Anda di halaman 1dari 27

Stop TB

modul
TB-HIV
Kata Pengantar

Tuberkulosis atau TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara
negara-negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang
berhasil mencapai target Global untuk TB pada tahun 2006, yaitu 70%
penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini peringkat
Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan
beban TB tertinggi di dunia. Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang
perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV, TB-MDR, TB pada anak dan masyarakat
rentan lainnya. Hal ini memacu pengendalian TB nasional terus melakukan
intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi dan inovasi program.
Strategi Nasional Program Pengendalian TB 2011-2014 dengan tema “Terobosan menuju
Akses Universal”. Dokumen ini disusun berdasarkan kebijakan pembangunan nasional
2010-2014, rencana strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 serta strategi global dan
regional. Penyusunan strategi nasional ini melibatkan partisipasi berbagai pihak
pemangku kebijakan, pusat dan daerah, organisasi profesi, Gerdunas, komite ahli TB,
lembaga swadaya masyarakat serta mitra internasional.

Strategi Nasional program pengendalian TB dengan visi “Menuju Masyarakat Bebas


Masalah TB, Sehat, Mandiri dan Berkeadilan”. Strategi tersebut bertujuan
mempertahankan kontinuitas pengendalian TB periode sebelumnya. Untuk mencapai
target yang ditetapkan dalam stranas, disusun 8 Rencana Aksi Nasional yaitu : (1)
Public-Private Mix untuk TB ; (2) Programmatic Management of Drug Resistance TB;
(3) Kolaborasi TB-HIV; (4) Penguatan Laboratorium; (5) Pengembangan
Sumber Daya Manusia; (6) Penguatan Logistik; (7) Advokasi,
Komunikasi dan Mobilisasi Sosial; dan (8) Informasi Strategis TB.
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB
di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di
masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam
pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan
status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian
AIDS karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada ODHA.

i
Daftar Singkatan

AIDS : Aquired Immuno Deficiency Syndrome


AKMS : Advokasi, Komunikasi, Mobilisasi Sosial
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
ART : Anti Retroviral Therapy
ARV : Anti Retro Viral
BBKPM : Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM : Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BTA : Basil Tahan Asam
BUK : Bina Upaya Kesehatan
Dinkes : Dinas Kesehatan
Ditjen : Direktorat Jenderal
DOTS : Daily Observed Treatment Shortcourse
Fasyankes : Fasilitas Layanan Kesehatan
FHI : Family Health International
GF ATM : Global Fund AIDS, TB, Malaria
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
IDU : Injecting Drug User
IMS : Infeksi Menular Seksual
INH : Isoniazid
IPT : INH Preventive Therapy
JEMM : Joint External TB Monitoring Mission
Juklak : Petunjuk Pelaksanaan
Juknis : Petunjuk Teknis
KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KNCV : Royal Nederland TB Foundation
KTS : Konseling dan Tes HIV Sukarela
Lapas : Lembaga Pemasyarakatan
Rutan : Rumah Tahanan Negara
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MARP : Most At Risk Population

i
MDG : Millennium Development Goal
MDR-TB : Multi Drug Resistant - Tuberculosis
Monev : Monitoring Evaluasi
ODHA : Orang Dengan HIV AIDS
PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
PITC : Provider Initiated Testing and Counseling
PMTCT : Prevention Mother To Child Transmission
Pokja : Kelompok Kerja
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPK : Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
PPM : Public-Private Mixed
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RAN : Rencana Aksi Nasional
RS : Rumah Sakit
SDM : Sumber Daya Manusia
Subdit : Sub Direktorat
TB : Tuberkulosis
TBCAP : TB Coalition Assistance Program
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
WHO : World Health Organization
WPS : Wanita Penjaja Seks
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara
negara-negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang
berhasil mencapai target MDG untuk TB pada tahun 2006, yaitu 70% deteksi
dini dan 85% kesembuhan. Saat ini Indonesia telah turun dari urutan ketiga
menjadi urutan kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.Meskipun
program pengendalian TB nasional telah berhasil mencapai target-target di atas,
beban ganda akibat peningkatan epidemi HIV akan mempengaruhi peningkatan
kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi antara
program pengendalian TB dan pengendalian HIV AIDS.
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic)
kecualiTanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi
baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna
Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut
data Kementerian Kesehatan hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah
TB yaitu sebesar 11.835 kasus(49%).Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia
diperkirakan sekitar 3%;di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk populasi di
Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi.

Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB-HIV 2011-2014 ini menjabarkan analisis


situasi, tantangan-tantangan utama, rumusan strategi, implementasi, monitoring dan
evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV.Dokumen ini mengacu pada: (1) Strategi
nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014; (2) Rencana Aksi Pengendalian
HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2009-2014; (3) Report of meeting “From Mekong to
Bali: The scale up of TB/HIV collaboration activities in Asia-Pasific” Bali, Indonesia 8-
9 August, 2009; (4) rekomendasi tim eksternal review HIV/AIDS (Februari 2007) dan
Joint eksternal TB Monitoring Mission TB (JEMM, April 2007) di Indonesia; (5) Joint
eksternal TB Monitoring Mission TB (JEMM, Februari 2011) di Indonesiadan (6)
evaluasi pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia.
Koordinasi di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dijalankan sesuai dengan
model kolaborasi yang telah disepakati bersama. Beberapa rumah sakit
menerapkan model pelayanan kolaborasi secara paralel dan beberapa
menggunakan model pelayanan secara terintegrasi (pelayanan satu atap).
Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas diawali dengan disusunnya Modul
Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas KTS dan PDP. Untuk pelatihannya
sendiri telah dilakukan Pelatihan untuk petugas KTS dan PDP di 169 fasyankes
(RS, BBKPM, BKPM, Puskesmas, Lapas/Rutan). Menyusul kemudian dengan
pelatihan untuk petugas TB dengan menggunakan modul pelatihan kolaborasi
TB-HIV yang telah disusun bersama. Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas
TB telah dilaksanakan di 188 fasyankes (RS, BBKPM, BKPM, Puskesmas,
Lapas/ Rutan). Di provinsi dengan beban HIV cukup tinggi dan jumlah fasilitas
pelayanan kesehatan yang banyak, telah disiapkan 151 tenaga pelatih
kolaborasi TB-HIV melalui pelatihan khusus untuk pelatih.

Konselor, manajer kasus HIV dan kelompok penjangkau dari LSM yang bekerja pada
komunitas risiko tinggi(misalnya pengguna napza suntik, waria, penjaja seks) telah
mendapatkan pelatihan untuk mengenali dan mencari gejala dan tanda TB serta
membantu mengawasi kepatuhan pengobatan TB pada ODHA melalui pelatihan TB-
HIV dengan menggunakan modul khusus yang telah dikembangkan. Sosialisasi TB-
HIV kepada LSM TB dan HIV AIDS telah dilaksanakan pada tahun 2008. Kerjasama
dengan LSM TB dan HIV AIDS dibangun terutama untuk membantu memberikan
edukasi kepada masyarakat dan kelompok khusus serta membantu menjamin
kepatuhan pengobatan pasien TB-HIV.

Dengan semakin banyaknya mitra yang terkait dalam kolaborasi TB-HIV ini,
pada tahun 2010 dibentuklah forum komunikasi TB-HIV di tingkat nasional yang
bertujuan untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan TB-HIV.

Perencanaan bersama antara program TB dan program HIV AIDS juga telah
dilaksanakan di 12 provinsi pada tahun 2010 dengan menghasilkan keluaran
rencana kegiatan TB-HIV tahunan. Monitoring evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV
belum dilaksanakan secara rutin di semua tingkatan, tetapi beberapa provinsi telah
melakukan validasi data yang dilanjutkan dengan kegiatan monev TB-HIV seperti di
provinsi Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Bali dan Jawa Timur.
Serosurvey HIV di antara pasien TB telah dilakukan di 4 propinsi (DI Yogyakarta pada
tahun 2006 dan Bali, Jawa Timur serta Papua pada tahun 2008). Ujicoba pelaksanaan
provider initiated testing and counselling (PITC) pada pasien TB yang dilaksanakan di
BBKPM Surakarta menunjukkan bahwa dari 108 orang pasien TB yang mempunyai
faktor risiko HIV didapatkan sekitar 10% dengan HIV positif. Untuk surveilans dengan
menggunakan data rutin, pencatatan dan pelaporan masing-masing program telah
dilengkapi dengan data kegiatan TB-HIV. TB 01, TB 03 UPK dan TB elektronik telah
direvisi demikian pula dengan ikhtisar perawatan, register pra ART dan register ART,
masing-masing telah dilengkapi dengan informasi mengenai TB-HIV. Untuk
memudahkan pelaksanaan di tingkat fasyankes telah dikembangkan formulir skrining
gejala dan tanda TB pada ODHA, formulir penilaian faktor risiko HIV pada pasien TB
serta formulir rujukan kolaborasi TB-HIV yang dipergunakan untuk merujuk pasien ke
unit DOTS ataupun ke unit KTS/PDP. Pengembangan sistem informasi TB-HIV
menggunakan elektronik database saat ini sedang diujicobakan di 10 fasilitas
pelayanan kesehatan di 3 Propvinsi (Papua, DKI Jakarta dan Jawa Timur).

