit yang lisis. Hemolisis
anemia dapat terjadi dari lahir ataupun dapatan. Anemia ini dapat disebabkan oleh
Stressors seperti infeksi, obat atau racun. Anemia ini menyebabkan rusaknya
eritrosit dalam pembuluh darah (Schalm et al. 2010).
6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai Agustus 2015.
Sampel darah sapi perah didapatkan dari wilayah KPSBU Lembang, Bandung,
Jawa Barat. Analisis sampel darah sapi perah dilakukan di Laboratorium komersial
di Bandung, kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik, Divisi Ilmu
Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas objek, mikroskop,
disposable syringe, vacutainer dengan antikoagulan Tri Potasium Ethylene
Diamine Tetra Acetie Acid (K3 EDTA), Hematology Analyzer, dan cooling box.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarna Giemsa 10%,
kapas, metanol, dan sampel darah sapi perah sebanyak 12 ekor (12 ekor sapi perah
tersebut dibagi menjadi 6 ekor sapi perah merupakan kontrol negatif dan 6 ekor
lainnya merupakan sapi perah yang positif terinfeksi Babesia sp., dengan tidak
memperhatikan umur, jenis kelamin, dan masa laktasi).

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel
Darah diambil melalui vena coccygea menggunakan disposable syringe.
Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang berisi k3 EDTA dan
dihomogenkan. Preparat ulas darah dibuat menggunakan darah utuh tepat setelah
pengambilan darah dan difiksasi dengan metanol. Tabung yang berisi sampel darah
disimpan dalam cooling box dan dibawa ke laboratorium patologi Klinik FKH IPB
untuk dilakukan pewarnaan pada preparat ulas darah dan perhitungan persentase
eritrosit yang terinfeksi Babesia sp. Sebagian sampel darah dibawa ke laboratorium
komersial, di Bandung, yang disimpan dalam cooling box untuk dilakukan
perhitungan perhitungan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin,
dan indeks eritrosit.

Pengamatan Eritrosit Berparasit


Penghitungan persentase eritrosit berparasit dilakukan setelah preparat ulas
darah diwarnai dengan Giemsa 10 % selama 45 menit. Setelah pewarnaan, preparat
ulas dicuci pada air mengalir dan dikeringkan diudara. Preparat yang sudah kering
kemudian diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1 000 kali.
Pengamatan presentase Babesia sp. dilakukan dengan cara menghitung banyaknya
eritrosit yang terinfeksi Babesia sp. dalam 1 000 eritrosit (Schalm et al. 2010).
7

Perhitungan Parameter Eritrosit


Pemeriksaan dan perhitungan hematologi khususnya profil eritrosit dilakukan
menggunakan alat Hematology Analyzer yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit. Hematology Analyzer adalah alat
untuk mengukur sampel berupa darah. Prinsip dari alat ini adalah mengukur sel
darah secara otomatis berdasarkan impedansi aliran listrik atau berkas cahaya
terhadap sel-sel yang terlewatkan. Kemudian data diolah dimikroprosesor yang
kemudian akan ditampilkan dalam display (Mindray 2006).

Perhitungan Indeks Ertitrosit


Perhitungan indeks eritrosit meliputi Mean Corpuscular Volume (MCV),
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (MCHC). Perhitungan nilai MCV, MCH, dan MCHC dengan
menggunakan rumus menurut Schalm et al. (2010) sebagai berikut :

Nilai Hematorit x 10
MCV (fl) =
jumlah eritrosit

Hb x 10
MCH (pg) =
jumlah eritrosit

Hb x 100
MCHC (gr/dl) =
Nilai Hematorit

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah menggunakan software Microsoft Excel 2013


yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, retikulosit
dan indeks eritrosit. Hasil pengolahan data disajikan secara deskriptif berupa
gambar dan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Eritrosit Berparasit

Hasil pengamatan pada preparat ulas darah ditemukan protozoa Babesia sp..
Babesia sp. merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit dan parasit ini memiliki
bentuk yang menyerupai buah pear (Taylor et al. 2015). Menurut Ndungu et aI.
(2005), tingkat parasitemia dikategorikan berdasarkan persentase eritrosit
berparasit yang didapatkan. Tingkatan pertama adalah tingkat ringan (mild
reaction) yaitu tingkat parasitemia dibawah 1%, tingkatan kedua adalah tingkat
sedang (severe reaction) bila didapatkan tingkat parasitemia berkisar antara 1-5%,
sedangkan tingkatan yang ketiga adalah tingkat berat (very severe reaction) yaitu
bila didapatkan tingkat parasitemia diatas 5%. Persentase eritrosit berparasit akibat
infeksi Babesia sp. pada sapi perah di Lembang, Bandung dapat dilihat pada
Gambar 1.
8

0,6
Persentase Eritrosit Berparasit (%)
Nilai rataan (0.37)
0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0
0 1 2 3 4 5 6 7
Sampel sapi perah

Gambar 1 Persentase eritrosit berparasit pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp.

