PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu
ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna
memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan
akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata
lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila
tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya”.
2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 27-28 yang artinya “Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas”.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan
maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya,
kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja,
namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak
pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan
setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh".[2]
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu
yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud
hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi
bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan
hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani
kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus
berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada.
Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada
dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif
Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong
pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu
pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu
dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat
tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan
menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri.
Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang
dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah
dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh
anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya
kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak
negatif di kemudian hari.
C. Perilaku/ Karakteristik Konsumen dalam Ekonomi Islam
Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah
satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Amerika
yang selama ini dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia, ternyata salah
satu penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi jauh melebihi
tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari total pendapatan,
(presentase ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang dianggap membuat perekonomian
Amerika bergairah.
1) Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan
dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT
ْ ََلََي ُِحب
ََََال ُم ْعتَدِين َ ََََللا
ّ ََو َلََتَ ْعتَد ُواَ ِإ ّن ّ تََ َماَأ َ َح ّل
َ َََللاََُلَ ُك ْم َ َُياَأَي َهاَالّذِينَََآ َ َمن
َ َواَلََت ُ َح ِ ِّر ُموا
ِ ط ِِّي َبا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas".[5]
2) Konsumen yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan
pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya.
Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang
menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi
lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.
3.) Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah
dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi
Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang
gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di
bawah mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran,
kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah
seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir
dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an.
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[6]
َورا
ً سُ ْْطََفَتَ ْقعُدَََ َملُو ًماَ َمح ْ ط َهاَ ُك ّل
ِ ََالبَس ْ س
ُ كَََو َلََت َ ْب ُ ََو َلََتَجْ عَ ْلََيَدَكَََ َم ْغلُولَةًََإِلَى
َ عنُ ِق
(اإلسراء:29)
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan
menyesal".
4.) Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan
takmiliyat. "Dlaruriyat adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling
mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din),
jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz
al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang
dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan
lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya.
Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak
boleh melebihi dua prioritas konsumsi di atas.[7]
Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya
ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.
Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun
demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.
Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhantahsiniyat
seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak
ibadah sunnah.Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga,
monopoli dan lain-lain.
4) azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu).
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu
berpikir.[14]
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional.
Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu
ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual
yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar
menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan
bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat
Islam lainnya[15].
E. Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari
sekadarutility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-
nafs),properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga
atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah.
§ Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau
bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan
oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah
telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
§ Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep
ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang
tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
§ Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang
individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
§ Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama
dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
§ Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat
pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang
menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal
yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang
memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep
'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita
perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah,
tahsiniyyah dan hajiyyah.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki
perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar
yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi
anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim
:
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan
konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula
kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan
kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya
bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
DAFTAR PUSTAKA
http://fe.umj.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:workshop&catid=4
2:e-articles&Itemid=94
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003