Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

”Pengadilan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Badan Peradilan Internasional


berdasarkan Yuridiksi Universal”

DISUSUN OLEH
LULU YULIANTI 1510611094
JOSUA GINTING 1510611110
ILHAM RAMADHAN 1510611106

Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jakarta

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, karunia
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Pertama-tama
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami, Bapak Alfitra, SH,MH karena telah
memberikan tugas Makalah Hukum Pidana Internasional ini sehingga kami selaku penyusun
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas mengenai Hukum Pidana Internasional. Adapun
maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum
Pidana Internasional. Selain memenuhi nilai tugas juga untuk memudahkan kami dalam
memahami tentang pentingnya pengetahuan kita tentang yuridiksi universal pengadilan pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Badan Peradilan Internasional. Segala permasalahan yang
menyertainya sebagai insan biasa kami sadar akan ketidaksempurnaan makalah ini, kekhilafan
dalam penulisan atau penyusunan kata demi kata, maka dari itu kami mohon maaf yang
sedalam-dalamnya serta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnanan
makalah ini. Demikianlah kata pengantar ini kami buat, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, terutama bagi kami sebagai penyusun.

Jakarta, 16 September 2018

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................2


Daftar Isi.......................................................................................................................3

BAB 1 Pendahuluan
2
1.1.Latar Belakang........................................................................................................4
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………………...5
1.3.Tujuan.....................................................................................................................5

BAB 2 Tinjauan Pustaka


2.1. Penerapan asas yuridiksi universal terhadap kejahatan internasional……….…...6
2.2. Peran ICC terhadap kejahatan kemanusiaan …………...………….………….…8

Bab 3 Kasus dan Pembahasan

3.1. Kasus ……………………………………………………………………….…….12

3.2. Analisa Kasus……………………………………...………………………..…….13

BAB 4 Penutup
4.1.Kesimpulan.............................................................................................................14
4.2.Saran…………..……………………………………………………………..…...16
Daftar Pustaka

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk kewajiban-
kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang mengatur tentang konflik
bersenjata akan menimbulkan tanggung jawab negara bagi yang melanggar ketentuan tersebut.
3
Hal ini karena dalam hukum internasional tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-
haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,
menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut. Dengan kata lain,
negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya.1

Selain menimbulkan Tanggung Jawab Negara (state responsibility), pelanggaran terhadap


ketentuan dalam hukum internasional juga menimbulkan tanggung jawab individu. Hal ini
karena kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh entitas
abstrak, dan hanya dengan menghukum individu yang melakukan kejahatan tersebut ketentuan
hukum internasional bisa ditegakkan. Termasuk dalam kategori yang relevan dengan mana
tanggung jawab individu diletakkan sebagai kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 2

Permasalahan yang sering terjadi adalah kelangkaan penjahat HAM berat yang diadili di
pengadilan. Hal ini sering disebut juga dengan impunity alias kejahatan yang tak dihukum.3 Salah
satu penyebabnya adalah asas yuridiksi universal, yakni konsep hukum yang mengizinkan negara
atau organisasi internasional untuk mengklaim yurisdiksi tanpa memandang tempat kejadian
perkara dan tanpa memandang kewarganegaraan tersangka, tempat tinggalnya, atau
hubungannya dengan penuntut. Penentang konsep yurisdiksi universal (seperti Henry Kissinger
yang dicari di Spanyol atas tuduhan kejahatan perang) menegaskan bahwa yurisdiksi universal
merupakan pelanggaran kedaulatan negara dan "berisiko membuat tirani universal - yaitu tirani
para hakim. Selain itu, Kissinger juga berargumen bahwa secara praktis, jika negara manapun
bisa mendirikan pengadilan dengan yurisdiksi universal, maka pengadilannya bisa berubah
menjadi pengadilan untuk kepentingan politik atau bahkan untuk membasmi musuh-musuh
negara.4 Untuk mengatasi permasalahan yuridiksi universal terhadap kejahatan kemanusiaan,
melalui Statuta Roma tahun 1998 dibentuklah International Criminal Court (ICC), atau

