Lapkas Cardio
Lapkas Cardio
BAB I
LATAR BELAKANG
Krisis hipertensi biasanya ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastolik yang
melebihi 120 hingga 130 mmHg dan tekanan sistolik mencapai 200 hingga 220 mmHg.
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis hipertensi dan secara garis
besar, The Fifth Report of The Joint National Comitte on Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan
emergency jika desertai dengan kerusakan organ target dan hipertensi urgency jika tanpa
disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergency dan urgency sering dijumpai di
instalasi gawat darurat yakni sekitar 27,5 % dari semua kasus-kasus emergency yang ada.
Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke IGD adalah pasien krisis hipertensi.
Hipertensi emergency merupakan suatu diagnosis klinis dan penilaian kondisi klinis lebih
penting dari pada nilai absolut tekanan darah. Sehingga pada pasien-pasien yang tidak
memiliki riwayat hipertensi atau wanita dengan pre-eklampsia, peningkatan tekanan yang
lebih rendah dari nilai tersebut dapat dianggap sebagai hipertensi emergency.2
Sindroma hipertensi emergency pertama sekali disampaikan oleh Volhard dan Fahr
pada tahun 1914 yang memaparkan kasus hipertensi berat yang disertai dengan bukti adanya
kelainan ginjal dan tanda-tanda injuri vaskular jantung, otak, retina dan ginjal yang
selanjutnya cepat mengalami serangan jantung, gagal ginjal dan stroke. Penelitian besar
tahun 1939 oleh Keith dan kawan-kawan yang melaporkan bahwa pada hipertensi malignan
yang tidak diobati maka dalam 1 tahun angka mortalitasnya mencapai 79% dengan median
survival 10,5 bulan. Di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan hasil riset kesehatan
2
dasar 2007 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebesar 32,2% dan di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 30,2%. Pengobatan yang tepat dan cepat serta intensif
lebih diutamakan dari pada prosedur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis
hipertensi bersifat reversibel. Dalam menanggulangi krisis hipertensi dengan obat anti
hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi tekanan darah dan aliran darah,
pengobatan selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai, pengetahuan
mengenai obat parenteral dan oral antihipertensi, variasi regimen pengobatan untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek samping yang minimal.2
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : M. Nasir
Usia : 58 tahun
Agama : Islam
2.2 Anamnesa
Pasien datang ke IGD Meuraxa dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ± 2 jam SMRS.
Nyeri dada dirasakan pedih dan terasa panas, tidak menjalar ke lengan kiri, bahu dan dagu.
Pasien tidak mengeluhkan keringat dingin, mual muntah maupun nyeri perut. Nyeri dada
sebelumnya disangkal oleh pasien. Pasien tidak mengeluhkan sesak, namun pasien pernah
memiliki riwayat sesak tahun 2013. Pasien mengaku tidak mudah lelah saat beraktivitas, dan
aktivitas dilakukan tanpa keterbatasan. Pasien juga tidak pernah mengalami bengkak di
bagian kaki. Pasien mengeluhkan pusing sejak 1 hari SMRS. Pusing dirasakan menetap
disebelah kiri kepala, pusing dirasakan seperti tertekan dan terikat. Pasien tidak mengalami
nyeri kepala berputar, pusing tidak disertai telinga berdenging. Keluhan pusing tanpa disertai
4
penurunan kesadaran. Tidak terdapat kelemahan anggota gerak, tidak terdapat rasa
kesemutan, tidak terdapat lidah pelo, Buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa
keluhan. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma. Pasien juga tidak merasakan keluhan
pusing disertai pandangan kabur tiba-tiba, penglihatan ganda dan nyeri pada mata.
Pasien memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak tahun 2013. Pasien
mengaku riwayat darah tinggi ini tidak menimbulkan keluhan apapun. Pasien pernah
mengkonsumsi obat antihipertensi pada tahun 2013, namun pengobatan dilakukan tidak rutin.
tempatnya bekerja. Saat ini, pasien tidak mengkonsumsi obat antihipertensi ± 4 tahun.