Hasil persentase eritrosit berparasit pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp.
berkisar antara 0.2-0.5% dengan rataan sebesar 0.37% (Gambar 1). Persentase
eritrosit akibat infeksi Babesia sp. paling tinggi ditemukan pada sapi perah sampel
6 sebesar 0.5% dan terendah pada sampel 2 sebesar 0.2%. Semua sampel sapi perah
dalam penelitian ini menunjukkan persentase eritrosit berparasit Babesia sp. di
bawah 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat parasitemia pada sampel sapi
perah dalam penelitian ini termasuk katogori ringan. Adapun kegunaan melihat
tingkat parasitemia untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit (Ndungu et al.
2005).
Derajat infeksi dapat menunjukkan gejala klinis yang muncul. Derajat infeksi
Babesia sp. yang sedang sampai berat memiliki gejala klinis yang lebih tampak
dari pada derajat infeksi ringan (Ndungu et al. 2005). Adapun faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi derajat parasitemia adalah faktor patogenitas spesies agen
penyebab, splenektomi dan terdapatnya kombinasi infeksi dengan agen patogen
yang lain (Bock et al. 2005). Infeksi tunggal oleh Babesia sp. memiliki derajat
infeksi ringan. Namun demikian, jika terdapat kombinasi dengan infeksi parasit
darah lainnya akan menambah keparahan infeksi, karena tubuh mengalami infeksi
ganda (Weiss dan Wrdrop 2010).

Parameter Hematologi

Gambaran rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit,


dan jumlah retikulosit pada sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung dapat dilihat
pada Tabel 1.
9

Tabel 1 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, jumlah retikulosit, dan


nilai hematokrit sapi perah akibat infeksi Babesia sp. di Lembang,
Bandung.
*Nilai Kontrol ± SD Sampel ± SD
Parameter Satuan
Literatur (Σ = 6 ekor ) (Σ = 6 ekor )
Eritrosit n x 106/µl 5.0-10.0 6.83±0.24 6.12±0.54
6.59 - 7.08 5.57 - 6.66
Hemoglobin g/dl 8.0-15.0 10.75±0.33 9.3±0.49
10.42 - 11.08 8.81 - 9.79
Hematokrit % 24.0-46.0 33.33±1.37 28.67±1.75
31.97 - 34.7 26.92 - 30.42
Retikulosit n x 103/µl 0** 3.167±0.75 4.33±1.86
2.41-3.91 2.47 - 6.19
*Sumber : Thrall et al. (2012)
**Sumber: Cockcroft (2015)

Tabel 1 menunjukkan nilai parameter hematologi dari sapi perah sampel


dibawah dari nilai parameter hemologi pada sapi perah kontrol negatif, namun
kisaran nilai dari sapi perah sampel masih dalam kisaran normal, menurut Thrall et
al. (2012) kisaran nilai parameter hematologi pada sapi perah normal dapat dilihat
pada tabel 1. Nilai parameter hematologi pada sapi perah sampel berada dibawah
nilai pada sapi perah kontrol, hal ini disebabkan akibat infeksi Babesia sp. Infeksi
Babesia sp. dapat bersifat kronis sampai akut dengan mengetahui dejarat infeksinya
(Ndungu et al. 2005). Adapun gejala yang ditimbulkan dari sapi yang terinfeksi
Babesia sp. adalah hilangnya nafsu makan yang menyebabkan terjadinya
penurunan berat badan dan penurunan produksi susu, sampai dengan terjadinya
anoreksia dan anemia (Skotarzak 2008).