1 Hinggorani, Modern Iinternational Law, edisi ke-2, 1984, hlm 241, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1990 hlm. 173

2 Malcolm N Shaw, International law, Fourth Edition,Cambridge University Press, Cambridge, 1997, hlm. 185

3 Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan-penjahat-kemanusiaan


pada tgl 16 September 2018 pukul 21.00 WIB

4 Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Yurisdiksi_universal pada tgl 16 September 2018 pukul 21.00 WIB
4
Mahkamah Pidana Internasional, yakni badan peradilan independen permanen yang bermarkas di
Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional. Tujuan
ICC adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum
internasional seperti (1) genocide, (2) crime against humanity, (3) kejahatan terhadap hukum
humaniter, (4) kejahatan agresi.5

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana penerapan asas yuridiksi universal terhadap kejahatan internasional?
b. Bagaimana peran ICC terhadap kejahatan kemanusiaan internasional?

1.3. Tujuan Makalah


a. Untuk mengetahui penerapan yuridiksi universal terhadap kejahatan internasional
b. Untuk mengetahui peran ICC terhadap kejahatan kemanusiaan internasional

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penerapan asas yuridiksi universal terhadap kejahatan internasional

Pengakuan terhadap prinsip yurisdiksi universal terserak dalam berbagai instrumen HAM
internasional, antara lain dalam (1) The Princeton Principles on Universal Jurisdiction, (2)
Brussels Principles Against Impunity and for International Justice, dan dalam report tentang (3)

5 Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan-penjahat-kemanusiaan


pada tgl 16 September 2018 pukul 21.00 WIB
5
Right to restitution, compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human
rights and fundamental freedoms yang dibuat oleh special rapporteur Professor Cherrif
Bassiouni untuk UN Commission of Human Rights.

The Princeton Principles dibuat oleh para partisipan dari Princeton Project on Universal
Jurisdiction pada 2001. Tujuannya adalah untuk menggagas aplikasi hukum internasional dalam
sistem hukum nasional. Universal jurisdiction dalam Princeton Principles diartikan sebagai
yurisdiksi kriminal yang dasarnya semata-mata pada sifat dari kejahatan tersebut, tanpa
memandang di mana, siapa, apa kebangsaan dan negara dari sang pelaku kejahatan tersebut
(prinsip 1 angka 1). Kemudian, kejahatan yang tergolong sebagai the serious crimes under
international law, di mana universal jurisdiction berlaku terhadapnya adalah (1) piracy (2)
slavery (3) war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide and
(7) torture (prinsip 2 angka 1).

Satu hal yang juga menarik adalah berlakunya asas 'international due process norms' bagi
setiap negara yang ingin menerapkan universal jurisdiction. Artinya, negara harus menerapkan
asas independensi dan imparsialitas peradilan sekaligus melindungi hak-hak tersangka dan
korban dalam standar yang diakui oleh hukum internasional. The Princeton Principles juga tidak
mengakui adanya kekebalan hukum bagi tersangka yang berstatus sebagai pimpinan
negara/pemerintahan. Juga, tidak menganjurkan diberikannya amnesti dan tak ada status
kadaluwarsa bagi kejahatan HAM berat dalam hukum internasional. 6

Brussels Principles against Impunity and for International Justice yang diadopsi oleh the
Brussel Groups for International Justice pada 13 Maret 2002 memiliki pengaturan yang kurang
lebih sama dengan The Princeton Principles. Kejahatan berat HAM dalam prinsip ini diartikan
sebagai pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional. Termasuk, war
crimes, crimes against humanity, genocide, torture, extrajudicial executions dan forced
dissappearences. Brussels Principles menentang impunity dan menyebutkan bahwa pemberian
immunity dan amnesty sekali-sekali tak boleh mengganggu jalannya penuntutan terhadap pelaku
kejahatan berat HAM.