Sebagai bahan edukasi kepada pasien TB dan ODHA, telah dikembangkan dan
didistribusikan media KIE TB-HIV berupa lembar balik, poster dan brosur.
Pelaksanaan pemberian KIE TB-HIV dilaksanakan di masing-masing fasyankes.

Pelibatan Lapas/Rutan dalam kolaborasi TB-HIV sudah diinisiasi di beberapa Lapas/


Rutan yang memiliki jumlah warga binaan pemasyarakatan dengan kasus pengguna
napza suntik yang tinggi dan masih terfokus di Lapas/Rutan di DKI Jakarta dan Jawa
Timur.Kegiatan yang sudah dilakukan meliputi pelatihan dan bimbingan teknis.

Dengan semakin banyaknya kasus pengguna napza suntik dengan HIVdan


TB, sudah diinisiasi penyusunan buku petunjuk tatalaksana koinfeksi TB-HIV
pada pengguna napza suntik yang saat ini dalam tahap finalisasi.Buku ini
dimaksudkan untuk memberi panduan kepada petugas kesehatan dalam
menatalaksana pasien TB-HIV yang menggunakan terapi rumatan metadon
mengingat banyaknya interaksi antara pengobatan metadon-TB-ARV

Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan


penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di
klinik KTS dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan
menggunakan formulir skrining TB. Dari 13 provinsi yang telah melaporkan data TB-
HIV ditemukan bahwa sebanyak 65% ODHA telah diskrining gejala dan tanda TB,
19% di antaranya didiagnosis dengan TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB
yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit
KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan
atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi form TB01.

Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid


preventive therapy (IPT) pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga
belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA yang dilaporkan.
Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTS/PDP dilakukan melalui
penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) RS melalui
pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit
TB dengan Subdit RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan
Perdalin. Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan Lapas/Rutan
dimulai dengan melakukan asesmen dan sosialisasi di 7 provinsi bekerja
sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen
Pemasyarakatan.Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada
waktu batuk/bersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang
mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa fasyankes.

Walaupun berdasarkan kebijakan nasional pelaksanaan kolaborasi TB-HIV konseling


dan tes HIV dilakukan pada semua pasien TB di daerah epidemi HIV meluas, tetapi
data dari Papua menunjukkan baru sekitar 22%dari pasien TB yang dikonseling dan
tes HIV. Sedangkan di daerah dengan epidemi terkonsentrasi, konseling dan tes HIV
yang dilakukan pada pasien TB dengan faktor risiko HIV bervariasi antar wilayah
antara 0,1 sampai 6 %.Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) atau
Konseling dan Tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan baru diterapkan di beberapa
rumah sakit, BBKPM/BKPM dan puskesmas di provinsi Papua, DKI Jakarta dan
Jawa Timur, dimulai dengan pelatihan pada pertengahan tahun 2010. Cakupan
pemberian pengobatan pencegahan dengan kotrimoksazol pada pasien
koinfeksi TB-HIV baru sekitar 63% dan sebanyak 29% mendapatkan ARV.

Pemberian KIE pencegahan HIV dan IMS kepada pasien TB dilaksanakan di


fasyankes dengan menggunakan media KIE yang telah
disediakan.Penyediaan kondom di unit TB masih belum dapat diterapkan.
TANTANGAN-TANTANGAN UTAMA
DALAM KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA

Epidemi HIV di Indonesia berbeda di tiap provinsi.Laporan dari Kementerian


Kesehatan menunjukkan 2 provinsi berada pada epidemi meluas (Papua dan Papua
Barat) dan selebihnya adalah provinsi dengan epidemi terkonsentrasi.Kondisi ini
menyebabkan perbedaan pendekatan terhadap pemberian pelayanan HIV yang
komprehensif, yang pada saat ini umumnya baru diinisiasi di tingkat rumah sakit.
Prevalensi TB di Indonesia tinggi di semua provinsi dan pelayanan TB sudah
dilaksanakan di 98% Puskesmas dan 38% rumah sakit, B/BKPM. Perbedaan
pendekatan ekspansi layanan ini merupakan tantangan yang besar dalam menjamin
pemberian layanan kolaborasi TB-HIV yang berkualitas.