Jumlah Eritrosit
Jumlah eritrosit merupakan salah satu komponen dari parameter hematologi,
apabila jumlah eritrosit dibawah kisaran normal (5.0-10.0 x 106/µl) dapat
menyebabkan terjadinya anemia (Thrall et al. 2012). Hasil perhitungan rataan
jumlah eritrosit menunjukkan, nilai sapi perah sampel positif di bawah nilai sapi
perah kontrol negatif (Tabel 1). Jumlah eritrosit masing-masing sapi perah di
Lembang, Bandung di lihat pada Gambar 2.
Rataan jumlah eritrosit sapi perah akibat infeksi Babesia sp. adalah 6.12 ±
0.54 x 106/µl (Tabel 1). Jumlah ini berada di bawah jumlah rata-rata pada sapi perah
kontrol negatif yaitu 6.83 ± 0.24 x 106/µl (Tabel 1). Menurut Thrall et al. (2012),
kisaran jumlah eritrosit pada sapi perah menurut literatur adalah 5.0 – 10.0 x 106
/µl. Berdasarkan nilai literatur tersebut, mengindikasikan bahwa semua sampel
memiliki jumlah eritrosit yang normal, namun berada dalam kategori normal
rendah. Jumlah eritrosit terendah terdapat pada sampel positif ke-1 sebesar 5.4 x
106/µl (Gambar 2). Penyebab rendahnya jumlah eritrosit pada sapi sampel
diakibatkan oleh adanya infeksi dari Babesia sp. Sapi mengalami anemia
diindikasikan dengan nilai eritrosit yang lebih rendah dibandingkan nilai kelompok
sapi perah kontrol negatif. Penyebab terjadinya anemia karena terjadinya hemolisis
10

pada eritrosit (Cockcroft 2015). Selain itu, anemia dapat disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya adalah kerusakan eritrosit, pendarahan, infeksi parasit di dalam
eritrosit, dan konsentrasi hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang
normal (Thrall et al. 2012).

10,1
Jumlah Eritrosit (n x106 /μl)

9,6
9,1
8,6
8,1
7,6
7,1
6,6
6,1
5,6
5,1
4,6
4,1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 2 Jumlah total eritrosit sapi perah di KPSBU Lembang Lembang, Bandung

Infeksi Babesia sp. pada sapi berupa merozit yang hidup dan berkembang
dalam eritrosit hal ini karena Babesia sp. bersifat parasit obligat intraselluler
(Sugiarto 2005). Keberadaan merozoit dalam eritrosit menyebabkan terjadinya
ketidakteraturan pada permukaan eritrosit yang menyebabkan kandungan
hemoglobin dalam mengikat oksigen menjadi terganggu dan menyebabkan
terjadinya kerusakan eritrosit, hal ini menjadi salah satu faktor terjadinya anemia
(Price dan Willson 2006). Daya hidup eritrosit normal pada sapi normal adalah 100-
110 hari, namun dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur
eritrosit menjadi 10-20 hari (Sibuea et al. 2009), sehingga banyak eritrosit akibat
infeksi parasit didestruksi lebih cepat dari umur normalnya (Weiss dan Wardrop
2010).

Konsentarasi Hemoglobin
Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam eritrosit. Konsentrasi
hemoglobin dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan cuaca (Soeharsono et
al. 2010). Konsentrasi hemoglobin merupakan salah satu indikator dari parameter
hematologi yang memengaruhi derajat anemia pada sapi perah selain jumlah
eritrosit. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen, karbondioksida, dan
memberikan warna merah pada eritrosit (Price dan Wilson 2006). Rataan
konsentrasi hemoglobin pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp. dapat di lihat
pada Tabel 1 (Gambar 3).
Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai rata-rata dari hemoglobin sapi perah
sampel 9.30 ± 0.49 g/dl berada dibawah nilai rata-rata sapi perah kontrol negatif
yaitu 10.75±0.33 g/dl. Menurut Thrall et al. (2012), rataan konsentrasi hemoglobin
untuk sapi perah adalah 8.0-15.0 g/dl. Gambar 3 menunjukkan bahwa konsentrasi
hemoglobin pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp. cenderung berada di bawah
nilai dari sapi perah kontrol negatif. Konsentrasi hemoglobin terendah pada sapi
11

sampel positif ke-6 sebesar 8.8 g/dl, dan yang tertinggi pada sapi kontrol negatif
ke-6 sebesar 11.2 g/dl (Gambar 3). Rendahnya konsentarasi hemoglobin
dikarenakan adanya infeksi dari Babesia sp. yang menyebabkan kerusakan pada
eritrosit sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin,
sebagaimana fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dan memberikan
warna merah pada eritrosit. Hal ini menjadi salah satu faktor terjadinya anemia
(Rachied et al. 2014).