6 Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan-penjahat-kemanusiaan


pada tgl 16 September 2018 pukul 21.00 WIB
6
Sementara itu, laporan Prof. Bassiouni tentang The Right of Constitution, restitution,
compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human rights and fundamental
freedoms (2000) memiliki ketentuan bahwa negara harus memuat prinsip universal jurisdiction
dalam legislasi nasionalnya untuk kejahatan yang melanggar norma-norma hukum
internasional. Juga, untuk bersikap kooperatif dan memfasilitasi ekstradisi ataupun penyerahan
para pelanggar HAM berat ke negara lain ataupun badan internasional. Termasuk, dalam hal ini
memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan saksi.

Permasalahan dari ketiga instrumen di atas adalah sifatnya yang bukan merupakan
dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding). Ia dapat dirujuk oleh suatu negara, tapi
tak mempunyai sifat mengikat. Apalagi, jangankan untuk dokumen yang tidak mengikat. Untuk
instrumen HAM internasional yang legally binding sekalipun, banyak negara--termasuk
Indonesia yang enggan menandatangani ataupun meratifikasinya. Prinsip universal jurisdiction
ini barangkali bukanlah prinsip yang baru dalam sistem hukum pidana internasional. Namun,
terobosan hukum yang dilakukan Belgia pada tahun 1993 cukup menarik dan menghenyakkan
banyak pihak. Kendati, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pemberlakuannya.
Termasuk, kendala legalitasnya dalam hukum nasional maupun internasional.

Namun, ia telah menghadirkan perspektif baru. Suatu perspektif bahwasanya untuk


pelanggaran berat HAM seperti genocide, crime against humanity dan war crime, haruslah
diposisikan sebagai kejahatan serius yang bersifat internasional. Yang memberikan hak sekaligus
tanggungjawab yang sama besar pada setiap negara untuk mengadilinya ke muka pengadilan
yang independen dan imparsial, baik secara nasional maupun internasional.7

2.2. Peran ICC terhadap kejahatan kemanusiaan

(ICC) adalah pengadilan pidana internasional permanen yang pertama kali dibentuk yang
berwenang melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum setiap orang yang melakukan
kejahatan internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.
Pada abad ini telah terjadi kekerasan yang terburuk dalam sejarah kemanusiaan. Dalam lima

7 Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-pengadilan-penjahat-kemanusiaan


pada tgl 16 September 2018 pukul 21.00 WIB
7
puluh tahun terakhir, lebih dari 250 konflik terjadi diseluruh dunia yang memakan korban lebih
dari 86 juta warga, terutama anak-anak dan wanita dan 170 juta warga sipil kehilangan hak-
haknya, harta benda dan martabat mereka. Kebanyakan dari korban ini telah dilupakan dan
hanya sedikit pelaku dari kejahatan ini dijatuhi hukuman.

Walaupun hukum internasional melarang kejahatan perang, kejahatan terhadap


kemanusiaan dan genosida melalui berbagai bentuk perjanjian internasinal (konvensi, protokol,
aturan-aturan, standar dan lain-lain) dan norma-norma hukum kebiasaan internasional, namun
penegakannya yang efektif untuk menuntut pertanggungjawaban individu atas pelanggaran-
pelanggaran tersebut belum terwujud dalam tatanan global. Langkah pertama untuk membentuk
suatu mekanisme pengadilan telah diupayakan dengan mendirikan Mahkamah Militer
Internasional di Nuremberg dan Tokyo seusai perang dunia ke II, namun upaya ini dianggap
gagal karena hanya mewujudkan keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice). Upaya
berikutnya adalah pembentukan Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk menuntut pelaku kejahatan
paling serius di negara-negara bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR) tapi ini pun
dianggap hanya mewujudkan keadilan yang selectif (selective justice) karena hanya diwilayah
tertentu dan dalam kurun waktu tertentu pula.8

