Anda di halaman 1dari 2

Jumat, 14 Mei 2010 14:44:00 Wib

NEGERI 5 MENARA

Kisah lima sahabat yang sedang mondok


di sebuah pesantren, dan kemudian
bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak
dewasa. Uniknya, setelah bertemu,
ternyata apa yang mereka bayangkan
ketika menunggu Azhan Maghrib di
bawah menara masjid benar-benar terjadi.
Itulah cuplikan cerita novel laris Negeri 5
Menara karya Ahmad Fuadi yang menjadi
topik Kick Andy kali ini.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif
di novel itu berkisah, ia tak menyangka
dan tak percaya bisa menjadi seperti
sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur,
Maninjau, Sumatera Barat itu adalah
pemuda desa yang diharapkan bisa
menjadi seorang guru agama seperti yang
diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan
kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak
salah.
Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang
dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.

“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa
mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan
Amak di kampung waktu itu.

Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal
di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar
dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di
desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming
agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran
dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke
Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi
kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias
Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.

Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai
kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke
awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi
mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi
kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir
dan Benua Eropa.

Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu
digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian
bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara
masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.

Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang
tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah
salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga
mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu
”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas,
selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan
berhasil.

”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih impiannya untuk
bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk bermimpi,” ujar
Ahmad Fuadi memberikan nasihat. ( end )

Anda mungkin juga menyukai