15,6
Konsentrasi Hemoglobin (g/dl)

14,6
13,6
12,6
11,6
10,6
9,6
8,6
7,6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 3 Konsentrasi hemoglobin sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Nilai Hematokrit
Hematokrit merupakan volume sel darah terhadap volume darah secara
keseluruhan. Nilai hematokrit normal pada sapi perah sebanding dengan jumlah
eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jika jumlah eritrosit dan konsentrasi
hemoglobin berubah, maka persentase nilai hematokrit juga ikut berubah. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh adanya infeksi dari parasit darah seperti Babesia sp.
(Soeharsono et al. 2010). Tabel 1 menunjukkan bahwa pada sapi perah sampel yang
terinfeksi Babesia sp. mempunyai rataan nilai hematokrit antara 26.92-30.42%
(Tabel 1). Nilai ini dibawah nilai sapi perah kontrol negatif sebesar 31.97 - 34.7%
(Tabel 1). Nilai hematokrit pada sapi perah menurut literatur berada pada kisaran
24.0-46.0% (Thrall et al. 2012).Jumlah eritrosit yang rendah dan ukuran eritrosit
yang kecil menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah (Gerardo et al. 2009).
Gambar 4 menyajikan hasil dari nilai hematokrit sapi perah di KPSBU, Lembang
Bandung.
Sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. menunjukkan nilai hematokrit yang
lebih rendah dari sapi perah kontrol (Gambar 4). Sapi perah sampel ke-6 dan ke-1
adalah sampel sapi perah yang memiliki nilai hematokrit paling rendah dari 12 sapi
perah lainnya (Gambar 4), namun masih dalam kategori normal rendah jika
dibandingkan dengan literatur (Tabel 1) (Thrall et al. 2012). Indikasi dari nilai
hematokrit yang rendah menandakan terjadi anemia (Sirois 2014). Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh jumlah eritrosit, jenis kelamin, ras, umur, dan keadaan patologis
(Triakoso dan Putri 2012).
12

47
45
43
Nilai Hematokrit (%)

41
39
37
35
33
31
29
27
25
23
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 4 Kelompok hematokrit sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Salah satu indikasi terjadinya anemia adalah penurunan nilai parameter


hematologi meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit.
Anemia merupakan kondisi yang disebabkan oleh penurunan jumlah eritrosit
mengakibatkan terjadi penurunan kapasitas oksigen yang dibawa oleh darah (Găvan
et al. 2010). Anemia dapat dipengaruhi oleh umur, spesies, ras, gen, nutrisi, dan
lokasi geografis (Cockcroft 2015). Anemia bukan merupakan suatu penyakit
melainkan suatu gejala klinis dari penyakit yang muncul sebagai suatu respon
sekunder.

Nilai Retikulosit
Retikulosit adalah eritrosit muda yang terdapat pada sumsum tulang dan
sebagian kecil masuk ke dalam pembuluh darah perifer tergantung dari jenis
hewannya (Gerardo et al. 2009). Rataan jumlah retikulosit pada sapi perah kontrol
negatif di Lembang, Bandung adalah 3.167±0.75 n x 103/µl, sedangkan untuk sapi
perah sampel positif terinfeksi Babesia sp. adalah 4.33±1.86 n x 103/µl (Tabel 1).
Hasil pengamatan sapi perah di wilayah Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara
(KPSBU), Lembang, menunjukkan adanya retikulosit yang beredar dalam darah.
Sapi sampel ke-4 menunjukkan jumlah retikulosit yang paling tinggi (Gambar 5).
Menurut Cockcroft (2015), pada sapi perah normal tidak terlihat retikulosit dalam
peredaran darah. Jumlah retikulosit yang tinggi dalam sirkulasi darah mengindikasi
adanya proses hemolisis (Sibuea et al. 2009). Hemolisis ialah kerusakan eritrosit
yang menyebabkan adanya respon dari sumsum tulang. Sumsum tulang berespon
dengan cara melepas eritrosit muda kesirkulasi darah, sehingga menaikkan
kapasitas di tropoietikumnya (Weiss dan Wrdrop 2010). Menurut Taylor et al.
(2015), adanya infestasi parasit darah seperti Babesia sp. menyebabkan terjadinya
hemolisis yang kemudian menyebabkan terjadinya anemia.
Infeksi Babesia sp. terjadi selama tiga sampai empat hari menyebabkan
terjadinya infeksi akut. Infeksi akut Babesia sp. mengakibatkan peningkatan
limfosit sebagai bentuk respon imun tubuh. Respon imun tubuh yang baik
mengakibatkan Babesia sp. tidak aktif, sehingga eritrosit sapi perah lisis berkurang
dan sapi perah mampu bertahan hidup (Taylor 2015). Kondisi ini menyebabkan
13