Adapun Tujuan ICC adalah:


(1) Mewujudkan keadilan global, antara lain dengan memberikan pengertian dan standar
yang sama untuk kejahatan –kejahatan internasinal yang paling serius ;
(2) Mencegah konflik yang memakan korban anak-anak, wanita dan orang-orang yang tidak
berdosa (kekejaman yang mengguncangkan nurani umat manusia) ;
(3) Menghapuskan impunitas terhadap pelaku dan berkontribusi bagi pencegahan terjadinya
kembali kejahatan-kejahatan internasional yang paling serius ;
(4) Mengatasi kelemahan dari pengadilan-pengadilan pidana internasional sebelumnya ;
(5) Menciptakan rasa keadilan bagi korban yang mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan
pemulihan ;
(6) Lebih mengefektifkan hukum nasional dengan memberlakukan prinsip komplementaritas
dan mencegah intervensi pengadilan internasional terhadap pengadilan nasional ;

8 Agus, Fadillah. Dkk, Buku Pengenalan tentang International Criminal Court (ICC) Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, FRR Law Office, Jakarta, 2008
8
(7) Mencegah politisasi dalam mengadili pelaku kejahatan internasional dengan menjamin
independensi dan imparsialitas peradilan ;
(8) Mencegah kejahatan yang membahayakan keamanan dan perdamaian dunia serta
kemanusiaan (Statuta Roma 1998).

ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1988 yang disahkan pada tanggal 17 Juli 1998
dalam “ United Nations Diplomatic Conference On Plenipotentiaries On The Establishment of an
International Criminal Court” yang dihadiri oleh 160 negara. Sejak 1 Juli 2002, Statuta Roma
berlaku secara efektif setelah 60 negara meratifikasinya. Hingga saat ini Statuta Roma telah
ditandatangani oleh 139 negara dan telah diratifikasi 106 negara yang meliputi semua benua.

Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan


internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu :
Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Genosida adalah setiap perbuatan (seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, perkosaan)
yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
kebangsaan, suku, ras dan keagamaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan meliputi tindak-tindak
pidana tertentu yang dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis
yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Tindak-tindak pidana tersebut seperti pembunuhan,
pemusnahan, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, penghilangan secara paksa dan
kejahatan apartheid.

Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dapat terjadi pada saat perang maupun
damai.Kejahatan perang adalah kejahatan yang terjadi ketika atau ada kaitannya dengan konflik
bersenjata yang sedang berlangsung , baik yang bersifat internasional maupun non internasional,
yang meliputi pelanggaran berat terhadap orang-orang atau harta benda yang dilindungi
berdasarkan HHI dan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang lainnya.
Kejahatan ini dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau yang dilaksanakan
secara besar-besaran, yang antara lain : pembunuhan sengaja, penyiksaan termasuk percobaan
biologis, sengaja menimbulkan penderitaan berat atau luka serius, perusakan meluas dan

9
perampasan harta benda secara tidak sah, pemaksaan tawanan perang dan perampasan hak-
haknya, deportase tidak sah, penyanderaan, serangan sengaja terhadap penduduk sipil dan obyek-
obyek yang bukan sasaran militer, penyalahgunaan obyek dan lambang yang dilindungi secara
internasioanal, penyerangan terhadap petugas misi kemanusiaan dan anggota pasukan
perdamaian PBB.

Berdasarkan Statuta Roma, kejahatan agresi baru akan dihadapkan di ICC apabila Negara
telah menyetujui defenisi, kondisi-kondisi dan unsur-unsur dari agresi itu sendiri pada suatu
Review Conference. Di samping itu, berdasarkan piagam PBB, Dewan Keamanan mempunyai
kewenangan eksklusif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan agresi telah terjadi. Sebagai salah
satu acuan , berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314 tahun 1974, tindakan-tindakan
yang termasuk ke dalam tindakan agresi adalah serangan bersenjata, pemboman, blokade,
pendudukan wilayah, mengijinkan Negara lain untuk menggunakan wilayah negaranya untuk
melakukan tindakan agresi dan mengerahkan tentara non regular dan tentara bayaran untuk
terlibat dalam agresi. Tindakan agresi merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan terencana
dan berkelanjutan.