Komitmen Pemerintah dalam pembiayaan program masih rendah (kecenderungan


donor dependence).Kegiatan kolaborasi TB-HIV sebagian besar menggunakan
pendanaan yang bersumber dari donor (GF ATM TB dan HIV serta dari TBCAP
melalui FHI dan sumber dana lainnya).Hanya beberapa provinsi yang telah
melakukan beberapa kegiatan TB-HIV dengan sumber pendanaan dari APBD berupa
kegiatan pelatihan TB-HIV bagi petugas TB maupun KTS/PDP.

1. Tantangan membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV


• Mekanisme koordinasi TB-HIV di semua tingkat secara umum masih perlu
diperkuat. Koordinasi antar sektor terkait masih lemah di banyak provinsi.
Baru 4 provinsi (Papua, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara) yang
sudah melakukan kegiatan koordinasi secara intensif berupa Pembentukan
Kelompok Kerja TB-HIV, sedangkan provinsi lainnya masih dalam tahap
pengembangan konsep kelompok kerja TB-HIV.
• Cakupan layanan TB-HIV di fasilitaspelayanan TB maupun HIV/AIDS masih
rendah. Sebagian besar Rumah Sakit ART belum terlibat dalamprogram
pengendalian TB nasional.Selain itu belum semua RS mampu menerapkan
kolaborasi ini walaupun telah dibentuk Klinik VCT. Mekanisme dengan
Puskesmas dalam implementasi kolaborasi masih menunggu kesungguhan
semua pihak di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan fasyankes
dan belum semua petugas mempunyai pemahaman yang sama
tentang Kegiatan Kolaborasi TB-HIV.
• Perencanaan bersama TB-HIV di semua tingkat belum
dilaksanakan secara rutin
• Surveilans TB-HIV masih lemah. Walaupun sudah pernah dilakukan survey HIV
di antara pasien TB di 4 provinsi, tetapi masih perlu dilakukan survey yang
dapat mengukur kecenderungan (trend) prevalensi HIV di antara pasien TB
melalui sentinel surveilans. Belum adanya protokol dan pelaksanaan survei
sentinel HIV pada pasien TB. Secara nasional Indonesia belum mempunyai
angka surveilans HIV di antara pasien TB. Walaupun diperkirakan oleh WHO
bahwa angka HIV di antara pasien TB di Indonesia yaitu sekitar 3%, tetapi di
beberapa wilayah angka tersebut dapat sangat bervariasi. Surveilans
menggunakan data rutin program masih sangat kecil cakupannya.Pencatatan
dan pelaporan kasus TB-HIV masih belum optimal, banyak kasus yang belum
tercatat dan terlaporkan. Belum semua fasyankes menggunakan formulir
pencatatan dan pelaporan yang standar.
• Pemahaman keterkaitan antara TB dengan HIV dan sebaliknya masih sangat
terbatas di kalangan pasien TB maupun ODHA. Media KIE TB-HIV belum
tersebar merata dan belum digunakan secara rutin di semua fasyankes. Banyak
pasien TB yang belum mengetahui tentang informasi HIV AIDS dan sebaliknya
banyak ODHA dengan pemahaman yang rendahtentang TB. Beberapa wilayah
seperti Papua dan Lapas/Rutan memerlukan KIE TB-HIVkhusus yang mudah
diterima oleh kelompok masyarakat tersebut.
• Joint Supervisi dan bimbingan teknis serta monitoring dan evaluasi
kegiatan kolaborasi TB-HIV belum dilaksanakan secara rutin. Hal ini
menyebabkan implementasi TB-HIV di fasyankes belum optimal.
• Jejaring internal dan eksternal TB-HIV di fasyankes sudah terbangun tetapi
belum maksimal. Banyak pasien TB yang dirujuk untuk tes HIV dan ODHA
yang dirujuk untuk pemeriksaan TB tidak dapat ditindaklanjuti karena belum
optimalnya rujukan antara unit TB dan unit KTS/PDP.
• Minimnya jumlah Lapas/Rutan yang melaksanakan kegiatan kolaborasi
TB-HIV.
• Belum optimalnya pemahaman konsep Kolaborasi TB-HIV di tingkat Ditjen
Pemasyarakatan.
• Terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang memahami interaksi
pengobatan bersama metadon-TB-ARV