Pasien pernah mengalami TB Paru pada tahun 2013 dan mendapatkan pengobatan TB Paru
secara tuntas
Merokok sejak lebih 10 tahun yang lalu, dalam sehari ± 8 batang. Pasien mengatakan
Alkohol disangkal
a.radialis
Suhu : 36,8 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/+, pupil
Mulut : Mulut simetris, tidak ada deviasi Tonsil T1/T1, tidak sianosis
Leher : Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tidak meningkat.
6
Thorak Paru
Inspeksi : Bentuk dada kanan kiri simetris, pergerakan nafas kanan sama
Thorak Jantung
Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi, thrill, trusting, heaving.
Batas kanan :
Batas kiri :
Abdomen
Perkusi : Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), tidak ada pembesaran hepar, tidak ada
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 second, arteri perifer teraba normal, edema
ekstermitas -/-
7
Status Neurologis
Saraf Cranial :
N. VI (Abdusen) : Pergerakan bola mata (ke lateral) : baik dalam batas normal
N IX (glosofaringeus) : Perasaan lidah (1/3 bagian lidah belakang) : baik dalam batas normal
Menelan : baik
N XII (Hipoglossus) : Pergerakan lidah : baik, dapat menggerakan lidah ke segala arah
Pergerakan : (+)/(+)
Kekuatan :5/5
Pergerakan : (+)/(+)
Kekuatan :5/5
Tonus : Normal
Chaddock : (-)/(-)
Gorda : (-)/(-)
Gondon : (-)/(-)
Schiffer : (-)/(-)
2.4.1 Elektrokardiografi
2.4.2 Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Hematokrit 43,6 %
Kesan
2.7 Penatalaksanaan
Amlodipin 1x10 mg
Valsartan 1x80 mg
2.8 Follow Up
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan akut tekanan darah sistolik > 180/120
mmHg. JNC 7 membagi krisis hipertensi berdasarkan ada atau tidaknya bukti kerusakan
organ sasaran yang progresif (hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi). Bukti kerusakan
organ sasaran yang dimaksud antara lain ensefalopati hipertensif, infark miokard akut, gagal
jantung kiri disertai edema paru, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsia. Klasifikasi ini
berdampak pada tata laksana pasien. Hipertensi emergency adalah kenaikan tekanan darah
mendadak (sistoli ≥180 mmHg dan / atau diastolic ≥120 mmHg) dengan kerusakan organ
target yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera, dalam
hitungan menit sampai jam agar dapat membatasi kerusakan yang terjadi. Sedangkan
hipertensi urgency adalah kenaikan tekanan darah mendadak (sistoli ≥180 mmHg dan / atau
diastolic ≥120 mmHg) tanpa kerusakan organ target. Pada kasus hipertensi urgensi dapat
dilakukan penanganan dalam beberapa kurun waktu beberapa jam hingga beberapa hari.3
3.2 Epidemiologi
Secara global, angka kejadian hipertensi primer yang mengalami progresi menjadi
krisis hipertensi hanya kurang dari 1%. Rendahnya angka yang tampaknya disebabkan oleh
makin terjangkaunya terapi hipertensi sebaiknya tidak membuat kita puas sebab semua
emergensi dan urgensi sering dijumpai di instalasi gawat darurat yakni sekitar 27,5% dari
semua kasus – kasus emergensi yang ada. Hipertensi emergensi merupakan suatu diagnosis
klinis dan penilaian kondisi klinis lebih penting dari pada nilai absolut tekanan darah.
