Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Pembukuan dan Penulisan al-

Quran
Sejarah pembukuan dan penulisan al-quran ini menjadi sorotan penting di dalam setiap materi
pembelajaran yang menyangkut dalam bahasan Al-Quran dan Hadist di setiap jenjang
pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. Hal tersebut dikarenakan al-Quran
merupakan pedoman hidup serta petunjuk bagi seluruh mahluk di muka bumi. Artinya
dengan mengikuti setiap apa-apa yang ada didalam isi al-Quran dan menjadikannya pedoman
didalam setiap pijakan dalam kehidupan niscaya hidup kita akan lebih terarah, berperilaku
baik dan mendapatkan ridho dari-Nya.

Mushaf al-quran yang sekarang berada di tangan kita ini ternyata mempunyai sejarah panjang
dalam perjalanannya. Selama kurang lebih 1400 tahun al-Quran diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril sampai sekarang keautentikannya masih
tetap terjaga. Hal tersebut dikarenakan jaminan atas keautentikannya langsung di berikan oleh
Allah SWT yang ada di dalam Firman-Nya yang berbunyi “Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Adz-Dzikr (al-Quran) dan Kami pula lah yang akan menjaganya” (QS.Al-
Hijr(15) : 9). Para ahli mengemukakan bahwa al-Quran mempunyai beberapa fase dalam
kondifikasiannya. Fase-fase tersebut terbagi menjadi tiga yaitu fase pada masa Rasulullah,
masa sahabat dan masa setelah sahabat serta percetakan .

Fase Masa Rasulullah

Di dalam fase masa Rasulullah al-Quran masih belum tersistematis dalam kondifikasian
karena tidak adanya anjuran dari Rasulullah untuk membukukan al-Quran. Setiap kali turun
ayat-ayat al-Quran kepada Rasulullah, Beliau segera menyampaikannya kepada para sahabat
r.a seperti yang beliau terima dari malaikat Jibril tanpa perubahan, pengurangan, dan
penambahan sedikit pun.(Sejarah Al-Quran , hal 180). Pengumpulan al-Quran pada masa ini
lebih ke pada hafalan atau al-Jam’u Fis-Sudur yang mana ketika Rasulullah membacakan
wahyu dari Allah para sahabat langsung menghapalnya. Karena pada saat itu tradisi atau
kultur kebudayaan orang arab masih melekat yang telah termasyhur dengan kekuatan
hafalannya. Akan tetapi penulisan al-Quran tetap ada namun tidak semasyhur hafalan.

Penulisan al-Quran atau al-Jam’u Fis-Suthur pada masa itu melalui beberapa media
diantaranya yaitu berupa ar-Riqa’ (kulit), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang
binatang), dan al-‘Usbu (pelepah kurma). Sedangkan jumlah para sahabat yang menuliskan
al-Quran pada masa itu ialah kurang lebih 40 orang diantaranya yang lebih dikenal adalah
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin
Ma’qa. Penulisan al-Qur’an pada masa itu Rasulullah sangat menganjurkan. Akan tetapi para
sahabat pada umumnya masih banyak yang belum bisa menulis. Namun , mereka memiliki
ingatan yang kuat dan menakjubkan.

Rasulullah sangat melarang menulis sesuatu yang yang diucapnya selain al-Quran karena
Beliau takut penulisan al-Quran akan tercampur dengan perkataan Beliau (Hadits). Dalam hal
itu Rasulullah bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain Al-Quran, barang
siapa yang menulis dariku selain al-Quran. Maka hendaklah ia menghapusnya (HR Muslim ;
bab Zuhud hal 8). Rasulullah juga melarang membawa tulisan Al-Quran ke wilayah musuh .
hal tersebut sesuai sabdanya yang berbunyi “Janganlah kalian membawa catatan al-Quran ke
wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan al-Quran tersebut
jatuh ketangan mereka”.