2. Tantangan menurunkan beban TB pada ODHA


Tantangan dalam menurunkan beban TB pada ODHA di fasyankes termasuk di
Lapas/Rutan adalah:
• Belum semua ODHA dilakukan skrining gejala dan tanda TB secara rutin
• Belum semua petugas KTS/PDP dilatih TB-HIV. Pelatihan masih
dilakukan di daerah prioritas. Petugas yang telah dilatih masih
belum memperlihatkan kinerja yang optimal.
• Adanya perbedaan pemahaman petugas dalam mengartikan istilah
“skrining tanda dan gejala TB” pada ODHA. Hal ini menyebabkan
pelaksanaan skrining TB pada ODHA tidak dilakukan secara rutin.
• Belum adanya alat diagnostik yang cepat untuk mendeteksi TB khususnya
BTA (-) pada ODHA dan mahalnya pemeriksaan penunjang
(misalnya foto toraks, biakan) untuk menegakkan diagnosis TB
pada ODHA dengan BTA (-) mengakibatkanketerlambatan
penegakan diagnosis akibat beban biaya untuk ditimbulkan
• Banyaknya interaksi pengobatan bersama TB dan HIV menyebabkan
rendahnya angka kepatuhan minum obat pada pasien TB-HIV sehingga
meningkatkan ancaman risiko terjadinya kekebalan obat TB maupun HIV.
• Belum adanya kebijakan nasional dalam pengobatan pencegahan dengan INH
(IPT) mempercepat ODHA jatuh ke dalam TB aktif.
• Pengendalian infeksi TB belum diterapkan secara maksimal di unit layanan
KTS/PDP.
3. Tantangan menurunkan beban HIV pada pasien TB
Tantangan dalam menurunkan beban HIV pada pasien TB di fasyankes termasuk di
Lapas/Rutan adalah:
• Belum semua pasien TB dinilai faktor risiko HIV nya
• Belum semua pasien TB yang mempunyai faktor risiko HIV mau
menerima konseling dan tes HIV
• Masih adanya pemahaman yang berbeda di antara konselor mengenai
status kerahasiaan pasien HIV. Kerahasiaan (confidential) yang
sebenarnya dapat dibuka kepada petugas kesehatan lain yang terkait
demi kepentingan pasien diartikan sebagai sesuatu yang rahasia dan
tidak dapat dibuka (secrecy) kepada siapapun. Hal inimenyebabkan
hambatan dalam pemberian pelayanan yang menyeluruh pada pasien
TB-HIV termasuk menyebabkan rendahnya pelaporan kasus TB-HIV.
• Belum semua pasien TB-HIV mendapat pengobatan pencegahan dengan
Kotrimoksasol (PPK). Bagi pasien TB-HIV yang mendapatkan PPK,
monitoring pemberian PPK belum dapat dilaksanakan dikarenakan
belum tersedianyainstrumen monitoring pemberian PPK.
• Walaupun pasien TB dengan HIV (+) sudah dirujuk ke unit PDP untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut, tetapi cakupan pemberian ARV pada
pasien TB-HIV masih sangat rendah karena belum tersosialisasinya
pedoman ART terbaru yang menyebutkan bahwa semua pasien TB-HIV
memenuhi syarat untuk mendapatkan ART tanpa melihat CD4.
TUJUAN, INDIKATOR DAN TARGET

1. Tujuan:
Semua pasien TB-HIV mendapatkan akses layanan DOTS dan
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV
AIDS yang berkualitas di seluruh pemberi pelayanan kesehatan.
RUMUSAN STRATEGI

Bagian ini mendeskripsikan rencana percepatan dan perluasan


kolaborasi TB-HIV yang terbagi menurut kelompok kegiatan, yaitu:
1. Membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV
2. Menurunkan beban TB pada ODHA
3. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

1. Membentuk mekanisme Kolaborasi TB-HIV


1.1. Tujuan
Tujuan pembentukan mekanisme kolaborasi TB-HIVadalah untuk:
1. meningkatkankoordinasi antara program TB dan program HIV AIDS
lintas program dan lintas sektor di semua level untuk mengurangi
beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit tersebut
2. Meningkatkan kualitas surveilans TB-HIV
3. Memperkuat perencanaan bersama kolaborasi TB-HIV
4. Memperkuat sistem monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV

1.2. Program intervensi


Untuk mencapai tujuan tersebut, direncanakan intervensi sebagai berikut:

1. Memperkuat mekanisme kolaborasi TB-HIV di


semua tingkatan a. Tingkat Pusat:
1) Penguatan koordinasi melalui pertemuan rutin Forum Komunikasi
TB-HIV
2) Melakukan penyusunan, kajian, revitalisasi, adopsi,
adaptasi, sosialisasi dan implementasi kebijakan, peraturan,
standar, dan juklak/juknis program kolaborasi TB-HIV
3) Advokasi kebutuhan sumber daya untuk program
kolaborasi TB-HIV secara berkesinambungan dan
berjenjang kepada pemangku kebijakan.
4) Berkoordinasi dengan tim Pengembangan Sumber Daya
program TB dan program HIV dalam melakukan pendidikan
dan pelatihan petugas yang berkelanjutan meliputi aspek
teknis, manajemen, dan administrasi program kolaborasi
TB-HIV melalui kerjasama dengan institusi terkait untuk
mendorong dan menyiapkan kemampuan petugas meliputi:
– Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas KTS/PDP
– Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas TB
– Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk LSM (manajer
kasus, penjangkau dll)
5) Mengembangkan jumlah cakupan provinsi yang
melaksanakan kolaborasi TB-HIV

b. Tingkat Propinsi dan Kab/Kota


1) Penguatan koordinasi melalui pertemuan rutin kelompok kerja TB-
HIV
2) Propinsi menentukan Kota/Kab prioritas untuk kolaborasi TB-HIV
3) Kab/Kota menentukan UPK prioritas untuk pelaksanaan kolaborasi
TB-HIV
4) Menunjuk koordinator kolaborasi TB-HIV
5) Memfasilitasi terbentuknyasistem jejaring layanan kolaborasi
TB-HIV secara berjenjang dan berkesinambungan mulai dari
fasilitas rujukan ART hingga puskesmas
6) Mengembangkan jumlah layanan kolaborasi TB-HIV
7) Melakukan penyusunan perencanaan dan penganggaran
untuk kebutuhan layanan kolaborasi TB-HIV
c. Tingkat fasilitas pelayanan kesehatan
1) Penguatan koordinasi pelayanan TB dan pelayanan
HIVmelalui pertemuan rutin tim atau kelompok kerja TB-HIV
2) Menunjuk Koordinator TB-HIV
3) Melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV di unit DOTS dan unit
KTS/PDP
4) Memperkuat jejaring internal dan eksternal untuk menjamin layanan
yang berkualitas dan berkesinambungan dengan melibatkan penyedia
pelayanan kesehatan, pasien, keluarga dan masyarakat
5) Melakukan penyusunan perencanaan dan penganggaran
untuk kebutuhan layanan kolaborasi TB-HIV
6) Melakukan pencatatan dan pelaporan pelaksanaan
program kolaborasi TB-HIV.
7) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program kolaborasi TB-HIV.
2. Melaksanakan surveilans TB-HIV
a. Berkoordinasi dengan Tim Surveilans program TB dan program HIV dalam
menyusun pedoman dan protokol sentinel survey HIV di antara pasien TB
b. Melakukan studi prevalensi TB pada ODHA
c. Memperkuat pencatatan dan pelaporan dengan
menggunakan data rutin program
3. Melakukan penyusunan perencanaandan penganggaran
bersama kolaborasi TB-HIV secara sistematis
a. Memperkenalkan komponen TB-HIV pada perencanaan program
TB dan program HIV AIDS termasuk dalam hal mobilisasi sumber
daya, membangun kapasitas dan pelatihan dll
b. Berkoordinasi dengan tim AKMS untuk memperkuat
komunikasi TB-HIV termasuk dalam penguatan dan
perluasan keterlibatan masyarakat termasuk LSM
c. Berkoordinasi dengan tim penelitian dan pengembangan
program TB dan HIV AIDS dalam upaya mendorong
peningkatan penelitian-penelitian tentang TB-HIV
d. Memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing program
dalam pelaksanaan kegiatan TB-HIV yang spesifik pada tiap tingkatan.

