Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT BEDAH


STRUMA UNINODUSA NON TOKSIK

Oleh :
Rovian Cahya Prasetya
132011101049

Pembimbing
dr. Duriyanto Oesman, Sp. B

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Bedah di RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
2

BAB I. PENDAHULUAN

Kelainan pada galndula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi dan


gangguan morfologi. Salah satu contoh gangguan morfologi adalah struma atau
goiter. Struma atau goiter adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang
menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Pembesaran dapat terjadi secara difus yaitu pada
keseluruhan kelenjar atau berupa nodul pada salah satu atau kedua lobus.
Diagnosis struma dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, ditambah dengan pemeriksaan penunjang berupa lab, USG, dan FNAB
untuk memastikan bahwa struma yang ada toksik atau tidak, jinak atau ganas.
Prevalensi struma di Indonesia menurut Balitbang tahun 2012, khusus
struma uninodosa adalah sekitar 4,7-51 per 1000 orang dewaa dan 2,2-12 per
1000 pada anak-anak. Dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
adalah 1:4. Penelitian epidemiologi lain yang dilakukan oleh Hemminici dkk. di
Swedia dari tahun 1987-2007 didapatkan 11.659 (50,9%) struma non toksik,
9.541 (41,5%) grave desease, dan 1.728 (7,54%) struma nodular toksik.
3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris
atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Struma nodusa non toksika adalah pembesaran kalenjar tiroid yang
berbatas jelas, tanpa gejala-gejala hipertiroid. Struma nodosa non toksik adalah
pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa
disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan adanya
suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik.
Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda
keganasan yang mungkin ada.

2.2 ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI


2.2.1 Anatomi Kalenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian
keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari
garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih
tertinggal.
4

Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara


tiroidea dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu
lapisan yang disebut true capsule.

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :


. 1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa
2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Laryngeus Rekurens. Saraf ini
terletak di dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
5
6
7

2.2.2 Fisiologi Kalenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah
sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin
Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian
kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi
TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang
dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh
thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan
calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum
berpengaruh pada tulang.
Fungsi hormon tiroid antara lain :
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf
8

2.2.3 Patofisiologi
Struma nodusa non toksika dapat berupa satu benjolan saja (struma
uninodusa non toksika) atau beberapa benjolan (struma multinodusa non toksika)
Terjadi benjolan tiroid tersebut bisa karena perubahan kegagalan
kompensasi tiroid (kekurangan yodium, gangguan metabolisme yodium) atau
karena proses penyakit pada tiroid itu sendiri (tiroiditis kronis, neoplasma
jinak/ganas).
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis
terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis
terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah.
Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat
gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-
obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.
9

2.3 KLASIFIKASI
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma secara umum diklasifikasikan
berdasarkan efek fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma
dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus, seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai
salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s
disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi
menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :


1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami
kompensasi dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah
selnya. Demikian juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumbuhan
akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga
lama kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis
akut, tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)
3) Neoplasma
Jinak dan ganas
10

Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar


hormon tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid
dalam kadar berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang
dari normal atau biasa disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid
adalah :
 Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan
 Tidak tahan panas dan hiperhidrosis
 Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga
menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam
jangka panjang dapat menjadi fibrilasi atrium
 Tremor
 Diare
 Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
 Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :


 Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
 Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik
 Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang
lemah
 Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata
dan tungkai

2.4 GEJALA KLINIS


Keluhan penderita pada umumnya hanya benjolan pada leher bagian depan
bawah. Struma dapat berupa satu benjolan atau beberapa benjolan. Struma yang
besar dapat memberikan gejala penekanan pada trakea (sesak nafas), atau pada
esophagus (disfagia). Gejala penekanan ini dapat juga diakibatkan oleh tiroiditis
kronis karena konsistensinya yang keras.
11

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah
tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid,
dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma
dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke
arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan
gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan
yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.

2.5 DIAGNOSIS
 Anamnesis
Anamnesis sangat penting di tanyakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding, seperti apakah penderita berasal dari daerah endemis atau ada
tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemic), apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami rasa sakit leher bagian depan
bawah yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis).
 Pemeriksaan fisik
Inspeksi dari depan penderita, Nampak suatu benjolan leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Palpasi
dari belakang pederita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada
palpasi yang perlu diperhatikan adalah :
12

a. Lokasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau


keduanya)
b. Ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam
centimeter)
c. Konsistensi
d. Mobilitas terhadap jaringan sekitar
e. Benjolan bergerak saat menelan
f. Apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba
mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kalenjar getah bening.
 Pemeriksaan tambahan
a. X-foto leher AP/lateral : untuk mengetahui ada kalsifikasi pada
struma (kemungkinan keganasan tiroid), penyempitan atau
pendorongan trakea oleh struma yang besar.
b. X-foto thoraks AP/lateral : untuk mengetahui ada bagian struma
yang retrosternal
c. Pemeriksaan FNAB : untuk screening keganasan tiroid
d. Pemeriksaan potong beku : dikerjakan intra-operatif untuk
menentukan struma tersebut jinak atau ganas.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


