Anda di halaman 1dari 14

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dan Negara Lainnya

PERBEDAAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA DENGAN NEGARA LAINNYA

I. PENDIDIKAN KEWARGAAN NEGARA INDONESIA

Pengertian Pendidikan Kewargaan Negara


PKN adalah suatu pendidikan yang ingin membina seseorang yang sudah memiliki status
kewarganegaraan menjadi warga negara yang baik. Jadi PKN bertujuan meningkatkan kualitas
manusia Indonesia (WNI). Yang dalam dunia pendidikan di negara kita mempunyai 12 sasaran
bina aspek yaitu :
1. Pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME
2. Yang berbudi pekerti luhur
3. Yang berkepribadian
4. Berdisiplin
5. Yang bekerja keras
6. Yang tangguh
7. Yang mandiri
8. Yang bertanggung jawab
9. Yang cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani
10. Yang mampu menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air
11. Yang mampu menumbuhkan dan mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan
sosial
12. Yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta sikap dan perilaku yang inofatif dan kreatif
PKN tidak dibatasi oleh lingkup tempat dan waktu. Hanya saja penyampaian PKN itu
disesuaikan dengan profesi yang ingin dimiliki oleh peserta didik.

Sasaran Pendidikan Kewargaan Negara


Objek studi PKN adalah manusia Indonesia yaitu Warga Negara Indonesia. Status/kedudukan
seseorang membawa serta peranan seseorang. Disinilah seseorang dituntut dapat senantiasa
menampilkan dirinya sesuai dengan hakekat manusia. Pangkal tolak untuk supaya manusia itu
dapat sesuai dengan statusnya adalah pengendalian diri.

II. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI NEGARA ASING

Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis

Sejarah Singkat Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis

Di Perancis, Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) secara tradisional telah


menjadi salah satu agenda politik yang penting, disebabkan oleh kebutuhan untuk
mengkonsolidasikan dukungan nasional bagi Republik Ketiga (Third Republic) ketika demokrasi
dikembalikan pada tahun 1871.

Pendidikan Kewarganegaraan pada Sistem Pendidikan di Perancis


Pendidikan kewarganegaraan bukanlah subyek akademik konvensional. Subyek-subyek lain,
seperti sejarah dan geografi, memperlengkapinya dengan referensi kultural dan saintifik.
Pendidikan kewarganegaraan mengambil arti penuhnya ketika ia dihubungkan dengan kehidupan
sekolah, dan khususnya ketika berkenaan dengan aturan-aturan pemerintah yang mengatur hak-
hak pelajar dan dewan sekolah lanjutan atas.

Perbandingan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan Perancis

Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak
merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu
bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan,
misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi
pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan
dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika
indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan
semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan
atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau
dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial
dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui
amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Di era
‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi
kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan
kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua
masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil,
khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.

Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang

Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara
Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang
diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian
besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang
dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.

Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living
experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam
tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian
tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan
bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.

Konteks Kelahiran

Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah


Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan
mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana
direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah
kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang
lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata
pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan
pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa
Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93).

Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga
periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada
pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga,
periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.

Landasan Pengembangan

Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari


konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting
diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan
antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut:
“Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used
differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi
antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan
dalam konteks yang berbeda.

Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah
menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai berikut:

1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of


sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah
negara dan prinsip kedaulatan)

2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can
contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep
tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi
dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)

3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and
wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu
komunitas dan masyarakat yang lebih luas)

4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan
kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)

