Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu
ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna
memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan
akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata
lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila
tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.

Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan


keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni
kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas
antara keinginan (ragh bah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya
agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari
pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa
bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.

Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk


mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan
makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan
melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada
tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat)
dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia
harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk
menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik
manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah
yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang
melandasi teori permintaan Islami dan konvensional.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas, dapat kami tarik beberapa rumusan masalah, di
antaranya yaitu:
1. Pengertian konsumsi dalam islam
2. Apakah Konsep Penting dalam Konsumsi?
3. Apakah Perilaku/ Karakteristik Konsumen dalam Ekonomi Islam?
4. Apakah Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Konsumen Konvensional?
5. Apakah Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsumsi dalam Islam


Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani
maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba
Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat
(falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan
harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku konsumsi itu antara lain :

1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya”.
2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 27-28 yang artinya “Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar
kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas”.

3. Hadist yang menyatakan “Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum


kenyang” Hadist ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan pada manusia untuk
menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan secukupnya (hemat) tidak rakus
atau serakah sebab keserakahanlah yang menghancurkan bumi ini.
B. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan
atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu
barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam
prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)
dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,
maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas
konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.[1]

a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan
maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya,
kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja,
namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak
pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan
setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh".[2]

Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu
yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud
hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi
bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan
hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani
kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus
berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada.
Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada
dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif
Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong
pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.

b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)


Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu
dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima
oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah
kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis
barang dengan tingkat harga yang berbeda.

Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu
pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu
dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat
tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan
menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri.
Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang
dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.

Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi


yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-
Qur’an[3]mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya
kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi
pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan
lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah
dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh
anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya
kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak
negatif di kemudian hari.
C. Perilaku/ Karakteristik Konsumen dalam Ekonomi Islam

Selain berfungsi sebagai penopang kehidupan, konsumsi juga berfungsi sebagai salah
satu instrumen untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Amerika
yang selama ini dianggap sebagai kiblat perekonomian Negara-negara di dunia, ternyata salah
satu penopangnya adalah tingkat konsumsi masyarakatnya yang sangat tinggi jauh melebihi
tabungannya: rata-rata jumlah tabungan mereka hanya 2 persen dari total pendapatan,
(presentase ini adalah terendah di dunia), dan inilah yang dianggap membuat perekonomian
Amerika bergairah.

Namun, apakah dengan cara menggenjot pengeluaran saja Islam memaknai


konsumsi? " Kemaslahatan hakiki yang tercermin dalam sebuah aktifitas manusia, pada
dasarnya hanya bisa diketahui oleh Sang Pencipta-Nya saja. Manusia hanya mengetahui
sebagian kecil tanpa bisa memaknai keseluruhannya, apa yang tidak terlihat olehnya jauh
lebih banyak dari yang bisa dilihatnya, mereka juga lebih sering terburu-buru dalam
mewujudkan kemaslahatan dirinya. Sehingga, yang terjadi adalah kemafsadahan pada
kemasalahatan semu yang membungkusnya. Karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul
guna memberikan peringatan kepada seluruh umat manusia, agar senantiasa kembali kepada
kemaslahatan secara sempurna (agama)". [4]

Dengan demikian, rasionalisasi konsumsi tidak cukup dimaknai dengan hukum


maupun teori saja, namun juga harus bersandar pada aturan-aturan mendasar yang terdapat
dalam ajaran Islam itu sendiri.
Di bawah ini adalah beberapa karakteristik konsumsi dalam prespektif ekonomi Islam, di
antaranya adalah:

1) Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan
dan keharaman yang telah digariskan oleh syara'. Sebagaimana firman Allah SWT

ْ ‫ََلََي ُِحب‬
ََ‫ََال ُم ْعتَدِين‬ َ َ‫َََللا‬
ّ ‫ََو َلََتَ ْعتَد ُواَ ِإ ّن‬ ّ ‫تََ َماَأ َ َح ّل‬
َ ‫َََللاََُلَ ُك ْم‬ َ ُ‫َياَأَي َهاَالّذِينَََآ َ َمن‬
َ َ‫واَلََت ُ َح ِ ِّر ُموا‬
ِ ‫ط ِِّي َبا‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas".[5]
2) Konsumen yang rasional (mustahlik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan
pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun ruhaninya.
Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang
menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi
lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.

3.) Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah
dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi
Islam (mustawa al-kifayah). Mustawa kifayah adalah ukuran, batas maupun ruang
gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Di
bawah mustawa kifayah, seseorang akan terjerembab pada kebakhilan, kekikiran,
kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa al-kifayah
seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawa israf, tabdzir
dan taraf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam, sebagaimana nash al-Qur'an.