Dalam hal penerapan yurisdiksi ICC pada suatu Negara, terdapat prinsip yang paling
fundamental, yakni ICC harus merupakan komplementer (pelengkap) dari yurisdiksi pidana
nasional suatu negara (complementarity principle). Fungsi ICC bukanlah untuk menggantikan
fungsi sistem hukum nasional suatu negara, namun ICC merupakan mekanisme pelengkap bagi
negara ketika negara menunjukkan ketidakmauan (unwillingness) atau ketidakmampuan
(inability) untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Selanjutnya
Statuta Roma menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan kedaulatan suatu negara
tidak dapat dikontrol oleh ICC. Prinsip komplementer berlaku juga terhadap negara yang bukan
merupakan negara pihak akan tetapi memberikan pernyataan pengakuannya atas yurisdiksi ICC.

Dengan demikian, ICC merupakan the last resort dan hal ini merupakan jaminan bahwa
ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu negara. Adapun
Yurisdiksi ICC terbagi ke dalam empat jenis, sebagai berikut:

10
a. territorial jurisdiction; bahwa yurisdiksi ICC hanya berlaku dalam wilayah negara
pihak; yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang terdaftar dinegara
pihak dan dalam wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi ICC berdasarkan
deklarasi Ad hoc.
b. material jurisdiction; bahwa kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari
kejahatan tehadap kemanusian, kejahatan perang, kejahatan agresi dan genosida.
c. temporal jurisdiction(rationae temporis); bahwa ICC baru memiliki yurisdiksi
terhadap
kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku/diratifikasi.
c. personal jurisdiction(rationae personae); bahwa ICC memiliki yurisdiksi atas orang
(natural person), dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi ICC harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu (individual criminal responsibility),
termasuk pejabat pemerintahan, komandan militer maupun atasan sipil.9

BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Yurisdiksi Universal pernah dilakukan antara tahun 1980 dan tahun 1990 di
Negara Belgia dan Spanyol dimana kedua Negara merupakan Negara pertama yang
mengadopsi system juridiksi universal ke dalam hukum nasionalnya dan juga dalam
praktek peradilannya10. Kasus pertama yang ditangani oleh pengadilan Spanyol terkait
dengan pengunaan prinsip jurisdiksi universal adalah kasus scilingo yang dihadapkan atas

9 Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=167067&val=6113&title=PENGADILAN%20HAK%20ASASI


%20MANUSIA%20DAN%20MAHKAMAH%20PIDANA%20INTERNASIONAL%20(ICC) pada tgl 16 September 208 pukul 21.30 WIB

10 Noora Arajavri, Looking Back From Nowhere: is there a future for Universal Jurisdiction Over International
crimes?, Tillburg Law Review , Vol 16,2011 hal.32
11
tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Scilingo merupakan warga Negara Argentina
dan melakukan kejahatannya di Argentina di bawah rezim militer yang dipandu oleh
militer Argentina pada saat itu, tidak ada hubungan Scilingo dengan Negara Spanyol.