Diajukan untuk tugas kewarganegaraan semester 1


Universitas Padjadjaran, Ilmu Komunikasi kelas A

September 09

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI


BERBAGAI NAGARA
A. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, peranan sekolah menjadi sangat penting dalam menanaman
pendidikan kewarganegaraan. Pada saat sistem pendidikian umum di negara A.S tumbuh, PKn
diberikan tempat utama di kurikulum sekolah, sejak tahun 1890-an, mata pelajaran ini dinamai
‘ilmu sosial’ telah dibentuk untuk menjalankan peran utamanya pada persiapan
kewarganegaraan.
Studi kasus terhadap PKn di A.S memberikan perhatian yang utama untuk ilmu sosial.
Studi kasus ini meneliti apa yang dipelajari anak usia 14-15 tahun terbagi menjadi empat bidang,
yaitu: (i) demokrasi, lembaga politik, dan hak-hak dan tangggung-jawab warga negara, (ii)
identitas nasional, (iii) perbedaan dan kepaduan sosial; dan (iv) hubungan antara sistem politik
dan ekonomi.
Pada tingkat pra-Universitas, topik-topik yang dikembangkan diantaranya landasan dan
konsep dasar pemerintahan Amerika, cabang-caban pemerintahan, proses politik, organisasi dan
partisipasi ekonomi nasional, kebijaksanaan luar negeri dan pertahanan keamanan, wilayah dan
saling ketergantungannya, pemerintah pusat dan lokal, kajian ilmu pengetahuan politik, hak dan
kemerdekaan pribadi serta esensi warga negara yang efektif, demokrasi dan tanggung jawab.
B. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Inggris
Di negara bagian Wales, mata pelajaran PKn dinamakan “Pendidikan Pemahaman
Masyarakat” dan Irlandia Utara PKn dinamakan “Pendidikan Pemahaman Yang Saling
Menguntungkan” dan Pendidikan Warisan Budaya”.
Di masa lalu PKn menjalankan berbagai tujuan, antara lain pada zaman Ratu Victoria
mempromosikan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan status sosial pada tahun 1920-
an, PKn mempromosikan pentingnya memahami masyarakat daerah nasional; dan pada tahun
1990-an serta 1970-an PKn mempromosikan keinginannya untuk membantu kewarganegaraan di
dunia. Pada akhir tahun 1980-an dan pada awal 1990-an PKn menitikberatkan pada hak,
kewajiban dan kesetian warga negara yang mencerminkan retorika dan kebijakan pemerintah
konservatif. Pemerintah konservatif menuntut setiap individu untuk secara aktif melaksanakan
kewajiban mereka, bukan menyerahkan pelaksanaannya kepada pemerintah.
C. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Australia
Di Australia mata pelajaran PKn terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya sehingga
sangat sulit untuk melepaskan mata pelajaran ini dari komponen pembelajaran lainnya. Baru-
baru ini pemerintah federal mengumumkanbahwa mereka aka melakukan survei dasar tentang
pembahasan siswa dalam mata pelajaran PKn sebagai bagian dari program Discovery
Democracy.
Beberapa masalah serius senantiasa dihadapi sekolah-sekolah di Australia dalam
mengimplementasikan pendidikan kewarganegaraan. Masalah tersebut meliputi persaingan
prioritas dan kurangnya struktur kurikulum.
Pelajaran kewarganegaraan di Australia dikonsepkan sebagai sekumpulan pengalaman
belajar berbasis sekolah yang membantu menyiapkan para siswa untuk menjadi warga negara
yang baik.
Ada beraneka perspektif berkenaan dengan PKn. Ada pihak yang berpendapat bahwa
PKn penting unntuk mempersiapkan warga negara melalui pembelajaran tentang sejarah dan
pemerintahan. Sedangkan pihak yang lain berpendapat bahwa PKn adalah usaha untuk
mempersiapkan warga negara melalui partisipasi aktif dalam bermacam kegiatan sekolah dan
kemasyarakatan.
Banyak warga Australia dewasa menyakini pentingnya mempelajari tentang
pemerintahan, hak-hak dan tangggung jawab dan aspek-aspek kewarganegaraan lainnya.
D. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Hongkong
Mata Pelajaran yang berhubungan dengan kewarganegaraan umumnya mengulas
struktur pemerintahan hongkong, tanpa banyak membicarakan tentang politik. Hal ini
disebabkan oleh iklim politik yang telah dibahas sebelumnya, yaitu menghindari politik sejauh
mungkin. Sebagian hal ini juga disebabkan oleh peraturan tertulis yang melarang pembicaraan
politik di kelas.
Perubahan-perubahan kurikulum menggambarkan PKn sebagai mata pelajaran sekolah
yang berbeda dan bagaimana materi PKn ada dalam beberapa mata pelajaran lain selama dekade
terakhir. Hasilnya adalah bahwa topik yang berkaitan dengan PKn memang dimasukkan, namun
tidak teroganisir dan terpisah-pisah.
Departemen pendidikan yang mulai menerbitkan buletin bulanan PKn dan Civic
Education newsletter 3 kali setahun. Departemen pendidikan mendirikan sebuah “rencana kerja
PKn” untuk melaksanakan pengimplementasian PKn di sekolah. Rencana ini diperkenalkan ke
sekolah-sekolah dan sekolah menengah pada tahun 1993 dan 1995. Menurut 3 survei utama yang
dilakukan Departemen Pendidikan pada tahun 1986, 1987 dan 1991, banyak dari rekomendasi
PKn yang diadopsi oleh mayoritas sekolah di Hongkong (Bray dan Lee, 1993).
Tiga survei yang dilakukan Departemen Pendidikan pada tahun 1986, 1987, 1990 untuk
mengevaluasi pengimplementasian PKn di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa sekolah
mendukung pengembangan PKn, dan ada kepedulian yang terus tumbuh terhadap PKn di
sekolah-sekolah, karena:
- Meningkatnya masalah prilaku siswa pada beberapa tahun belakang yang menghawatirkan
publik sehingga menuntut diadakannya pendidikan moral dan PKN.
- Rendahnya partisipasi pemilihan pada pemilihan Dewan Distrik, Dewan Urban, Dewan
Regional dan Dewan Legislatif, yang merefleksikan apatisme politik.
- Adanya kepedulian publik tentang bagaimana seharusnya para siswa diajari. Untuk menghadapi
perubahan sosial dan politik, karena tahun 1997 semakin mendekat.
- Adanya kritik dari pejabat-pejabat cina tentang kurangnya unsur-unsur sosialisme dan patriotik
dalam kurikulum hongkong
- Adanya kebutuhan untuk memperkuat PKn untuk memperlengkapi siswa dengan pengetahuan
tentang hak dan tanggung jawab mereka, terutama berkaitan dengan penurunan usia untuk ikut
pemilihan umum menjadi usia 18 tahun.

