TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Stroke
II.1.1. Definisi
kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
II.1.2. Epidemiologi
Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan
kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya
dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria)
meninggal akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk meninggal setiap
usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada
sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen
pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah
pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena
anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011).
a) Stroke iskemik
b) Stroke hemoragik
i) Perdarahan intraserebral
2) Berdasarkan stadium:
b) Stroke in evolution
c) Completed stroke
a) Tipe karotis
b) Tipe vertebrobasiler
yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor
risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).
a. Umur
b. Jenis kelamin
d. Faktor turunan
a. Prilaku:
1. Merokok
2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang
buah
3. Alkoholik
pil kontrasepsi
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
,dkk.2010)
1. Riwayat hipertensi
2. Current smoking
5. Diabetes Mellitus
7. Psikososial stress
8. Depresi
9. Gangguan jantung
II.1.5 Patofisiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli
dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang
yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker dkk,
2010).
hipoksia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir
dengan kematian sel sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. (Misbach, 2011).
Iskemia dapat dibagi lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis,
1. Trombosis
Trombosis mengacu pada obstruksi aliran darah karena proses oklusi lokal
dalam satu atau lebih pembuluh darah. Lumen pembuluh darah yang menyempit
aterosklerosis, di mana jaringan fibrous dan otot tumbuh terlalu cepat pada
subintima, dan materi lemak membentuk plak yang dapat mengganggu pada
membentuk yang berfungsi sebagai nidus untuk pengendapan fibrin, trombin, dan
2. Emboli
Pada emboli, materi terbentuk di tempat lain dalam sistem vaskular pada
arteri dan memblok aliran darah. Penyumbatan bisa bersifat sementara atau dapat
lebih distal. Berbeda dengan trombosis, blok emboli lumen tidak disebabkan oleh
proses lokal yang berasal pada arteri yang tersumbat. Materi yang muncul
proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri utama seperti aorta, karotis, dan
disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah. Penyebab yang paling
umum adalah kegagalan pompa jantung (paling sering karena infark miokard atau
aritmia) dan hipotensi sistemik (karena kehilangan darah atau hipovolemia). Dalam
atau emboli dan mempengaruhi otak secara difus dan bilateral (Caplan, 2009).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan
menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core
iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan
pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan
ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah
hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah
penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya
pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat
Tahap 1 :
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di
Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan
stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%,
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering
pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Caplan, 2000)
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh
II.2.1. Definisi
Sampai saat ini belum terdapat definisi yang baku untuk chronic pain
syndrome paska stroke. Terdapat beberapa tipe nyeri kronis yang dapat terjadi
setelah stroke, yaitu: nyeri sentral paska stroke (CPSP), nyeri nosiseptif dan nyeri
kepala ( Widar dkk, 2002). Nyeri sentral paska stroke (Central post stroke pain/
CPSP) merupakan kondisi nyeri neuropatik spesifik dimana nyeri ini disebabkan
oleh lesi pada jalur somatosensori pada sistem saraf pusat yaitu jalur yang
perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi yang terkena. Hal ini
dapat terjadi akibat subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan
Dikatakan nyeri kronik bila terdapat nyeri yang ditemukan konstan atau
Bentuk chronic pain syndrome setelah stroke yang paling umum adalah
nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala (Klit dkk, 2009).
II.2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi mengenai chronic pain syndrome paska stroke saat ini
masih sedikit. Prevalensi dari nyeri setelah stroke bervariasi antara 19-74%
(Jonsson dkk, 2006). Pada satu studi di Denmark dilaporkan bahwa nyeri setelah
stroke dijumpai dalam 2 tahun dengan tipe: nyeri kepala, nyeri sendi bahu dan
sendi lainnya, nyeri karena spasme dan kaku otot, nyeri lainnya, dan nyeri
Pada studi PROFESS Trial ditemukan dari 15.754 pasien setelah stroke
dijumpai 1.665 orang (10,6%) menderita chronic pain syndrome setelah stroke,
dimana dari 10,6 % tersebut, terdapat 2,7 % dengan CPSP, dengan neuropati
perifer (1,5%), dengan nyeri akibat spastisitas ( 1,3 %), dengan nyeri akibat
Dikutip dari Klit H, Finnerup NB, Jensen TS. 2009. Central Post- Stroke pain:
stroke antara 1-12% (Klit dkk, 2009). Perkembangan CPSP dihubungkan dengan
gangguan sensorik, dan pada satu studi ditemukan prevalensi CPSP tinggi sampai
mencapai 18% pada pasien dengan defisit sensorik. Anderson menemukan bahwa
dkk,1995).
Usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi bukan merupakan prediktor dari nyeri
II.2.3. Patofisiologi
Pada teori sensitisasi sentral dikemukakan bahwa lesi pada susunan saraf
stimulus termal khususnya sensasi dingin lebih banyak dijumpai pada pasien-
dan inhibisi terhadap input yang masuk ke sistem saraf pusat, termasuk interaksi
antara nukleus di batang otak dan korda spinalis dan sirkuit supraspinal
perubahan somatosensori dan jalur nyeri terjadi setelah stroke diduga terjadi pada
sistem nyeri di bagian lateral (lateral discriminative pain system). Thalamus diduga
berperan penting dalam mekanisme terjadinya nyeri sentral, dan kejadian CPSP
sering terjadi setelah lesi thalamus. (Klit dkk, 2009, Kim dkk, 2007)
Thalamus diduga juga dapat berimplikasi pada nyeri sentral pada pasien-
pasien dimana lesi tidak langsung melibatkan thalamus. Studi sebelumnya telah
CPSP yang mengalami nyeri spontan saat istirahat. Hiperaktivitas thalamus juga
nukleus kaudal ventral dari talamus pada pasien-pasien dengan nyeri sentral.
Hilangnya inhibisi neuron-neuron yang terdiri dari GABA di thalamus dan aktivasi
Pada chronic pain syndrome paska stroke juga sering diakibatkan oleh nyeri
bahu misalnya subluksasi dari sendi glenohumeral dan cedera jaringan lunak
yang dapat diakibatkan kurang hati-hati saat latihan fisik dan spastisitas dari otot
bahu (Widar dkk, 2002). Penyebab lain nyeri bahu juga dapat diakibatkan
stroke. Nyeri kepala terdapat pada sekitar seperenam pasien pada permulaan
transient ischemic attack, sekitar 25% pasien stroke iskemik akut, sekitar 50%
subarakhnoid. Beratnya nyeri kepala tidak berkaitan dengan ukuran besarnya lesi
stroke iskemik. Patofisiologi nyeri kepala mungkin diakibatkan oleh lepasnya zat
vasoaktif, seperti serotonin dan prostaglandin dari trombosit yang diaktivasi oleh
prevalensi kejadian nyeri kepala paska stroke sebesar 10%. Nyeri kepala pada
pasien stroke berhubungan dengan kejadian patofisiologi dari stroke (Klit dkk,
2011).
II.3.1 Definisi
1. Atensi
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal
kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
atensi sama sekali, kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus,
berbahasa.
3. Memori
dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan
hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau
kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut
mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia
anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult.
Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal
Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada
4. Visuospasial
kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai
peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining
parietal.
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan
frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait
engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan
Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai
terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi
eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis
menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat
Mini Mental State Examination) adalah penilaian yang paling banyak dipakai.
saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi
tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini
adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status
mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada
digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya
fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan
tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State
Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working
Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan
Fungsional
infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia
white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan
konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan
kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter.
Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti
mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala
tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren
diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik,
fungsional, psikologi dan sosial. Dimana aspek fisik berkaitan dengan gejala dari
penyakit; aspek fungsional berkaitan dengan perawatan diri dan tingkat aktifitas
hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan
skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke
dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke.
Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale
≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan
dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013).
mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur,
menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan
defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri
Paska Stroke
STROKE
CHRONIC PAIN
SYNDROME
GANGGUAN OUTCOME
KOGNITIF FUNGSIONAL