Negara selanjutnya yang menerapkan prinsip yurisdiksi universal dalam undang-


undangnya adalah Belgia. Pada tahun 1990 Belgia mengundangkan The Law of Universal
Juridiction atau undang-undang yang dikenal dengan Belgium’s Genocide Law. Didasari
oleh Undang-Undang tahun 2001, Pengadilan Tinggi Belgia telah mengadili empat orang
warga Negara Rwanda yang telah dituduhi melanggar kejahatan terhadap kemanusiaan di
Rwanda. Kasus ini dikenal dengan dengan nama Bustare Four Case kasus ini merupakan
kasus pertama yang diadili oleh pengadilan Belgia berdasarkan asas yuridisdiksi universal.
Selama prosesnya hingga selesai. Kasus tersebut berjalan lancar dan tidak mendapatkan
halangan dari komunitas internasional walaupun belgia menggunakan prinsip yuridiksi
universal dalam prakteknya.11

Dalam dalilnya yuridiksi Universal yang digunakan oleh pengadilan Belgia bersifat
kondisional dimana pada tahun 2003 mengeluarkan Undang-Undang tentang yurisdiksi
ekstrateritorial yang mengatakan bahwa yurisdiksi universal dapat dianut paling tidak jika
kejahatan tersebut memiliki beberapa hubungan dengan Belgia sebelum atau sesudah
kejahatan dilakukan. Kondisi atau hubungan yang harus ada yaitu : yang dituduhkan
merupakan penduduk, korban yang sudah tinggal di Belgia selama lebih dari tiga tahun,
atau ada perjanjian internasional yang mewajibkan Belgia untuk mengadili seseorang
dengan prinsip yurisdiksi universal12. Yurisdksi Universal maupun kondisional yang
digunakan sebagai salah satu cara dalam hukum nasional untuk memperketat pengunaan
yurisdiksi tidak merefleksikan kegunaan sebenarnya pengunaan asas yurisdiksi universal

3.2. Pembahasan Kasus

11

11ibid.

12 Ibid.
12
Yurisdiksi universal merupakan suatu aturan yang memungkinkan pengadilan-
pengadilan di suatu negara mengadili mereka yang bertanggungjawab terhadap kejahatan
tertentu seperti kejahatan genosida, kemanusiaan dan kejahatan perang. Dalam hal ini
ditentukan bahwa nasionalitas terdakwa atau korban, atau tempat kejadian dilakukan,
dinilai tidak menentukan dimana dan kapan suatu peradilan dapat dilakukan.13
Keberadaan doktrin yurisdiksi universal didasari atas pemikiran bahwa terdapat kejahatan
yang begitu berbahaya bagi kepentingan internasional sehingga setiap negara diberi hak
bahkan kewajiban untuk menuntut pelaku, dimanapun lokasi kejahatannya dan apapun
kewarganegaraan pelaku atau korban. 14
Singkatnya, penerapan yurisdiksi universal memungkinkan pengadilan kejahatan
internasional memeriksa siapa saja, di mana saja di seluruh dunia khususnya bagi
pelanggaran berat HAM seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
penyiksaan. Karena melaksanakan yurisdiksi universal menurut Bassiouni pada dasarnya
tidak hanya melaksanakan yurisdiksi nasional negara tersebut akan tetapi melaksanakan
tanggung jawab actio popularis terhadap orang orang yang merupakan musuh umat
manusia (hostis humani generis)15 Bassiouni menjadikan yurisdiksi universal sebagai
teori yang disandarkan pada ranah yang berbeda dari 4 teori yurisdiksi lainnya yaitu
yurisdiksi teritorial, yurisdiksi personal aktif (yurisdiksi nasional), dan yurisdiksi
protektif. Yurisdiksi universal menurut Bassiouni lebih didasarkan pada karakter
internasional dari sebuah pelanggaran. Secara subtantif, penerapan yurisdiksi universal,
terkait aturan yang spesifik disebabkan adanya pelanggaran tertentu, yang mempengaruhi
kepentingan semua negara, bahkan ketika dilakukan di negara bagian lain atau terhadap
negara lain, korban atau kepentingan lain16

BAB IV

13 Romli Atmasasmita, Kapita Seleta Hukum Pidana Internasional Jilid ke-2, CV. Utomo, Bandung, 2004, h. 3-7.

14 Mary Robinson, “Preface” on Stephen Macedo Ed., Universal Jurisdiction: National Courts and the Prosecution
of Serious Crimes Under International Law, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2006), hlm. 17

