Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Rovian Cahya Prasetya
132011101049
Pembimbing
dr. Duriyanto Oesman, Sp. B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
2
BAB I. PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris
atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Struma nodusa non toksika adalah pembesaran kalenjar tiroid yang
berbatas jelas, tanpa gejala-gejala hipertiroid. Struma nodosa non toksik adalah
pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa
disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya
suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik.
Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda
keganasan yang mungkin ada.
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Laryngeus Rekurens. Saraf ini
terletak di dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
5
6
7
2.2.3 Patofisiologi
Struma nodusa non toksika dapat berupa satu benjolan saja (struma
uninodusa non toksika) atau beberapa benjolan (struma multinodusa non toksika)
Terjadi benjolan tiroid tersebut bisa karena perubahan kegagalan
kompensasi tiroid (kekurangan yodium, gangguan metabolisme yodium) atau
karena proses penyakit pada tiroid itu sendiri (tiroiditis kronis, neoplasma
jinak/ganas).
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis
terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah.
Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat
gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-
obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.
9
2.3 KLASIFIKASI
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma secara umum diklasifikasikan
berdasarkan efek fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma
dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus, seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai
salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s
disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi
menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah
tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid,
dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma
dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke
arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan
gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan
yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
2.5 DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis sangat penting di tanyakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding, seperti apakah penderita berasal dari daerah endemis atau ada
tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemic), apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami rasa sakit leher bagian depan
bawah yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis).
Pemeriksaan fisik
Inspeksi dari depan penderita, Nampak suatu benjolan leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Palpasi
dari belakang pederita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada
palpasi yang perlu diperhatikan adalah :
12
air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang
terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia
ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya
terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang
menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga
ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
Patofisiologi
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai
Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan
menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati
reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.
Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
16
cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus
celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard,
dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung
berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya
menyebabkan tremor, penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam.
Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan
ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian
proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal
ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi
tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat
dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar
dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan
kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan
strabismus.
17
Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka
panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan
medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera
diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit
autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.
Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan
Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s
yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan
pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi
definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio
dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan
hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.
endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik
sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan
ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum
terlaksana dengan baik
Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh
kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab
goiter seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica).
Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis.
Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone)
ke dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan
terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi
pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja
tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon tiroid
terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik,
pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi
itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti
level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
2.7 TATALAKSANA
Indikasi operasi pada struma nodusa non toksika adalah :
a. Keganasan
b. Penekanan
c. Kosmetik
Tindakan operasi yang dilakkan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena.
Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan bila kedua lobus
yang terkena dilakukan sub total tiroidektomi.
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain :
20
3.2 Anamnesa
Keluhan utama : Benjolan di leher
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh ada benjolan di leher sejak 6 tahun yang lalu awalnya
benjolan tampak kecil, namun semakin hari semakin membesar, sesak (-),
serak (-), kesulitan menelan (-), bejolan ikut bergerak ketika pasien
menelan, dan tidak nyeri. Tidak ada keluhan dada berdebar dan tidak ada
tremor
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengaku tidak memiliki penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga :
pasien mengaku tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama
22
Riwayat pengobatan :
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat dan terapi lain dalam waktu yang
lama
o Auskultasi : Bising usus (+) normal, borborygmus (-), metalic sound (-)
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-),
hepar/lien tidak teraba.
o Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
Extremitas : Akral hangat (+) , edema (-) ekstrimitas atas dan bawah
Genitalia eksterna : MUE (+), discharge (-)
Anal-perianal : fistula (-), hemmoroid (-), tanda-tanda abses (-)
3.5 Planing
Planning diagnostic : FNAB dan Laboratorium
Planning terapi : Pro Subtotal lobectomy
25
Laboratorium
Nama pasien : Murniati
Tgl. Periksa : 07-04-2017
3.7 Prognosis
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
27
3.9 Follow Up
Tgl. 21-06-2017
S/ nyeri pada luka operasi, serak (-), bangkak (-)
O/ ku : lemah TD : 120/80 RR : 20x/mnt
Kes : alert HR : 88x/mnt Tax : 36,4 C
k/l : a/i/c/d : -/-/-/-
tho : c : s1s2 tunggal, e/g/m : -/-/-
p : simetris, ves +/+, rh -/-, whe -/-
abd : fatty, BU +, soepel, tympani
ext : AH ++/++ , OE --/--
status lokalis reg. coli
I : dressing (+), rembesan (-), produksi drain 110cc/18 jam hemoragik
P : nyeri (+), bengkak (-)
A/ Struma Uninodusa Non Toxica Dextra post Subtotal Lobectomi H1
P/ Inf. RL 1500cc/24 jam
Inj. Antrain 2x50 mg
Diet Bebas
Tgl. 22-06-2017
S/ Nyeri pada luka operasi berkurang, serak (-)
O/ ku : cukup TD : 110/80 RR : 20x/mnt
Kes : alert HR : 84x/mnt Tax : 36,8 C
k/l : a/i/c/d : -/-/-/-
tho : c : s1s2 tunggal, e/g/m : -/-/-
p : simetris, ves +/+, rh -/-, whe -/-
abd : Fatty, BU + lemah, soepel, tympani
ext : AH ++/++ , OE --/--
status lokalis reg. coli
I : dressing (+), rembesan (-), produksi drain 15cc/24 jam serous
P : nyeri tekan +
A/ Struma Uninodusa Non Toxica Dextra post subtotal lobectomy H2
29
DAFTAR PUSTAKA