Karena semakin dekatnya tanggal penyerahan Hongkong kepada Cina, maka terdapat
peningkatan permintaan publik akan PKn, sebagian datang dari kelompok oporsisi pro Cina.
Sebagian lagi berasal dari bahan-bahan pendidikan lain yang menyatakan bahwa PKn
dibutuhkan untuk mempertinggi pendidikan demokrasi dan HAM. Untuk pertama kalinya
pemerintahan Hongkong menerbitkan sebuah dokumen resmi yang mencantumkan nasionalisme
dan patriotisme.

E. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Portugal

Peraturan pendidikan Portugis (hukum 46/86 tanggal 14 Oktober) mengeluarkan


pernyataan bahwa PKn adalah tujuan utama sekolah dalam konteks Portugis.

Relevansi sosial PKn di Portugis diterjemahkan kedalam kurikulum usulan yang


menjelmakan suatu usaha terfokus untuk mengembangkan kapasitas siswa untuk mengetahui,
secara kritis memikirkan dan bertindak dalam isu demokrasi, identitas nasional, kohesi dan
keberagaman sosial serta permasalahan ekonomi dan daerah.

Menurut Campos ada 3 kepedulian dasar yang menjadi asal muasal dimasukkannya PKn
ke dalam program sekolah, yaitu: (i) persiapan untuk menghadapi masalah kehidupan, (ii)
penekanan pada nilai-nilai dan (iii) usaha untuk memajukan perkembangan siswa.

Penitikberatan pada nilai-nilai melibatkan berbagai pendekatan (pendidikan moral,


klarifikasi nilai dan pendidikan karakter) yang walaupun memiliki banyak perbedaan teori dan
ideologi, namun tetap memiliki fokus yang sama pada dimensi etika PKn penitik-eraan pada
pendekata berorientasi isi terhadap PKn telah diadopsi oleh Cunha (1993, 1994), seorang
Penasehat Pendidikan Karakter dan Marques (1989, 1990, 1994) yang telah mensintesa proposal
Kolhberg dan Giligan menasehatkan bahwa pendidikan karakter di sekolah seharusnya
memajukan keadilan, perhatian dan kebaikan. Oliveira-Formosinho (1986) dan Lourenco (1991,
1992) menganjurkan sebuah pendekatan Kolhbergian yang agar ketat, yang berorientasi pada
isu-isu keadilan. Valente (1989a, b) menyatakan bahwa klarifikasi nilai adalah suatu alat bagi
sekolah untuk memajukan kesempatan berfikir kritis.