13
Sehingga pada pasien – pasien yang tidak memiliki riwayat hipertensi atau wanita dengan
pre-eklamsia, peningkatan tekanan darah yang lebih rendah dari nilai tersebut dapat dianggap
Sindroma hipertensi emergensi pertama sekali disampaikan oleh Volhard dan Fahr
pada tahun yang memaparkan kasus hipertensi berat yang disertai dengan bukti adanya
kelainan ginjal dan tanda – tanda injuri vaskular jantung, otak, retina dan ginjal yang
selanjutnya cepat mengalami serangan jantung, gagal ginjal dan stroke. Penelitian besar
tahun 1939 oleh Keith dan kawan – kawan yang melaporkan bahwa pada hipertensi malignan
yang tidak diobati maka dalam 1 tahun angka mortalitasnya mencapai 79 % dengan median
survival 10,5 bulan. Di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan hasil riset kesehatan
dasar 2007 yang dilakukan oleh kementerian kesehatan sebesar 32,2 % dan di provinsi
3.3 Klasifikasi
mmHg).Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam tiga klasifikasi yakni normal, pre-
(mmHg) (mmHg)
3.4 Etiologi
1. Hipertensi Essensial
2. Penyakit Ginjal
Pielonefritis kronik
Glomerulonefritis
Sistemik sklerosis
Vaskulitis ginjal
Nefritis tubulointerstitial
Fibromuskular displasia
15
3. Obat-obatan
methyldopa)
and selegiline)
4.Kehamilan
5.Endokrin
Pheocromocytoma
Primary aldosteronism
Glucocorticoid excess
Renin-secreting tumors
CVA infarction/hemorrhage
Cidera kepala3
3.4 Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah yang tinggi secara akut yang dapat dipicu oleh beberapa
faktor seperti kelainan hormonal tertentu, misalnya krisis tiroid, krisis feokromositoma,
cocaine dan amfetamin, luka bakar, trauma kepala, glomerulonephritis akut, pembedahan dan
lain – lain akan memicu terjadinya peningkatan resistensi vascular sistemik yang selanjutnya
16
bisa berdampak terjadinya kerusakan organ target melalui dua jalur, yaitu peningkatan
tekanan darah yang demikian akan menimbulkan kerusakan sel – sel endotel pembuluh darah
yang akan diikuti dengan pengendapan sel – sel platelet dan fibrin sehingga menyebabkan
terjadinya nekrosis fibrinoid dan proliferasi intimal. Disisi lain terjadi peningkatan sekresi zat
kompensasi yang semakin mempertinggi peningkatan tekanan darah sehingga terjadi pula
mekanisme tersebut akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang semakin tinggi
sehingga menimbulkan iskemia jaringan dan pada akhirnya menyebabkan disfungsi organ.2
Kerusakan organ target yang sering dijumpai pada pasien dengan hipertensi
emergensi terutama berkaitan dengan otak, jantung dan ginjal. Berbagai kerusakan organ
target yang bisa dijumpai : hipertensi malignant dengan papiledema, berkaitan dengan
hemorrhage), trauma kepala, berkaitan dengan kardiak (seperti diseksi aorta akut, gagal
jantung akut, infark miokard akut / mengancam), setelah operasi bedah pintas koroner (by
renovaskular, krisis renal akibat penyakit kolagen – vascular dan hipertensi berat setelah
transpalntasi ginjal), berkaitan dengan kadar katekolamin yang berlebihan (seperti krisis
feokromositoma, interaksi antara makanan atau obat – obatan dengan monoamine oxidase
mendadak obat – obat antihipertensi dan hiperrefleksia automatic setelah cedera tulang
belakang), pembedahan (seperti hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi
segera, hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi), luka bakar yang luas / berat,
Gambaran klinis krisis hipertensi umumnya adalah gejala organ target yang
terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung dan diseksi aorta,
mata kabur dan edema papil mata, sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi
pada gangguan otak, gagal ginjal akut pada gangguan ginjal, di samping sakit sakit kepala
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua lengan, mencari
kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, diseksi
aorta). Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas. Auskultasi untuk mendengar ada atau
tidak bruit pembuluh darah besar, bising jantung dan ronkhi paru. Perlu dibedakan
komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi atapun payah jantung kongestif dan
oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.3
3.7 Penatalaksanaan
kerusakan organ target. Obat – obatan yang ideal digunakan pada kondisi pasien dengan
hipertensi emergensi bersifat: memberikan efek penurunan tekanan darah yang cepat,
reversible dan mudah dititrasi tanpa menimbulkan efek samping. Pengendalian penurunan
tekanan darah tersebut harus benar – benar terkontrol dengan baik dengan
mempertimbangkan manfaat yang dicapai dan efek hipoperfusi yang mungkin terjadi.Target
penurunan tekanan darah sistolik dalam satu jam pertama sebesar 10 – 15% dari takanan