2.6.1 Karsinoma Tiroid
Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari
sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada
tiroid yang memiliki 4 tipe yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller.
Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran kelenjar, lebih sering
menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar nodul
tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan.
13

Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan


membatasi kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan
cukup banyak hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
Klasifikasi karsinoma tiroid
a. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan
merupakan jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering
terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada wanita.
Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama
kali muncul berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai
pembesaran kelenjar limfe didaerah leher. Metastasis dapat terjadi
melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus, ke
paru.
b. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan
merupakan 20-25 % dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama
menyerang pada usia di atas 40 tahun.Karsinoma folikuler juga
menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada pria. Pemaparan
terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis
keganasan ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.
c. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10%
dari kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria.
Metastasis terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian
keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh
tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker
ini disekitar, timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan
hidup setelah ditegakkan diagnosis, biasanya hanya beberapa bulan.
d. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah
unik diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada
wanita daripada pria dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini
dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru, tulang, dan
hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena
asalnya. Karsinoma ini sering dikatakan herediter.
14

Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas


Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
a. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi
kistik dan kemudian menjadi lunak.
b. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
c. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis, dan enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan
sekitar
d. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas.
e. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif
f. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
g. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)

2.6.2 Struma Difusa Toksik


Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini
juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid
difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
orang muda dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan,
menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan
emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang
15

air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang
terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia
ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya
terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang
menimbulkan stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga
ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.

Patofisiologi
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai
Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan
menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati
reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.
Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
16

cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus
celer; penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard,
dan rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung
berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya
menyebabkan tremor, penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam.
Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan
ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian
proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal
ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi
tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat
dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar
dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan
kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan
strabismus.
17

Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka
panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan
medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik
biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

2.6.3 Struma Nodosa Toksik


Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi
pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati,
dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit
Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease.
18

Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera
diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit
autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.
Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan
Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s
yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan
pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi
definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio
dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan
hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.

2.6.4 Struma Difusa Nontoksik


Definisi
Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter
diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah
dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter
19

endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik
sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan
ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum
terlaksana dengan baik
Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh
kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab
goiter seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica).
Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis.
Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone)
ke dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan
terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi
pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja
tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon tiroid
terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik,
pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi
itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti
level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.

2.7 TATALAKSANA
Indikasi operasi pada struma nodusa non toksika adalah :
a. Keganasan
b. Penekanan
c. Kosmetik
Tindakan operasi yang dilakkan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena.
Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan bila kedua lobus
yang terkena dilakukan sub total tiroidektomi.
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain :
20

a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka


kelenjar disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh
isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus
kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau
N. Rekurens Laryngeus
Pemeriksaan potong beku dilakukan intra-operatif pada penderita yang
hasil FNAB menunjukkan :
1) Ganas, untuk memastikan keganasan
2) Folikuler neoplasma, ketika FNAB sulit menentukan ganas atau tidak
3) Saat operasi dicurigai ada nodul keganasan.

Bila hasil potong beku menunjukkan suatu keganasan maka evaluasi


AGES/AMES score (Age, Grade/Metastase, Extention, Size), bila AGES/AMES
score menunjukkan low risk maka dilakukan lobektomi total, dan bila high risk
maka dilakukan tiroidektomi total.
Yang termasuk high risk adalah :
a. Age : wanita >50 th, laki-laki 40 th
b. Metastasis : (+)
c. Extention : tumor menembus kapsul tiroid
d. Size : diameter tumor >5cm
21

BAB III. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Siti Murtafiah
Tgl. Lahir : 18-09-1983
Usia : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Leces, RT005/RW006, Desa Sruni, Kecamatan
Jenggawah, Jember
Agama : Islam
Suku Bangsa : Madura
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. Rekam Medis : 102403
Tgl. Masuk RS : 19-06-2017
Tgl. Keluar RS : 22-06-2017
Tgl. Pemeriksaan : 20-06-2017