Komisi Reformasi sistem pendidikan Portugis telah menentukan beberapa tujuan PPS
berkenaan dengan perkembangan proses-proses psikologis :
(i) Berfikir komprehensif, (ii) kemampuan memahami berbagai sudut pandang dan
mengintegrasikan sudut pandang tersebut dalam dialog dan keputusan, (iii) kemampuan untuk
berempati, (iv) pengembangan diri, (v) pembangunan nilai-nilai universal yang memadu pikiran
dan moral diluar konvensi semata

Reformasi ini telah berjalan dan saat ini mempengaruhi semua tingkat pendidikan dasar
dan menengah. Namun mata pelajaran khusus dan PKn hanya diimplementasikan secara
eksperimental di sekelompok kecil sekolah. Beberapa kecendrungan positif reformasi ini adalah
:
o Sekarang kurikulum menitik-beratkan tujuan pada bidang kognitif dan afektif
o Isi kurikulum untuk kelas 5-9 memasukkan tema-tema PPS, dan saran tentang strategi dan
metodologi pengajaran yang peka terhadap tujuan PKn, menunjukkan bahwa penyebaran lintas
kurikulum telah tercapai (Mourao, Pais dan Nunes, 1994)
o Pengalaman strategi pengajaran PKn yang inovatif menghasilkan hasil yang positif namun tetap
ada beberapa kesulitan dalam pengimplementasikannya (Ramalho, 1992; Branco, 1993).
Namun kesimpulan utama dari tinjauan riset yang ada adalah adanya kebutuhan yang
kuat untuk melakukan lebih banyak penyelidikan dibidang ini.
F. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang
Konteks kelahiran pendidikan kewarganegaraan di jepang dapat ditelusuri terutama setelah
Perang Dunia kedua (1945). Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah PD kedua dapat
digambarkan dalam tiga periode, yakni:
 Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman.
 Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan.
 Ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan.
Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan ke dalam studi
sosial. Studi sosial mengadopsi metode – metode pemecahan masalah, seperti penelitian dan
diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Pada periode yang
kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang
dalam disiplin akademis. Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode kedua
ini terdiri atas empat unsur, yaitu untuk mengembangkan :
1. Pengetahuan dan pemahaman
2. Keterampilan berpikir dan ketetapan
3. Keterampilan dan kemampuan
4. Kemauan, minat, dan sikap warga negara
Pada periode ketiga, pendidikan jepang ditekankan pada pengembangan prindip hubungan
timbal balik. PKn dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat
terlibat secara aktif dalam masyarakat dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Pada
periode ketiga ini, PKn jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)”
dalam sekolah tingkat atas dan sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah. Landasan
pengembangan pendidikan kewarganegaraan di jepang tidak dapat dilepaskan dari konsep
warganegara dan kewarganegaraan (citizenship).
G. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
- Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pelajaran civics sebelum kemerdekaan atau pada zaman Hindia-Belanda dikenal
dengan nama Burgerkunde. Meskipun pada waktu itu bangsa Indonesia dijajah, namun konsep
tentang pendidikan politik maupun pelaksanaannya lewat pendidikan formal dan non-formal
tetap berlangsung. Oleh guru-guru sekolah partikelir, sedangkan non-formal terutama dilakukan
oleh para tokoh pergerakan nasional. Oleh tokoh nasional sekaligus proklamator, Bung Karno
dan Bung Hatta.
- Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Perkembangan Ikn-PKn sesudah Proklamasi kemerdekaan digambarkan oleh Nu’man
Somantri (1976: 34-35) sebagai kewarganegaraan (1957), civics (1961), Pendidikan Kewargaan
Negara (1968), Pendidikan Kewargaan Negara (1972), Pendidikan Kewarganegaraan (1989),
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
- Kecenderungan Pengembangan Ikn-PKn di Masa Era Reformasi
P4 dipermasalahkan subtansinya, karena tidak memberikan gambaran yang tepat tentang
nilai pancasila sebagai satu kesatuan, dan P4 dalam realitasnya merupakan tafsiran tumggal
rezim orde baru untuk kepentingan memelihara kekuasaan, sehingga berakibat pendangkalan
terhadap makna Pancasila. Begitu pula Pancasila sebadai asas tunggal tidak diperlukan lagi,
karena tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang multikultural atau Bhinneka. Pengalaman
pahit ini, hendaknya menjadi pelajaran bagi para pengembang kurikulum PKn maupun para
pengambil kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan kedua kalinya.