darah sistolik awal dan tidak melebihi 25 %. Jika kondisi pasien cukup stabil maka target
tekanan darah dalam 2 sampai 6 jam selanjutnya sekitar 160 /100 – 110 mmHg. Selanjutnya
hingga 24 jam kedepan tekanan darah dapat diturunkan hingga tekanan sistoliknya 140
mmHg.2
Perlu diingat bahwa pada pasien dengan hipertensi emergensi dapat mengalami
sehingga pemberian cairan kristaloid akan memperbaiki perfusi organ dan mencegah
menurunan tekanan darah yang drastic akibat efek obat antihipertensi yang diberikan. Namun
pemberian cairan tersebut harus berhati – hati karena pada sebagian pasien hipertensi
19
emergensi disertai / mengancam terjadinya edema paru. Peningkatan tekanan darah yang
mendadak tentunya juga akan meningkatkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang
selanjutnya juga akan meningkatkan pula tekanan di atrium kiri dan vena pulmonal sehingga
terjadi bendungan dan kongesti di paru. Pemberian cairan sebaiknya diberikan setelah target
penurunan tekanan darah dalam 1 jam telah tercapai dan perlu pemantauan yang ketat. Pada
saat target tekanan darah yang diharapkan telah tercapai maka pemberian obat – obat oral
antihipertensi dapat segera dimulai dan obat intravena dapat diturunkan perlahan – lahan
hingga dihentikan. Penurunan tekanan darah hingga normotensi sebaiknya dicapai dalam
beberapa hari kemudian. Adapun untuk kasus – kasus hipertensi urgensi (tanpa disertai
kerusakan organ target) maka penurunan tekanan darah dapat dilakukan secara perlahan
Kehamilan.
Peningkatan tekanan darah secara akut pada pasien hamil hingga tekanan darah
sistolik mencapai lebih dari 180 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 110
terjadi sebaiknya tekanan darah diastolic dipertahan diatas 90 mmHg untuk menjamin
perfusi utero – placental yang adekuat. Jika diturunkan hingga dibawah 90 mmHg
akan mencetus terjadinya fetal distress akut akibat hipoperfusi hingga bisa
Stroke
Pada pasien intra cerebral haemorrhage dengan tekanan darah sistolik antara 150
hingga 220 mmHg maka penurunan tekanan darah sistolik secaram akut hingga 140
mmHg terbukti cukup aman dan efektif terhadap perbaikan fungtional. Jika pada
pasien tersebu tekanan darah sistoliknya lebih dari 220 melebihi 15 %. Namun jika
20
pada pasien tersebut akan diberikan terapi thrombolitik maka tekanan darah perlu
Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh JNC 7 ada beberapa jenis obat yang biasa
digunakan dalam menangani kasus – kasus hipertensi emergensi, seperti tampak pada tabel 1.
Pemilihan jenis obat yang dipakai sebaiknya disesuaikan dengan sindroma atau kerusakan
organ target yang ditemukan, seperti tampak pada tabel 2. Pada tabel tersebut tampak bahwa
nicardipin yang termasuk golongan antagonis calsium merupakan salah satu jenis obat yang
Memiliki efek antihipertensi yang cepatdan stabil serta efek minimal terhadap
Jika dibandingkan dengan obat golongan antagonis calcium lainnya, nicardipine memiliki
mg/min
Fenoldopan HCL 0,1-0,3 ug/kg/min <5 menit 30-60 menit
Nicardipine HCL 5-15 mg/jam 5-10 menit 15-90 menit
Esmolol 250-500 ug/kg/min 1-2 menit 10-30 menit
IV bolus, kemuadian
50-100 ug/kg/min
melalui infuse : bolus
dapat diulang setelah
5 menit atau infusnya
dinaikkan sampai
300 ug/menit
Fenoldopam
Nitroprusside
Clevidipin
Diagnosis pada kondisi tersebut yakni perfusi jaringan yang tidak efektif sebagai
akibat sekunder dari hipertensi berat yang menyebabkan kerusakan organ target. kriteria
perbaikan yang diharapkan pada pasien tersebut berupa : pasien sadar penuh, kulit teraba
hangat, nadi bilateral kuat dan sama, pengisian kapileri kurang dari 3 detik, tekanan darah
sistolik < 140 mmHg, diastolic < 90 mmHg, MAP 70 – 120 mmHg, frekuensi nadi 60 – 100
kali / menit, tidak ada aritmia yang mengancam, urin 30 ml/jam atau 0,5 – 1 ml/KgBB/jam,
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien berupa : monitoring tekana darah dan
mencatat setiap peningkatan atau penurunan yang tiba – tiba, memantau produksi urin setiap
jam dan mencatat jika adanya darah dalam urin, serta monitoring EKG untuk memantau ada
tidaknya aritmia atau perubahan segmen ST dan gelombang T yang menunjukkan adanya
iskemik atau injuri miokard. Penanganan yang perlu diberikan pada pasien berupa oksigen 2
oksigen dengan memposisikan pasien tetap istirahat ditempat tidur, membantu pasien untuk
menurunkan kecemasannya, memberikan makanan cair pada fase akut, memberikan obat –
23
obatan sesuai kolaborasi dengan dokter serta menyiapkan pasien dan keluarganya untuk
BAB IV
ANALISA KASUS
KASUS ANALISA
Nyeri dada dirasakan pedih dan terasa panas, Hipotesis pertama mengenai
terbentuknya arteriosklerosis didasarkan
tidak menjalar ke lengan kiri, bahu dan dagu.