penurunan jumlah eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah. Penurunan jumlah
eritrosit yang beredar dalam pembuluh darah mengakibatkan kondisi anemia,
dimana sumsum tulang akan memproduksi eritrosit muda (retikulosit). Retikulosit
mulai muncul dalam peredaran darah pada hari ke-4 setelah infeksi. Munculnya
retikulosit dalam pembuluh darah mengakibatkan perubahan anemia menjadi
makrositik hipokromik. Hal ini disebabkan karena ukuran retikulosit lebih besar
dari eritrosit normal dengan konsentrasi hemoglobin yang ada didalamnya belum
optimal (Murray 2009).
8
Nilai Retikulosit (x 103 /µl)

7
6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 5 Kelompok retikulosit sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit dapat digunakan untuk mengetahui jenis anemia yang terjadi
pada hewan berdasarkan morfologi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Indeks
eritrosit terdiri atas MCV, MCH, dan MCHC. Parameter yang dianalisis
menggunakan parameter eritrosit (Jumlah eritrosit, Konsentrasi hemoglobin dan
Hematokrit). Hasil penelitian menunjukkan nilai indeks eritrosit pada sapi perah
akibat infeksi Babesia sp. berada di bawah nilai indeks eritrosit sapi perah normal
dan sapi perah kontrol. Nilai rataan indeks eritrosit pada sapi perah di Lembang,
Bandung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai rataan MCV, MCH, dan MCHC pada sapi perah akibat infeksi
Babesia sp.
*Nilai Kontrol ± SD Sampel ± SD
Parameter Satuan
Literatur (Σ = 6 ekor ) (Σ = 6 ekor )
MCV fl 44.0 – 54.0 48.83 ± 2.64 46.00 ±3.63
46.19-51.47 42.37-49.63
MCH pg 14.0 – 20.0 15.83 ± 0.41 14.50 ± 1.52
15.43-16.24 12.98-16.02
MCHC gr/dl 33.0 -38.0 32.33 ± 0.55 32.50 ± 0.55
31.79-32.88 31.95-33.05
*Sumber : Thrall et al. 2012
14

Mean Corpuscular Volume (MCV)


MCV adalah nilai volume rata-rata sel eritrosit dalam satuan fentoliter (fl)
(Rachied et al. 2014). Tingginya nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran
lebih besar dari normal (makrositik), sebaliknya Rendahnya nilai MCV
mengindikasikan eritrosit berukuran lebih kecil dari normal (mikrositik). Nilai
MCV yang tinggi dapat ditemukan pada aktifitas sumsum tulang yang meningkat,
hal ini dapat terjadi pada keadaan perdarahan akut (Dearasi 2015). Nilai MCV pada
sapi perah akibat infeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 6.

53,5
52
50,5
49
MCV (fl)

47,5
46
44,5
43
41,5
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 6 Nilai MCV sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Gambar 6 menunjukkan nilai MCV pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp.
berada di bawah nilai sapi perah kontrol negatif. Nilai rata-rata MCV sapi perah
akibat infeksi Babesia sp. sebesar 46.00 ± 3.63 fl (Tabel 2). Nilai tersebut berada di
bawah nilai rataan sapi perah kontrol negatif (48.83 ± 2.64 fl) (Tabel 2), namun
kisaran tersebut masih dalam kategori normal (normokromik) jika dibandingkan
dengan nilai literatur yaitu sebesar 44.0-54.0 fl (Thrall et al. 2012). Sampel positif
ke-3 menunjukkan nilai MCV yang rendah (Gambar 6). Rendahnya nilai MCV
pada sapi perah sampel tersebut disebabkan oleh infeksi Babesia sp. (Taylor et al.
2015).

Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)


Nilai MCH menggambarkan banyaknya hemoglobin per eritrosit yang diukur
dalam pikogram (Găvan et al. 2010). Nilai MCH pada sapi perah yang terinfeksi
Babesia sp. sebesar 14.50 ± 1.52 pg berada dibawah nilai sapi perah kontrol dengan
nilai rataan 15.83 ± 0.41 pg (Gambar 7). Menurut Thrall et al. (2012), nilai rataan
MCH pada sapi perah normal berkisar 14,0 – 20,0 pg. Nilai MCH pada sapi perah
akibat infeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 menunjukkann nilai MCH untuk sapi perah akibat infeksi Babesia
sp. memiliki nilai yang relatif rendah dari nilai sapi kontrol. Hal ini dapat dilihat
pada sampel ke-3 dan ke-4 (Gambar 7). Rendahnya nilai MCH disebabkan oleh
adanya infeksi Babesia sp. yang menyebabkan kerusakan eritrosit, sehingga
konsentrasi hemoglobin menurun (Găvan et al. 2010). Berdasarkan nilai normal
15

MCH seperti Gambar 7 kelompok sapi baik yang kontrol maupun sampel pada
penelitian ini masih berada pada batas kisaran nilai MCH normal, akan tetapi lebih
kepada nilai normal rendah atau normokromik (Gaven et al. 2010).

21
20
19
18
17
MCH (pg)

16
15
14
13
12
11
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 7 Nilai MCH sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)


Nilai MCHC merupakan konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam eritrosit
dengan satuan g/dL eritrosit (Gerardo et al. 2009). Tabel 2 menunjukkan rata-rata
nilai MCHC baik pada sapi perah yang terinfeksi Babesia sp. dan sapi perah sampel
berada di bawah nilai MCHC pada sapi perah normal. Nilai normal MCHC pada
sapi perah normal menurut Thrall et al. (2012 ) adalah 33-38 gr/dl. Nilai MCHC
pada sapi perah akibat infeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 8.

39
38
37
36
MCHC (gr/dl)

35
34
33
32
31
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gambar 8 Nilai MCHC sapi perah di KPSBU Lembang, Bandung

Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa nilai rataan MCHC untuk sapi


perah sampel (31.95- 33.05 g/dl) maupun sapi perah kontrol (31.79- 32.88 g/dl)
mempunyai rataan nilai MCHC yang rendah. Rendahnya nilai MCHC dari nilai
normal disebabkan oleh kondisi hemoglobinemia yang menyebabkan hemoglobin
16

dalam plasma darah ikut terhitung saat pengukuran konsentrasi hemoglobin,


sehingga menyebabkan nilai MCHC cenderung lebih rendah dari nilai normal
(Thrall et al. 2012). Nilai MCHC yang rendah mengindikasikan konsentrasi
hemoglobin yang rendah (hipokromik). Sampel sapi perah kontrol ke-1,2,3 dan 6
sedangkan sampel sapi perah positif pada sapi ke-2,3, dan ke-4 mempunyai nilai
MCHC dibawah nilai MCHC sapi perah normal yaitu 32 gr/dl (Gambar 8). Hal
tersebut menindikasikan pada sampel tersebut mengalami anemia hipokromik.
Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah defisiensi zat besi yang
menyebabkan konsentrasi hemoglobin mengalami penurunan sehingga proses
pembentukan eritrosit terganggu (Abdulsalam dan Daniel 2002).
Jenis anemia berdasarkan nilai MCV dan MCHC pada penelitian ini adalah
anemia normositik hipokromik. Anemia normositik hipokromik ditandai dengan
nilai MCV normal dan nilai MCHC menurun yang merupakan indikasi awal
defisiensi zat besi. Kekurangan zat besi mengakibatkan terjadinya gangguan
sintesis hemoglobin sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi homoglobin
pada darah yang dapat menggangu pembentukan eritrosit (Thrall et al. 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sapi perah akibat infeksi Babesia sp.
di Lembang, Bandung menunjukkan derajat infeksi ringan terhadap Babesia sp.
dengan nilai rataan sebesar 0.37 % (≤ 1 %). Sapi perah akibat infeksi Babesia sp.
mengalami anemia yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, dan nilai hematokrit serta indeks eritrosit MCV (sampel positif 46.0
± 3.6 fl sedangkan kontrol negatif 48.83 ± 2.64 fl), MCH (sampel positif 14.50 ±
1.52 pg sedangkan kontrol negatif 15.83 ± 0.41 pg), dan nilai MCHC yang
mngalami penurunan (sampel positif 32.5 ± 0.55 gr/dl sedangkan kontrol negatif
32.33 ± 0.55 gr/dl). Jenis anemia berdasarkan nilai MCV dan MCHC pada
penelitian ini adalah anemia normositik hipokromik.