IKn-PKn sebagai pemberdayaan warga negara akan selalu relevan dalam masyarakat
demokratis sampai kapanpun. Oleh karena itu Orientasi IKn-PKn akan memperkuat civil society.
Suatu masyarakat yang terorganisir yang berdasarkan kesukarelaan, swasembada dalam
ekonomi, berswadaya dalam politik, memiliki kemandirian tinggi dalam behadapan dengan
negara dan memiliki keterikatan terhadap norma-norma atau nilai-nilai hukun yang diikuti oleh
warganya (Muhammad AS Hikam, 1996: 3).

ERKEMBANGAN CIVIC EDUCATION DI AFRIKA SELATAN

A. Profil Negara Afrika Selatan

Republik Afrika Selatan atau Uni Afrika Selatan adalah sebuah negara di Afrika bagian
selatan. Afrika Selatan bertetangga dengan Namibia, Botswana dan Zimbabwe di utara,
Mozambik dan Swaziland di timur laut. Keseluruhan negara Lesotho terletak di pedalaman
Afrika Selatan

Afrika Selatan terletak di 29 00’ S. 24 00’ T. Luas kawasannya adalah 1.219.912 km, dahulu
negara ini terkenal dengan sebutan Tanjung Harapan pertama kali ditemukan oleh pengembara
Portugis yang bernama Vasco Da Gama yang kemudian menjadi koloni Belanda sejak tahun
1652. Pada tahun 1961 setelah Pemilu khusus kaum kulit putih, Afrika Selatan dideklarasikan
sebagai sebuah Republik yang merdeka dari Inggris. Politik Apartheid dilanjutkan, yang
menimbulkan penindasan terhadap kaum kulit putih dan kaum kulit berwarna lainnya. Afrika
Selatan merupakan negara demokrasi konstitusional dengan sistem tiga tingkat dan institusi
kehakiman yang bebas. Trdapat tiga tingkat yaitu; nasional, wilayah dan pemerintrah lokal yang
mempunyai badan legislatif serta eksekutif dengan daerah kekuasaan masing-masing.

B. Profil Pendidikan Kewarganegaraan di Afrika Selatan

Profil Pendidikan Kewarganegaraan di Afrika Selatan berkaitan dengan hal-hal sebagai