3.2 Anamnesa
 Keluhan utama : Benjolan di leher
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh ada benjolan di leher sejak 6 tahun yang lalu awalnya
benjolan tampak kecil, namun semakin hari semakin membesar, sesak (-),
serak (-), kesulitan menelan (-), bejolan ikut bergerak ketika pasien
menelan, dan tidak nyeri. Tidak ada keluhan dada berdebar dan tidak ada
tremor
 Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengaku tidak memiliki penyakit dahulu
 Riwayat penyakit keluarga :
pasien mengaku tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama
22

 Riwayat pengobatan :
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat dan terapi lain dalam waktu yang
lama

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
Keadaan umum Cukup
Kesadaran / GCS Alert / E4V5M6
Tekanan darah 120/70 mmhg
Heart rate 84 x/menit, irama teratur, kuat angkat
Respiration rate 16 x/menit
Temperature 36.5 ºC

3.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum


 Kepala
o Kepala : Normocephali
o Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
o Hidung : Deformitas (-), rhinorrhea (-)
o Telinga : Otorrhea -/-
 Leher : Status lokalis, Deviasi trakhea (-)
 Thorax
o Inspeksi : Terlihat bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada kanan
dan kiri simetris, retraksi dinding dada (-), iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus kordis
teraba pada ICS V midclavicula sinistra
o Perkusi : Sonor di lapangan paru
o Auskultasi :
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
 Abdomen
o Inspeksi : Fatty, Distended (-), DC (-) DS (-)
23

o Auskultasi : Bising usus (+) normal, borborygmus (-), metalic sound (-)
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-),
hepar/lien tidak teraba.
o Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen.
 Extremitas : Akral hangat (+) , edema (-) ekstrimitas atas dan bawah
 Genitalia eksterna : MUE (+), discharge (-)
 Anal-perianal : fistula (-), hemmoroid (-), tanda-tanda abses (-)

3.3.3 Pemeriksaan Fisik Khusus


 Status lokalis regio coli
Inspeksi :
Terdapat massa di region coli dextra dengan ukuran ± 8x4 cm, jika pasien
menelan massa ikut bergerak.
Palpasi :
Teraba massa dengan permukaan halus, batas tegas, mobile, konsistensi
pdat kenyal, tidak ada nyeri
24

3.4 Diagnosa Kerja


 Struma Uninodusa Non Toxica Dextra

3.5 Planing
 Planning diagnostic : FNAB dan Laboratorium
 Planning terapi : Pro Subtotal lobectomy
25

3.6 Pemeriksaan Penunjang


 FNAB
Nama pasien : Murniati
Tgl. Hasil : 04-04-2017
26

 Laboratorium
Nama pasien : Murniati
Tgl. Periksa : 07-04-2017

3.7 Prognosis
 Ad Vitam : Ad bonam
 Ad Functionam : Dubia ad bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad bonam
27

3.8 Laporan Operasi


28

3.9 Follow Up
 Tgl. 21-06-2017
S/ nyeri pada luka operasi, serak (-), bangkak (-)
O/ ku : lemah TD : 120/80 RR : 20x/mnt
Kes : alert HR : 88x/mnt Tax : 36,4 C
k/l : a/i/c/d : -/-/-/-
tho : c : s1s2 tunggal, e/g/m : -/-/-
p : simetris, ves +/+, rh -/-, whe -/-
abd : fatty, BU +, soepel, tympani
ext : AH ++/++ , OE --/--
status lokalis reg. coli
I : dressing (+), rembesan (-), produksi drain 110cc/18 jam hemoragik
P : nyeri (+), bengkak (-)
A/ Struma Uninodusa Non Toxica Dextra post Subtotal Lobectomi H1
P/ Inf. RL 1500cc/24 jam
Inj. Antrain 2x50 mg
Diet Bebas

 Tgl. 22-06-2017
S/ Nyeri pada luka operasi berkurang, serak (-)
O/ ku : cukup TD : 110/80 RR : 20x/mnt
Kes : alert HR : 84x/mnt Tax : 36,8 C
k/l : a/i/c/d : -/-/-/-
tho : c : s1s2 tunggal, e/g/m : -/-/-
p : simetris, ves +/+, rh -/-, whe -/-
abd : Fatty, BU + lemah, soepel, tympani
ext : AH ++/++ , OE --/--
status lokalis reg. coli
I : dressing (+), rembesan (-), produksi drain 15cc/24 jam serous
P : nyeri tekan +
A/ Struma Uninodusa Non Toxica Dextra post subtotal lobectomy H2
29

P/ Inj. Antrain 3x1 gr


Aff infus
Aff drain
Diet bebas TKTP
30

DAFTAR PUSTAKA

Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme : Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.
Grarib, et al., 2006. American Association of Clinical Endocrinologist,
Associazion Medici Endocrinologi, and European Thyroid Association
Medical Guidelines for Clinical Practice for the Diagnosis and
Management of Thyroid Nodules

Anda mungkin juga menyukai