Fase Masa Sahabat

Pertama, Khalifah Abu Bakar


Belum setahun setelah Rasulullah wafat yaitu pada masa Khalifahan Abu bakar terjadi
peperangan yang sangat sengit di kota yamamah. Peperangan antara kaum Muslim dengan
para pengikut nabi palsu (musailamah al-Kazab). Pasukan Muslim yang dibawah pimpinan
panglima perang Khalid bin al-Walid berjumlah 4000 orang. Namun ada yang menyebutkan
13000 orang dan di antara mereka itu terdapat sejumlah besar qurra’ (para qarii) dan huffazh
(para hafiz) al-Quran. Meskipun peperangan tersebut dimenangkan oleh kaum Muslim.
Kemenangan tersebut harus dibayar dengan banyaknya korban yang gugur sebagai syahid.
Menurut riwayat jumlah kaum Muslimin yang gugur sebagai syahid dalam peperangan
tersebut sekitar 1200 orang yang diantaranya 360 orang dari kalangan Muhajirin dan Ansor.
(al-Nasyr fi Qiraat, jld I hal 7). Dan dikalangan mereka terdapat 70 orang qari dan hafiz al-
Quran. Bahkan ada yang mengatakan lebih. Hal itu menimbulkan kekhawatiran pada diri
Umar bin Khatab, yang menurut pandangannya banyaknya para qari dan hafiz yang wafat
akan membawa implikasi pula kepada banyaknya al-Quran yang hilang. Karena
kekhawatiran tersebutlah Umar bin Khatab menyampaikan idenya untuk mengumpulkan al-
Quran kepada Khalifah Abu Bakar. Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk
melaksanakan ide Umar tersebut disebabkan pada masa Rasulullah sendiri tidak
melakukannya. Akan tetapi karena desakan yang terus diberikan oleh Umar mengingat
banyak kebaikan yang akan di peroleh. Kemudian Abu Bakar pun setuju.

Dalam perealisasiannya, Khalifah Abu Bakar membentuk kepanitiaan yang beranggotakan


Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab dan Usman bin Affan dengan di ketuai
oleh Zaid bin Tsabit. Pada awalnya Zaid bin Tsabit merasa enggan melakukan hal tersebut
sama seperti Khalifah Abu Bakar pada awalnya. Namun karena desakan yang disampaikan
Khalifah, lalu ia mensetujui hal tersebut. Kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat al-Quran
dari pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit dan hapalan para sahabat. Di tunjuknya
Zaid sebagai ketua dalam pengumpulan al-Quran oleh Khalifah karena beberapa alasan.
Pertama, karena ia seorang pemuda. Sebagai seorang pemuda tentunya memiliki tenaga yang
prima, selain itu ia juga terbuka pada seniornya serta tidak fanatik tehadap pendapatnya.
Kedua, ia adalah orang yang cerdas dan telah di akui kecerdasannya oleh para sahabat.
Ketiga, ia adalah seorang yang amanah dan tercercaya. Keterpercayaannya itu dinyatakan
sendiri oleh Abu Bakar dengan ucapannya “Kami tidak menuduh atau meragukan kamu”.
(Sejarah al-Quran hal 220). Keempat, disamping ia tau isi al-Quran, ia juga paling banyak
menulis wahyu al-Quran dibanding sahabat lainnya.

Sebenarnya Zaid bukanlah orang pertama yang mengumpulkan al-Quran dalam sebuah
mushaf. Diantara para sahabat ada yang lebih dulu mengumpulkan al-Quran yaitu
diantaranya Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan Umar
bin Khatab. Namun apa yang mereka lakukan belum dapat dipertanggung jawabkan
sepenuhnya. Mengingat sember yang mereka pakai hanya sebatas hapalan dan catatan al-
Quran koleksi pribadi masing-masing. Sebaliknya pengumpulan yang dilakukan oleh Zaid
adalah atas tanggung jawab negara dan atas perintah Khalifah. Zaid bin Tsabit dalam
pengumpulan ayat-ayat al-Quran yang di bantu oleh para sahabat itu dapat menyelesaikannya
kurang lebih satu tahun setelah ia di perintah oleh Khalifah Abu Bakar.
Kedua, Khalifah Umar bin Khatab

Setelah Khalifah Abu Bakar wafat pada tahun 13 H. Kekhalifahan diganti oleh Umar bin
Khatab. Pada masa pemerintahan beliau, tidak ada langkah-langkah baru terhadap al-Quran.
Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi pada masa itu belum menghendaki demikian.
Selain itu para sahabat sendiri sudah merasa tenteram dengan terkumpulnya al-Quran dalam
mushaf resmi itu.

