Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak
merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu
bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan,
misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi
pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu akan
dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika
indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan
semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan
atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau
dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial
dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui
amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Di era
‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi
kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan
kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua
masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil,
khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.
Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara
Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang
diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian
besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang
dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.
Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living
experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam
tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian
tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan
bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.
Konteks Kelahiran
Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga
periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada
pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga,
periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.
Landasan Pengembangan
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah
menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai berikut:
2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can
contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep
tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi
dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)
3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and
wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu
komunitas dan masyarakat yang lebih luas)
4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan
kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)
September 09
Karena semakin dekatnya tanggal penyerahan Hongkong kepada Cina, maka terdapat
peningkatan permintaan publik akan PKn, sebagian datang dari kelompok oporsisi pro Cina.
Sebagian lagi berasal dari bahan-bahan pendidikan lain yang menyatakan bahwa PKn
dibutuhkan untuk mempertinggi pendidikan demokrasi dan HAM. Untuk pertama kalinya
pemerintahan Hongkong menerbitkan sebuah dokumen resmi yang mencantumkan nasionalisme
dan patriotisme.
Menurut Campos ada 3 kepedulian dasar yang menjadi asal muasal dimasukkannya PKn
ke dalam program sekolah, yaitu: (i) persiapan untuk menghadapi masalah kehidupan, (ii)
penekanan pada nilai-nilai dan (iii) usaha untuk memajukan perkembangan siswa.
Komisi Reformasi sistem pendidikan Portugis telah menentukan beberapa tujuan PPS
berkenaan dengan perkembangan proses-proses psikologis :
(i) Berfikir komprehensif, (ii) kemampuan memahami berbagai sudut pandang dan
mengintegrasikan sudut pandang tersebut dalam dialog dan keputusan, (iii) kemampuan untuk
berempati, (iv) pengembangan diri, (v) pembangunan nilai-nilai universal yang memadu pikiran
dan moral diluar konvensi semata
Reformasi ini telah berjalan dan saat ini mempengaruhi semua tingkat pendidikan dasar
dan menengah. Namun mata pelajaran khusus dan PKn hanya diimplementasikan secara
eksperimental di sekelompok kecil sekolah. Beberapa kecendrungan positif reformasi ini adalah
:
o Sekarang kurikulum menitik-beratkan tujuan pada bidang kognitif dan afektif
o Isi kurikulum untuk kelas 5-9 memasukkan tema-tema PPS, dan saran tentang strategi dan
metodologi pengajaran yang peka terhadap tujuan PKn, menunjukkan bahwa penyebaran lintas
kurikulum telah tercapai (Mourao, Pais dan Nunes, 1994)
o Pengalaman strategi pengajaran PKn yang inovatif menghasilkan hasil yang positif namun tetap
ada beberapa kesulitan dalam pengimplementasikannya (Ramalho, 1992; Branco, 1993).
Namun kesimpulan utama dari tinjauan riset yang ada adalah adanya kebutuhan yang
kuat untuk melakukan lebih banyak penyelidikan dibidang ini.
F. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang
Konteks kelahiran pendidikan kewarganegaraan di jepang dapat ditelusuri terutama setelah
Perang Dunia kedua (1945). Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah PD kedua dapat
digambarkan dalam tiga periode, yakni:
Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman.
Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan.
Ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan.
Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan ke dalam studi
sosial. Studi sosial mengadopsi metode – metode pemecahan masalah, seperti penelitian dan
diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Pada periode yang
kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang
dalam disiplin akademis. Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode kedua
ini terdiri atas empat unsur, yaitu untuk mengembangkan :
1. Pengetahuan dan pemahaman
2. Keterampilan berpikir dan ketetapan
3. Keterampilan dan kemampuan
4. Kemauan, minat, dan sikap warga negara
Pada periode ketiga, pendidikan jepang ditekankan pada pengembangan prindip hubungan
timbal balik. PKn dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat
terlibat secara aktif dalam masyarakat dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Pada
periode ketiga ini, PKn jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)”
dalam sekolah tingkat atas dan sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah. Landasan
pengembangan pendidikan kewarganegaraan di jepang tidak dapat dilepaskan dari konsep
warganegara dan kewarganegaraan (citizenship).
G. Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
- Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pelajaran civics sebelum kemerdekaan atau pada zaman Hindia-Belanda dikenal
dengan nama Burgerkunde. Meskipun pada waktu itu bangsa Indonesia dijajah, namun konsep
tentang pendidikan politik maupun pelaksanaannya lewat pendidikan formal dan non-formal
tetap berlangsung. Oleh guru-guru sekolah partikelir, sedangkan non-formal terutama dilakukan
oleh para tokoh pergerakan nasional. Oleh tokoh nasional sekaligus proklamator, Bung Karno
dan Bung Hatta.
- Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Perkembangan Ikn-PKn sesudah Proklamasi kemerdekaan digambarkan oleh Nu’man
Somantri (1976: 34-35) sebagai kewarganegaraan (1957), civics (1961), Pendidikan Kewargaan
Negara (1968), Pendidikan Kewargaan Negara (1972), Pendidikan Kewarganegaraan (1989),
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
- Kecenderungan Pengembangan Ikn-PKn di Masa Era Reformasi
P4 dipermasalahkan subtansinya, karena tidak memberikan gambaran yang tepat tentang
nilai pancasila sebagai satu kesatuan, dan P4 dalam realitasnya merupakan tafsiran tumggal
rezim orde baru untuk kepentingan memelihara kekuasaan, sehingga berakibat pendangkalan
terhadap makna Pancasila. Begitu pula Pancasila sebadai asas tunggal tidak diperlukan lagi,
karena tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang multikultural atau Bhinneka. Pengalaman
pahit ini, hendaknya menjadi pelajaran bagi para pengembang kurikulum PKn maupun para
pengambil kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan kedua kalinya.
IKn-PKn sebagai pemberdayaan warga negara akan selalu relevan dalam masyarakat
demokratis sampai kapanpun. Oleh karena itu Orientasi IKn-PKn akan memperkuat civil society.
Suatu masyarakat yang terorganisir yang berdasarkan kesukarelaan, swasembada dalam
ekonomi, berswadaya dalam politik, memiliki kemandirian tinggi dalam behadapan dengan
negara dan memiliki keterikatan terhadap norma-norma atau nilai-nilai hukun yang diikuti oleh
warganya (Muhammad AS Hikam, 1996: 3).
Republik Afrika Selatan atau Uni Afrika Selatan adalah sebuah negara di Afrika bagian
selatan. Afrika Selatan bertetangga dengan Namibia, Botswana dan Zimbabwe di utara,
Mozambik dan Swaziland di timur laut. Keseluruhan negara Lesotho terletak di pedalaman
Afrika Selatan
Afrika Selatan terletak di 29 00’ S. 24 00’ T. Luas kawasannya adalah 1.219.912 km, dahulu
negara ini terkenal dengan sebutan Tanjung Harapan pertama kali ditemukan oleh pengembara
Portugis yang bernama Vasco Da Gama yang kemudian menjadi koloni Belanda sejak tahun
1652. Pada tahun 1961 setelah Pemilu khusus kaum kulit putih, Afrika Selatan dideklarasikan
sebagai sebuah Republik yang merdeka dari Inggris. Politik Apartheid dilanjutkan, yang
menimbulkan penindasan terhadap kaum kulit putih dan kaum kulit berwarna lainnya. Afrika
Selatan merupakan negara demokrasi konstitusional dengan sistem tiga tingkat dan institusi
kehakiman yang bebas. Trdapat tiga tingkat yaitu; nasional, wilayah dan pemerintrah lokal yang
mempunyai badan legislatif serta eksekutif dengan daerah kekuasaan masing-masing.