Saran

Saran dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan pemeriksaan hematologi


terhadap infeksi parasit darah yang lain, seperti Anaplasma sp. dan Theileria sp.
Serta penyebab lain terjadinya anemia pada sapi perah. Selain itu perlunya
dilakukan analisis dampak infeksi penyakit ini dengan kerugian ekonomi serta
menentukan penanganan, penyembuhan, dan pengendalian infeksi yang tepat agar
dapat dijalankan program pengendaliaan dan pemberantasan vektor pembawa
parasit.
17

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia


defisiensi besi. Sari Pediatri. 4(2):7–77.
Atabany A, Fitriyani Y, Anggraeni A, Komala I. 2008. Milk production and
reproduksi performance of holstein Friesian Dairy Cattle at Cikole Dairy
Breeding [internet]. [diunduh 2015 januari 15] tersedia pada :
http://peternakan.litbang/deptan.go.id/eng.bangsa-bangsa-sapi-perah-
diindonesia/htm. Diakses pada 15 Maret 2015.
Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to
Babesia bovis infection. Vet. Parasitology. 150:54-64.
Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2005. Babesiosis of cattle. Parasitology.
124:247-269.
Cockcroft PD. 2015. Bovine Medicine. Ed ke-3. Oxford (UK): Wiley-Blackwell.
Cox FEG. 2004. Modern Parasitology : a Texbook of Parasitology. Ed ke-2. United
Kingdom (UK): Blackwell Publication.
Dearasi ND. 2015. Indeks produksi retikulosit sebagai diagnosa dini anemia
aplastik. Majority. 4(7):55-60.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2015. Statistik Peternakan Indonesia
Tahun 2015. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Peternakan.
Găvan C, Retea C, Motorga V. 2010. Changes in the hematological profile of
Holstein Primiparous in periparturient period and in early to mid lactation.
Scientific Papers: Animal Sciences and Biotechnologies. 43(2):244-246.
Gerardo FQ, Stephen JL, Todd FD, Darven W, Ken EL, Robert MJ. 2009.
References limits for biochermical and hematological analytes of dairy cows one
week beafor and one week after parturition. Can Vet J. 50(4):383-388.
Homer MJ, Delfin IA, Telford SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin.
Microbiology Review 3:451-469. Jakarta (ID: Agromedia Pustaka.
Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin dunia kedokteran. No. 152
Tahun 2006.
Mindray. 2006. BC-2600 Auto Haematologi Analyzer. China.Bio-Medical
Electronics ltd
Murray R.K, DK Granner, and VW Rodwell. 2009. Biokimia Harper. Ed ke-27.
Jakarta (ID): ECG.
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility
between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva infection.
Onderstepoort J Vet Res (72):13-22.
Price SA dan Wilson LMC. 2006. Pathophysiology. The Concept of Clinical
Disease Processes. Ed ke-6. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Prihatin, O. D. 2008. Performa reproduksi sapi FH betina di peternakan rakyat
KPSBU dan BPPT-SP Cikole Lembang. [Skripsi]. Bogor (ID); Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Rachied HGA, Zaahkouk SA, EL-Zawhry EI, Elfeky Kh. 2014. Hematological and
biochemical parameters in some bird and mammals. Journal of Entomology and
Zoology.2(2):153-158.
Rahman MA, Bhuiyan MMV, Kamal MM. 2009. Prevalence and risk factors of
mastitis in dairy cow. The Bangladesh Veterinarian. 26(2):54-60.
18