Ketiga, Khalifah Usman bin Affan

Pada masa ini, al-Quran telah menyebar. Bukan hanya negara yang memiliki mushaf. Namun,
para sahabat juga memiliki mushaf. Menurut Ibnu Katsir, mushaf Ubay bin Ka’ab dipakai di
Damaskus, mushaf Ibnu Mas’ud di Kuffah, mushaf Abu Musa di Basrah dan mushaf al-
Miqdad di Himsh. (Sejarah Al-Quran, hal 237). Akan tetapi mushaf-mushaf itu tidak
seragam, terutama dalam hal bacaannya. Kelompok-kelompok kaum muslimin yang
memegang mushafnya tersebut, fanatik akan kebenaran mushaf yang mereka pegangi.
Akibatnya timbullah pertikaian yang tajam antara sesama kaum Muslim karena perbedaan
bacaan yang selama ini tidak lagi terawasi oleh pemerintahan.

Kasus perbedaan bacaan yang sangat memprihatinkan itu telah pula disaksikan oleh Huzaifah
bin al-Yamani, yang melahirkan gagasan dalam dirinya untuk menyampaikan kepada
Khalifah. Agar khalifah segera mungkin bertindak untuk menyeragamkan mushaf al-Quran
kepada satu Qirat atau bacaan saja. Sebagai tindak lanjut hal tersebut Khalifah Usman
mengadakan pertemuan dengan para sahabat untuk membahas tentang penyeragaman mushaf
dalam satu qiraat saja. Kemudian para sahabat pun setuju dengan hal tersebut.

Didalam merealisasikan ide tersebut Khalifah Usman membaginya dalam beberapa langkah
yaitu langkah pertama, meminjam mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa
Abu Bakar kepada Hafsah untuk disalin ke beberapa mushaf. Kedua, membentuk panitia
yang terdiri empat orang, yaitu Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin al-Zubair, Sa’id
bin al-Ash dan Abdurrahman bin Harits sebagai anggota serta delapan orang lagi sebagai
pembantu. Ketiga, setelah panitia menyelesaikan tugasnya, mushaf-mushaf tersebut dikirim
ke berbagai pusat islam dengan jumlah mushaf yang disalin sebanyak empat buah. Salah
satunya disimpan di Madinah sedang yang selebihnya dikirim ke Khufah, Bashrah, dan
Syam. Keempat, memerintahkan kepada kaum muslim membakar semua mushaf dan catatan
al-Quran yang tidak sesuai dengan mushaf Khalifah yang telah mereka terima.

Khalifah Usman di dalam penyelarasan bacaan al-Quran memakai logat (dialek) Quraisy. Hal
ini karena Rasulullah sendiri orang Quraisy. Penyeragaman bacaan ini tidak menyalahi Sunah
Rasul. Karena Rasulullah sendiri memakai logat (dialek) Quraisy dalam membaca al-Quran
serta bentuk tulisannya menggunakan tulisan Kuffi yang tidak menggunakan titik dan baris
seperti penulisan pada zaman Rasulullah.

Fase Setelah Sahabat Serta Pencetakan al-Quran

Seiring berjalannya waktu, perkembangan Islam mulai maju serta Islam telah menyebar ke
berbagai wilayah non-Arab. Hal itu menjadi problema baru karena penulisan al-Quran masih
memakai tulisan Khafi atau Arab gundul yang tidak ada titik dan tanda bacanya. Ketakutan
orang Muslim Arab terhadap kesalahan membaca al-Quran yang di bacakan oleh orang non-
Arab, lama-kelamaan bisa merubah lafadz al-Quran dan keontentikannya.
Ubaidillah bin Ziyad atau yang lebih diikenal dengan Ibnu Ziyad gubernur bashrah pada
pemerintahan Dinasti Umayah meminta kepada Abu Aswad al-Duali salah seorang tokoh atau
peletak dasar kaidah-kaidah ilmu nahwu untuk membuat tanda-tanda baca dalam al-Quran.
Pada awal mulanya Abu Aswad tidak mau menerima tawaran tersebut karena sifat kehati-
hatiannya terhadap al-Quran. Namun pada saat itu Ibnu Ziyad tidak kehilangan akal dan
menyerah. Ia memerintahkan kepada seseorang untuk menghalangi perjalanannya Abu
Aswad, yang kebetulan beliau sedang berpergian. Seseorang itu di perintahkan oleh Ibnu
Ziyad untuk membaca dengan salah salah satu ayat al-Quran. Dengan suara lantang
seseorang itu membaca satu ayat al-Quran. Kemudian Abu Aswad terkejut dan bergegas
menemui Ibnu Ziyad serta menyatakan bersedia memenuhi permintaannya.(az-Zanjani, hal
115-116). Abu Aswad ad-Duali menggunakan titik bundar penuh dengan berwarna merah
untuk menandai fathah, kasrah, dhammah, tanwin. Dan menggunakan warna hijau untuk
menandai hamzah. Adapun yang pertamakali membuat titik untuk membedakan huruf-huruf
yang sama karakternya (Nuqathul Hart) adalah Nasr bin Ashim atas permintaan Hajjaj bin
Yusuf as-Tsaqafy seorang gubernur pada masa Dinasti Umayah. Kemudian orang yang
pertamakali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun dan Tasydid seperti yang
kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy pada abad ke 2 H.