15 M.C. Bassiouni, 2001, Universal Jurisdiction For International Crimes: Historical Perspectives And Contemporary
Practice, Virginia Journal of International Law, hlm. 96

16 M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, (The Hague: Martinus Nijhoff
Publishers, 1999), hlm. 227-228.
13
PENUTUP

I.1. Kesimpulan

Yurisdiksi Universal Yurisdiksi universal bukan merupakan hal yang tabu dalam
hukum internasional dan hukum nasional. Terdapat banyak konvensi-konvensi
internasional yang menganut prinsip yurisdiksi universal. Eksistensi prinsip yurisdiksi
universal tidak hilang, bahkan belakangan ini semakin didorong oleh masyarakat
internasional seperti contohnya organisasi Amnesty Internasional dan pakar-pakar hukum
pembentuk Princeton Principles agar prinsip yurisdiksi universal dikodifikasikan dalam
suatu wadah hukum yang jelas.Yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili
pelaku-pelaku kejahatan internasional yang sangat berat asalkan penggunaannya
bertanggung jawab dan memenuhi unsur-unsur kejahatan internasional berat yaitu :

a. Kejahatan tersebut mengganggu keamanan dan perdamaian dunia internasional


b. Kejahatan tersebut memakan korban yang jumlahnya banyak
c. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sistematik, bukan kejahatan yang tiba-
tiba terjadi
d. Kejahatan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat
Prinsip yurisdiksi universal selama digunakan secara benar dan tetap dalam
lingkupnya tidak akan mendapatkan persoalan berarti dari komunitas internasional
walaupun dalam prakteknya dapat disebabkan karena seluruh komunitas internasional
memerangi musuh yang sama yaitu kejahatan-kejahatan yang tunduk dalam prinsip
yurisdiksi universal. Hal lainnya menurut penulis adalah yurisdiksi universal walaupun
dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, tetapi tetap harus berbentuk juga sebagai
hukum nasional khusus (prescriptive jurisdiction) suatu negara, sehingga suatu tindakan
terkait penggunaan asas yurisdiksi universal dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Hukum nasional khusus tersebut dapat lahir dari perjanjian internasional atau konvensi
mengenai yurisdiksi universal. Pengakuan yurisdiksi universal oleh negara memerlukan
tiga langkah untuk membuatnya bekerja: pertama, landasan khusus untuk legitimasi
penerapan yurisdiksi universal; kedua, implementasi penerapan yang diwujudkan dengan
pencantuman definisi yang cukup jelas tentang pelanggaran dan unsur-unsur lainnya; dan
ketiga, proses adopsi ke dalam sistem penegakkan hukum nasional yang memungkinkan
peradilan nasional menjalankan yurisdiksi mereka atas kejahatan-kejahatan ini.
Ketiga langkah ini diterapkan Belanda ketika mengadopsi statuta ICC sebagai
hukum nasionalnya. sementara penggunaan konsep yurisdiksi universal yang lebih luas
cukup sering diterapkan dalam praktek nasional masing-masing negara. 17Namun,
meskipun beberapa negara seperti Belgia atau Spanyol telah melakukan sejumlah upaya
untuk memberikan efek konkrit pada prinsip yurisdiksi universal dengan mengamandemen