4. Meningkatkan dan memperkuat monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi


TB-HIV
a. Memfinalkan panduan dan piranti supervisi kolaborasi TB-HIV
b. Melatih keterampilan wasor TB, pengelola HIV AIDS dan tim
supervisi untuk melakukan supervisi penerapan kolaborasi TB-HIV
c. Melakukan supervisidan bimbingan teknis berjenjang secara rutin
d. Melakukan validasi data TB-HIV di tingkat fasyankes
e. Melakukan pertemuan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program kolaborasi TB-HIV secara berkala pada setiap tingkatan.

2. Menurunkan beban TB pada ODHA


2.1. Tujuan
Tujuan dalam kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA meliputi:
1. Meningkatkan cakupan ODHA yang menerima skrining gejala dan tanda TB
2. Meningkatkan cakupan ODHA yang mendapatkan
penatalaksanaan TB yang berkualitas
3. Meningkatkan upaya pengendalian infeksi TB di fasyankes
4. Memperkenalkan pengobatan pencegahan dengan INH pada ODHA
5. Meningkatkan cakupan Most at risk population (MARP)/populasi
yang paling berisiko HIV(Lapas/Rutan, IDU, penjaja seks, waria)
yang menerima skrining gejala dan tanda TB
2.2. Program intervensi
1. Mengintensifkan penemuan kasus TB pada ODHA melalui kegiatan
skrining gejala dan tanda TB dengan menggunakan formulir skrining TB
2. Meningkatkan kualitas penegakan diagnosis TB pada ODHA
3. Menjamin semua pasien ko infeksi TB-HIV memperoleh pengobatan sesuai
dengan pedoman nasional TB dan HIV AIDS serta menjamin kepatuhannya
4. Menjamin pengendalian infeksi TB pada fasilitas pelayanan kesehatan dan
tempat orang berkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi napza, barak, dsb)
a. Menerapkan kebijakan pengendalian infeksi TB
b. Memperkenalkan etiket batuk yang benar
c. Memisahkan pasien HIV dari suspek TB/pasien TB BTA positif
yang masih menular/pasien MDR-TB atau yang diduga MDR-TB
d. Menerapkan pengendalian lingkungan (meningkatkan
ventilasi dan pencahayaan)
e. Penggunaan alat perlindungan perorangan (misalnya respirator)
5. Memperkenalkan pengobatan pencegahan dengan INHpada ODHA
a. Melakukan penelitian operasional penggunaan pengobatan
pencegahan dengan INH pada ODHA
b. Melakukan evaluasi hasil penelitian
c. Mengimplementasikan pengobatan pencegahan dengan INH
pada ODHA di fasyankes
d. Melakukan perluasan pelaksanaan pengobatan pencegahan
dengan INH pada ODHA
6. Meningkatkan kegiatan penemuan kasus TB secara aktif pada
kelompok risiko tinggi misalnyakelompok penasun dan pasangannya,
penjaja seks, waria, Warga Bina Pemasyarakatan/tahanan:
a. Melakukan skrining gejala dan tanda TB dengan
menggunakan formulir skrining TB
b. Merujuk suspek TB ke layanan DOTS sesuai mekanisme
rujukan yang disepakati.

3. Menurunkan beban HIV AIDS pada pasien TB


3.1. Tujuan
Tujuan dalam kegiatan menurunkan beban HIV pada pasien TB meliputi:
1. Meningkatkan cakupan pasien TB yang mendapatkan konseling dan tes HIV
2. Meningkatkan cakupan pasien TB yang mengetahui status HIV nya
3. Mengintensifkan pemberian KIE pencegahan HIV pada pasien TB
4. Meningkatkan cakupan pasien TB-HIV yang mendapatkan
pengobatan pencegahan dengan Kotromoksasol
5. Meningkatkan cakupan pasien TB-HIV yang mendapatkan perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV termasuk pemberian ARV