Pada masa Khalifah Usman hingga beberapa abad kemudian, Mushaf-mushaf al-Quran selalu
ditulis tangan. Namun, tulisan tersebut semakin lama, semakin rapi dan indah sesuai dengan
perkembangannya. Akan tetapi setelah adanya mesin cetak dalam huruf Arab, maka
penggandaan al-Quran tidak lagi menggunakan tulisan tangan, tetapi menggunakan mesin
cetak.

Percetakan al-Quran menurut para ahli dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode
percetakan klasik (1500-1900). Kedua, mesin cetak modern (1920-1980). Ketiga, periode
digital mushaf. Al-Quran pertama kali dicetak dan diterbitkan di Venice sekitar tahun 1530
M, kemudian di Basel pada 1543, tetapi dimusnahkan atas perintah para penguasa gereja.
Pada 1694 seorang jerman yang bernama Hinckelman telah berhasil mencetak al-Quran di
kota Hamburg. Pada tahun 1787 telah pula lahir percetakan islam yang pertama khusus al-
Quran di Saint Peterbourg.

Pada masa Raja Fuad I pada tahun 1342 H/1923 M. telah pula dimulai percetakan al-Quran di
Qairo Mesir di bawah pengawasan para syaikh al-Azhar. Penulis khatnya adalah Syaikh
Muhammad ‘Ali Khalaf al-Husaini. Dicetak sesuai dengan riwayat Hafsh dari Ashim. Dan
mushaf ini kemudian diterima oleh seluruh umat Islam di Dunia. Setelah itu banyak
bermunculan percetakan-percetakan al-Quran di setiap negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.

Di era komputer sekarang ini, tepatnya sejak 1980 sampai sekarang telah berkembang pula
apa yang dimaksud komputerisasi al-Quran dan al-Quran digital. Al-Quran telah tersimpan di
berbagai bentuk disket, CD-ROM ataupun aplikasi android/smartphone.

Dari berbagai uraian di atas mengenai mengenai sejarah penulisan dan pembukuan al-Quran
dari masa Rasulullah hingga masa setelah sahabat dan masa modern dapat di tarik
kesimpulan bahwa keautentika al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia
masih tetap terjaga dari mulai diturunkan hingga pada masa sekarang ini. Telah mencapai
sekitar 1400 tahun. Hal ini sesuai janji Allah yang telah termaktub dalam al-Quran yang
berbunyi “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (al-Quran) dan Kami pula
lah yang akan menjaganya” (QS.Al-Hijr(15) : 9). Sebagai seorang muslim, kita wajib
bersyukur karena kita dilahirkan pada zaman atau umat Nabi Muhammad yang mu’jizat
kenabian beliau masih dapat kita rasakan sampai saat ini di dalam kehidupan kita. Bertapa
agungnya al-Quran yang Allah turunkan kepada kita sebagai mahluk-Nya. Dan tugas kita
sebagai hamba-Nya mesti menjaganya dengan mempelajari dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari agar kita mendapatkan Ridho-Nya yang Maha Suci.

Sumber : ( https://fikrii99.wordpress.com/2017/11/10/sejarah-pembukuan-dan-penulisan-al-quran/

Anda mungkin juga menyukai