17 Gideon Boas, Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives, (Cheltenham: Edward Elgar
Publishing, 2012), hlm. 258
14
Hukum Pidana mereka, dalam banyak kasus tetap belum diimplementasikan, sehingga
lebih bersifat teoritis daripada praktis. Hal tersebut antara lain disebabkan karena
yurisdiksi universal dalam konsep ini lebih sering digunakan tanpa kekhususan rinci
konsep yang dimaksud18Pengakuan yurisdiksi universal oleh negara memerlukan tiga
langkah untuk membuatnya bekerja: pertama, landasan khusus untuk legitimasi penerapan
yurisdiksi universal; kedua, implementasi penerapan yang diwujudkan dengan
pencantuman definisi yang cukup jelas tentang pelanggaran dan unsur-unsur lainnya; dan
ketiga, proses adopsi ke dalam sistem penegakkan hukum nasional yang
memungkinkan peradilan nasional menjalankan yurisdiksi mereka atas kejahatan-
kejahatan ini. Ketiga langkah ini diterapkan Belanda ketika mengadopsi statuta ICC
sebagai hukum nasionalnya. Ketiga langkah tersebut diatas amat saling terkait, tidak
dilengkapinya salah satu langkah tersebut dapat menyebabkan terhentinya langkah lain.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kesenjangan antara keberadaan prinsip tersebut dan
implementasinya masih cukup luas karena banyak bergantung pada situasi politik dan
sikap serta pendekatan hukum yang digunakan masing-masing negara.

I.2. Saran
Prinsip universal sebagai konsep untuk memerangi dan mencegah kejahatan-
kejahatan internasional yang sangat berat sudah cukup baik. Tetapi memberikan saran agar
negara-negara di dunia membentuk suatu perjanjian untuk menjelaskan lebih jelas lagi,
kejahatan-kejahatan apa saja yang tunduk dalam yurisdiksi universal dan batasan-batasan
dalam prakteknya. Karena kejahatan-kejahatan internasional semakin berkembang
menurut perkembangan zaman. Selain itu, jika sudah ada kesepakatan yang jelas antar
negara-negara di dunia tentang yurisdiksi universal, negara-negara di dunia akan lebih
leluasa untuk mempraktekan prinsip yurisdiksi universal dan diharapkan tidak
memberikan "safe heaven" atau tempat yang aman bagi para pelaku kejahatan
internasional berat di dunia ini. Hal yang terakhir adalah kejahatan-kejahatan internasional
yang serius sudah semakin berkembang seperti perdagangan manusia, terorisme,
perdagangan narkoba, dan lain-lain. Kejahatan - kejahatan di atas merupakan kejahatan
yang sangat berbahaya bagi seluruh dunia internasional. Diharapkan di kemudian hari,
kejahatan-kejahatan tersebut juga dapat dimasukkan dalam lingkup yurisdiksi universal.
Sehingga, penggunaan asas yurisdiksi universal dapat mengisi kekosongan yurisdiksi
Pengadilan Internasional (ICC) yang hanya menganggap empat kejahatan internasional

18 Philip Reichel, Ed., Handbook of Transnational Crime and Justice: Special Offer Edition, (London: SAGE
Publications, 2005), hlm. 315
15
yang tunduk pada yurisdiksinya. Demi kehidupan yang lebih baik, lewat instrumen hukum
ini, maka penggunaan prinsip yurisdiksi universal merupakan salah satu jalan keluar.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Yurisdiksi_universal
2. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7526/yurisdiksi-universal-dan-
pengadilan-penjahat-kemanusiaan
3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48857/Chapter
%20I.pdf?sequence=4
4. http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=167067&val=6113&title=PENGADILAN%20HAK%20ASASI
%20MANUSIA%20DAN%20MAHKAMAH%20PIDANA%20INTERNASIONAL
%20(ICC)
5. Adolf,Huala, Aspek- Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
16
6. Bassiouni M. Cherif, Crimes Againts Humanity, Oxford Press,Oxford, 1998
7. Buana,M.S., Hukum Internasional Teori dan Praktek, N Adolf,Huala, Aspek-
Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002.
8. Grzebyk, Patrycja. Criminal Responsibility for the Crime of Aggression.
Oxford: Routledge, 2013.
9. Gultom, Binsar. “Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat Di
Indonesia: Studi Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Pelaksanaannya di
Masa Orde Baru dan Reformasi.” Disertasi Doktor Ilmu Hukum USU. Medan:
Universitas Sumatera Utara, 2010.

17

Anda mungkin juga menyukai