3.2. Program intervensi


1. Meningkatkan dan memperkuat konseling dan Tes HIV pada pasien TB
a. Melakukan PITC secara rutin pada semua pasien TB (daerah
dengan epidemi HIV meluas)
b. Melakukan penilaian faktor risiko HIV pada pasien TB
(daerah dengan epidemi HIV terkonsentrasi)
c. Memperkuat jejaring unit TB dengan layanan KTS/PDP
2. Meningkatkan upaya pemberian KIE pencegahan HIV dan IMS di unit DOTS
a. Melakukan KIE tentang HIV/AIDS dan IMS selama masa pengobatan TB
b. Menyediakan media KIE TB-HIV
c. Menyediakan kondom di unit DOTS
d. Memperkuat jejaring dengan layanan KTS dan IMS
3. Menyediakan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK)
a. Menjaminketersediaan kotrimoksasol bagi pasien TB-HIV
b. Melakukan monitoring pemberian PPK
4. Menjamin ketersediaan akses layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV dengan cara:
a. Memperkuat sistem rujukan internal dan eksternal antara
layanan DOTS dengan RS rujukan ARV dan satelitnya
b. Meningkatkan dukungan psikososial dan konseling lanjutan
yang diperlukan
c. Menjalin jejaring dengankeluarga, kelompok masyarakat dan LSM
IMPLEMENTASI
RENCANA AKSI NASIONAL TB-HIV

Rencana Aksi Nasional TB-HIV dilaksanakan sejalan dengan strategi nasional


program pengendalian TB tahun 2010 – 2014.Implementasi Rencana Aksi
Nasional TB-HIV ini memberikan arahan dalam perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan kolaborasi TB-HIV, mendukung upaya pencapaian seluruh kegiatan
yang telah ditetapkan dalam Strategi Nasional pengendalian TB.

Implementasi kegiatan kolaborasi TB-HIV diprioritaskan di wilayah


dengan epidemi HIV yang tinggi dan dikembangkan secara bertahap
mengikuti perkembangan dan peningkatan kasus HIV.Rencana Aksi
Nasionla TB-HIV ini perlu didiskusikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota
dengan melakukan analisissituasi per wilayah serta mengembangkan
RAN ini lebih lanjut ke dalam rencana kegiatan masing-masing wilayah.
MONITORING DAN EVALUASI

Pelaksanaan rencana aksi nasional TB-HIV harus dimonitor secara berkala dan dievaluasi
secara sistematis berdasarkan pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di lapangan. Monitoring
rencana aksi nasional TB-HIV akandilaksanakan secara berkala setiap 6 bulan dan untuk
selanjutnya akan menjadi bagian dari pertemuan rutin monitoring evaluasi TB-
HIV.Berdasarkan hasil monev dapat dilakukan perbaikan perencanaan sesuai dengan
kebutuhan.Monev RAN TB-HIV ini akan dilakukan oleh Pokja TB-HIV dengan
menggunakan instrumen monev TB-HIV yang telah dikembangkan.

Tujuanmonitoring rencana aksi nasional TB-HIV adalah untukmemantau


proses danperkembangan implementasi rencana aksi nasional TB-HIV
secara berkala dan berkelanjutan, mengidentifikasimasalah dan
kesenjangan pada waktu implementasidan mengatasi masalah yang
teridentifikasi danmengantisipasi dampak dari permasalahan.
Dalam hal ini keterlibatan semua sektor terkait dalam monitoring ini perlu diperluas,
tidak hanya melibatkan para pengelolaprogram TB dan program HIV AIDS.

Evaluasi rencana aksi nasional TB-HIV bertujuan antara lain untuk menganalisis
relevansi, efisiensi, efektivitas,dampak dan keberlanjutan rencana aksi nasional
TB-HIV untuk memberikan arah kebijakan jangka panjang bagi kedua program.

Berbagai sumber data termasuk data rutin kolaborasi TB-HIV dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan monitoring dan evaluasi rencana aksi nasional TB-HIV.

Untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan transparansi, temuan monitoring


dan evaluasi rencana aksi nasional TB-HIV akan disebarluaskan melalui
berbagai jalur komunikasi. Dengan demikian masyarakatmendapatkan haknya
untuk mengakses hasil evaluasi tersebut secara terbuka. Diseminasi informasi
kepada para pembuat kebijakan, pengelola program, dan masyarakat dapat
dilakukan melalui berbagaimedia komunikasi seperti media cetak, elektronik dan
jalur komunikasi lain yang mudah diakses olehmasyarakat.
Informasi dari hasil monitoring dan evaluasi rencana aksi nasional TB-HIV
akan ditindaklanjuti dan digunakan untuktujuan perbaikan yang
berkelanjutan dalam upaya pengendalian TB dan pengendalian HIV AIDS di
Indonesia. Informasi ini jugadigunakan untuk menilai sinkronisasi kebijakan
pusat dan daerah, pemerintah dan swasta, serta lintas sektor.

Anda mungkin juga menyukai