berikut; 1. Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Afrika Selatan; 2. Landasan
dikembangkan Pendidikan Kewarganegaraan di Afrika Selatan; 3. Kerangka sistemik Pendidikan
Kewarganegaraan di Afrika Selatan; 4. Kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan
di Afrika Selatan; dan 5. Kultur kelas pendidikan kewarganegaraan di Afrika Selatan.
Di masa l;alu pemerintahan Afrika Selatan bersifat sangat Rasis dengan sistem apartheid
yang mendominasi arah politik negara di segala bidang. Sistem apartheid adalah suatu upaya
dominasi kulit putih dalam percaturan politik negara, sehingga tidak memberikan kesempatan
pada kaum kulit hitam dan berwarna untuk berperan. Masyarakat Afrika Selatan terpisah-pisah
atas berbagai macam masyarakat Ras, yang juga terbagi atas kelas Gender, etnik, bahasa,
masyarakat kota dan desa, sebagaimana masyarakat yang memiliki tanah atau yang tidak. Dalam
hal pendidikan di Afrika Selatan, masa persekolahan adalah selama tiga belas tahun atau tingkat.
Namun, tahun pertama pendidikan atau tingkat 0 dan tiga tahun terakhir yaitu dari tingkat 10
hingga tingkat 12 (juga dipanggil ”matric”) tidak diwajibkan. Kebanyakan sekolah dasar
menawarkan tingkat 0. Tetapi tingkat ini dapat juga dibuat di T, untuk memasuki universitas
seseorang wajib lulus ”amtric” minimum tiga mata pelajaran tingkat tinggi dan bukan sekedar
lulus (standar). Di bawah sistem apartheid, sistem pendidikannya berdasarkan warna kulit yaitu
kementrian yang berbeda untuk pelajar kulit putih, berwarna, asia, dan kaum kulit nhitam di luar
Bantustan. Pengasingan ini telah menghasilkan 14 kementrian pendidikan yang berbeda di
negara tersebut.
Pemerintahan dan parlemen dengan disusunnya undang-undang persekolahan tahun 1996
yang baru, dan muali berlaku di awal tahun 1997 membawa demokrasi dalam reformasi
pendidikan, menyiapkan tata administrasi persekolahan yang baru, dan memilih dewan sekolah
yang baru. Kurikulum pun direformasi berdasarkan kurikulum 2005, anak-anak usia sekolah
ditahun pertama diberikan banyak dasar-dasar mengenai kewarganegaraan dan demokras,
sebagai contoh : 1. Kemampuan untuk merefleksikan keadilan, nilai demokrasi dan rasa hormat
pada kemanusiaan, dan 2. Kemampuan untuk berpartisipasi sebagai warga negara baik lokal,
propinsi, nasional dan dunia. Kurikulum 2005 memberikan tempat bahwa pendidikan
kewarganegaraan sebagai hal yang sangat penting dalam pembentukan Afrika Selatan yang baru.
Ide mengenai kewarganegaraan adalah jantung dari sistem politik yang demokratis yang terdiri
atas hak dan kewajiban dalam hidup atas dasar hukum. Sistem politik dijalankan dengan
mempertahankan nilai-nilai dasar dalam masyarakat.
Ada dua hal yang diperhatikan sebagai pijakan atas pendidikan kewarganegaraan di Afrika
Selatan, yaitu :
1. Mempersiapkan warga negara untuk aktif dan baik khususnya dalam komunitas dan masyarakat
secara umum;
2. Menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mendahulukan kesatuan diatas perbedaan.
Hal yang menjadi obyek utama yang harus dipelajari oleh individu sendiri adalah satu
masyarakat, bangsa, agama, atnik dan nilai-nilai yang menyatukan mereka dalam satu
masyarakat yang satu. Ini berarti setiap individu harus dapat bertoleransi satu sama lain. Dalam
rangka mencari landasan nilai dalam pendidikan ini Departemen Pendidikan Nasional
membentuk suatu kelompok kerja yang bertugas menyusun landasan nilai pendidikan di Afrika
Selatan. Daam laporannya kelompok kerja ini diberi nama Manifesto Nilai Pendidikan dan
Demokrasi merekomendasikan kesetaraan, toleransi Multikulturalisme, keterbukaan,
akuntabilitas, dan kehormatan untuk diajarkan di semua persekolahan. Manifesti Nilai
Pendidikan dan Demokrasi ini juga menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai konstitusi untuk
diajarkan, yaitu : Demokrasi, Keadilan Sosial, Non Rasismedan kesetaraan Gender, Ubuntu
(Martabat Manusia, Masyarakat yang terbuka, Akuntabilitas/Tanggung jawab,
Salingmenghormati, Rule of Law, dan Rekonsiliasi. Berkaitan dengan hal ini Kurikulum 2005
menggariskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di Afrika Selatan hendaknya memiliki
landasan nilai-nilai sebagai berikut :1. Kesadaran akan jati diri bangsa, 2. Melek Politik, 3. Hak
dan Kewajiban, 4. Nilai Sosial, dan 5. Kemampuan Intelektual.
Sistem persekolahan di Afrika Selatan terdiri atas dua macam bentuk, yaitu :
1. Pendidikan melalui persekolah Formal (Education), pendidikan yang pertama ini dilakukan
melalui suatu lembaga persekolahan pada umumnya. Ada yang didirikan oleh negara dan ada
juga oleh Swasta.
2. Pendidikan melalui Pelatihan (Training), pendidikan ini dilakukan melalui suatu lembaga bukan
merupakan suatu lembaga persekolahan tapi melalui suatu kegiatan pelatihan yang dilakukan
seperti pendidikan Kejar Paket A di Indonesia.
Kedua bentuk sistem persekolahan tersebut dijalankan dalam tiga tingkatan yakni: 1.
Pendidikan dan Pelatihan Umum/Dasar (General Education and Training); 2. Pendidikan dan
Pelatihan Lanjutan (Further Education and Training); dan 3. Pendidikan dan Pelatihan Tinggi
(Higher Education and Training). Dalam pengajaran pendidikan kewarganegaraan di
persekolahan terdapat tiga fase pengajaran yaitu: 1. Fase Dasar, diajarkan selama tiga tahun yang
memiliki tiga aktivitas kegiatan pembelajaran yaitu : Kemelekan; Kemampuan dan
Keterampilam hidup; 2. Fase Lanjutan, diajarkan selama tiga tahun yang berisikan materi
pendidikan Kewargaan sebagai bagian dari seni dan kebudayaan, Orientasi hidup, dan
Pendidikan Sosial; dan 3. Fase Senior untuk kelas tujuh sampai sembilan yang berisikan
Orientasi hidup, kemanusiaan dan ilmu pengetahuan sosial sebagai bagian utama bagi
pendidikan untuk demokrasi dan kewargaan. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan
secara kerangka Sistemik diajarkan dalam tingkatan fase-fase dan hanya diberlakukan secara
nasional pada tingkat pendidikan dasar saja selanjutnya ditentukan oleh lembaga pendidikan
yang bersangkutan.
http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/05/perkembangan-civic-education-di-afrika.html