Rusdiana S, Sejati Wahyuning K. 2009. Upaya pengembangan agribisnis sapi perah


dan peningkatan produksi susu melalui pemberdayaan koperasi susu. Forum
Pemeliharaan Agro Ekonomi. 27(1):43-51.
Rustamadji, B. 2004. Dairy Science I.http://sukarno.web.ugm.ac.id/index.php/
bangsa-bangsa-sapi-perah-diindonesia/htm. Diakses pada 20 Maret 2015.
Salasia SI, Hariono B. 2010. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta (ID): Samudra
Biru.
Schalm OW, Weiss DJ, Wardrop KJ, editor. 2010. Veterinary Hematology. Ed ke-
6. Iowa (US): Blackell Pub.
Schuster FL. 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites. Clin
Microbiol. 15(3):355-364.
Sevinc F, Sevinc M, Bindane FM, Altinoz F. 2001. Prevalence of Babesia
bigemina in cattle. Revue Med. Vet. 152(5):395-398.
Sibuea WH, MM Panggabean, SP Gultom. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
(ID): PT Rineka Cipta.
Sirois, Margi. 2014. Laboratory Procedure of Veterinary Technicians. Ed-ke 6. St
Louis (US): Elsevier.
Skotarczak B. 2008. Babesiosis as a disease of people and dogs molecullar
diagnostic: a Review. Vet Med 53(5):229-235.
Soeharsono, A Mushawwir, E Hernawan, L Adriani, K A Kamil. 2010. Fisiologi
Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada
Hewan. Bandung (ID): Widya Padjadjaran.
Sonjaya H. 2012. Dasar Fisiologi Ternak. Bogor (ID): PT. Penerbit IPB Press.
Sreedhar S, Rao KS, Suresh J, Moorthy PRS, Reddy VP. 2013. Changes in
haematocrit and some serum biochemical profile of sahiwal and jersey × sahiwal
cows in tropical environments. Veterinarski Arhiv 83(2):171-187
Sudono, A., R. F. Rosdiana dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Parah Secara
Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Sugiarto. 2005. Potensi Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus sebagai Vektor
Penyakit. [Skripsi]. Bogor (ID); Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Taylor MA, RL Coop, RL Wall. 2015. Veterinary Parasitology. Ed ke-4. New
Jersey (US) : Wiley Blackwell.
Thrall MA, Weiser G, Allison RW, Campbell TW. 2012. Veterinary Hematologi
and Clinical Chesmistry.Ed ke-2. Oxford (UK):Wiley-Blackwell.
Tong EM, Nissenson AR. 2001. Erythropoietin and anemia. Semin
Nephrol.21:190–203.
Triakoso N, Putri PR. 2012. Perbandingan packed cell volume darah anjing
sebelum dan sesudah penyimpanan menggunakan Citrate-phosphatedextrose. J
Klin Vet. 1(1): 23-26.
Uilenberg G. 2006. Babesia – a Historical Overview. Veterinary Parasitology. 138:
2-10.
Vaden SL, Knoll JS, Smith FWK, Tiley LP. 2016. Blackwell’s Five-Minutes
Veterinary Consult: Feline and Canine. Ed ke-6. Tiley LP, Smith FWK, editor.
Iowa (US): John Wiley & Sons.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6.
Washington (US): A John Wiley & Sons Ltd. Publication.
19

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tapir Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada
tanggal 27 januari 1994, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Agus
Suryadi dan Ibu Ainun. Penulis menyelsaikan sekolah dasar di SDN 2 Utan,
Sumbawa Besar pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan di MTs. Al-
Aziziyah Gunung Sari, Mataram dan lulus tahun 2009. Tahun 2012 penulis lulus
dari SMAN 2 Selong, Lombok Timur dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMTN undangan dan
diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama di IPB penulis menerima beasiswa
IKA FKH IPB tahun 2014-2016 dan beasiswa PPA BBM tahun 2012-2014.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu
UKM sepakbola IPB, Kadiv pada pemilihan raya presiden dan wakil presiden
mahasiswa tahun 2013, Wakil Ketua organisasi mahasiswa daerah (OMDA)
Sumbawa tahun 2012-2013, 2013- 2014, Wakil Ketua Himpunan Minat dan Profesi
Ruminansia tahun 2014-2015, Wakil Ketua Pengurus Asrama Mahasiswa Nusa
Tenggara Barat Cabang Bogor tahun 2014-2016, Anggota Badan Eksekutif
Mahasiswa FKH IPB tahun 2013-2014, Kadiv pada seminar sosialisasi SPR dengan
mendatangkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015, Ketua pelaksana
Penguatan SPR wilayah Moyo Sumbawa NTB tahun 2015, Praktik Magang di RPH
Malang tahun 2013, dan penulis juga aktif di Organisasi External kampus seperti
HMI cabang Bogor Kom. FKH IPB.

Anda mungkin juga menyukai