َ ُ‫َوالّذِينَََإِذَاَأ َ ْنفَقُواَلَ ْمََيُس ِْرف‬


َ ‫واَولَ ْمََيَ ْقت ُ ُر‬
‫واَوكَانَََبَيْنَََذَ ِلكَََقَ َوا ًما‬

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak kikir, dan hendaklah (cara berbelanja seperti itu) ada di tengah-tengah kalian".[6]

َ‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ْ‫ْطََفَتَ ْقعُدَََ َملُو ًماَ َمح‬ ْ ‫ط َهاَ ُك ّل‬
ِ ‫ََالبَس‬ ْ ‫س‬
ُ ‫كَََو َلََت َ ْب‬ ُ َ‫َو َلََتَجْ عَ ْلََيَدَكَََ َم ْغلُولَةًََإِلَى‬
َ ‫عنُ ِق‬
(‫اإلسراء‬:29)
"Dan jangan kau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kikir) dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya (terlalu pemurh). Karena itu mengakibatkan kamu tercela dan
menyesal".
4.) Memperhatikan prioritas konsumsi antara dlaruriyat, hajiyat dan
takmiliyat. "Dlaruriyat adalah komiditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling
mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifdz ad-din),
jiwa (hifdz an-nafs), keturunan (hifdz an-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifdz
al-mal), serta akal pikiran (hifdz al-aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang
dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antar satu orang dengan
lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya.
Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak
boleh melebihi dua prioritas konsumsi di atas.[7]

Penjelasan lain mengenai Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah


Para pakar maqasid telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian :

1) Kebutuhan Dharuriyat (Primer)


Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka
mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini
merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka
akan muncul fitnah dan bencana yang besar.[8]

Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya
ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.

”Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia


merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara’
menetapkan hukuman mati atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan
menghukum penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya, karena hal
demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya;
memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat
terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan
demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif;
mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan);
mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat
memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat
memerlukannya.” [9]

Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak


terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury
(prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi
mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan
diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan
darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan
minum arak.

2) Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)


Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara
lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan,
kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.
Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum
rukhshah(keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan
perintah-perintahtaklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan
dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang
sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat
ini.
Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang
dibutuhkan manusia, seperti akad muzara’ah, salam, murabahab, dan mudharabah.
Dilapangan ’uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi
pembunuhan tidak disengaja.
Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat adalah memelihara
kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan
ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyahdalam
keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan
ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin
untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hajjiyat
yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamarwalau hanya sedikit.
3) Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)
Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan
kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan
dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan
kehidupan manusia.

Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun
demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.
Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhantahsiniyat
seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak
ibadah sunnah.Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga,
monopoli dan lain-lain.

Dalam lapangan ’uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita


dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)
Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu
atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri
(eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan
dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh
gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat
terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain
yang membelanjakan hartanya.

Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan


seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [10]

Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah ini termasuk kategori


tahsinat,karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan
tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita
yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.
Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap
dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana
semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap
ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran
agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan
mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.
Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang
kafir dzimmy meminum dan menjual khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun
minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Empat Pedoman Syariah dalam Berkonsumsi


1) azas maslahat dan manfaat membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani
dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal
ini kaitan konsumsi dengan halaldanthoyyib.

2) azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah


kehinaan. Nabi SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan
keluarganya selama setahun.[11] “ Ya Allah jauhkanlah hamba dari
kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan
kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain.[12]
3) azas kesederhanaan : bersifat qanaah, tidak mubazir. “ Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.”[13]

4) azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu).
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu
berpikir.[14]

D. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Konsumen Konvensional


Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi
kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi
kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya,
baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu
harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk
mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah).
Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya
dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).

Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional.
Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu
ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual
yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar
menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan
bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat
Islam lainnya[15].
E. Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari
sekadarutility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujuan hukum syara' yang paling utama.

Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-
nafs),properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga
atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:

§ Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau
bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan
oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah
telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.

§ Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep
ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang
tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

§ Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang
individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:

§ Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama
dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
§ Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat
pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang
menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal
yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang
memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep
'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita
perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah,
tahsiniyyah dan hajiyyah.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki
perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar
yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi
anggaran untuk berkonsumsi.

Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim
:
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan
konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula
kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan
kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya
bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
DAFTAR PUSTAKA

http://fe.umj.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:workshop&catid=4
2:e-articles&Itemid=94
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

[1] Situs resmi ponpes darussalam banyuwangi www

Anda mungkin juga menyukai