Afrika Selatan Life Orientation


Australia Civics, Social Studies, Powratwam
Hongaria People and Society
Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan
Inggris Citizenship Education
Irlandia Civic, Social and Political Education (CSPE)
Jepang Social Studies, Living Experience and Moral Education
Jerman Sachunternicht
Korea Simin Gyoyung
Malaysia Pendidikan Sivik dan Kewarganegaraan (PSK)
Mexiko Educacion Civicas
Prancis Education civique, juridique et sociale (ECJS)
Rusia Obscesvovedinie
Selandia Baru Social Studies
Singapura Civics and Moral Education
Spanyol Educación para la Ciudadanía (EpC)
Timur Tengah Ta’limatul Muwwatnah, Tarbiyatul al Watoniyah
USA Civics, civic education

perbandingan Kewarganegaraan Indonesia


dengan Negara lain
Posted on Maret 1, 2011 by bazit

I. Pendidikan Kewarganegaraan Negara Indonesia


Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu pendidikan yang ingin membina seseorang yang
sudah memiliki status kewarganegaraan dan menjadi warga negara yang baik. Jadi, pendidikan
kewarganegaraan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia (WNI). Dalam dunia
pendidikan di Indonesia memiliki 12 bina aspek sebagai berikut:
1. Pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Berbudi pekerti luhur
3. Berkepribadian
4. Berdisiplin
5. Bekerja keras
6. Tangguh
7. Mandiri
8. Bertanggung jawab
9. Cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani
10. Mampu menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air
11. Mampu menumbuhkan dan mempertebal semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial
12. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif

II. Pendidikan Kewarganegaraan Di Negara Asing


Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Sejarah Singkat Pendidikan Kewarganegaraan di Perancis
Di Perancis, Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) secara tradisional telah
menjadi salah satu agenda politik yang penting, disebabkan oleh kebutuhan untuk
mengkonsolidasikan dukungan nasional bagi Republik Ketiga (Third Republic) ketika demokrasi
dikembalikan pada tahun 1871.
Pendidikan Kewarganegaraan pada Sistem Pendidikan di Perancis
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah subyek akademik konvensional. Subyek-subyek lain,
seperti sejarah dan geografi, memperlengkapinya dengan referensi kultural dan saintifik.
Pendidikan kewarganegaraan mengambil arti penuhnya ketika ia dihubungkan dengan kehidupan
sekolah, dan khususnya ketika berkenaan dengan aturan-aturan pemerintah yang mengatur hak-
hak pelajar dan dewan sekolah lanjutan atas.
Perbandingan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan Perancis
Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak
merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu
bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan,
misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi
pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan
dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika
indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan
semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan
atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau
dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial
dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui
amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Di era
‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi
kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan
kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua
masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil,
khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang
Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara
Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang
diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian
besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang
dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living
experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam
tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian
tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan
bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.
Konteks Kelahiran
Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah
Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan
mulai menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana
direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah
kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang
lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata
pelajaran ini telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan
pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa
Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93).
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga
periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada
pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga,
periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Landasan Pengembangan
Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari
konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu,
penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan
antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut:
“Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used
differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi antara
citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam
konteks yang berbeda.
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah
menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of
sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah
negara dan prinsip kedaulatan)
2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can
contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep
tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi
dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)
3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and
wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu
komunitas dan masyarakat yang lebih luas)
4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan
kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)

Anda mungkin juga menyukai