tekanan darah yang tinggi secara kronis
Nyeri dada kemudian berkurang 30 menit menimbulkan gaya regang atau potong yang
merobek lapisan endotel arteri dan arteriol.
kemudian.
Gaya regang terutama timbul di tempat-
tempat arteri bercabang atau membelok: khas
untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri
serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel,
timbul kerusakan berulang sehingga terjadi
siklus peradangan, penimbunan sel darah
putih dan trombosit, serta pembentukan
bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat
terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus
di bagian hilir.4
Peningkatan tekanan darah sistemik
pada hipertensi menimbulkan peningkatan
resistensi terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung
bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi
ventrikel kiri untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk
mempertahankan curah jantung dengan
hipertrofi kompensasi dapat terlampaui;
kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas
suplai pembuluh koroner menyebabkan
iskemia miokardium lokal.4
Pasien mengeluhkan pusing sejak 1 hari Nyeri kepala meningkat ketika serat afferent
SMRS. Pusing dirasakan menetap disebelah primer menginervasi meningeal atau
kiri kepala, pusing dirasakan seperti tertekan pembuluh darah serebral menjadi aktif;
dan terikat. Pasien tidak mengalami nyeri kebanyakan dari serat nociceptive
kepala berputar, pusing tidak disertai telinga dilokasikan di dalam bagian pertama dari
berdenging. Keluhan pusing tanpa disertai ganglion trigeminal atau ganglia servikal
penurunan kesadaran. atas.4
Merokok sejak lebih 10 tahun yang lalu, Rokok dapat menyebabkan akumulasi toksik
dalam sehari ± 8 batang. Pasien mengatakan di pembuluh dara yang menimbulkan
ssudah berhenti merokok 2 tahun ini. aterosklerosis yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga terjadi oklusi
pembuluh darah. Hal ini akan berdampak
25
BAB V
KESIMPULAN
Krisis hipertensi merupakan suatu diagnosis klinis sehingga penilaian kondisi klinis
dari pasien lebih utama dari pada nilai absolute tekanan darah. Kondisi yang mendesak
tersebut menuntut penanganan yang cepat untuk mencegah kerusakan organ. Obat-obat
antihipertensi yang diberikan sebaiknya bersifat parenteral, reaksi yang cepat dan mudah
dititrasi. Target segera penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-15% dan tidak melebihi
25% sebaiknya dicapai dalam waktu 1 jam pertama, kecuali pada kondisi tertentu seperti
diseksia aorta. Nicardipin memiliki beberapa keunggulan dan mudah digunakan dalam
DAFTAR PUSTAKA
1. Bryg, R.J. 2009. High Blood Pressure and Hypertensive Crisis. http://
www.webmd.com/hypertension-highblood- pressure/guide/hypertensivecrisis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon.
Indonesia.
Kardiovaskular Indonesia.
December 20013.
7. Guideline For The Prevention, Detection, Evaluation and Management of High Blood